• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kombinasi Thidiazuron + 2, 4–D terhadap Pembentukan Embrio somatik Pule pandak (Rauvolfia serpentina (L.) Benth . ex Kurz).

Hasil analisis Kruskal – Wallis terhadap skor pembentukan kalus pada pengamatan 14 hari HSI menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar perlakuan (Lampiran 1), hal ini disebabkan eksplan masih menyesuaikan dengan media yang baru sehingga belum menampakkan pengaruh perlakuan, sedangkan pada pengamatan 28 HSI dan 42 HSI menunjukan bahwa ada perbedaan antar perlakuan (Lampiran 2-3), dan dari hasil pengamatan secara visual menunjukkan bahwa kombinasi thidiazuron + 2, 4-D terjadi pembentukan embrio.

Dalam hal ini eksplan diberi kad ar zat pengatur tumbuh sehingga pertumbuhan eksplan belum normal, eksplan masih menyesuaikan dengan media yang baru sehingga belum menampakkan pengaruh perlakuan namun setelah 28 HSI dan 42 HSI eksplan menunjukkan adanya pengaruh perlakuan sehingga kondisi eksplan menjadi normal, teratur, terbentuk kalus, sehingga mencapai jumlah yang cukup banyak, susunan hormon dirubah sehingga sebagian besar dari sel-sel tersebut mulai memisah dan berubah bentuk menjadi embryoid, dan hanya menunggu untuk dibebaskan untuk menjadi embrio, tidak menjadi akar atau tunas. Ammirato (1992) menyatakan bahwa sel-sel kalus yang berubah bentuk menyerupai embrio dinamakan embrio somatik .

Saat pembentukan embrio pada masing-masing perlakuan tidak sama, tingkat kecepatan pembentukan embrio dari eksplan, dalam teknik kultur jaringan erat hubungannya dengan zat pengatur tumbuh. Laju pertumbuhan yang cepat dihasilkan dengan ketersediaan zat pengatur tumbuh. Gunawan (1989), menyatakan bahwa dengan mengatur komposisi zat pengatur tumbuh terjadi seleksi sel-sel yang mempunyai karakter tertentu. George dan Sherrington (1984) juga menyatakan bahwa adanya zat pengatur tumbuh yang mendukung akan menyebabkan terjadinya pembelahan dan pengembangan sel sedikit demi sedikit yang mengakibatkan terbentuknya embrio diatas permukaan eksplan.

Hal ini berarti bahwa zat pengatur tumbuh menentukan komposisi embrio yang tumbuh. Zat pengatur tumbuh thidiazuron + 2, 4–D dapat mempengaruhi pembentukan embrio somatik , sehingga dengan dosis kombinasi tertentu dapat mencapai pembentukan embrio somatik yang optimum.

Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa dengan perlakuan kombinasi 6 ppm thidiazuron + 0,5 ppm 2, 4–D memberikan persentase pembentukan embrio tertinggi (100%). Embrio yang terbentuk dengan menggunakan kombinasi thidiazuron dan 2, 4–D dapat disajikan pada Gambar 3.

Tabel 8 Kombinasi thidiazuron + 2, 4–D terhadap persentase pembentukan embrio 2, 4 – D Thidiazuron (ppm) ppm % Embrio 0 0 0.5 1.0 1.5 2.0 0 0 0 0 0 2 0 0.5 1.0 1.5 2.0 0 0 0 0 0 4 0 0.5 1.0 1.5 2.0 1 20 40 60 60 6 0 0.5 1.0 1.5 2.0 20 100 80 60 20 8 0 0.5 1.0 1.5 2.0 40 40 20 0 0

T4D0 (8 ppm TDZ + 0 ppm 2, 4-D T2D3 (4 ppm TDZ + 1 ppm 2, 4 –D)

T3D2 ( 6 ppm TDZ + 0.5 ppm 2, 4-D T3D1 (6 ppm TDZ + 0.5 ppm 2, 4–D)

