Uji yang pertama dilakukan dalam analisis data adalah uji kestasioneran data. Untuk mengetahui kestasioneran data diperlukan uji akar unit (unit root test). Jika suatu variabel pada data level mempunyai suatu unit root, maka variabel tersebut nonstasioner. Selanjutnya dilakukan pengujian pada first difference dan seterusnya hingga diperoleh data yang stasioner.
Metode yang digunakan untuk melakukan unit root test adalah Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Untuk menentukan bahwa suatu series mempunyai unit root atau tidak, maka diperlukan pembandingan antara nilai t-statistik ADF dengan nilai ADF tabel. Suatu variabel akan memiliki unit root (tidak stasioner) apabila t-statistik ADF lebih kecil daripada nilai kritis ADF tabel dengan tingkat
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0 10 20 30 40 50 60 70 80 19 96: Q 1 19 97: Q 1 19 98: Q 1 19 99: Q 1 20 00: Q 1 20 01: Q 1 20 02: Q 1 20 03: Q 1 20 04: Q 1 20 05: Q 1 20 06: Q 1 20 07: Q 1 20 08: Q 1 20 09: Q 1 20 10: Q 1 20 11: Q 1 R_INA R_CHN R_US R_JPN R_INA, R_CHN, R_US (%) R_JPN (%) Tahun
signifikansi tertentu. Nilai kritis yang digunakan sebagai batas pengujian statistik tersebut adalah nilai kritis MacKinnon dengan batasan nilai α < 5%. Hasil uji ADF untuk setiap variabel pada data time series pada tingkat level dapat dilihat pada Tabel 2.
Hasil uji akar unit yang dapat dilihat pada Tabel 2 menunjukkan bahwa hampir semua variabel bersifat tidak stasioner pada tingkat level. Ini dapat dilihat dari nilai ADF t-statistic dari beberapa variabel tersebut yang nilainya lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5%. Hanya variabel GDP riil Indonesia dan suku bunga Indonesia yang bersifat stasioner pada level dengan taraf nyata 5%. Tabel 2 Hasil uji akar unit (unit root) pada tingkat level
Variabel Nilai ADF t-statistic
Nilai kritis MacKinnon
Probability Keterangan 1% 5% 10% LTBina-us -1.553943 -4.118444 -3.486509 -3.171541 0.7993 Tidak stasioner LTBina- jpn -1.907200 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.6391 Tidak stasioner LTBina- chn -2.750838 -3.538362 -2.908420 -2.591799 0.0713 Tidak stasioner LYina -6.050031 -4.127338 -3.490662 -3.173943 0.0000 * LYus -1.567534 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.7945 Tidak stasioner LYjpn -2.741213 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.2244 Tidak stasioner LYchn -1.654140 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.7597 Tidak stasioner LR_ina -4.478199 -4.118444 -3.486509 -3.171541 0.0036 * LR_us -2.481855 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.3358 Tidak stasioner LR_jpn -1.702146 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.7388 Tidak stasioner LR_chn -2.634777 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.2669 Tidak stasioner LRER_ RPUS -2.806666 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.2005 Tidak stasioner LRER_ RPYEN -2.688139 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.2450 Tidak stasioner LRER_ RPYUAN -2.809245 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.1996 Tidak stasioner Dummy 08 -1.714395 -4.110440 -3.482763 -3.169372 0.7333 Tidak stasioner Sumber: Lampiran 3
Keterangan: tanda asterik (*) menandakan variabel signifikan pada taraf 5 persen
Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah uji akar unit pada tingkat
first difference. Uji akar unit pada tingkat first difference (derajat satu) dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel sudah bersifat stasioner mengingat pada tingkat level (I(0)) hampir semua data time series bersifat tidak stasioner pada taraf
nyata 5%. Berikut hasil uji ADF semua variabel pada tingkat derajat satu (I(1)) yang terangkum dalam Tabel 3.
Tabel 3 menunjukkan bahwa semua variabel bersifat stasioner pada tingkat derajat satu (I(1)). Hal ini dapat dianalisis dengan melihat nilai t-statistik ADF dari semua variabel yang ada bernilai lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon
dimana taraf nyata yang digunakan dalam penelitian itu adalah 5%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini terintegrasi pada derajat satu (I(1)).
