• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kharakteristik Sistem Agroforestry

Sistem Agroforestry Ditinjau dari Komponen Penyusun

Hasil identifikasi lapang menunjukkan bahwa komponen penyusun sistem agroforestry di wilayah DAS Konaweha secara umum dikelompokkan ke dalam: 1) Komoditi tanaman tahunan (perennial crop), terdiri atas tanaman perkebunan dan industri, buah-buahan dan tanaman kehutanan, dan 2) komoditi tanaman pakan berupa pohon, semak dan rumput-rumputan dan/atau ternak. Karena itu, jika ditinjau dari komponen penyusunnya maka sistem agroforestry yang diterapkan petani di wilayah ini terdiri atas empat tipe yaitu: sylvopastoral-p, agrosylvicultural-p, agrosylvicultural-m dan sylvopastoral-m. Komposisi jenis komoditi penyusun setiap tipe sistem agroforestry dan hutan disajikan pada Tabel 15 dan Lampiran 7. Peta lokasi pengamatan disajikan pada Lampiran 51.

Tabel 15. Komposisi jenis komoditi penyusun sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 2005

Sylvopastoral-p Kk+Ld+Ck+Kl+Jm+Rb+Dr+Mg+Nk+Gm+rp+Sp Agrosylvicultural-p Rb+Jr+Mg+Dr+Nk+Ps+Kd+Sgn+Jt+rp Kk+Ld+Kp+Ck+Kl+Rb+Dr+Ls+Mg+Py+Sk+Km+Jt+ Gm+sm+rp Agrosylvicultural-m Kk+Kp+Ck+Kl+Jm+Rb+Dr+Ls+Mg+Sr+Sk+Km+Jt+Sg+sm+rp Kk+Ld+Kl+Jm+Nn+Rb+Dr+Mg+Ls+Kd+Km+Sgn+Jt+Kbt+Gm+sm+rp Kk+Kp+Ck+Kl+Jm+Ls+Dr+Mg+Rb+Km+Jt+sm+rp+Sp Sylvopastoral-m Kk+Kp+Ck+Kl+Jm+Ls+Dr+Mg+Rb+Km+Jt+ Pn+sm+rp+Sp Kk+Kp+Ck+Kl+Jm+Ls+Dr+Mg+Rb+Km+Jt+Pn+Sg+sm+rp+Sp

Hutan Dm+Jth+Kbs+Klp+Klw+Dmk+Cpk+Kbt+Ka+Da+ Pli+Ghr+Jt+An+sm+rp

Komposis jenis komoditi Sistem agroforestry

dan Hutan

Ket : Kk: kakao, Ld: lada, Ck: cengkeh, Kp: kopi, Kl: kelapa, Jm: jambu mete, Jr: jeruk, Rb: rambutan, Dr: durian, Mg: mangga, Nk: nangka, Ps: pisang, Py: pepaya, Nn: nanas, Kd: kedondong, Pn : pinang, Sg: sagu, Km: kemiri, Sgn: sengon, Jt: jati, Dm: damar, Jth: jati hutan, Ghr: gaharu, Kbs: kayu besi, Klp: kalapi, Klw: kayu lawang, Dmk: damar mata kucing, Cpk: cempaka, Kbt: kayu bitti, Ka: kayu angin, Da: dao, Pli: pulai, Gm: gamal, sm: semak, rp: rumput, Sp: sapi.

Tipe sylvopastoral-p dicirikan oleh komposisi jenis komoditi penyusunnya yang terdiri dari tanaman perkebunan dan industri, buah-buahan, tanaman pakan (pohon dan rerumputan) dan ternak sapi. komponen penyusun tersebut dapat membedakannya dari tipe sistem agroforestry lainnya, meskipun menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan tata letak seperti; komponen buah-buahan ditanam

pada batas lahan, secara campuran atau secara parsial dengan jarak tanam teratur. Tipe sistem agroforestry ini didominasi oleh tanaman perkebunan dan industri seperti: kakao dan lada. Usaha ternak sapi pada tipe ini dilakukan dengan sistim kandang sehingga kotoran sapi yang dihasilkan dapat terkumpul yang kemudian dikomposkan untuk digunakan sebagai pupuk organik. Pola tanam tipe sylvopastoral-p secara umum ditunjukkan pada Lampiran 52.