Gambar 3 Embrio yang terbentuk pada kombinasi thidiazuron + 2, 4–D

Menurut Wareing dan Philips (1970 dalam Abidin, 1982) bahwa didalam tanaman terdapat 2 fase per tumbuhan yaitu fase pembelahan dan fase pembesaran sel. Pada fase pembelahan zat pengatur tumbuh yang berperan adalah sitokinin, selanjutnya sel akan mengalami pembesaran yang distimulir oleh auksin. Auksin dalam konsentrasi rendah akan menstimulir pembesaran dan perpanjangan sel setelah terjadinya pembelahan sel yang distimulir oleh sitokinin. namun efek penghambat dan pendorong proses pembelahan sel oleh sitokinin tergantung pada hormon yang lain terutama auksin (Watimena, 1987).

Hal ini berarti bahwa pule pandak lebih respon pada perlakuan thidiazuron + 2, 4–D untuk pembentukan embrio karena thidiazuron merupakan jenis sitokinin yang paling kuat untuk pembelahan sel yang kemudian dikombinasikan dengan jenis auksin 2, 4–D yang merangsang pembesaran sel dan merupakan auksin sintetis yang kuat dan cukup tahan degradasi kerena reaksi enzimatik dan foto oksidasi. Komposisi media dan pemilihan zat pengatur tumbuh yang sesuai

selain mendorong terbentuknya kalus juga mendorong terbentuknya embriogenesis.

Seperti yang dinyatakan oleh Ammirato (1982) bahwa konsentrasi optimal dari zat pengatur tumbuh untuk embrio somatik berbeda-beda dan sifatnya spesifik untuk setiap genotip tanaman.

Dari Gambar 4, dapat dilihat bahwa perlakuan kombinasi 6 ppm thidiatzuron + 0,5 ppm 2, 4 – D memberikan persentase pembentukan embrio tertinggi (100%).

Pengaruh Thidiatzuron + 2, 4 - D Terhadap Persentase Pembentukan embrio 0 20 40 60 80 100 120 D0 D1 D2 D3 D4 D0 D1 D2 D3 D4 D0 D1 D2 D3 D4 D0 D1 D2 D3 D4 D0 D1 D2 D3 D4 T0 T1 T2 T3 T4

Gambar 4 Pengaruh thidiazuron + 2, 4–D terhadap persentase pembentukan embrio

Dari hasil pengamatan secara visual tampak bahwa kombinasi Thidiatzuron + 2, 4-D terjadi pembentukan embrio. Hal ini berarti bahwa pule pandak mempunyai respon membentuk embrio pada perlakuan thidiatzuron + 2, 4 –D karena thidiazuron merupakan jenis sitokinin yang paling kuat untuk pembelahan sel yang kemudian dikombinasikan dengan jenis auksin 2, 4–D yang merangsang pembesaran sel. Komposisi media dan pemilihan zat pengatur tumbuh yang sesuai selain mendorong terbentuknya kalus juga mendorong terbentuknya embriogenesis.

Saat pembentukan embrio pada masing-masing perlakuan tidak sama, tingkat kecepatan pembentukan embrio dari eksplan, dalam teknik kultur jaringan erat hubungannya dengan zat pengatur tumbuh. Laju pertumbuhan yang cepat

dihasilkan dengan ketersediaan zat pengatur tumbuh. Gunawan (1989), menyatakan bahwa dengan mengatur komposisi zat pengatur tumbuh terjadi seleksi sel-sel yang mempunyai karakter tertentu. Hal ini berarti bahwa zat pengatur tumbuh menentukan komposisi embrio yang tumbuh. Untuk tanaman jati embriogenesis terjadi setelah tujuh kali mengalami sub kultur, sementara untuk percobaan ini satu kali sub kultur sudah terjadi pembentukan embrio somatik, hal ini merupakan suatu yang luar biasa karena diduga eksplan berasal dari planlet yang kondisinya sudah normal dan viabilitasnya tinggi.

