• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi Pengelolaan Sistem Agroforestry Untuk Pembangunan pertanian Berkelanjutan Di DAS Konaweha Sulawesi Tenggara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimalisasi Pengelolaan Sistem Agroforestry Untuk Pembangunan pertanian Berkelanjutan Di DAS Konaweha Sulawesi Tenggara"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMALISASI PENGELOLAAN

SISTEM AGROFORESTRY UNTUK PEMBANGUNAN

PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KONAWEHA

SULAWESI TENGGARA

SITTI MARWAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi ini yang berjudul :

Optimalisasi Pengelolaan Sistem Agroforestry untuk

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di DAS Konaweha

Sulawesi Tenggara

Adalah karya saya sendiri dengan pembimbingan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi maupun sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

BOGOR, Juli 2008

(3)

ABSTRACT

SITTI MARWAH. Optimization of Agroforestry Systems Management for Sustainable Agriculture Development in Konaweha Watershed, Southeast Sulawesi. Under the supervision of NAIK SINUKABAN as chairman,KUKUH MURTILAKSONO, BUNASOR SANIM, and A. NGALOKEN GINTINGS as members.

The farming systems in Konaweha watershed are mostly mixed garden that are partly managed intensively as well as traditionally. Those farming systems are known as agroforestry system which consists of plantation crops, fruits, and woods (forestry crops) with or without live stocks. The objective of this research are: 1) to identify and classify agroforestry systems that are practiced by farmers, 2) to study the effect of the agroforestry systems on soil properties, hydrological indicators, and erosion, 3) to study the effect of the agroforestry systems on the total biomass production and carbon sequestration in vegetation and soil, 4) to analyze farm management feasibility and optimization of agrotechnology of agroforestry systems to establish sustainable agriculture systems. The study was carried out in Konaweha watershed, Southeast Sulawesi. The observation of soil properties, hydrological indicators, erosion and vegetation were conducted on plots that were arranged constructed based on block random design. The social and economic data were obtained through survey using questionnares. Optimization of agrotechnology was constructed using “multiple goals programming” model approach. The results indicated that agroforestry systems in this area were grouped into four types i.e. sylvopastoral-p (T1), agrosylvicultural-p (T2), agrosylvicultural-m (T3) and sylvopastoral-m (T4). Base on social and economic objective, the culture management of agroforestry consisted of three types i.e. subsisten, intermediate, and commercial. The four types agroforestry systems significantly increased the soil agregate stability, soil porosity at 30 cm depth, organic mater, soil organic carbon, soil microorganisms population, total biomas production and vegetation carbon sequestration. In contrast, the agroforestry systems had decreased runoff and erosion significantly. Therefore, the erosion rate from the four types agroforestry systems were smoller than the value of tolerable soil loss (TSL), except that of agrosylvicultural-p with elevation > 30%. With such an approach, it was revealed that the best quality of soil and environment was found at sylvopastoral-m type. The sylvopastoral-m type was the most effective system decrease runoff although the mulch was lower than that in forest. The agroforestry systems in this area were economically feasible and profitable, but the farmers income were not enough to meet the needs for life worth living. Therefore, the agroferostry systems should be aptimized to increase farmers income to meet their needs for life worth living as well as, to decrease erosion to the level of lower than TSL. Through optimization of agrotechnologies, the sustainable agroforestry systems in this region could be established by using high quality varieties, improvement of agronomy, including live stocks in the system and planting fodder.

(4)

RINGKASAN

SITTI MARWAH, Optimalisasi Pengelolaan Sistem Agroforestry untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di DAS Konaweha Sulawesi Tenggara, dibawah bimbingan NAIK SINUKABAN sebagai ketua, KUKUH MURTILAKSONO, BUNASOR SANIM, dan A. NGALOKEN GINTINGS sebagai anggota.

Sistem usahatani di DAS Konaweha umumnya berupa kebun campuran yang dikelola secara intensif maupun tradisional. Kedua bentuk pertanian ini mengkombinasikan jenis tanaman perkebunan, buah-buahan dan kehutanan dengan/tanpa ternak yang dikenal sebagai sistem agroforestry. Tujuan penelitian ini adalah : 1) mengidentifikasi dan mengklasifikasikan sistem agroforestry yang diusahakan oleh petani, 2) mengkaji pengaruh sistem agroforestry terhadap sifat-sifat tanah, indikator hidrologi dan erosi, 3) mengestimasi produksi biomassa total dan tambatan karbon vegetasi dan tanah, 4) menganalisis kelayakan usahatani dan optimalisasi agroteknologi sistem agroforestry untuk membangun pertanian berkelanjutan.

Penelitian dilaksanakan di DAS Konaweha, Sulawesi Tenggara. Pengamatan terhadap sifat-sifat tanah, paramater hidrologi, erosi dan vegetasi dilakukan pada plot yang dibuat berdasarkan rancangan acak kelompok. Data sosial ekonomi diperoleh melalui wawancara dan konstruksi agroforestry berkelanjutan dilakukan dengan optimalisasi agroteknologi menggunakan pendekatan model analisis multiple goals programming.

(5)
(6)

@Hak Cipta milik IPB, Tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar

(7)

OPTIMALISASI PENGELOLAAN

SISTEM AGROFORESTRY UNTUK PEMBANGUNAN

PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAS KONAWEHA

SULAWESI TENGGARA

SITTI MARWAH

A 236010011

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

DOKTOR pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :

Nama : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA

(Guru Besar Departemen Manajemen Hutan) Instansi : Fakultas Kehutanan IPB

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka :

1. Nama : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA

(Guru Besar Departemen Manajemen Hutan) Instansi : Fakultas Kehutanan IPB

2. Nama : Dr. Ir. Harry Santoso

(Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman) Instansi : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam,

(9)

Judul Disertasi : Optimalisasi Pengelolaan Sistem Agroforestry untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di DAS Konaweha, Sulawesi Tenggara

Nama Mahasiswa : Sitti Marwah Nomor Pokok : A236010011

Program Studi : Ilmu Pengelolaan DAS

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc. Ketua Anggota

Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, M.Si. Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan

Ilmu Pengelolaan DAS, Sekolah Pascasarjana,

(10)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Berbagai pengalaman yang sangat berharga selama penulis melalui proses persiapan rencanadan pelaksanaan penelitian, hingga penulisan disertasi. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Pof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, M.Sc., Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS, dan Dr. Ir. A. Ngaloken Gintings, M.Si. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan, koreksian, dan masukan yang sangat berarti mulai dari penulisan rencana penelitian hingga penulisan disertasi. Demikian pula kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian tertutup dan ujian terbuka, dan Dr. Ir. Harry Santoso yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi pada ujian terbuka dan memberikan masukan yang amat berharga sehingga memberi bobot tersendiri dalam disertasi ini.

Terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, penulis sampaikan kepada Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Faperta, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS IPB, serta Rektor dan Dekan Faperta UNHALU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor di IPB. Demikian pula tak lupa penulis sampaikan hal yang sama kepada Kepala Laboratorium Ilmu Tanah Faperta Unhalu, Pengelola BPPS Dirjen DIKTI Depdiknas dan IPB serta Bapak Ir. Syafei Kahar selaku Bupati Buton, Pemda Provinsi SULTRA, dan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri atas dukungan moril dan bantuan dana yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.

Terima kasih yang tulus disampaikan kepada kedua orang tua Ayahanda H. Andi Muh. Djufri (Alm) dan ibunda Andi Siti Djulsan (Alm) atas do’a dan kasih sayang dimasa hidupnya, kakak dan adik-adik saya serta kepada keluarga besar H. La Ode Rafiuddin (Alm) dan Wa Ode Saiha (Alm) atas bantuan, dukungan, pengorbanan dan do’anya.

Terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada yang tercinta suami Ir. La Ode Alwi, M.Si. dan ananda Alwan, Astriwana, Siti Alvianti, dan Aljumriana atas kesabaran, pengertian dan pengorbanan serta do’a dan motivasi yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan S3 di IPB.

Terima kasih pula kepada rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu per satu dan semua pihak, atas segala dukungan, bantuan dan kerjasamanya. semoga Allah SWT membalasnya lebih baik. Akhirnya, penulis menyadari sepenuhnya kalau tulisan ini masih banyak kekurangan, karena itu, dengan segala kerendahan hati diharapkan saran dan kritik untuk kesempurnaan tulisan ini. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi masyarakat dan pengembangan ilmu pengetahuan, Amin.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 01 Januari 1960 di Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan, anak kelima dari H. Andi Muh. Djufri (almarhum) dan Andi Siti Djulsan (almarhuma).

Pendidikan dasar diselesaikan penulis di SD Negeri 35 Makassar, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri I Bikeru Kab. Sinjai, dan pendidikan menengah atas di SMA Negeri I Makassar. Melanjutkan pendidikan sarjana tahun 1979 di Universitas Hasanuddin, Fakultas Pertanian, Jurusan Kehutanan, Program Studi Silvikultur dan memperoleh ijazah Sarjana Muda tahun 1982 dan Sarjana Lengkap tahun 1984.