Tipe agrosylvicultural-p dicirikan oleh komposisi jenis tanaman buah- buahan dan kehutanan. Komponen tanaman penyusunnya menunjukkan perbedaan-perbedaan tata letak seperti; tanaman kehutanan ditanam di sekeliling batas lahan atau secara parsial maupun campuran dengan jarak tanam teratur. Sistem agroforestry tipe ini didominasi oleh tanaman rambutan dan durian. Produksi tanaman buah-buahan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok petani sedangkan produksi kayu dari tanaman kehutanan ditujukan untuk tujuan investasi jangka panjang. Pola tanam tipe agrosylvicultural-p disajikan pada Lampiran 53.

Tipe agrosylvicultural-m merupakan sistem agroforestry yang memiliki karakteristik khas sebagai multystrata system (agroforest) yang dikelola secara tradisional. Komponen penyusun tipe ini terdiri atas kombinasi tanaman perkebunan dan industri, buah-buahan dan tanaman kehutanan yang ditanam secara campuran maupun parsial dengan jarak tanam tidak teratur. Jenis tanaman kehutanan yang ditanam pada tipe ini, terutama ditujukan untuk produksi non kayu seperti: sukun, kemiri, dan sagu. Produksi tanaman tersebut umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, terutama tanaman sagu. Pohon sagu tumbuh secara alami di sepanjang saluran air dan tepungnya digunakan untuk konsumsi makanan pokok pengganti beras bagi penduduk asli. Selain itu, pada tipe ini djumpai pula jenis tanaman kehutanan yang ditujukan untuk produksi kayu seperti: jati dan kayu bitti. Kedua jenis tanaman ini umumnya tumbuh secara alami dan diperuntukkan sebagai investasi jangka panjang. Adapun tanaman perkebunan dan industri yang banyak dijumpai pada tipe ini adalah kakao, cengkeh dan kelapa, sedangkan tanaman buah-buahan didominan oleh langsat.

Tipe sylvopastoral-m memiliki kharakteristik khas agroforest atau multystrata systems yang tidak berbeda dengan agrosylvicultural-m, akan tetapi

pada tipe ini selain terdapat komponen tanaman, juga sapi sebagai ternak peliharaan sehingga dikategorikan ke dalam tipe sylvopastoral-multystrata system (sylvopastoral-m). Komponen penyusunnya terdiri dari komoditi tanaman perkebunan dan industri, buah-buahan, dan tanaman kehutanam. Jenis tanaman perkebunan dan industri, buah-buahan dan kehutanan yang dominan pada tipe ini berturut-turut: kakao, durian dan jati. Ternak sapi pada tipe ini digembalakan secara lepas, sehingga kotoran sapi yang dihasilkan berupa pupuk organik tidak merata di seluruh lahan.

Hutan sebagai kontrol, merupakan hutan alam dengan faktor-faktor lingkungannya mempunyai pengaruh selektif terhadap pertumbuhan vegetasi sehingga jenis-jenis pohon yang tumbuh secara alamiah sangat terbatas, meskipun komunitas tumbuh-tumbuhannya masih bervariasi.

Sistem Agroforestry Ditinjau dari Struktur Vegetasi

Struktur vegetasi sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha disajikan pada Tabel 16 dan Lampiran 8).

Tabel 16. Struktur vegetasi sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 2005 semak rumput B C A B A B C A B C A B C Sylvopastoral-p Sistem agroforestry & Hutan Strata tajuk* Kerapatan (ph/ha) Intensitas perakaran*

Tanaman penutup tanah

Agrosylvicultural-m 1.781 Agrosylvicultural-p 1.165 dangkal - sangat dalam 455 dangkal - sangat dalam __ dangkal - dalam __ agak tebal 40% sedang 20% tipis Ketebalan Serasah* 10% 25% agak tebal 10% 25% 7% tebal Sylvopastoral-m 1.975

Hutan 2.125 sangat dalam 3%

dangkal - sangat dalam

Ket : * Kriteria : strata tajuk, intensitas perakaran, dan ketebalan serasah (Tabel Lampiran 9)

Tabel 16 menunjukkan bahwa struktur vegetasi tipe sylvopastoral-p secara umum terdiri atas dua lapisan tajuk yaitu: strata B dan C. Strata B adalah lapisan tajuk paling atas yang dibentuk oleh tanaman buah-buahan dengan tinggi pohon 10