Sherrington (1984) juga menyatakan bahwa adanya zat pengatur tumbuh yang mendukung akan menyebabkan terjadinya pembelahan dan pengembangan sel sedikit demi sedikit yang mengakibatkan terbentuknya embrio diatas permukaan eksplan.

Pengamatan terhadap perkembangan dan pertumbuhan eksplan menunjukkan bahwa 7 Hari Setelah Isolasi (HSI), eksplan mulai membengkak dan warna berubah dari hijau menjadi hijau kecoklatan. Warna kecoklatan ini diduga karena pengaruh senyawa-senyawa hasil proses oksidasi fenol di dalam eksplan, ditempat ini terdapat bintik-bintik yang kemudian berubah menjadi kerut-kerut pada hari ke 10 pertumbuhan kalus dimulai dari sini. Dari hasil pengamatan terhadap kecepatan terbentuknya kalus dan persentase pembentukan kalus perlakuan dengan menggunakan thidiazuron + 2, 4–D yang paling cepat, perlakuan kombinasi thidiazuron dan 2, 4–D memberikan saat inisiasi kalus 10–20 HSI, sedangkan kombinasi thidiazuron dan giberellin kalus terbentuk sekitar 25–40 HSI. Kecepatan terbentuknya kalus dan warna kalus dapat disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Pengaruh thidiazuron, 2, 4–D dan giberellin terhadap kecepatan terbentuknya kalus dan warna kalus.

Perlakuan Kecepatan Terbentuknya Kalus (HSI) Warna Thidiazuron + 2,4 –D Thidiazuron + Giberellin 10-20 25-40

Hijau, dan agak putih kekuningan, agak padat.

Bentuk dan struktur kalus dari kedua perlakuan ditunjukkan pada Gambar

5 dan Gambar 6.

Gambar 5 Bentuk dan struktur kalus kombinasi thidiazuron + 2, 4–D

Gambar 6 Bentuk dan struktur kalus kombinasi thidiazuron + giberellin

Penggunaan thidiazuron saja hanya terjadi pembentukan kalus yang sedikit melimpah dan membentuk planlet sedangkan penggunaan 2, 4–D saja hanya membentuk sedikit kalus dan sedikit benjolan seperti akar.

George dan Sherrington (1984), menyatakan bahwa pemberian 2, 4–D

adalah untuk merangsang pembelahan dan pembesaran sel. Penambahan auksin dalam jumlah besar cenderung menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari ekspan dan menghambat regenerasi tanaman.

Abidin (1982), mengatakan bahwa didalam tanaman, zat pengatur tumbuh tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi bekerja secara berinteraksi. Thidiazuron

kadang-kadang diperlukan bersama-sama 2, 4–D untuk mendapatkan kalus yang baik sehingga dapat membentuk embrio.

Menurut Ammirato (1982), kebutuhan Thidiazuron dalam kultur jaringan tanaman berbeda-beda. Pengaruh konsentrasi auksin dan sitokinin terhadap pertumbuhan dan perkembangan tergantung jenis tanamannya.

Media tanam yang digunakan dalam kultur jaringan sangat berpengaruh terhadap metabolisme sel, pada umumnya media diperkaya dengan zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh merupakan komponen media in vitro yang sangat penting kehadirannya. Hal ini berarti bahwa untuk pembentukan dan pengembangan kalus, diperlukan hormon eksogen baik dari golongan auksin maupun sitokinin.

Pengaruh Kombinasi Thidiazuron + Giberellin Terhadap Pembentukan Embrio somatik Pule pandak (Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz).

Hasil analisis Kruskal – Wallis terhadap perkembangan eksplan mulai 14 HSI menunjukkan tid ak adanya pengaruh perlakuan (Lampiran 4), tetapi pada 28 HSI dan 42 HSI menunjukkan adanya pengaruh perlakuan (Lampiran 5–6), dan menghasilkan persentase pembentukan kalus 20%-100%, dan dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa kombinasi thidiazuron + giberellin tidak membentuk embrio.