Tabel 3 Hasil uji akar unit (unit root) pada tingkat first difference
Variabel Nilai ADF t-statistic
Nilai kritis Mac Kinnon
probability Keterangan 1% 5% 10% ∆LTB ina-us -7.387719 -4.118444 -3.486509 -3.171541 0.0000 Stasioner ∆LTB ina-jpn -7.763835 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 Stasioner ∆LTB ina-chn -10.34039 -3.540198 -2.909206 -2.592215 0.0000 Stasioner ∆LREER -5.881675 -3.540198 -2.909206 -2.592215 0.0000 Stasioner ∆LYina -3.906780 -4.124265 -3.489228 -3.173114 0.0179 Stasioner ∆LYus -5.064816 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0006 Stasioner ∆LYjpn -5.794282 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 Stasioner ∆LYchn -6.032995 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 Stasioner ∆LR_ina -4.736812 -4.124265 -3.489228 -3.173114 0.0017 Stasioner ∆LR_us -3.913621 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0172 Stasioner ∆LR_jpn -3.995483 -4.115684 -3.485218 -3.170793 0.0139 Stasioner ∆LR_chn -8.217323 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 Stasioner ∆ LRER_ RPUS -5.709130 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0001 Stasioner ∆ LRER_ RPYEN -6.355737 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 Stasioner ∆ LRER_ RPYUAN -5.560526 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0001 Stasioner ∆Dummy08 -7.935903 -4.113017 -3.483970 -3.170071 0.0000 Stasioner Sumber: Lampiran 4
Pengujian Lag Optimal
Sebelum dilakukan uji kointegrasi, terlebih dahulu dilakukan pemilihan panjang lag yang optimal. Penetapan lag optimal bertujuan untuk menunjukkan berapa lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya serta menghilangkan masalah autokorelasi dalam sebuah system VAR (Firdaus, 2011). Ada lima kriteria yang dapat membantu menentukan panjang lag optimal, yaitu Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Namun, kriteria yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah kriteria Akaike Information Criterion (AIC) dengan mengambil nilai AIC yang paling kecil. Lag
optimum yang diperoleh yaitu lag 2 untuk model bilateral Indonesia dengan dua mitra dagang utamanya (Amerika Serikat dan China). Sementara untuk model bilateral Indonesia dengan Jepang, lag yang digunakan adalah lag 3. Hasil penetapan lag optimum dapat dilihat pada Lampiran 5.
Uji Stabilitas VAR
Panjang lag yang telah diperoleh pada uji lag optimum di atas selanjutnya akan diuji stabilitasnya sebelum masuk pada tahapan analisis lebih jauh lagi. Uji stabilitas VAR perlu dilakukan untuk memastikan bahwa model yang digunakan akan menghasilkan IRF dan FEVD yang valid dan konsisten. Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polynomial atau dikenal dengan roots of characteristic polynomial. Jika semua akar fungsi polinomial tersebut berada di dalam unit circle atau jika nilai absolutnya kurang dari 1 maka model VAR tersebut dianggap stabil. Dari hasil uji stabilitas VAR, dapat disimpulkan bahwa sistem VAR bersifat stabil. Hasil uji stabilitas VAR dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil uji stabilitas VAR
Model Bilateral Kisaran Modulus
Indonesia – Amerika Serikat 0.294758 - 0.966801 Indonesia – China 0.031888 - 0.999762 Indonesia – Jepang 0.362618 - 0.995140 Sumber: Lampiran 6
Uji Kointegrasi
Berdasarkan hasil pengujian kestasioneran data menunjukkan bahwa tidak semua data stasioner pada tingkat level, melainkan stasioner pada first difference. Data yang stasioner pada first difference kemungkinan besar menggunakan metode VAR first difference atau VECM. Oleh karena itu perlu dilakukan uji kointegrasi. Uji kointegrasi dilakukan untuk mendeteksi hubungan jangka panjang. Uji ini dilakukan dengan menggunakan Johansen Trace Statsistic test yaitu dengan membandingkan antara trace statistic dengan critical value yang digunakan, yaitu 5 persen. Jika trace statistic lebih besar dari critical value 5%, maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut.
Berdasarkan uji kointegrasi (Lampiran 7), hasil estimasi memberikan gambaran bahwa untuk masing-masing model bilateral terdapat lebih dari satu kointegrasi pada taraf nyata 5 persen. Untuk model bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat (US), hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat 6 persamaan kointegrasi. Sementara untuk model bilateral Indonesia dengan China dan Indonesia dengan Jepang, hasil estimasi masing-masing menunjukkan bahwa terdapat 4 persamaan kointegrasi. Dengan adanya kointegrasi dan tidak stasionernya variabel yang digunakan pada level, maka metode VECM akan dipilih sebagai alat estimasi untuk menjawab tujuan penelitian.
