IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.6. Hasil Estimasi VECM
Data yang tidak stasioner namun menunjukkan adanya kointegrasi, menjadikan metode yang digunakan selanjutnya adalah VECM. Hasil estimasi VECM akan menunjukkan hubungan persamaan jangka panjang dan jangka pendek antara volume ekspor CPO, produksi CPO, harga internasional CPO,
harga internasional minyak bumi, nilai tukar dan suku bunga riil. Dalam estimasi VECM ini variabel dependen adalah volume ekspor.
Tabel 4.5 Hasil Estimasi VECM Jangka Pendek
Variabel Koefisien T-statsitic
D(LN_VXCPO(-1)) 0.937471 1.46136 D(LN_VXCPO(-2)) 0.569614 0.91573 D(LN_VXCPO(-3)) 0.100172 0.24558 D(LN_VXCPO(-4)) 0.107520 0.52966 D(LN_QCPO(-1)) -0.842858 -2.53850 * D(LN_QCPO(-2)) -0.470134 -1.39613 D(LN_QCPO(-3)) -0.464437 -1.68188 D(LN_QCPO(-4)) -0.126519 -0.59462 D(LN_PCPOR(-1)) -1.516837 -2.99697 * D(LN_PCPOR(-2)) 0.217388 0.31382 D(LN_PCPOR(-3)) -0.889416 -1.72611 D(LN_PCPOR(-4)) -0.267985 -0.52422 D(LN_PCO(-1)) 1.078892 3.69797 * D(LN_PCO (-2)) -0.292482 -0.53838 D(LN_PCO (-3)) 0.346519 0.90094 D(LN_PCO (-4)) -0.326884 -1.04865 D(LN_ERR(-1)) -0.153793 -0.21575 D(LN_ERR(-2)) 0.757855 0.90070 D(LN_ERR(-3)) -0.366107 -0.38161 D(LN_ERR(-4)) -1.259675 -1.51087 D(IRR(-1) 0.013986 2.75470 * D(IRR(-2) 0.000936 0.19056 D(IRR(-3) 0.006577 1.68484 D(IRR(-4) 0.000967 0.29306 CointEq1 -1.748597 -2.09619 Sumber: Lampiran 7.
Keterangan: (*) signifikan pada taraf nyata 5%
Persamaan jangka pendek pada analisis ekspor CPO menunjukkan bahwa hanya terdapat empat variabel yang berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor CPO yaitu, produksi CPO (QCPO) lag pertama, harga internasional CPO
(PCPOR) lag pertama, harga minyak bumi (PCO) lag pertama dan suku bunga riil (IRR) lag pertama. Variabel lain tidak memengaruhi volume ekspor CPO dalam jangka pendek. Selain itu terbukti adanya mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjang yang ditunjukkan dengan kointegrasi kesalahan yang signifikan dan bernilai negatif sebesar -1,74 persen.
Produksi CPO lag pertama berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor CPO pada taraf 5 persen secara negatif sebesar - 0,842858, artinya jika produksi CPO lag pertama mengalami peningkatan sebesar satu persen maka volume ekspor CPO saat ini akan mengalami penurunan sebesar 0,842858 persen. Produksi yang meningkat dapat membuat ekspor CPO turun, salah satunya disebabkan oleh kebijakan fiskal yang diterapkan pemerintah berupa pungutan ekspor atau bea keluar. Di Indonesia konsumsi CPO sebagian besar digunakan untuk industri minyak goreng yang merupakan salah satu bahan pokok. Dalam rangka menjaga pasokan dalam negeri dan stabilisasi harga minyak goreng dalam negeri, pemerintah berupaya menekan ekspor CPO dengan penerapan pungutan ekspor atau bea keluar.
Bea keluar atau pungutan ekspor untuk CPO dan produk turunannya bersifat progresif berdasar harga internasional CPO, artinya apabila harga internasional CPO meningkat terus maka pungutan ekspor yang diterapkan pun semakin tinggi. Adanya pungutan ekspor membuat biaya untuk mengekspor CPO akan semakin mahal dan tidak menguntungkan produsen sehingga produsen lebih memilih untuk mengurangi ekspor CPO. Dengan demikian adanya pungutan
ekspor akan menghambat ekspor CPO bahkan membuat volume ekspor CPO berkurang dalam jangka pendek walaupun produksi CPO meningkat.