Penulis menjadi staf pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara tahun 1985 hingga sekarang. Pada tahun 2000 meraih Magister Sains (S2) pada Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS, IPB dengan beasiswa TMPD dari Dirjen DIKTI Depdikbud. Kemudian pada tahun 2001 mendapat kesempatan kembali melanjutkan studi Program Doktor (S3) pada Perguruan Tinggi dan sumber beasiswa yang sama.

(12)

DAFTAR

ISI

TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN

(13)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kharakteristik Sistem Agroforestry ... Pengaruh Sistem Agroforestry terhadap Sifat-Sifat Tanah, Indikator Hidrologi dan Erosi di DAS Konaweha ... Analisis Vegetasi Sistem Agroforestey di DAS Konaweha ...

Analisis Biaya dan Pendapatan Sistem Agroforestry di DAS

Konaweha ... Penilaian Investasi pada Usahatani Sistem Agroforestry di

DAS Konaweha ... Optimalisasi Agroteknologi Sistem Agroforestry di DAS Konaweha..

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... Saran ... DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN ...

72 80 90 94 96 99

(14)

DAFTAR TABEL

Efektifitas berbagai jenis tanaman dan pola tanam dalam menahan sedimen di Tropical Rainforest Margin, Tahun 2001 ... Pendapatan bersih agrohortisilviculture dan tanaman ganda di India, Tahun 1994 ... Jenis tanaman, produksi dan pendapatan usahatani terpadu di Desa Pamulihan Kecamatan Rancakalong, Tahun 1993 ... Sasaran dan metode pengumpulan data di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Metode penentuan lokasi pengamatan dan total petani sampel pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Luas perubahan penggunaan lahan di DAS Konaweha, periode 1999 – 2004 ... Luas lahan berdasarkan kelas lereng di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Luas lahan berdasarkan jenis tanah kategori sub group dan sub order di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Sebaran tipe iklim berdasarkan stasiun pengukuran di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Jumlah penduduk pria dan wanita setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Kepadatan penduduk setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Jumlah tenaga kerja produktif dan tidak produktif setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Luas pemilikan lahan petani menurut kecamatan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Pendapatan penduduk dan petani setiap kecamatan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Komposisi jenis komoditi penyusun sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Struktur vegetasi sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Luas lahan dan jumlah petani setiap tipe sistem agroforestry pada lokasi pengamatan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Jumlah petani sampel setiap tipe sistem agroforestry berdasarkan tujuan sosial ekonomi di DAS Konaweha, Tahun 2005 ...

(15)

19.

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1.

2. 3. 4. 5. 6. 7.

8. 9.

10.

Kerangka pemikiran penelitian ... Perpindahan dan keluaran unsur hara pada sistem agroforestry …. Masukan unsur hara buatan dan alami pada sistem agroforestry … Tahapan pelaksanaan penelitian dan analisis data ... Peta DAS Konaweha dan Lahumbuti ... Keadaan curah hujan bulanan di DAS Konaweha, periode 1996 – 2000 ... Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap bahan organik tanah (BOT), indeks stabilitas agregat (ISA) dan porositas tanah (kedalaman >30 cm) di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Efektivitas sistem agroforestry dan hutan dalam menekan limpasan permukaan di DAS Konaweha, periode 2005 – 2006 .... Erosi dan ETol pada sistem agroforestry dan hutan setiap tingkat kemiringan lereng di DAS Konaweha, periode 2005 – 2006 ... Pengaruh sistem agroforestry dan hutan terhadap C-vegetasi dan C-organik tanah di DAS Konaweha, Tahun 2005 ...

7 23 24 48 63 67

83

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Total biomassa dan karbon beberapa jenis tanaman hutan di Banakat, Sumatera Selatan, Tahun 2002 ... Total biomassa dan karbon beberapa jenis tanaman hutan di Tanjungan, Lampung, Tahun 2003 ... Total biomassa dan karbon beberapa jenis tanaman hutan di Kediri dan Jember, Jawa Timur, Tahun 2004 ... Nilai faktor kedalaman berbagai jenis tanah kategori sub order (USDA), Tahun 1973 ... Curah hujan rata-rata bulanan (mm) di lokasi penelitian, periode 1996 – 2005 ... Jumlah hari hujan rata-rata bulanan di lokasi penelitian periode 1996 – 2005 ... Komposisi jenis komoditi penyusun sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Struktur vegetasi sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Kriteria strata tajuk, kedalaman perakaran dan ketebalan serasah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Data berat isi tanah kedalaman 0 – 30 cm pada sistem agroforestry di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Data berat isi tanah kedalaman > 30 cm pada sistem agroforestry di Das Konaweha, Tahun 2005 ... Data indeks stabilitas agregat tanah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Data porositas tanah kedalaman 0 – 30 cm pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Data porositas tanah kedalaman > 30 cm pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Data bahan organik tanah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Data C-organik tanah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Data pH tanah pada sistem agroforestry dan huan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ... Data total mikroorganisme tanah pada sistem agroforestry dan hutan di DAS Konaweha, Tahun 2005 ...

(18)

19.

(19)

41.

(20)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan penduduk yang cukup tinggi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia menyebabkan kebutuhan pangan dan lahan pertanian semakin besar. Disamping itu, perkembangan pembangunan juga menyebabkan terjadinya persaingan dalam penggunaan lahan sehingga petani menjadi terdesak untuk memanfaatkan lahan kering di daerah berlereng curam menjadi areal pertanian yang pada umumnya dilaksanakan tanpa tindakan konservasi tanah yang memadai. Oleh karena itu, lahan ini menjadi rawan erosi dan mudah terdegradasi yang pada gilirannya menjadi lahan kritis. Tipe degradasi lahan tersebut termasuk tanah tererosi, penurunan tingkat kesuburan tanah, salinisasi, kerusakan sumberdaya air dan penggundulan hutan, kerusakan sumberdaya penggembalaan ternak (pasture), dan menurunnya keanekaragaman hayati (Young, 1997; UNEP, 1995).

Menurut Nurlambang (2008), laju kerusakan lahan di Indonesia berkaitan

dengan : (1) diberlakukannya undang-undang Otonomi Daerah dan dampak krisis

ekonomi yang belum pulih serta kondisi status sosial ekonomi di daerah yang

bersangkutan, (2) adanya kecenderungan masyarakat yang kembali bertumpu

pada sektor primer dengan tingkat pemanfaatan yang lebih intensif, dan (3)

perubahan pola status sosial ekonomi untuk memperoleh pendapatan daerah yang

lebih besar, sehingga terjadi eksploitasi terhadap sumberdaya lahan yang

berlebihan.

(21)

kualitas tanah, tetapi akan meningkat kembali dengan pemberaan atau dengan sistem agroforestry kakao (Handayani, 2001; Anas et al., 2005; Murtilaksono et al., 2005).

Penggunaan lahan di DAS Konaweha Provinsi Sulawesi Tenggara periode tahun 1999–2004 juga menunjukkan perubahan seperti; hutan menurun dari 140.176,4 menjadi 134.569.3 ha, kebun campuran 15.327.8 ha menjadi 11.154,0 ha dan semak bertambah dari 49.660,3 ha menjadi 55.102,5 (BPDAS Sampara, 2005). Petani di daerah ini pada umumnya melaksanakan diversifikasi usahatani baik berupa kebun campuran yang dikelola secara intensif maupun tradisional berupa kebun hutan (pertanian tradisional) dengan menanam lebih dari satu jenis komoditi untuk meningkatkan produktivitas dan mengoptimalkan penggunaan lahannya. Pola-pola pertanian tersebut merupakan bentuk-bentuk sistem agroforestry yang mengkombinasikan jenis tanaman perkebunan, buah-buahan dan kehutanan dengan/tanpa ternak. Selain itu, wilayah ini merupakan sumber utama air irigasi Wawotobi dan PDAM Kodya Kendari serta menjadi penyangga bagi Taman Nasional Rawa Aopa yang terdapat di DAS Roraya, sehingga kerusakan di kawasan ini akan sangat berpengaruh terhadap fungsi irigasi, ekologis dan hidrologis DAS. Oleh karena itu, pengembangan pertanian lahan kering di DAS Konaweha terutama di daerah hulu perlu mendapat perhatian yang serius karena selain menyangkut keberlanjutan sistem usahatani di daerah tersebut juga berdampak pada indikator hidrologis kawasan hilir.

(22)

menurun dan pendapatan petani semakin rendah sehingga terjadi proses saling memiskinkan antara petani dan lahan yang diusahakan. Erosi tinggi dan produktivitas lahan yang rendah, merupakan salah satu penyebab utama kegagalan pencapaian sasaran pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture).

Menurut Narain dan Grewal (1994), Nair (1989b), agroforestry merupakan sistem pertanian yang berpotensi untuk konservasi tanah dan air, menjamin keberlanjutan produksi pangan, bahan bakar, pakan ternak dan hasil kayu khususnya dari lahan-lahan marginal dan terdegradasi. Oleh karena itu, agroforestry merupakan sistem pertanian dan teknologi penggunaan lahan yang dapat menekan erosi, degradasi dan pemanfaatan lahan-lahan marginal. Disamping itu, tanah dan tanaman pada sistem agroforestry merupakan penyimpan karbon yang cukup besar dalam ekosistem daratan dan memegang peranan penting dalam siklus karbon global. Penyerapan karbon oleh vegetasi dan tanah merupakan hal yang penting untuk mengurangi akumulasi karbon di atmosfer sehingga mampu mengurangi resiko perubahan iklim (climate change). Penyerapan karbon oleh tanaman melalui fotosintesis akan merubah CO2 atmosfer menjadi biomassa tanaman yang secara tidak langsung tersimpan dalam bentuk bahan organik pada tanaman dan tanah selama proses dekomposisi.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka untuk mengetahui sejauh mana sistem agroforestry yang telah diusahakan petani dapat memelihara kualitas lingkungan, menekan erosi, meningkatkan produksi dan pendapatan maka diperlukan kajian yang mendalam dan komprehensif sebagai indikator pencapaian sasaran pembangunan pertanian berkelanjutan.