Hasil Estimasi VECM
VECM merupakan bentuk VAR terestriksi. Restriksi tambahan ini dilakukan karena adanya data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. VECM mampu melihat hubungan jangka panjang variabel-variabel endogen agar konvergen ke dalam kointegrasinya, namun tetap membiarkan keberadaan dinamisasi jangka pendek. Dengan kata lain, estimasi VECM menghasilkan informasi kecepatan penyesuaian (speed of adjustment) atas ketidakstabilan hubungan jangka pendek menuju keseimbangan jangka panjang. Penelitian ini menggunakan signifikansi dengan taraf nyata lima persen.
Hasil VECM dari model bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat Tabel 5 menggambarkan hasil VECM model bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat yang memperlihatkan hubungan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada model estimasi tersebut, variabel dependen dalam model adalah neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat (TBINAUS), sedangkan variabel independennya adalah PDB Indonesia (Yina), PDB Amerika Serikat (Yus), nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar Amerika (RER_RPUS), suku bunga domestik (R_INA), suku bunga luar negeri (R_US), dan dummy krisis tahun 2008 (Dummy08).
Tabel 5 Hasil estimasi VECM model bilateral Indonesia-Amerika Serikat
Variabel Koefisien T-statistik
Jangka pendek D(R_US(-3)) -0.143472 -1.98543 D(LRER_RPUS(-1)) 1.230200 2.82105 Cointeq1 -0.926567 -2.23710 Cointeq2 -3.311094 -1.97916 Cointeq3 5.753162 2.03406 Jangka panjang R_US (-1) -0.01588 2.12514 R_INA (-1) 0.007063 8.32041 LRER_RPUS(-1) -0.76565 3.95521 Dummy08 -0.05552 4.79789 C -52.4403 -19.8580
Sumber: Lampiran 8, diolah
Pada analisis jangka pendek untuk model bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat, terdapat 2 variabel yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Variabel RER_RPUS berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat dengan nilai koefisien sebesar 1.230200. Dengan meningkatnya nilai tukar riil (depresiasi) 1 persen maka neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat akan meningkat
sebesar 1.230200 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Jika dikaitkan dengan teori Marshall-Lerner Condition, koefisien dari variabel RER yang positif (lebih dari 0) menunjukkan bahwa telah terpenuhinya Marshall- Lerner Condition dalam jangka pendek. Artinya, depresiasi riil suatu mata uang akan meningkatkan kinerja neraca perdagangan dalam jangka pendek. Terdepresiasi atau melemahnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan harga barang di Amerika Serikat menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga barang produksi Indonesia. Sehingga masyarakat Amerika Serikat lebih memilih membeli barang produksi Indonesia. Hal tersebut akan meningkatkan nilai neraca perdagangan Indonesia. Terpenuhinya Marshall Lerner Condition dalam jangka pendek pada kasus bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat ini sesuai dengan hasil penelitian Husman (2005). Namun, lain halnya dengan hasil penelitian Onafowora (2003). Onafowora tidak menemukan adanya Marshall- Lerner Conditon dalam jangka pendek pada kasusu bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat.
Di samping nilai tukar riil, hasil estimasi VECM jangka pendek juga menggambarkan bahwa R_US berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat dengan nilai koefisien sebesar - 0.143472. Dengan meningkatnya suku bunga di Amerika Serikat sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral akan menurun atau mengalami defisit sebesar 0.143472 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Jika suku bunga di Amerika Serikat naik, maka biaya untuk berinvestasi akan meningkat dan menyebabkan investor tidak tertarik untuk berinvestasi di Amerika. Penurunan investasi ini menyebabkan meningkatnya neraca perdagangan Amerika (surplus bagi Amerika) karena neraca perdagangan merupakan fungsi dari selisih tabungan dan investasi (NX= S-I). Dengan demikian, hal sebaliknya terjadi dengan Indonesia. Hal ini akan membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit.
Hasil estimasi VECM lainnya menunjukkan bahwa terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan (error correction) persamaan kointegrasi pertama (TBINAUS) secara statistik signifikan dengan koefisien sebesar -0.926567. Tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa kesalahan dikoreksi sebesar 0.926567 persen setiap kuartal pada persamaan neraca perdagangan untuk menuju keseimbangan jangka panjang.
Dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi kedua (YINA) secara statistik signifikan. Sehingga dapat diketahui pengaruh PDB Indonesia terhadap neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat dalam jangka panjang. Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut adalah - 3.311094. Artinya, dalam jangka panjang, PDB Indonesia berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan bilateral. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Dengan meningkatnya PDB Indonesia sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika akan turun atau mengalami defisit sebesar 3.311094 persen. Hal ini terjadi karena dengan meningkatnya pendapatan maka akan meningkatkan konsumsi sehingga berdampak pada meningkatnya impor yang pada akhirnya akan memperburuk neraca perdagangan. Hasil estimasi yang menunjukkan adanya hubungan negatif antara PDB Indonesia dan neraca perdagangan bilateral dengan Amerika sesuai dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005). Peneliti lain seperti Guechari (2012),
Moura G dan Siergo DS (2005), Bahmani-Oskoee dan Cheema J (2009), dan lain- lain juga menemukan hasil bahwa terdapat hubungan negatif antara PDB domestik dengan neraca perdagangan untuk masing-masing kasus yang menjadi tujuan penelitian mereka.
Dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi ketiga (YUS) yang secara statistik signifikan. Sehingga dapat diketahui pengaruh PDB Amerika Serikat terhadap neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat dalam jangka panjang. Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut adalah 5.753162. Artinya, dalam jangka panjang, PDB Amerika Serikat berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Dengan meningkatnya PDB Amerika sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika akan meningkat sebesar 5.753162 persen. Hal ini terjadi karena dengan meningkatnya pendapatan maka akan meningkatkan konsumsi sehingga berdampak pada meningkatnya permintaan impor oleh masyarakat Amerika. Sehingga akan meningkatkan kegiatan ekspor Indonesia ke Amerika. Pada akhirnya hal ini akan memperbaiki neraca perdagangan. Hasil estimasi yang menunjukkan adanya hubungan positif antara PDB Amerika Serikat dan neraca perdagangan bilateral dengan Amerika sesuai dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005). Peneliti lain seperti Guechari (2012), Moura G dan Siergo DS (2005), Bahmani-Oskoee dan Cheema J (2009), dan lain-lain juga menemukan hasil bahwa terdapat hubungan positif antara PDB mitra dagang dengan neraca perdagangan untuk masing-masing kasus yang menjadi tujuan penelitian mereka.
Adapun dalam jangka panjang, terdapat 4 variabel bebas yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Variabel R_US berpengaruh negatif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat dengan nilai koefisien sebesar -0.01588. Dengan meningkatnya suku bunga di Amerika Serikat sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral akan menurun atau mengalami defisit sebesar 0.01588 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Jika suku bunga di Amerika Serikat naik, maka biaya untuk berinvestasi akan meningkat dan menyebabkan investor tidak tertarik untuk berinvestasi di Amerika. Penurunan investasi ini meningkatkan neraca perdagangan Amerika (surplus bagi Amerika) karena neraca perdagangan merupakan fungsi dari selisih tabungan dan investasi (NX= S-I). Dengan demikian, hal sebaliknya terjadi dengan Indonesia. Hal ini akan membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit.
Variabel suku bunga domestik (R_INA) berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat. Besarnya nilai koefisien R_INA yaitu 0.007063. Artinya, jika suku bunga domestik naik 1 persen maka neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat akan meningkat sebesar 0.007063 persen. Hasil ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Dengan meningkatnya suku bunga domestik, maka biaya untuk berinvestasi di dalam negeri akan meningkat yang menyebabkan permintaan investasi di Indonesia menurun. Penurunan investasi akan membuat neraca perdagangan meningkat karena neraca perdagangan merupakan fungsi dari selisish antara tabungan dengan investasi (NX= S-I). Dengan kata lain, kondisi ini akan membuat neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat menjadi surplus.
Variabel RER_RPUS dalam jangka panjang siginifikan terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat. Nilai koefisien RER yaitu -0.76565. Artinya, apabila RER naik (depresiasi) 1 persen, maka neraca perdagangan bilateral akan memburuk sebesar 0.76565 persen. Hal ini tidak sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Dengan nilai koefisien RER yang negatif (kurang dari 0), maka dapat dikatakan bahwa Marshall-Lerner Condition tidak terpenuhi dalam jangka panjang karena jumlah dari elastisitas impor dan ekspor tidak lebih dari 1. Tidak terpenuhinya Marshall Lerner Condition dalam jangka panjang pada kasus bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Onafowora (2003) dan Husman (2005).