Harga internasional CPO lag pertama berpengaruh signifikan terhadap volume ekspor CPO pada taraf 5 persen secara negatif sebesar -1.516837, artinya jika harga internasional CPO pada lag pertama mengalami peningkatan sebesar satu persen maka volume ekspor CPO saat ini akan mengalami penurunan sebesar 1.516837 persen. Kebijakan fiskal pemerintah (pungutan ekspor) untuk CPO bersifat progresif berdasarkan harga internasional, artinya apabila terjadi kenaikan harga internasional maka pungutan ekspor akan semakin besar. Kebijakan yang bertujuan untuk menghambat ekspor tersebut dapat membuat harga CPO Indonesia menjadi semakin mahal atau kurang berdayasaing. Konsumen dapat mengalihkan ekspornya kepada produsen yang menawarkan harga lebih murah sehingga ekspor CPO Indonesia menjadi menurun.
Variabel selanjutnya yang berpengaruh signifikan pada taraf 5 persen dan positif pada jangka pendek terhadap ekspor CPO adalah harga minyak bumi lag pertama sebesar 1,078892. Hal tersebut berarti, jika harga minyak bumi lag pertama mengalami peningkatan sebesar satu persen maka volume ekspor CPO saat ini akan mengalami peningkatan sebesar 1,078892 persen.
Saat ini kebutuhan energi negara-negara di dunia semakin meningkat. Minyak bumi adalah sumber energi utama dunia namun harga minyak bumi yang semakin melonjak dan pasokannya yang terbatas membuat masyarakat dunia mulai mencari sumber energi alternatif untuk mencukupi kebutuhannya. Hal tersebut kemudian mendorong dipergunakannya komoditi-komoditi pertanian
yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif, salah satunya adalah CPO yang merupakan bahan baku biodiesel. Oleh sebab itu adanya hubungan substitusi antara CPO dengan minyak bumi membuat kenaikan harga minyak bumi meningkatkan permintaan CPO dunia sehingga volume ekspor CPO Indonesia juga akan meningkat.
Variabel suku bunga lag pertama berpengaruh signifikan pada taraf 5 persen dan positif sebesar 0,0013986. Artinya jika suku bunga lag pertama meningkat sebesar satu persen maka volume ekspor CPO saat ini akan mengalami peningkatan sebesar 0,0013986 persen. Saat ini usaha industri atau perkebunan sawit dinilai sangat prospektif, harga CPO pun cenderung terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan dunia. Oleh sebab itu peningkatan suku bunga pada jangka pendek tidak akan terlalu berpengaruh terhadap pergerakan ekspor CPO. Hal tersebut karena return dari investasi CPO masih lebih tinggi daripada biaya bunga sehingga menjadi insentif bagi pengusaha untuk tetap berinvestasi di usaha CPO. Dengan demikian, walaupun suku bunga meningkat pada jangka pendek, ekspor CPO tetap meningkat.
Tabel 4.7. Hasil Estimasi VECM Jangka Panjang
Variabel Koefisien T-statistik
LN_VXCPO(-1) 1.000000 - LN_QCPO(-1) 0,505216 21,2451 * LN_PCPOR(-1) 0,188527 14,8592 * LN_PCO(-1) -0,211544 -14.3015 * LN_ERR(-1) -0,478968 -16.4091 * IRR(-1) -0,021275 -15.9556 * Sumber: Lampiran 7. Keterangan: (*) signifikan 5%
Pada jangka panjang dapat dilihat bahwa semua variabel yaitu produksi CPO domestik (QCPO), harga internasional CPO (PCPOR), harga internasional minyak bumi (PCO), nilai tukar (ERR) dan suku bunga (IRR) signifikan memengaruhi volume ekspor CPO (VXCPO).
Variabel produksi CPO Indonesia (QCPO) berpengaruh signifikan dan positif terhadap volume ekspor CPO sebesar 0,505216, artinya apabila terjadi kenaikan sebesar satu persen pada produksi CPO maka dalam jangka panjang akan meningkatkan volume ekspor CPO sebesar 0,505216 persen. Produksi CPO Indonesia tidak semuanya digunakan untuk konsumsi domestik melainkan sebagian besar diekspor ke negara lain. Jumlah produksi CPO Indonesia yang memiliki trend meningkat membuat penawaran ekspor juga akan meningkat. Tabel 4.8 Produksi dan Ekspor CPO Indonesia Tahun 2005-2009
Tahun Produksi CPO (ton) Ekspor CPO (ton)
2005 10.830.389 4.564.788 2006 11.861.615 5.199.287 2007 17.350.848 5.701.286 2008 17.539.788 7.904.179 2009 17.539.788 11.119.997 Sumber : BPS Pusat, 2011.