Permasalahan

Adapun permasalahan dan pendekatan yang menjadi pokok perhatian dalam penelitian ini adalah :

1. Sistem agroforestry yang bagaimana yang umumnya diusahakan petani di DAS Konaweha ditinjau dari komponen penyusun dan tujuan sosial ekonominya

(23)

3. Bagaimana gambaran biomassa total dan penambatan karbon oleh sistem agroforestry

4. Bagaimana kelayakan usahatani dan agroteknologi yang optimal dalam pengelolaan sistem agroforestry di DAS Konaweha yang dapat memberikan pendapatan yang memenuhi kebutuhan hidup layak dan tetap menjamin kelestarian produktivitas sumberdaya lahan dan kualitas lingkungan

Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran

Pertanian berkelanjutan adalah suatu bentuk pengelolaan lahan yang dapat menjamin kelestarian sumberdaya lahan dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan ekonomi secara layak dan terus menerus serta penerapan agroteknologi yang sesuai dengan sosial budaya masyarakatnya (Sinukaban, 1999). Sistem agroforestry merupakan suatu bentuk pemanfaatan lahan secara optimal pada suatu tapak, yang mengusahakan produksi biologis berdaur pendek dan berdaur panjang (komoditi pertanian dan kehutanan) berdasarkan kelestarian dan untuk kesejahteraan masyarakat, baik diusahakan secara serentak maupun berurutan sehingga membentuk tajuk berlapis-lapis (Satjapradja, 1981; Nair, 1989a; Chundawat dan Gautam, 1993; Lal, 1995; Young, 1997). Untuk membangun suatu sistem pertanian berkelanjutan atau menyempurnakan sistem pertanian yang telah ada menjadi sistem pertanian berkelanjutan, termasuk sistem agroforestry maka langkah-langkah yang harus dilakukan adalah : (1) nventarisasi keadaan biofisik daerah, seperti tanah (sifat fisika dan kimia), drainase, penggunaan lahan termasuk keanekaragaman vegetasi, topografi, iklim dan degradasi lahan. (2) inventarisasi keadaan sosial ekonomi petani, seperti jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, keadaan ekonomi, pemilikan lahan, pengetahuan tentang teknologi pertanian, persepsi tentang erosi dan kualitas lingkungannya.

(24)

80% dari hasil pertanian di pedesaan melalui produksi langsung dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pengumpulan, pemrosesan, dan pemasaran hasilnya. Pendapatan dari sistem agroforestry umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari dari hasil yang dapat dipanen secara teratur. Selain itu, agroforestry dapat membantu menutupi pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan, cengkeh, dan pala. Komoditi lainnya seperti kayu juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendesak. Meskipun tidak memungkinkan akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan, namun diversifikasi tanaman merupakan jaminan petani terhadap ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan. Jika terjadi kemerosotan harga satu komoditi, maka dapat dengan mudah diterlantarkan hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak mengakibatkan gangguan ekologi terhadap sistem ini, bahkan komoditi tersebut akan tetap hidup dalam struktur kebun dan siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara komoditi lainnya tetap akan ada yang dapat dipanen, bahkan komoditi baru dapat diintroduksi tanpa merombak sistem produksi yang ada.

(25)

lebih tinggi. Bahkan, hutan serbaguna yang terbentuk dengan sistem agroforestry, diharapkan dapat memenuhi kebutuhan majemuk bagi penduduk yang bermukim di sekitar hutan seperti kayu bakar, pertukangan, produk madu, hijauan makanan ternak, obat-obatan, dan kebutuhan mendesak lainnya, terutama peningkatan produktivitas lahan dan kelestarian lingkungan. Keanekaragaman jenis yang tinggi adalah merupakan indikator dari kemantapan atau kestabilan dari suatu tingkat pertumbuhan, dengan kata lain bahwa jenis pohon mempunyai stabilitas yang lebih tinggi dalam menghasilkan biomassa dengan proses fotosintesis dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan lainnya. Kestabilan yang tinggi menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi, yang disebabkan oleh terjadinya interaksi yang tinggi pula, sehingga akan mempunyai kemampuan yang lebih tinggi dalam menghadapi gangguan terhadap komponen-komponennya (Odum, 1993).

Tanah dengan vegetasinya merupakan penyimpan karbon terbesar dalam ekosistem daratan dan memegang peranan penting dalam siklus karbon secara global. Oleh karena itu, penyerapan karbon oleh tanah dan vegetasi merupakan salah satu cara yang diperlukan untuk mengurangi akumulasi karbon di atmosfer sehingga mampu mengurangi resiko perubahan iklim global (global climate change).

(26)

agroforestry akan memberikan pendapatan yang memenuhi kebutuhan hidup layak petani dan tetap menjamin kelestarian sumberdaya lahan dan lingkungan. Skema kerangka pemikiran di disajikan pada Gambar 1.

- sosial & budaya - keterampilan

tdk Pendapatan > KHL

SISTEM

AGROFORESTRY

Kualitas Tanah dan Lingkungan Terpelihara

Kemampuan Mengurangi Tingkat Emisi Karbon di

Atmosfir

Kemampuan Meningkatkan

Produksi

Erosi < ETol

Pertanian Berkelanjutan

ya

tdk

ya

Agroteknologi Tepat

Pendapatan Tinggi dan Kontinuitas Terjamin

Optimalisasi Agroteknologi

Kemampuan Mengendalikan

Erosi Tanah

Acceptability Replicability

Analisis Agroteknologi

(27)

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pengelolaan sistem agroforestry terhadap aspek biofisik dan sosial ekonomi di DAS Konaweha sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi dan mengklasifikasikan sistem agroforestry yang diusahakan petani ke dalam beberapa tipe berdasarkan struktur atau komponen penyusun dan tujuan sosial ekonomi petani

2. Mengkaji pengaruh setiap tipe sistem agroforestry yang diusahakan petani terhadap sifat-sifat tanah, indikator hidrologi dan erosi

3. Mengestimasi produksi total biomassa dan penambatan karbon (carbon sequestration) pada setiap tipe sisitem agroforestry

4. Menganalisis kelayakan usahatani dan mengoptimalkan agroteknologi sistem agroforestry untuk membangun sistem pertanian berkelanjutan

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi pemerintah, petani dan peneliti setempat dalam perencanaan dan pengembangan pembangunan pertanian berkelanjutan di DAS Konaweha berdasarkan kondisi fisik wilayah dan sosial ekonomi masyarakat.

Kebaharuan Penelitian

Kebaharuan penelitian ini adalah :

1. memberikan informasi secara komprehensif mengenai aspek fisik (kualitas tanah) dan sosial-ekonomi (kebutuhan hidup secara layak bagi petani) pada sistem agroforestry

(28)

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup kebun campuran pola agroforestry dan kebun hutan (pertanian tradisional), yang diusahakan pada lahan milik petani di DAS Konaweha.

Kajian tipe agroforestry meliputi kualitas lahan dan lingkungan, struktur ekosistem dan fungsi ekologis, serta sosial ekonomi. Kualitas lahan dan lingkungan menggunakan indikator : sifat fisik tanah (tekstur, struktur, berat isi, indeks stabilitas agregat, dan porositas tanah), sifat kimia (bahan organik, C-organik dan pH tanah), sifat biologi (total mikroorganisme tanah), indikator hidrologi (limpasan permukaan, kapasitas infiltrasi, dan permeabilitas profil tanah), erosi, total biomassa dan karbon vegetasi.

Struktur ekosistem dan fungsi ekologis yang akan dikaji terbatas pada vegetasi komponen penyusun agroforestry yaitu tanaman perkebunan, tanaman pakan dan/atau ternak yang meliputi: kerapatan, frekuensi dan dominansi relatif dan nilai penting jenis.

Kajian sosial ekonomi mencakup pendapatan petani yang diperoleh dari usahatani agroforestry dan penilaian kelayakan investasi usahatani tersebut serta pendapatan yang memenuhi standar kebutuhan hidup layak. Indikator ekonomi yang digunakan adalah produksi, biaya dan pendapatan dari seluruh komponen usahatani sistem agroforestry, sedangkan kelayakan investasi dapat diketahui dengan analisis BCR (Benefit Cost Ratio), NPV (Net Present Value) dan IRR (Internal Rate of Return) serta periode pengembalian modal (Payback Period). Adapun indikator sosial yang dapat diperoleh antara lain: jumlah penduduk, tenaga kerja produktif dan tidak produktif, luas lahan pertanian, jumlah petani, dan kharakteristik keluarga petani yang meliputi: rata-rata jumlah anggota keluarga, luas lahan garapan, jumlah tenaga kerja dan sumbernya.