Alasan tidak terpenuhinya Marshall-Lerner Condition dalam jangka panjang adalah rendahnya elastisitas ekspor Indonesia ke Amerika Serikat yang terlihat dari kecilnya kenaikan ekspor ke Amerika Serikat meskipun harga relatif ekspor sudah lebih murah. Kecilnya elastisitas ekspor ke Amerika Serikat antara lain dapat dijelaskan bahwa jika dilihat dari komoditas berdasarkan kelompok barang yang diekspor ke Amerika Serikat, secara umum merupakan barang konsumsi atau barang kebutuhan seperti karet, energi, dan sebagainya (lihat lampiran 1). Permintaan barang-barang kebutuhan umumnya inelastis. Walaupun harga barang kebutuhan meningkat ataupun menurun maka jumlah yang diminta kurang lebih akan tetap sama.
Variabel Dummy krisis tahun 2008 (Dummy08) secara statistik signifikan terhadap neraca perdagangan bilateral. Nilai koefisien variabel Dummy08 yaitu sebesar -0.05552. Dengan demikian, krisis yang terjadi di Amerika pada tahun 2008 akan menurunkan kinerja neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan Amerika Serikat sebesar 0.05552 persen. Alasan yang dapat menjelaskan keadaan ini adalah ketika krisis global melanda Amerika Serikat, PDB Amerika Serikat akan menurun. Penurunan PDB ini akan menyebabkan keinginan masyarakat Amerika untuk mengimpor barang dari Indonesia juga menurun. Pada akhirnya, hal ini akan menurunkan kegiatan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat. Dengan kata lain, neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan Amerika Serikat akan memburuk.
Hasil VECM dari model bilateral Indonesia dengan China
Tabel 6 menggambarkan hasil VECM model bilateral Indonesia dengan China yang memperlihatkan hubungan dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada model estimasi tersebut, variabel dependen dalam model adalah neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China (TBINACHN), sedangkan variabel independennya adalah PDB Indonesia (YINA), PDB China (YCHN), nilai tukar riil Rupiah terhadap Yuan (RER_RPYUAN), suku bunga domestik (R_INA), serta suku bunga luar negeri (R_CHN).
Pada analisis jangka pendek untuk model bilateral Indonesia dengan China, terdapat 3 variabel yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Variabel YINA pada lag kedua berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral dengan nilai koefisien yaitu 2.116732. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori dan hipotesis awal dimana hubungan antara pendapatan dengan neraca perdagangan bertanda negatif.
Meningkatnya pendapatan seharusnya mampu meningkatkan konsumsi sehingga berdampak pada meningkatnya impor yang pada akhirnya akan memperburuk nilai neraca perdagangan. Di Indonesia, dengan meningkatnya pendapatan tidak langsung meningkatkan konsumsi. Hal tersebut terjadi karena di Indonesia memiliki tingkat inflasi yang cukup tinggi yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Pada akhirnya, Sehingga, nilai impor akan menurun dan nilai neraca perdagangan Indonesia akan membaik.
Husman (2005) dan Onafowora (2003) menjelaskan bahwa hubungan positif antara PDB domestik (dalam hal ini PDB Indonesia) dengan neraca perdagangan bilateral juga dapat terjadi apabila kenaikan PDB domestik ini terjadi karena ada peningkatan produksi barang substitusi impor. Ketika produksi meningkat, maka ekspor perlu dilakukan untuk mengurangi excess supply di dalam negeri.
Tabel 6 Hasil estimasi VECM model bilateral Indonesia-China
Variabel Koefisien T-statistik
Jangka pendek YINA(-2) 2.116732 2.18765 R_INA (-1) -0.020030 -2.73912 RER_RPYUAN(-2) 0.625038 2.17743 Cointeq1 -0.288808 -2.50124 Cointeq2 3.356715 2.27666 Jangka panjang R_CHN(-1) -0.11017 -7.06297 R_INA(-1) 0.015358 -7.50615 YCHN(-1) -1.75134 -40.4326 RER_RPYUAN(-1) 0.121182 3.18526 C -62.2547 -35.5655
Sumber: lampiran 8, diolah
Variabel RER_RPYUAN pada lag kedua dalam jangka pendek berpengaruh positif terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China dengan nilai koefisien sebesar 0.625038. Dengan meningkatnya (depresaisi) nilai tukar riil 1 persen maka neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China akan meningkat sebesar 0.625038 persen. Hal ini sesuai dengan teori. Jika dikaitkan dengan teori Marshall-Lerner Condition, koefisien dari variabel RER yang positif (lebih dari 0) menunjukkan bahwa telah terpenuhinya Marshall- Lerner Condition dalam jangka pendek. Artinya, depresiasi riil suatu mata uang akan meningkatkan kinerja neraca perdagangan dalam jangka pendek. Terdepresiasi atau melemahnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan harga barang di China menjadi lebih mahal dibandingkan dengan harga barang produksi Indonesia. Sehingga masyarakat China lebih memilih membeli barang produksi Indonesia. Hal tersebut akan meningkatkan nilai neraca perdagangan Indonesia. Terpenuhinya Marshall Lerner Condition dalam jangka pendek pada kasus
bilateral antara Indonesia dengan China ini sesuai dengan hasil penelitian Husman (2005).