– 15 m. Strata C merupakan lapisan tajuk di bawah strata B yang dibentuk oleh tanaman kakao dan gamal/lada dengan tinggi pohon < 10 m. Kerapatan tanaman pada tipe ini dijumpai lebih tinggi (1.781 phn/ha) dari tipe agrosylvicultural-p (455 phn/ha) maupun agrosylvicultural-m (1.165 phn/ha) dengan jarak tanam teratur dan sistem perakaran dangkal sampai dalam. Penutupan tanah oleh rumput dengan luasan sekitar 40% dan ketebalan serasah di permukaan tanah tergolong sedang (Lampiran 54).

Tipe agrosylvicultural-p memiliki dua lapisan tajuk, yaitu strata A dan B. Strata A dibentuk oleh tanaman kehutanan (jati, sengon dan kedondong) dan buah- buahan (durian) dengan tinggi pohon > 15 m. Strata B dibentuk oleh tanaman buah-buahan yang terdiri dari rambutan, mangga dan nangka dengan tinggi pohon 10 – 15 m. Selain itu, pada tipe ini terdapat tanaman jeruk dan pisang yang ditanam secara parsial sehingga tajuk kedua tanaman ini tidak berada persis di bawah lapisan strata B maupun A. Jenis tanaman setiap strata memiliki intensitas perakaran yang dalam sampai sangat dalam, kecuali tanaman pisang. Tipe ini memiliki perkembangan perakaran lateral maupun vertikal yang sangat baik karena kerapatan tanaman rendah (455 phn/ha), jarak tanam teratur dan solum tanah yang dalam (+ 1.5 m) sehingga tersedia ruang tumbuh yang cukup bagi pertumbuhan tanaman. Pemeliharaan tanaman berupa penyiangan rumput dilakukan secara rutin sehingga penutupan permukaan tanah oleh rerumputan dengan luasan sekitar 20% dan ketebalan serasah di permukaan tanah tergolong tipis. Kondisi pemeliharaan dan tanaman penutup tanah pada tipe ini ditunjukkan pada Lampiran 55.

Tipe agrosylvicultural-m memiliki struktur vegetasi yang terdiri atas tiga lapisan tajuk yaitu: strata A, B dan C. Strata A dibentuk oleh tanaman: jati, kayu bitti, kemiri, sukun, kedondong, durian, langsat dan kelapa dengan tinggi pohon > 15 m. Strata B dibentuk oleh tanaman: jambu mete, cengkeh, rambutan dan mangga dengan tinggi pohon 10 – 15 m. Strata C dibentuk oleh tanaman: kakao, kopi, dan sirsak dengan tinggi pohon < 10 m. Tipe ini mempunyai kerapatan pohon (1.165 phn/ha) dengan intensitas perakaran dangkal sampai sangat dalam. Tanaman penutup tanah berupa semak dari jenis paku-pakuan dan rerumputan menutupi lahan + 35% pada ruang-ruang kosong yang terkena cahaya dan serasah

tersebar agak tebal di permukaan tanah. Gambaran strata A dan B ditunjukkan pada Lampiran 55.

Struktur vegetasi tipe sylvopastoral-m memiliki tajuk berlapis-lapis yang terdiri dari: strata A, B dan C. Strata A dibentuk oleh tanaman jati, kemiri, langsat, durian dan kelapa dengan tinggi pohon > 15 m. Strata B dibentuk oleh tanaman pinang, jambu mete, cengkeh, rambutan dan mangga dengan tinggi pohon 10 -15 m. Strata C dibentuk oleh tanaman kakao dan kopi dengan tinggi pohon < 10 m. Tipe ini mempunyai kerapatan pohon paling tinggi (1.975 phn/ha) dari tipe sistem agroforestry lainnya dengan jarak tanam tidak teratur dan intensitas perakaran tergolong dangkal sampai sangat dalam. Tanaman penutup tanah berupa semak (jenis perdu dan paku-pakuan) dan jenis rerumputan tumbuh secara alami menutupi lahan sekitar 35% pada ruang-ruang kosong yang terkena cahaya dan lapisan serasah tersebar agak tebal dipermukaan tanah. Gambaran lapisan tajuk strata A dan B ditunjukkan pada Lampiran 55.