(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Batasan dan Kriteria Sistem Agroforestry

Agroforestry merupakan suatu sistem pengelolaan lahan berkelanjutan untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan mengkombinasikan antara tanaman pertanian dan tanaman hutan dan/atau hewan secara simultan atau berurutan dalam unit lahan yang sama dan penerapan teknologi yang sesuai dengan sosial budaya masyarakat setempat (Nair, 1989a). Dengan kata lain, sistem penggunaan lahan dimana tanaman pohon-pohonan berkayu, semak dan rerumputan ditanam bersama-sama secara spasial dan/atau berurutan menurut waktu dengan atau tanpa hewan yang memberikan keuntungan lebih besar dari pada penanaman sistem monokultur dalam sistem pertanian atau kehutanan saja. Menurut De Foresta et al. (2000), keuntungan yang diperoleh dari sistem ini antara lain; kesuburan tanah terpelihara, konservasi tanah dan air, mengurangi resiko kegagalan panen, peningkatan produksi, pengendalian hama dan penyakit sehingga dapat memenuhi kebutuhan sosial ekonomi petani setempat.

Menurut Nair (1989a; 1989b), agroforestry adalah suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial dan ekologi dengan mengintegrasikan pepohonan (hutan) dengan tanaman pertanian dan atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total produksi tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan dengan input teknologi yang sederhana pada lahan marginal. Oleh karena itu, agroforestry sebagai suatu sistem budidaya yang terdiri dari tanaman pohon dan non pohon yang tumbuh dalam asosiasi tertutup sebagai satu kesatuan hutan dan pertanian yang bertujuan untuk memaksimumkan produksi dalam jangka panjang dengan hasil yang diperoleh sekaligus berasal dari dua komponen (pohon dan non pohon). Di dalam sistem ini terdapat interaksi ekologi maupun ekonomi diantara berbagai komponen tanaman tersebut.

(30)

pada sistem monokultur. Dalam perkembangannya, sistem penggunaan lahan ini dapat mengalami modifikasi model, terutama dalam hal pemilihan jenis tanaman tahunan yang lebih benilai ekonomi juga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan mengurangi tingkat erosi (Nair, 1985). Dengan demikian penggunaan lahan melalui sistem agroforestry dapat meredam resiko ketidakpastian harga, sementara sumberdaya tanah dan air dapat terpelihara. Selain itu, akan menciptakan kondisi iklim mikro yang lebih baik yang dimungkinkan oleh penanaman tanaman tahunan dan dengan perakarannya yang relatif dalam diharapkan mampu memperbaiki fungsi hidrologis tanah (Nair, 1989c).

Klasifikasi Sistem Agroforestry

(31)

dan/atau ternak dengan pepohonan (hutan). Tanaman yang digunakan terutama yang dapat menjadi sumber pakan ternak seperti tanaman leguminosa dan pohon buah-buahan; dan (3) Agrosilvopasture adalah sistem agroforestry yang mengkombinasikan sekaligus tanaman pepohonan (hutan), tanaman pertanian, tanaman hijauan ternak (pakan) dan/atau ternak (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993).

Sistem agroforestry berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi fungsi produksi yaitu produksi pangan, pakan, bahan bakar kayu, serat, kayu dan lain-lain, serta fungsi perlindungan (protection) yaitu pencegahan dari kerusakan sumberdaya lingkungan dan sekaligus pemeliharaan sistem produksi seperti tanaman pagar, penahan angin, pencegah kebakaran, konservasi tanah dan air (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993).

Berdasarkan sosial-ekonomi, sistem agroforestry dapat dibedakan atas: (1) tujuan komersial yaitu suatu sistem agroforestry yang pengelolaannya dimaksudkan terutama untuk menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi melebihi sistem monokultur (2) subsisten yaitu sistem agroforestry yang dikelola tanpa mempertimbangkan input dan output, berbasis tenaga keluarga dan umumnya merupakan dampak dari sistem perladangan berpindah; dan (3) Intermediate yaitu sistem agroforestry yang memiliki sifat diantara komersial dan subsisten dengan tingkat pengelolaan dan pencapaian produksi sedang, dan tetap mempertimbangkan input dan output, meskipun pada tingkat yang tidak maksimal (Nair, 1989c; Michon et al., 1989).

(32)

mengurangi kompetisi terhadap air dan unsur hara. Jika tanaman semusim telah dipanen, maka tanaman pagar dibiarkan tumbuh menutupi tanah, (3) talun-kebun, yaitu suatu bentuk usahatani tradisional dimana sebidang tanah ditanami berbagai macam tanaman yang diatur secara spasial atau urutan temporal. Tanaman yang dominan pada sistem ini adalah tanaman tahunan seperti berbagai jenis bambu, nangka, kopi robusta, petai, jeruk keprok dan sebagainya dan (4) kebun pekarangan, yaitu suatu bentuk usahatani yang penyebarannya meluas di Indonesia dimana sistem ini merupakan kebun campuran yang tidak teratur antara tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman semusim yang terletak di sekitar rumah.

Bentuk-bentuk tersebut di atas telah dipraktekkan sejak dahulu oleh petani, namun sistem ini terdesak oleh pandangan dan pendekatan spesialisasi yang telah dikembangkan dalam pemerintahan dibidang pembangunan pertanian selama ini, yaitu memisahkan satu sama lain antara pertanian pangan, hortikultura, perkebunan tanaman tahunan, kehutanan dan peternakan tanpa kerjasama dan koordinasi dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaannya. Hal ini mengakibatkan terciptanya batas yang kaku antar sektor pertanian dan kehutanan atau antar sektor lainnya, serta kurangnya perhatian dalam penelitian dan pengembangan secara ilmiah dari sistem usahatani pola agroforestry tersebut (De Foresta et al., 2000).

Strategi Pengembangan Pertanian Berkelanjutan dalam Pengelolaan DAS

Tantangan yang paling utama dalam pengelolaan DAS adalah bagaimana mengembangkan rencana pengelolaan untuk mencapai berbagai tujuan yang saling bertentangan, terutama strategi pengelolaan DAS yang memungkinkan bagi petani daerah hulu menghasilkan bahan pangan dan dapat memenuhi kebutuhan kayu yang berbasis berkelanjutan (sustainable) tanpa merusak kemampuan DAS untuk menghasilkan air yang berkualitas dalam jumlah yang cukup dan tersedia secara terus-menerus (Pasaribu, 1999).

(33)

pengelolaan DAS. Untuk itu seluruh DAS yang telah didiami, fungsi lindung dan fungsi produksi harus diseimbangkan untuk kebutuhan penduduk (Pasaribu, 1999). Agroforestry adalah salah satu sistem penggunaan lahan yang paling dikenal dapat memenuhi tujuan tersebut bagi petani khususnya di daerah hulu. Agroforestry seperti telah didefinisikan sebagai sistem penggunaan lahan yang mencoba untuk mencapai produktivitas dan menjamin keberlanjutan dengan mengkombinasikan tanaman pangan (semusim) dan tanaman berkayu (tahunan) dalam sistem rotasi atau intercroping dan pada waktu yang sama komponen ternak dapat ditambahkan. Dalam sistem ini, pada dasarnya tanaman pangan berperan untuk membantu memenuhi kebutuhan pangan bagi petani, sementara pepohonan (buah-buahan atau kayu-kayuan) membantu stabilisasi lahan berlereng, menurunkan erosi, memelihara kemampuan produktivitas lahan di daerah berlereng dan memperoleh kebutuhan kayu bakar, kayu perabot, buah dan biji pohon, serta pupuk hijau dan makanan ternak, bahkan menjadi investasi secara ekonomi bagi petani (Nair, 1989b dan 1989c). Dengan semakin berkurangnya hutan alam tropika, maka hutan tanaman sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya alam kayu seperti antara lain dengan penanaman Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pengelolaan hutan secara tumpangsari. Hutan Tanaman Industri (HTI) ternyata sangat terbatas dan beresiko semakin memicu ketegangan dengan petani setempat, menyangkut masalah status penguasaan dan pemilikan lahan. Sedangkan sistem tumpangsari juga menemui banyak hambatan karena konflik kepentingan antara aparat kehutananan dan petani yang muncul akibat sangat terbatasnya peluang bagi peranserta petani (De Foresta et al., 2000)

(34)

penting sebagai sumber pemasukan uang. Menurut De Foresta et al. (2000), nilai ekonomi kadang-kadang memiliki arti penting di tingkat nasional seperti, karet alam di Indonesia sebagai penghasil kedua di dunia, 70% produksi karet alam berasal dari sistem pertanian agroforestry. Sistem agroforestry juga merupakan contoh penggunaan lahan yang lestari secara ekologi, dimana kemiripan struktur dan fungsinya dengan ekosistem hutan alam, membuatnya muncul sebagai satu-satunya sistem produksi yang mampu secara berkelanjutan melestarikan kesuburan tanah dan sekaligus kelestarian sebagian besar keragaman hayati hutan alam, baik hewan maupun tumbuhan.