Variabel R_INA secara statistik signifikan terhadap neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China dengan nilai koefisien sebesar -0.020030. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan meningkatnya tingkat suku bunga 1 persen akan menyebabkan menurunnya neraca perdagangan sebesar 0.020030 persen. Hasil tersebut tidak sesuai dengan teori dan hipotesis awal.
Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Seharusnya, jika suku bunga domestik (Indonesia) meningkat, maka investasi akan turun sehingga membuat neraca perdagangan membaik (NX = S-I). Untuk kasus ini, suku bunga domestik justru menyebabkan adanya kenaikan dalam investasi. Hal ini terjadi karena Indonesia masih butuh investasi sebagai sarana untuk meningkatkan perekonomian. Begitu suku bunga di Indonesia meningkat, maka akan ada aliran modal masuk ke Indonesia karena investor menganggap akan ada tingkat pengembalian yang lebih di tinggi jika berinvestasi di Indonesia. Dengan kata lain arus modal keluar netto di Indonesia menjadi negatif. Aliran modal masuk ke Indonesia ini akan membuat Rupiah terapresiasi, barang-barang domestik (Indonesia) menjadi relatif lebih mahal dibandingkan barang-barang luar negeri (Jepang). Sehingga, neraca perdagangan Indonesia akan turun (defisit bagi Indonesia).
Pada jangka pendek terdapat dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi pertama (TBINACHN) yang secara statistik signifikan. dengan koefisien sebesar -0.288808. Tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa kesalahan dikoreksi sebesar 0.288808 persen setiap kuartal pada persamaan neraca perdagangan untuk menuju keseimbangan jangka panjang.
Dugaan parameter koreksi kesalahan persamaan kointegrasi kedua (YINA) yang secara statistik signifikan. Sehingga dapat diketahui pengaruh PDB Indonesia terhadap neraca perdagangan bilateral antara Indonesia dengan China dalam jangka panjang. Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut adalah 3.356715. Dengan meningkatnya PDB Indonesia sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China akan meningkat atau mengalami surplus sebesar 3.356715 persen. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori dan hipotesis awal dimana hubungan antara pendapatan dengan neraca perdaganagn bertanda negatif.
Meningkatnya pendapatan seharusnya mampu meningkatkan konsumsi sehingga berdampak pada meningkatnya impor yang pada akhirnya akan memperburuk nilai neraca perdagangan. Di Indonesia, dengan meningkatnya pendapatan tidak langsung meningkatkan konsumsi. Hal tersebut terjadi karena di Indonesia memiliki tingkat inflasi yang cukup tinggi yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Pada akhirnya, nilai impor akan menurun dan nilai neraca perdagangan Indonesia akan membaik.
Husman (2005) dan Onafowora (2003) menjelaskan bahwa hubungan positif antara PDB domestik (dalam hal ini PDB Indonesia) dengan neraca perdagangan bilateral juga dapat terjadi apabila kenaikan PDB domestik ini terjadi karena ada peningkatan produksi barang substitusi impor. Ketika produksi meningkat, maka ekspor perlu dilakukan untuk mengurangi excess supply di dalam negeri.
Dalam jangka panjang, variabel R_CHN secara statistik signifikan. Besarnya koefisien koreksi kesalahan tersebut adalah -0.11017. Dengan meningkatnya suku bunga di China sebesar 1 persen maka nilai neraca perdagangan bilateral Indonesia dengan China akan menurun atau mengalami defisit sebesar 0.11017 persen. Hal ini sesuai dengan teori dan hipotesis awal. Suku bunga merupakan biaya untuk berinvestasi. Jika suku bunga di China naik, maka biaya untuk berinvestasi akan meningkat dan menyebabkan investor tidak