Hutan memiliki struktur vegetasi dengan lapisan tajuk yang rapat dan berlapis-lapis yang terdiri dari: strata A, B dan C. Tipe vegetasi ini mempunyai kerapatan pohon yang tinggi (2.125 phn/ha) dan lapisan serasah pada lantai hutan yang tergolong tebal, tetapi tanaman penutup tanah seperti semak dan rerumputannya rendah (10%). Rendahnya tanaman penutup tanah tersebut disebabkan oleh kurangnya cahaya yang dapat menembus ke lantai hutan dan serasah yang tebal menutupi permukaan tanah sehingga menghambat pertumbuhan semak maupun rerumputan.

Bentuk dan jenis tanaman dalam sistem agroforestry yang heterogen dan terdapat perbedaan umur sehingga membentuk multistrata dengan penutupan tajuk yang rapat. Keanekaragaman jenis yang tinggi adalah merupakan indikator dari kemantapan atau kestabilan dari suatu tingkat pertumbuhan, dengan kata lain bahwa jenis pohon mempunyai stabilitas yang lebih tinggi dalam menghasilkan biomassa melalui proses fotosintesis dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan lainnya. Kestabilan yang tinggi menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi, yang disebabkan oleh terjadinya interaksi yang tinggi pula sehingga akan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam menghadapi gangguan terhadap komponen-komponennya (Odum, 1993).

Sistem Agroforestry Ditinjau dari Tujuan Sosial Ekonomi

Berdasarkan tujuan sosial ekonomi, sistem agroforestry di lokasi penelitian terdiri atas tiga kelompok yaitu : 1) usahatani subsisten, yaitu pengelolaan usahatani yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri, teknologi yang digunakan bersifat tradisional secara turun temurun seperti; menggunakan berbagai macam jenis bibit lokal, belum berorientasi pasar, dan pengelolaan usahatani belum memperhitungkan besarnya input berupa modal uang tunai dan tenaga kerja yang digunakan serta output berupa produksi yang dihasilkan; 2) usahatani intermediet, yaitu pengelolaan usahatani yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan memperoleh tambahan pendapatan, sudah menggunakan teknologi berupa pengolahan tanah, pengaturan jarak tanam, penyiangan gulma, penggunaan pupuk meskipun belum sesuai anjuran, masih menggunakan bibit lokal, pemilihan jenis komoditi belum sepenuhnya memperhitungkan permintaan pasar dan besarnya input yang dikorbankan serta output yang diperoleh; 3) usahatani komersial, yaitu pengelolaan usahatani yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan, telah melakukan pengolahan tanah, pemilihan bibit unggul, pengaturan jarak tanam, penyiangan gulma, penyulaman, penggunaan pupuk sesuai jenis dan dosis anjuran bagi setiap tingkat pertumbuhan tanaman, pemilihan jenis komoditi telah memperhitungkan permintaan pasar, sudah menerapkan teknologi pasca panen, dan pengelolaan usahatani sepenuhnya memperhitungkan besarnya input yang dikorbankan dan output yang diperoleh.

Sistem agroforestry di lokasi pengamatan seluas + 876 ha yang terdiri atas 252 ha sylvopastoral-p, 20 ha agrosylvicultural-p, 240 ha agrosylvicultural-m dan 364 ha sylvopastoral-m dengan jumlah petani keseluruhan 785 KK sehingga luas kepemilikan lahan rata-rata 1.1 ha/KK (Tabel 17). Tabel 17 menunjukkan bahwa sylvopastoral-p merupakan tipe sistem agroforestry yang paling banyak diusahakan petani (336 KK) tetapi luas lahan milik petani rata-rata paling kecil (0.75 ha/KK). Tipe ini telah dikelola secara intensif yang kebanyakan bertujuan komersial. Jumlah petani sampel sistem agroforestry berdasarkan tujuan sosial ekonomi disajikan pada Tabel 18.