Untuk tujuan pertanian berkelanjutan, rehabilitasi lahan dan tindakan konservasi tanah dan air merupakan usaha paling penting mendapat perhatian. Salah satu tindakan konservasi tanah yang dianggap sangat penting adalah pengembalian bahan organik ke dalam tanah sebanyak mungkin, baik sisa tanaman sebagai mulsa dan pupuk hijau, maupun sisa kotoran hewan sebagai pupuk kandang. Copley et al. (1944 dalam Arsyad, 2000) menyebutkan bahwa diperlukan sedikitnya 18 ton/ha/th pupuk kandang untuk mempertahankan kesuburan tanah serta mengurangi limpasan permukaan dan erosi ketingkat yang diperbolehkan, disamping perbaikan kimiawi dan biologis tanah.

(35)

pakan ternak (jenis legum) yang dapat menghasilkan bahan organik tinggi dalam satu unit lahan. Pemeliharaan ternak juga merupakan salah satu komponen sistem agroforestry yang dapat mendukung penggunaan lahan secara lestari (Narain and Grewal, 1994).

Agroforestry sebagai Pengendali Erosi

Penelitian berbagai ekosistem hutan telah menyoroti fungsi lindung dari pohon-pohon dalam stabilisasi lereng. Ziemer (1981) dan O’Loughlin (1974) telah menunjukkan bahwa kayu dan sistem perakaran pohon dapat mengikat dan menahan tanah lapisan atas sehingga terjadi penimbunan (teras-teras kecil) serta mematahkan dan membuat retak pada lapisan cadas (bedrock) dan menciptakan pori-pori tanah yang baik sehingga dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi dan mengurangi limpasan permukaan dan erosi. Kemudian dalam waktu yang lama keberadaan pohon-pohon (agroforestry) di dalam suatu DAS akan membentuk peran stabilisasi lereng yang juga memungkinkan penurunan erosi dan sedimentasi.

(36)

dapat ditanami tanaman semusim seperti pada sistem “alley cropping” (Nair, 1984). Juanda dan U. Haryati (1993) mendapatkan bahwa pada sistem pertanaman lorong (alley cropping atau agrosylviculture) antara pohon legum (flamengia dan kaliandra) sebagai tanaman pagar dan tanaman padi gogo, jagung, kacang tanah dan sayuran yang ditanam secara tumpangsari sebagai tanaman lorong lebih efektif menekan laju erosi menjadi 18 ton/ha/th dibandingkan kontrol sebesar 133,68 ton/ha/th.

Deblic dan Moreau (1979) mendapatkan bahwa pada infiltrasi tanah, waktu paling lambat untuk menghabiskan air setinggi 10 cm pada ring infiltrometer yang dimasukkan ke dalam tanah pertanian (8 menit) sementara waktu tercepat pada tanah hutan (hanya 0,7 menit) dan pada tanah yang ditanami rumput Stylosanthes diperlukan waktu selama 7.1 menit. Pereira et al. (1972 dalam Lal, 1979) juga mendapatkan bahwa laju infiltrasi dan perkolasi terjadi perbedaan yang cukup mencolok antara tanah yang ditanami rumput gajah dengan tanah bervegetasi leguminosa dan tanah pertanian. Laju infiltrasi dan perkolasi pada tanah yang ditanami rumput lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang ditanami leguminosa (Peuraria sp.) dan tanaman pertanian.

Teras adalah salah satu pendekatan untuk mengendalikan erosi secara efektif, namun peningkatan penduduk dan lahan pertanian di daerah hulu tidak seiring dengan perluasan daerah yang diteras. Petani daerah hulu kelihatannya enggan menginvestasikan tenaga kerja dan modal untuk perbaikan lahan yang permanen karena kepemilikan lahan yang tidak pasti dan biaya pembuatan teras yang cukup mahal dan sulit. Tipe “Alley cropping” dari agroforestry dengan pohon-pohon yang diatur dalam strip kontur merupakan pendekatan alternatif yang memungkinkan untuk kombinasi produksi pangan dan konservasi DAS di daerah tropik.

(37)

ranting-ranting mati dan daun-daun yang jatuh serta hasil pangkasan. Hal ini akan meningkatkan ketahanan struktur tanah dan kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air hujan yang jatuh, serta menambah unsur hara dalam tanah.

Peranan Agroforestry dalam Stabilisasi Masyarakat DAS

Upaya penempatan para petani di suatu wilayah DAS biasanya kurang berhasil. Beberapa pengelola hutan telah mencoba menempatkan petani dengan memilihkan lahan pada luasan kecil untuk memantapkan dan meminimumkan kerusakan penggunaan lahan di dalam DAS. Demikian pula upaya pemerintah dengan program transmigrasi dari wilayah berpenduduk padat ke wilayah yang berpenduduk jarang. Menurut Pasaribu (1999), usaha-usaha ini kadang-kadang kurang berhasil karena beberapa alasan, antara lain : (1) etnis minoritas umumnya ditemukan dibagian hulu DAS. Mereka hidup tidak menetap (berpindah-pindah) secara tradisional dan biasanya mereka tidak menginginkan pembatasan areal pertanian, oleh karena itu mereka bertani secara berpindah-pindah dan (2) petani yang dipindahkan dari daerah hilir ke daerah hulu DAS, mungkin bermaksud untuk tinggal menetap pada satu tempat apabila setelah merasa bahwa teknik budidaya mereka tidak sesuai lagi dengan pertaniannya di daerah asal atau telah terjadi ledakan gulma/hama, sehingga menjadi tidak dapat terkontrol lagi.

Hoare (1983) berpendapat bahwa penanaman pohon kelapa, mangga, nangka, dan jeruk di Filipina telah mendorong petani-petani hulu untuk menempatkan rumahnya secara permanen di lokasi pertaniannya. Fenomena yang sama dengan kebun teh, kopi, durian, nangka, dan tanaman buah-buahan lainnya di Thailand. Oleh karena itu, apabila produksi pertanian mantap, petani akan lebih senang tinggal menetap dan upaya penyerobotan hutan akan berkurang/berhenti. Meskipun kelompok petani tradisional yang tidak menetap tidak mudah untuk dirubah menjadi petani menetap, namun ketika tanamannya berbuah sebagai tanaman tahunan di dalam sistem agroforestry, maka petani akan menjadi terikat dengan tanamannya dan akan selalu ingin berada di kebunnya untuk menjaga dan memanen buahnya.

(38)

dengan tanaman semusim yang tersusun baik secara parsial maupun temporal atau minimal dapat menghasilkan bahan pangan, dan sekaligus memberikan hasil yang lestari dan sesuai dengan aspirasi sosio-kultural dan ekonomi masyarakat setempat serta tidak terlalu bergantung pada masukan teknologi yang mahal adalah sangat penting dikembangkan untuk menciptakan stabilisasi masyarakat di dalam DAS.

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dengan Sistem Agroforestry

Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Munasinghe (1993) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan memiliki tiga tujuan utama yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu tujuan sosial (social objective), tujuan ekonomi (economic objective), dan tujuan ekologi (ecological objective). Untuk tujuan sosial-ekonomi, masyarakat pada umumnya berupaya memperoleh kesetaraan (equity) melalui perimbangan distribusi pendapatan atau keuntungan yang timpang dan pengentasan kemiskinan antar generasi (hak generasi mendatang). Tujuan ekologi-ekonomi, mengintegrasikan faktor-faktor lingkungan ke dalam pembuatan keputusan secara ekonomi terutama penilaian dampak lingkungan terhadap aset-aset lingkungan, meskipun fungsi-fungsi lingkungan terkadang tidak dapat dinilai dengan uang seperti keragaman hayati. Sementara tujuan ekologi-sosial masih sangat kurang dipahami, namun penting bagi partisipsi publik, pembuatan keputusan, konsultasi yang mempengaruhi kelompok-kelompok dan pluralisme.

Tiga komponen utama yang harus diperhatikan dalam upaya pembangunan pertanian berkelanjutan sehubungan dengan pembangunan berkelanjutan itu sendiri adalah: kegiatan pertanian harus menunjang terjadinya pertumbuhan ekonomi (economic growth), meningkatkan kesejahteraan sosial (social walfare) dan memperhatikan kelestarian lingkungan (environmental integrity).

(39)

mencapai kesetaraan. Partisipasi masyarakat harus didorong sehingga memungkinkan keterlibatan berbagai pihak yang lebih luas. Kegiatan pembangunan dibidang pertanian tidak hanya memantapkan kegiatan berusaha para pengusaha saja, tetapi juga mampu mendistribusikan manfaat ekonomi secara adil dan merata.

Pembangunan adalah sebuah proses produksi dan konsumsi dimana materi dan energi diolah dengan menggunakan faktor produksi seperti modal (capital), tenaga kerja (labor atau human resources), dan bahan baku (natural resources). Dalam hal penyediaan bahan baku dan proses produksinya kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan alam dan masyarakat sekitarnya, yang pada gilirannya akan berdampak kepada keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pengembangan pertanian berkelanjutan juga harus dipastikan bahwa implementasinya memperhatikan ketahanan lingkungan (environmental resilience), memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan fisik, seperti kualitas dan kuantitas air yang makin baik, keanekaragaman hayati yang makin pulih, dan degradasi lahan yang makin berkurang (Reijntjes et al., 1999).