Tabel 10 Kombinasi thidiazuron + giberellin terhadap persentase pembentukan embrio Giberellin Thidiazuron (ppm) ppm % Embrio 0 0 0.5 1.0 1.5 2.0 0 0 0 0 0 2 0 0.5 1.0 1.5 2.0 0 0 0 0 0 4 0 0.5 1.0 1.5 2.0 0 0 0 0 0

6 0 0.5 1.0 1.5 2.0 0 0 0 0 0 8 0 0.5 1.0 1.5 2.0 0 0 0 0 0

Hal ini disebabkan kombinasi zat pengatur tumbuh yang diberikan tidak mendukung menjadikan pembelahan dan pengembangan sel sehingga tidak mengakibatkan terbentuknya emb rio diatas permukaan eksplan, kemudian bentuk dan struktur kalus juga mempengaruhi. Kombinasi thidiazuron + giberellin mengakibatkan munculnya kalus yang berwarna putih dan berstruktur remah, sehingga menghambat pembentukan kalus atau embrio , perbedaan yang nyata antara kombinasi thidiazuron + 2, 4–D dan thidiazuron + giberellin perkembangan kalusnya sangat lambat sehingga ukurannya lebih kecil bila dibandingkan dengan kombinasi thidiazuron + 2, 4–D, sedangkan penggunaan giberellin hanya membentuk kalus dengan struktur yang remah dan makin lama kalus menjadi

coklat. Untung Santoso (2002) dalam Kultur Jaringan Tanaman menyatakan

pemberian giberellin yang dibarengi dengan sitokinin dalam konsentrasi yang sama akan mendorong morpogenesis yang normal tetapi kadang malah menghambat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa kombinasi thidiazuron + giberellin tidak terjadi pembentukan embrio somatik, tetapi hanya pembentukan kalus sehingga pembentukan embrio somatik menjadi terhambat.

Untuk perlakuan thidiazuron dan giberellin persentase pembentukan kalus terbesar dihasilkan oleh perlakuan 0 ppm thidiazuron + 1 ppm giberellin, 0 ppm thidiazuron + 1.5 ppm giberellin, 2 ppm thidiazuron + 0 ppm giberellin, 2 ppm thidiazuron + 0.5 ppm giberellin, 2 ppm thidiazuron + 1 ppm giberellin, 2 ppm thidiazuron + 1.5 ppm giberellin, 4 ppm thidiazuron + 0 ppm giberellin, 4 ppm thidiazuron + 2.0 ppm giberellin, 4 ppm thidiazuron + 0 ppm giberellin, 4 ppm thidiazuron + 2.0 ppm giberellin, 6 ppm thidiazuron + 0,5 ppm giberellin, 6 ppm thidiazuron + 1 ppm giberellin, 6 ppm thidiazuron + 1,5 ppm giberellin, 6 ppm thidiazuron + 2 ppm giberellin, 8 ppm thidiazuron + 0 ppm giberellin, 8 ppm

thidiazuron + 0.5 ppm giberellin, 8 ppm thidiazuron + 1 ppm giberellin, 8 ppm thidiazuron + 1.,5 ppm giberellin, dan 8 ppm thidiazuron + 2.0 ppm giberellin yaitu 100% pembentukan kalus..

Pengaruh Thidiatzuron + Gibberelin Terhadap Persentase Pembentukan kalus

0 20 40 60 80 100 120 G0 G1 G2 G3 G4 G0 G1 G2 G3 G4 G0 G1 G2 G3 G4 G0 G1 G2 G3 G4 G0 G1 G2 G3 G4 T0 T1 T2 T3 T4

Gambar 7 Pengaruh thidiazuron + giberelin terhadap persentase pembentukan kalus

Dokumen terkait