Tabel 17. Luas lahan dan jumlah petani setiap tipe sistem agroforestry pada lokasi pengamatan di DAS Konaweha, Tahun 2005

Sistem agroforestry lahan Luas (ha)

Jumlah petani (KK)

Luas pemilikan lahan rata-rata (ha/KK) Sylvopastoral-p Agrosylvicultural-p Agrosylvicultural-m Sylvopastoral-m 252 20 240 364 336 25 184 240 0.75 0.8 1.3 1.5 Jumlah 876 785 1.1

Tabel 18. Jumlah petani sampel sistem agroforestry setiap tipe berdasarkan tujuan sosial ekonomi di DAS Konaweha, Tahun 2005

Sistem agroforestry

Jumlah petani sampel berdasarkan tujuan sosial-ekonomi (KK) Komersial Intermediet Subsisten Total KK % KK % KK % KK % Sylvopastoral-p 16 20.25 12 15.19 6 7.6 34 43.04 Agrosylvicultural-p - - 1 1.27 2 2.53 3 3.80 Agrosylvicultural-m - - 6 7.59 12 15.19 18 22.78 Sylvopastoral-m 2 2.53 7 8.86 15 18.99 24 30.38 Total 18 22.79 26 32.91 35 44.3 79 100

Tabel 18 menunjukkan bahwa pengelolaan sistem agroforestry dari seluruh tipe yang diusahakan petani di lokasi pengamatan kebanyakan dilakukan secara subsisten (44.3%), akan tetapi pengelolaan secara komersial sudah banyak dilakukan pada tipe sylvopastoral-p (20.25%) atau hampir 50% (16 KK dari 34 KK) petani sampel yang mengusahakan tipe ini. Petani sistem agroforestry tipe sylvopastoral-p merupakan komunitas transmigran asal Pulau Bali yang sudah terbiasa dengan pengelolaan pertanian intensif dari daerah asalnya. Selain itu, masyarakat Bali memiliki sosial-budaya yang sangat berbeda dengan penduduk setempat terutama dalam aspek ritual. Kebiasaan (sosial budaya) tersebut, menuntut mereka untuk melakukan usaha produktif agar kebutuhan akan hal tersebut dapat terpenuhi.

Jenis komoditi penyusun tipe sylvopastoral-p sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya terdiri dari tanaman perkebunan dan industri seperti: kakao, lada dan cengkeh yang memiliki nilai ekonomi cukup tinggi dan pengelolaan secara intensif. Demikian halnya jenis tanaman buah-buahan yang diusahakan oleh

petani untuk mengoptimalkan penggunaan lahan dan meningkatkan proroduksi dan pendapatannya. Selain itu, pada tipe ini dijumpai pula ternak sapi yang diusahakan untuk tujuan pemenuhan kebutuhan sewaktu-waktu yang berjumlah besar seperti kebutuhan pendidikan, sosial budaya dan keagamaan.

Ketiga tipe agrosylvicultural-p, agrosylvicultural-m dan sylvopastoral-m umumnya masih diusahakan secara subsisten karena keterbatasan modal untuk menciptakan pengelolaan usahatani komersial. Selain itu, terdapat anggapan oleh sebagian masyarakat bahwa sistem agroforestry merupakan kombinasi tanaman tahunan, baik antara tanaman kehutanan dengan tanaman perkebunan dan industri maupun dengan tanaman buah-buahan atau kombinasi dari ketiga komponen tanaman tersebut membuat keberadaan vegetasinya menyerupai kondisi hutan dengan keadaan tajuk berlapis-lapis dan terdapat hamparan serasah yang tebal di permukaan tanah yang memungkinkan terjadinya siklus hara dan energi (bahan organik) secara terus-menerus sehingga memungkinkan pertumbuhan dan produksi tanaman tahunan tetap berlangsung, meskipun tidak optimal. Hal ini mendorong petani merasa tidak perlu melakukan pemupukan dan pemberian input lainnya dalam pengelolaan sistem agroforestry subsisten.

Berdasarkan uraian komponen penyusun sistem agroforestry diatas, maka sistem agroforestry di lokasi penelitian memiliki ciri dan kharakteristik yang sama dengan sistem agroforestry yang dikemukakan oleh Nair (1989) bahwa sistem agroforestry adalah suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial ekonomi dan ekologi dengan mengintegrasikan pepohonan (hutan) dengan tanaman pertanian dan atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total produksi tanaman dan/atau hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan dengan input teknologi yang sederhana pada lahan marginal.