Pembangunan berkelanjutan harus bertumpu pada kapasitas manusia yang makin kuat. Pengembangan kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) secara terus menerus dapat dikaitkan dengan implementasi kegiatan pembangunan nasional baik yang berskala kecil maupun besar. Pembangunan berkelanjutan yang harus dilakukan saat ini adalah pembangunan yang tidak mengurangi kesempatan generasi mendatang untuk memperoleh bagian yang menentukan kesejahteraannya. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan harus dapat berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya (Munasinghe, 1993).

(40)

pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Dampak selanjutnya adalah terjadinya perbaikan kualitas hidup, layanan pendidikan dan kesehatan. Namun demikian, kesejahteraan sosial tidak boleh diartikan secara sempit dari pertimbangan fisik saja. Hal-hal nonfisik seperti penghargaan atas harkat manusia itu sendiri sangat penting artinya bagi pengembangan modal sosial (social capacity), pengakuan atas hak-hak, inovasi, dan partisipasi masyarakat harus mendapat tempat yang baik dalam perencanaan dan implementasi pembangunan (Murdiyarso, 2003).

(41)

Produktivitas Lahan pada Sistem Agroforestry

Peranan sistem agroforestry sebagai tindakan konservasi tanah untuk menghindari dan mengatasi masalah degradasi lahan serta mencapai penggunaan lahan yang berkelanjutan telah diterima secara luas (Cooper et al., 1996). Sistem agroforestry menggabungkan ilmu kehutanan dan agronomi untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian lingkungan karena di dalamnya terdapat tanaman pertanian yang bernilai komersial, seperti rempah-rempah dan kopi tetapi juga berpeluang bagi tanaman pangan. Dengan kombinasi pohon, perdu dan tanaman semusim, akan dapat memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistim perakarannya serta tanah menjadi produktif secara berkelanjutan (De Foresta et al., 2000). Bentuk agroforestry sederhana yang paling banyak dijumpai adalah tumpangsari yang merupakan sistem taungya versi Indonesia yang diwajibkan di areal hutan jati di Pulau Jawa. Sistem ini dikembangkan dalam program perhutanan sosial Perum Perhutani. Sistem-sistem agroforestry sederhana juga menjadi ciri umum pada pertanian komersial, seperti kopi sejak dahulu diselingi dengan tanaman dadap yang menyediakan naungan bagi kopi dan kayu bakar bagi petani. Demikian pula kebun campuran kelapa dengan kakao juga semakin banyak dilakukan.

(42)

berasal dari atmosfer dan siklus unsur hara. Oleh karena itu, keseimbangan unsur hara pada sistem alami dapat terpelihara.

Gambar 2. Perpindahan dan kehilangan unsur hara pada sistem agroforestry

Ada empat hal menghindarkan degradasi lahan sehubungan dengan sistem agroforestry yaitu : (1) Menurunkan kehilangan unsur hara karena dalam sistem ini, hanya memindahkan bagian-bagian pohon yang bermanfaat untuk konsumsi, dan mendaur ulang biomassa yang telah menjadi residu; (2) Menurunkan erosi dan limpasan permukaan; (3) Meningkatkan laju penambahan unsur hara secara alami dengan mengintroduksi jenis-jenis pohon dan hijauan ternak yang mampu memfiksasi N dan menghasilkan serasah yang kaya Nitrogen; (4) Penggunaan pupuk kimia seminimum mungkin karena secara ekonomi penggunaan pupuk sangat terbatas dan mahal bagi petani daerah hulu. Selanjutnya, menurut Nair (1984), dalam sistem agroforestry yang dikombinasikan dengan tanaman legum, selain dapat meningkatkan N dari hasil fiksasi dan produksi pertanian, juga pada umumnya mempunyai tiga kharakteristik penting yaitu : (1) setelah pemangkasan, tanaman legum akan tumbuh kembali dengan cepat. Hal ini penting bagi petani karena tidak membutuhkan lagi tenaga kerja dan modal untuk menanam kembali tetapi seterusnya dapat memanen lagi dari tanaman tersebut. Selain itu, juga penting bagi perlindungan DAS karena keberadaan sistem perakaran tanaman/pohon yang terpelihara dapat mencegah perpindahan massa tanah dan

Vegetasi Agroforestry

Permukaan Tanah (Topsoil)

Subsoil Serasah Pemindahan (uptake)

Perkolasi Perpindahan (Di dalam Sistem)

Kehilangan (Keluaran dari Sistem)

Pemanenan Biomassa (tanaman pangan dan produk

h )

Erosi

(43)

menurunkan erosi permukaan produktivitas tanah akan terpelihara secara terus-menerus, (2) daun-daun, bunga, dan buah tanaman legum umumnya cocok untuk makanan ternak dan ada pula yang dapat dikonsumsi manusia dan (3) daun-daunnya kaya akan unsur N dan sangat baik untuk pupuk organik, apabila jatuh sebagai serasah, atau dipangkas secara teratur dan digunakan sebagai mulsa dan pupuk hijau yang dapat menyebabkan peningkatan dan pemeliharaan produksi tanaman pertanian.

Gambar 3. Masukan unsur hara buatan dan alami pada sistem agroforestry

Cooper et al. (1996) mengatakan bahwa pengaruh interaksi pohon-tanaman pertanian di dalam agroforestry menunjukkan respon positif terhadap peningkatan produktivitas, perbaikan kesuburan tanah, siklus hara, konservasi tanah baik secara langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya dikatakan bahwa pada sistem tanaman pagar-intercroping, pengaruh persaingan dan manfaat untuk jangka pendek dapat berbeda dengan jangka panjang. Misalnya untuk cahaya dan air biasanya berpengaruh negatif untuk jangka pendek, sedangkan hara dan bahan organik menunjukkan pengaruh yang dihasilkan positif. Namun pengaruhnya terhadap perbaikan kandungan bahan organik dan sifat fisik tanah, penyediaan hara dari bahan organik tanah, dan perbaikan sifat kimia tanah, menunjukkan hasil pengaruh yang positif dalam jangka panjang.

Vegetasi Agroforestry Permukaan

Tanah

Subsoil Unsur hara dari

Curah Hujan

Unsur hara Atmosfer melalui Tan. Fiks- N

Pupuk Organik (pertanian dan residu pohon)

(44)

Pada dasarnya pemanfaatan cahaya dan air, tumbuhan maupun hewan yang berbeda spesies memiliki kebutuhan akan cahaya, suhu, air dan kelembaban yang berbeda. Pada umumnya, terdapat spesies yang membutuhkan cahaya tinggi dan ada pula yang membutuhkan cahaya rendah atau bahkan membutuhkan naungan. Konsep-konsep ini dapat diterapkan di dalam sistem agroforestry terutama memodifikasi iklim mikro. Komponen tanaman dalam tumpangsari atau agroforestry sering sangat berbeda dalam ukuran, yaitu tanaman berukuran kecil sering mengalami hambatan pertumbuhan akibat pengaruh naungan, persaingan hara dan air. Persaingan cahaya merupakan faktor pembatas utama apabila air dan hara tersedia cukup. Akan tetapi di daerah tropik, faktor air dan hara (tanah masam), pencucian dan degradasi menjadi faktor utama yang akan berpengaruh terhadap produksi biomassa. Oleh karena itu, sistem agroforestry memberikan peluang untuk menerapkan sistem intercroping (tanaman sisipan) dengan pengaturan tanaman secara spasial atau temporal agar persaingan terhadap penggunaan air dapat diantisipasi, dimana antar spesies saling melengkapi dengan respon tanaman dari pola penutupan tajuk dan perakaran.

(45)

mencapai 48 – 63%. Selanjutnya Tarigan et al. (2001) melaporkan bahwa dengan menggunakan berbagai jenis tanaman sebagai penyaring sedimen vegetatif (Vegetative Sediment Filter) dan praktek agroforestry sangat efektif menurunkan hasil sedimen. Berbagai janis tanaman yang digunakan, yaitu batas lahan yang ditanami pohon pisang dan strip rumput menggambarkan efisiensi menahan sedimen sangat tinggi (74%), sementara hasil sedimentasi rata-rata pada agroforestry multistrata empat kali lebih rendah dari monokultur tanaman kopi yang dibersihkan; dan 3 kali lebih tinggi dari hutan alam. Kombinasi jenis tanaman sebagai penahan sedimen secara vegetatif dan praktek agroforestry akan memberikan pengaruh yang sama pada hutan alam terhadap penurunan hasil sedimen seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Efektifitas berbagai jenis tanaman dan pola tanam dalam menahan sedimen di Tropical Rainforest Margin, Tahun 2001

No Jenis Tanaman dan Pola Tanam Efektifitas

Menahan Sedimen 1

2. 3.

Batas Lahan yang ditanami tanaman pepohonan/pisang dan strip rumput

Batas Lahan yang tertutup rumput dalam strip kecil

No Praktek Agroforestry Hasil Sedimen

(ton/ha)

Perkebunan kopi monokultur tanpa gulma Hutan alam (control)

Perkebunan kopi monokultur, gulma dibersihkan

0,24 0,25 0,08 1,03

(46)

pangan, sandang dan papan akan tetapi sejogyanya juga tertuju pada peningkatan status dan kualitas hidup masyarakat petani. Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan sistem usahatani yang mengarah kepada orientasi pasar, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Aspek Ekonomi Sistem Agroforestry

Secara teknis agroforestry layak sebagai sistem penggunaan lahan di daerah berbukit termasuk daerah hulu DAS. Beberapa kajian yang telah dilakukan untuk menentukan keuntungan secara ekonomi dari sistem agroforestry bagi petani antara lain Mandoza (1977) di Filipina, Rachie (1981) di Colombia dan Nair (1984) di Afrika telah menunjukkan bahwa kombinasi Leucaena-jagung-sayuran menghasilkan satuan output fisik yang lebih tinggi dari pada tanaman semusim monokultur.

(47)

diterlantarkan hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak mengakibatkan gangguan ekologi terhadap sistem ini, bahkan komoditas tersebut akan tetap hidup dalam struktur kebun dan siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara komoditas lainnya tetap akan ada yang dapat dipanen, bahkan komoditas baru dapat diintroduksi tanpa merombak sistem produksi yang ada.

Menurut Narain dan Grewal (1994), Agrohortisilviculture adalah sistem agroforestry yang telah dikembangkan di India. Sistem ini memadukan Leucaena, lemon, pepaya dan kunyit + kacang-kacangan (okra) diperoleh total pendapatan bersih rata-rata = Rp 17.066.000,-,/ha/thn sebaliknya pada sistem tanaman ganda (double cropping) = Rp 7.852.000,-/ha/thn (Tabel 2).

Tabel 2. Pendapatan bersih agrohortisilviculture dan tanaman ganda di India, Tahun 1985-1988

Sistem usahatani Jenis-jenis tanaman

Pendapatan bersih (Rp/ha/th x 1000)

1985 1986 1987 1988 Rata-rata

Agrohorti-tanaman ganda Jagung+blackgram 7.624 9.078 4.902 9.805 7.852 Sumber : Narain dan Grewal, 1994

Selanjutnya Gintings (1993) melaporkan bahwa hasil usahatani terpadu lahan kering milik H. Usup seluas 0,97 ha dapat memberikan pendapatan Rp 8.484.500 untuk satu periode panen di Desa Pamulihan Kecamatan Rancakalong, Sumedang Jawa Barat. Jenis tanaman dalam pola tanam terpadu yang diterapkan pada usahatani tersebut sesuai kondisi lahan dan iklim wilayah setempat adalah : teh, pisang, vanili, lada, salak, rumput pakan ternak dan ternak domba.

(48)

kandang dan tambahan pendapatan dari hasil penjualan domba. Jarak tanam, populasi, produksi, pendapatan dan penempatan tanaman secara spasial disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis tanaman, produksi dan pendapatan usahatani terpadu di Desa Pamulihan Kecamatan Rancakalong, Tahun 1993

Jenis

(btg) Penempatan Spasial Produksi

Pendapatan

Petani di Filipina memulai sistem agroforestry dengan penanaman sistem intercroping tanaman semusim seperti jagung, talas, dan padi dengan Albizia sp. Tanaman pangan diperuntukkan sebagai konsumsi rumah tangga sementara tanaman pepohonan untuk dipasarkan ke pabrik kertas dan pulp. Dengan sistem pertanian ini, petani akan memperoleh pendapatan yang lebih baik dari pohon penghasil kayu dari pada tanaman pangan/tanaman tahunan. Dengan demikian keadaan ekonomi petani meningkat dengan merubah sistem pertanian dari agroforestry tanaman tahunan subsisten menjadi tanaman tahunan berorientasi ekonomi pasar dan telah memberikan sumbangan stabilitas ekonomi daerah (Domingo, 1981 dalam Vegara, 1986). Demikian pula kombinasi tanaman perkebunan dan tanaman kehutanan, seperti: sistem pertanaman kopi + Leucaena dan kopi + Casuarina di Papua New Guinea; Lanzium + kelapa dan kakao + Leucaena di Filipina; kopi + Gliricidia dan kakao + Gliricidia + kelapa di Solomon; kopi + Gmelina di Thailand, kesemuanya memberikan perlindungan tanah yang lebih baik dari pada kombinasi tanaman tahunan dengan tanaman semusim karena frekuensi kerusakan tanah akibat persiapan lahan, penanaman dan pemanenan dari tanaman semusim dapat dihindari.

(49)

tanaman kehutanan, karena tanaman perkebunan (kopi, kakao, dst) dapat memberikan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan dan sebagainya, meskipun tidak seperti halnya tanaman pangan yang dapat dikonsumsi langsung.

Keuntungan dan Kelemahan Sistem Agroforestry

(50)

Keuntungan secara sosial penerapan sistem agroforestry adalah : (1) dapat memenuhi standar kehidupan layak bagi masyarakat petani di pedesaan secara berkelanjutan; (2) Sumber pangan dan tingkat kesehatan masyarakat yang lebih baik dapat terpelihara karena peningkatan kualitas dan keragaman produk pangan, gizi dan papan; dan (3) terjaminnya stabilitas kelompok masyarakat petani lahan kering sehingga dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi (Chundawat dan Gautam, 1993).

Selain kelebihan-kelebihan tesebut di atas, sistem agroforestry juga memiliki kekurangan-kekurangan, baik secara ekologis maupun secara sosial-ekonomi (Chundawat dan Gautam, 1993). Kelemahan dari aspek lingkungan atau ekologis antara lain : (1) kemungkinan terjadinya persaingan cahaya, air dan hara antara tanaman pohon (hutan) dengan tanaman pertanian/pangan dan pakan; (2) kemungkinan terjadinya kerusakan tanaman pangan atau anakan pohon pada saat panen kayu (penebangan) dari sistem agroforestry; (3) tanaman pohon secara potensial dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit bagi tanaman pertanian; dan (4) tanaman pohon memiliki regenerasi relarif lama yang menyebabkan lahan pertanian menjadi sempit.

Kelemahan dari aspek sosial-ekonomi antara lain : (1) terbatasnya penunjang kelembagaan baik berupa organisasi pemerintah dan masyarakat maupun berupa aturan, hukum dan perundang-undangan yang mengatur secara khusus atau insentif dan disinsentif dalam pengembangan sistem agroforestry; (2) Belum ada jaminan pasar dari produk-produk tertentu yang bersumber dari sistem agroforestry; (3) memerlukan waktu yang cukup lama untuk menunggu masa panen tanaman pohon yang dapat mengurangi produksi sistem agroforestry tersebut; (4) sistem agroforestry diakui lebih kompleks sehingga diperlukan pengetahuan dan keterampilan petani dalam penerapannya dibandingakan pada sistem pertanian monokultur seperti pemilihan jenis-jenis tanaman, penempatan antar jenis, dan jarak tanam yang tepat; (5) keengganan sebagian besar petani untuk menggantikan tanaman pertanian/pangan dengan tanaman pohon yang bernilai ekonomis atau sebaliknya.

(51)

meningkatkan pendapatan petani, maka sistem agroforestry penting dilaksanakan. Meskipun, peranan tersebut perlu dikaji lebih mendalam mengingat lahan yang diusahakan petani sangat tebatas, disamping perlunya perluasan lapangan kerja disektor lain sehingga jumlah masyarakat yang bergantung kepada lahan pertanian akan berkurang dan tekanan terhadap kawasan hutan diharapkan dapat berkurang. Model-model agroforestry yang dapat meningkatkan pendapatan petani perlu terus dikaji sesuai dengan perkembangan harga hasil produksinya.

Total Biomassa dan Karbon Berbagai Tipe Penggunaan Lahan

Tanah merupakan pool karbon yang penting di dunia yang meliputi 1.500 – 2.000 Pg (1Pg = petagram = 1 milyar ton) dan 800 – 1.000 Pg sebagai karbon anorganik tanah dalam bentuk karbonat (Eswaran et al., 1993). Kandungan karbon organik tanah umumnya tinggi pada tanah di bawah vegetasi rumput atau hutan. Penyerapan karbon merupakan penyimpanan karbon di dalam tanah dengan bentuk yang relatif stabil, baik melalui fiksasi CO2 atmosfer secara langsung maupun tidak langsung. Pengikatan karbon secara langsung terjadi reaksi senyawa anorganik kalsium dan magnesium, sedangkan secara tidak langsung melalui photosintesis tanaman yang mampu merubah CO2 atmosfer menjadi biomassa tanaman. Biomassa tanaman tersebut berangsur-angsur secara tidak langsung tersimpan dalam bentuk bahan organik tanah selama proses dekomposisi. Jumlah karbon yang tersimpan dalam tanah merupakan refleksi keseimbangan yang telah dicapai dalam jangka panjang antara mekanisme pengambilan dan pelepasan karbon.