Pengaruh Sistem Agroforestry terhadap Sifat-Sifat Tanah, Indikator Hidrologi dan Erosi di DAS Konaweha

Sifat-Sifat Tanah

Analisis statistik menunjukkan bahwa keempat tipe sistem agroforestry yang diusahakan petani tidak berpengaruh nyata terhadap berat isi (kedalaman 0 –

30 cm dan > 30 cm), porositas (kedalaman 0 – 30 cm), dan pH tanah, namun sistem agroforestry tersebut nyata meningkatkan indeks stabilitas agregat, porositas (kedalaman > 30 cm), bahan organik, C-organik, dan total mikroorganisme tanah (Tabel 19 dan 20, Lampiran 10 – 18 dan 25 – 29).

Tabel 19. Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap sifat fisik tanah di DAS Konaweha, Tahun 2005

Sistem agroforestry & hutan Berat isi Indeks stabilitas agregat Porositas kedalaman (cm) kedalaman (cm) 0 - 30 > 30 0 - 30 > 30 . . .(g/cm3). . . . . . (%) . . . Sylvopastoral-p 0.97a 1.17a 42.67 bc 45.88 a 38.83 c Agrosylvicultural-p 1.10a 1.20a 41.00 c 49.86 a 43.83 a Agrosylvicultural-m 1.03a 1.20a 45.67 bc 48.72 a 39.88 bc Sylvopastoral-m 0.90a 1.17a 47.67 ab 51.29 a 43.50 ab Hutan 0.90a 1.13a 53.33 a 55.26 a 44.70 a

BNT 0.05 6.53 3.82

Ket: Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT

Peningkatan indeks stabilitas agregat, bahan organik, C-organik, dan mikroorganisme tanah paling tinggi dijumpai pada tipe sylvopastoral-m (Tabel 19 dan 20). Tingginya sifat-sifat tanah tersebut pada tipe sylvopastoral-m disebabkan oleh kondisi biofisik yang menyerupai hutan, yaitu memiliki strata tajuk yang rapat dan berlapis-lapis, kerapatan pohon yang tinggi (1.975 phn/ha), dan tingginya intensitas perakaran dangkal sampai sangat dalam, tanaman penutup tanah berupa semak dan rumput dan serasah dipermukaan yang agak tebal (Tabel 16) sehingga sangat mendukung terciptanya kelembaban tanah yang memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme tanah. Selain itu, pupuk kandang yang terdistribusi dari 2 ekor sapi yang di digembalakan di dalamnya dapat menambah bahan organik sehingga meningkatkan ketersediaan sumber energi bagi pertumbuhan mikroorganisme tanah dan meningkatkan jumlah aktivitas metabolik organisme yang pada hakekatnya sangat membantu peningkatan produktivitas tanah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Parr et al. (1983) yang menunjukkan bahwa selama periode lima tahun mengembangkan dan mempertahankan 70 ekor sapi perah pada lahan pertanian seluas 160 acre

menghasilkan pupuk kandang lebih dari 800 ton/tahun atau sekitar 11.43 ton/ekor/tahun dan memberikan produksi susu rata-rata 20 000 pon/ekor. Demikian pula Copley et al. (1944 dalam Arsyad, 2000) menyebutkan bahwa diperlukan sedikitnya 18 ton/ha/th pupuk kandang untuk mempertahankan kesuburan tanah serta mengurangi limpasan permukaan dan erosi ketingkat yang diperbolehkan, disamping perbaikan sifat kimiawi dan biologis tanah. Oleh karena itu, kondisi pada tipe sylvopastoral-m ini dapat menciptakan kondisi sifat fisik tanah yang optimum untuk perkembangan makro dan mikroorganisme tanah. Tabel 20. Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap sifat kimia dan

mikroorganisme tanah di DAS Konaweha, Tahun 2005 Sistem agroforestry & hutan Bahan organik tanah C-organik tanah pH Total mikroorganisme (%) (%) (x 107 spc/g) Sylvopastoral-p 2.06 c 1.31 bc 4.46a 1.9 c agrosylvicultural-p 1.90 c 1.10 c 4.52a 0.9 c agrosylvicultural-m 2.59 cb 1.50 b 4.48a 6.7 c Sylvopastoral-m 2.77 b 1.61 ab 4.51a 66.3 b Hutan 4.01 a 1.91 a 4.45a 173.3 a BNT 0.01 0.53 0.35 19.6

Ket: Angka-angka dalam kolom yang sama dan diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT

Makro dan mikroorganisme tanah sangat berperan dalam peningkatan bahan organik tanah. Makroorganisme berperan langsung terhadap perombakan bahan asal menjadi bahan yang lebih kecil dan selanjutnya bahan tersebut oleh mikroorganisme tanah dirombak menjadi bahan organik tanah yang merupakan perekat butir-butir primer tanah (Boyle et al. 1989). Mekanisme perekatan tersebut, oleh mikroorganisme tanah terutama fungi dengan hifanya yang panjang dan mengeluarkan eksudat berupa polisakarida menjerat partikel-partikel tanah ke dalam agregat-agregat mikro yang stabil (Tisdall dan Oades, 1982). Oleh karena itu, tanah dengan kandungan mikroorganisme yang tinggi menunjukkan bahan organik yang tinggi. Dengan demikian, tanah dengan kandungan bahan organik yang tinggi akan memiliki kemantapan agregat tanah yang tinggi pula. Sesuai pendapat Tisdall dan Oades (1982) bahwa pengaruh bahan organik terhadap sifat- sifat tanah telah banyak diketahui antara lain secara fisik dapat meningkatkan

kemampuan tanah menahan air, merangsang granulasi, memantapkan agregat tanah, menurunkan kohesi, plastisitas dan menekan sifat-sifat buruk lainnya. Disamping itu, terlihat bahwa bahan organik dapat meningkatkan kapasitas tukar kation, pelarutan sejumlah unsur hara dari mineral tanah oleh asam-asam organik dan anorganik, serta menambah kandungan hara di dalam tanah terutama Nitrogen dan Posfor. Namun demikian peningkatan bahan organik dan besarnya akumulasi karbon di dalam tanah sangat bervariasi tergantung pada kondisi tanah, iklim dan vegetasi.

Peningkatan porositas tanah pada kedalaman > 30 cm paling tinggi pada agrosylvicultural-p, meskipun tidak berbeda secara signifikan dengan sylvopastoral-m maupun hutan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh akar pohon yang lebih berperan dari kombinasi pohon buah-buahan dan kehutanan yang memiliki perakaran yang dalam sampai sangat dalam. Dengan kerapatan pohon yang rendah (455 pohon/ha) dan solum tanah yang dalam memberikan ruang tumbuh yang leluasa untuk perkembangan akar lateral maupun vertikal yang cukup baik. Oleh karena itu, kondisi ini memungkinkan pembentukan ruang- ruang pori yang cukup besar pada kedalaman > 30 cm. Hal ini didukung oleh pernyataan Nair (1989) bahwa penanaman tanaman tahunan dengan perakarannya yang relatif dalam akan memungkinkan terciptanya kondisi iklim mikro yang lebih baik dan mampu memperbaiki fungsi hidrologis tanah.

Sistem agroforestry yang diusahakan petani mampu meningkatkan dan mempertahankan sifat fisik (stabilitas agregat dan porositas tanah kedalaman > 30 cm), kimia (bahan organik dan C-organik tanah), dan biologi tanah (mikroorganisme tanah). Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap bahan organik, indeks stabilitas agregat, dan porositas tanah (kedalaman >30 cm) di DAS Konaweha disajikan pada Gambar 7.

2.06 1.90 2.59 2.77 4.01 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 B a h a n O rga ni k T a na h ( % ) T1 T2 T3 T4 T5

Sistem Agroforestry & Hutan

42.67 41.0 45.67 47.67 53.33 0 10 20 30 40 50 60 In d eks S tab il it as A g reg at T1 T2 T3 T4 T5

Sistem Agroforestry & Hutan

38.83 43.83 39.88 43.5 44.7 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 P o ro si ta s T a n ah ( % ) T1 T2 T3 T4 T5 Sistem Agroforestry Kedalaman > 30 cm

Gambar 7. Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap bahan organik tanah (BOT), indeks stabilitas agregat (ISA) dan porositas tanah (kedalaman >30 cm) di DAS Konaweha, Tahun 2005

Indikator Hidrologi

Sistem agroforestry yang diusahakan petani tidak berpengaruh secara signifikan terhadap permeabilitas profil, kapasitas infiltrasi dan erosi tanah, tetapi sistem agroforestry nyata menurunkan limpasan permukaan (Tabel 21, Lampiran

Dokumen terkait