(52)

Selanjutnya Paustin (1997) memperkirakan bahwa rata-rata tingkat penyerapan karbon pada tanah pertanian yang dikonversi ke rumput dan tanaman tahunan sekitar 0.8 Mg/ha/th pada tahun pertama setelah konversi. Di daerah tropika penanaman tanaman penutup tanah dapat meningkatkan penyerapan karbon 25–50 ton/ha dalam jangka waktu 4–12 bulan tergantung pada jenis tanaman penutup tanah yang digunakan (Arsyad, 2000). Demikian pula hasil penelitian Romanya et al. (2000) menunjukkan bahwa pada tanah-tanah bekas pertanaman cereal mengandung lebih banyak bahan organik dari pada kebun anggur. Hal ini disebabkan oleh produktivitas tanaman dan serasah (sisa-sisa daun) di atas permukaan tanah pada lahan bekas cereal lebih tinggi (3-4 ton/ha/th) dari pada kebun anggur antara (2–3 ton/ha/th). Disamping itu, kandungan N pada lahan bekas cereal juga lebih besar, meskipun rasio C/N dan nitrogen mineral secara potensial tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok antar jenis tanaman. Demikian pula pH tanah pada saat awal tetap lebih tinggi pada lahan cereal dan mengandung tanah liat antara 7 - 16 %. Untuk Pinus radiata yang tumbuh pada lahan bekas kebun anggur yang telah berumur antara 14 – 29 tahun, dalam periode pengukuran 5 tahun menunjukkan kandungan C pada lapisan atas tanah mineral meningkat 9.34 g/m2/thn. Namun setelah hutan pinus berumur 15 tahun, jumlah C yang terakumulasi dalam horison–horison tanah telah mencapai 104,5 % dan pada lahan bekas cereal terdapat 75 %.

(53)

Soedomo (1999), emisi gas metana telah terjadi sekitar 515 Tg setiap tahunnya dan sekitar 70% dari jumlah tersebut bersumber dari anthrophogenic.

Bahan organik mempunyai fungsi yang sangat penting dalam mempertahankan keberlanjutan produksi tanaman, terutama berkenan dengan fungsinya sebagai penyedia hara (kimia), memelihara/mempebaiki sifat fisik dan biologi tanah. Tingginya curah hujan dan temperatur akan mempercepat proses dekomposisi bahan organik dan pengangkutan sisa panen keluar plot serta pembakaran sisa panen di lapang akan menambah semakin tidak seimbangnya C dalam tanah.

Penanaman tanaman kehutanan (hutan tanaman) atau tanaman tahunan merupakan cara yang efektif untuk menjaga kandungan karbon tanah. Peningkatan karbon tanah disebabkan karena minimnya kerusakan fisik tanah akibat pengolahan dan peningkatan input karbon yang dihasilkan baik dari pool di atas tanah maupun yang teralokasi di dalam tanah. Besarnya akumulasi karbon sangat bervariasi tergantung pada kondisi tanah, iklim dan vegetasi.

Hasil penelitian biomassa beberapa jenis tanaman hutan di Benakat Sumatera Selatan (Gintings dan Prajadinata, 2002), Biomassa beberapa jenis tanaman hutan di Lampung (Gintings dan Prajadinata, 2003) dan biomassa beberapa jenis tanaman hutan di Kediri dan Jember, Jawa Timur (Gintings dan Prajadinata 2004) (Lampiran 1, 2 dan 3).

Beberapa penelitian yang telah menghasilkann persamaan allometrik secara umum dapat digunakan untuk mengestimasi total biomassa pohon berbagai tipe hutan alam (Brown, 1997). Namun persamaan allometrik tersebut akan berbeda antar jenis tanaman dan antara satu daerah ke daerah lain yang memungkinkan terjadi kesalahan perumusan yang sulit diketahui. Akan tetapi persamaan yang diperoleh dari setiap daerah survei memungkinkan membangun persamaan tunggal setiap jenis pohon yang dapat diterapkan untuk seluruh daerah pengamatan (Heriansyah et al., 2004). Persamaan allometrik yang dibangun menggunakan rumus umum sebagai berikut :

Y = aXb, ...(1) Dimana :

(54)

Y = biomassa total (kering-oven, kg))

X = DBH (cm) --- DBH = diameter batang pada tinggi 1,3 m X = DBH2*H (cm2*m) --- H = tinggi pohon

Berdasarkan data dari kombinasi empat kelompok umur tegakan Pinus merkusii (5, 11, 19, dan 24 tahun) pada hutan tanaman P.T. Perhutani Unit III di Jawa Barat diperoleh rumus estimasi (Heriyanto et al., 2005) sebagai berikut

Y = 0,03242*DBH2,83985 ...(r2 = 0,98096)

Y = 0,03292*(DBH2*H)0,97318...(r2 = 0,98572 ...(2) Kandungan karbon dalam berat kering biomassa diasumsikan 50% dari berat kering atau dengan kata lain bahwa kandungan karbon setengah dari berat kering total biomassa (JIFRO 2000 dalam Heriansyah et al., 2004).

Potensi Implementasi Agroforestry untuk Clean Development Mechanism (CDM)

(55)

berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan sebagai agenda nasionalnya (Mudiyarso, 2003).

Indonesia memiliki kesempatan sebagai salah satu negara peserta untuk mengimplementasikan proyek CDM melalui aforestasi dan reforestasi (A/R). Aforestasi adalah penanaman kembali pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak 50 tahun yang lalu. Reforestasi adalah penanaman hutan pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak awal tahun 1990 (31 Desember 1989). Dengan definisi ini, CDM kehutanan dapat dilaksanakan baik pada lahan/kawasan hutan maupun di lahan milik (Gintings et al., 2003). Pada saat ini sekitar 54.600.000 ha hutan di Indonesia perlu rehabilitasi melalui kegiatan reforestasi yang tersebar pada hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Di luar kawasan hutan sekitar 41.700.000 ha membutuhkan rehabilitasi melalui kegiatan penghijauan (MoF, 2003 dalam Masripatin, 2005).

(56)

hambatan dari segi kerangka peraturan juga masih menyulitkan implementasi CDM kehutanan atau bentuk investasi lain di bidang jasa lingkungan yang menyangkut perdagangan karbon. Sebagai contoh adalah Keputusan Presiden nomor 118 Tahun 2000 tentang Daftar Positif dan Negatif untuk penanaman modal asing yang menyebutkan bahwa modal asing tidak bisa disertakan untuk mengembangkan hasil hutan non kayu (non timber forest product, NTFP). Kegiatan ini hanya boleh dilaksanakan oleh investor lokal dan berskala kecil.

Protokol Kyoto yang akan berakhir pada tahun 2012, ternyata telah memberikan berbagai penilaian bahwa Protokol Kyoto tidak mampu mencegah lajunya pemanasan global dan perubahan iklim. Untuk merespon kekurangan dalam Protokol Kyoto tersebut, maka pada COP-13 tahun 2007 di Bali telah memfokuskan upaya dalam merumuskan hal-hal yang lebih realistis yang dikenal sebagai “Bali Roadmap”. Rumusan ini menghasilkan kesepakatan pasca 2012 diantaranya penerapan mekanisme Reducing Emissions from Deforestastion in Developing Countries (REDD) (Farid dan Mangunjaya, 2008).

(57)

kehutanan, referensi tingkat emisi, dan informasi lainnya sebelum 21 Maret 2008 yang hasilnya akan dilaporkan dalam COP-14 tahun 2008.

Hal yang sangat rasional dalam REDD adalah kerusakan hutan dan lahan ternyata berkontribusi 18% atas emisi global. Di lain pihak upaya untuk memulihkan hutan dengan keanekaragaman hanyatinya merupakan proses panjang dan sangat kompleks untuk dijalankan.

Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Usahatani

Optimalisasi dalam penelitian ini, dimaksudkan untuk memaksimumkan nilai ekonomi atas sebidang lahan usaha dengan tetap menjamin produktivitas secara lestari. Penelitian ini diarahkan untuk menemukan suatu kombinasi jenis tanaman yang secara agregat menghasilkan nilai ekonomi maksimum dan produktivitas lahan tidak menurun dengan agroteknologi yang dapat diterima dan diaplikasikan oleh petani setempat. Untuk menemukan tipe penggunaan lahan yang optimal dan memiliki lebih dari satu tujuan, maka alat analisis yang tepat digunakan adalah Program Tujuan Ganda (Multiple Goal Programming).

Gambar

Gambar 2. Perpindahan dan kehilangan unsur hara pada sistem agroforestry
Gambar 3.  Masukan unsur hara buatan dan alami pada sistem agroforestry
Tabel 1.  Efektifitas berbagai jenis tanaman dan pola tanam dalam menahan sedimen di Tropical Rainforest Margin, Tahun 2001
Tabel 2.   Pendapatan bersih agrohortisilviculture dan tanaman ganda di India, Tahun 1985-1988
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

[r]

Pola tanam dan agroteknologi aktual berbasis kopi yang diterapkan oleh petani di DAS Ketahun Hulu masih dilakukan secara tradisional dan belum menerapkan tindakan konservasi

Untuk itu perlu dilakukan berbagai upaya yaitu dengan memadukan teknik konservasi tanah dan air pada lahan pertanian berbasis kakao, sehingga petani di DAS Krueng

Usahatani lahan kering yang tidak menggunakan teknik konservasi tanah dan air yang memadai yaitu hanya disertai dengan agroteknologi tradisional menunjukkan bahwa nilai prediksi

Tingkat laju limpasan permukaan rata-rata dan erosi rata-rata pada sistem tanam agroforestry dengan pengelolaan tanaman pertanian tumpangsari (kunyit, jagung, kacang

estimasi dan memberikan informasi tentang distribusi spasial limpasan permukaan di DAS Jene’berang Hulu Provinsi Sulawesi Selatan. Berdasarkan dari uraian tersebut