Pada tabel diatas dapat dilihat produksi CPO Indonesia selama lima tahun terus meningkat tiap tahunnya. Peningkatan tersebut diikuti pula oleh peningkatan volume ekspor CPO. Sehingga terbukti jika produksi CPO Indonesia meningkat maka ekspor CPO cenderung meningkat pula.
Variabel harga internasional CPO juga memiliki pengaruh yang signifikan secara positif dalam jangka panjang terhadap ekspor CPO sebesar 0,188527. Artinya apabila terjadi kenaikan sebesar satu persen pada harga internasional CPO
akan berakibat pada peningkatan volume ekspor CPO sebesar 0,188527 persen. Kenaikan harga internasional CPO dalam jangka panjang akan membuat produsen semakin gencar memproduksi CPO untuk kemudian di ekspor. Dengan harga CPO yang meningkat, pendapatan produsen akan meningkat pula sehingga akan lebih menguntungkan mengekspor CPO daripada menyalurkan untuk produksi dalam negeri.
Variabel harga minyak bumi pada jangka panjang, secara signifikan berpengaruh negatif terhadap volume ekspor CPO sebesar - 0,211544. Artinya apabila terjadi kenaikan sebesar satu persen pada harga minyak bumi maka akan menurunkan volume ekspor CPO sebesar 0,211544 persen. Hal tersebut tidak sesuai dengan hipotesis dimana seharusnya ekspor CPO dengan harga minyak bumi memiliki hubungan yang positif karena CPO dan minyak bumi (BBM) memiliki hubungan substitusi. Namun hubungan negatif tersebut dapat dijelaskan bila BBM dipandang sebagai salah satu input yang digunakan dalam produksi komoditi pertanian, termasuk CPO. Kenaikan BBM dapat berdampak pada kenaikan biaya produksi suatu komoditi, terutama biaya transportasi.
Kenaikan BBM mempunyai dampak negatif yang cukup signifikan terhadap industri perkebunan utama Indonesia, seperti kelapa sawit, karet, teh, kopi, kakao, dan gula. Walaupun beberapa proses pengolahan (gula dan CPO) secara maksimal menggunakan produk sampingannya sebagai bahan bakar atau sumber energi, solar masih tetap diperlukan sebagai sumber energi. Proporsi biaya BBM untuk produk CPO memiliki porsi sebesar 7,2% dari total biaya produksi. Selain itu kenaikan harga BBM juga dapat memicu inflasi yang mendorong
kenaikan harga input lain non BBM seperti tenaga kerja, bibit, pupuk dan sarana produksi lainnya.5 Oleh karena itu, secara keseluruhan kenaikan harga BBM dapat meningkatkan biaya produksi komoditi pertanian seperti CPO.
Biaya produksi yang meningkat akibat kenaikan harga BBM dapat menghambat produksi CPO. Peningkatan biaya tersebut dapat mengurangi pendapatan produsen sehingga produsen memilih untuk mengurangi produksinya. Produksi yang terhambat tentunya dapat memengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia. Dengan demikian, dalam jangka panjang apabila harga minyak bumi meningkat dapat menurunkan volume ekspor CPO Indonesia.
Variabel nilai tukar riil dalam jangka panjang berpengaruh signifikan secara negatif terhadap volume ekspor CPO sebesar - 0,478968. Artinya apabila terjadi kenaikan sebesar satu persen pada nilai tukar riil maka akan menurunkan volume ekspor CPO sebesar 0,478968 persen. Menurut Mankiw (2000), nilai tukar riil merupakan harga relatif barang dan jasa negara satu terhadap negara lainnya. Apabila mata uang dalam negeri (rupiah) mengalami peningkatan (depresiasi) berarti terjadi pelemahan nilai tukar relatif terhadap mata uang negara lain. Nilai tukar memiliki hubungan yang searah dengan ekspor. Nilai tukar rupiah yang mengalami depresiasi dapat mendorong ekspor karena harga komoditi dari Indonesia menjadi lebih murah bagi negara pengimpor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai tukar riil rupiah terhadap dollar Amerika Serikat dengan ekspor CPO Indonesia memiliki hubungan yang negatif sehingga tidak sesuai dengan hipotesis penelitian. Hubungan negatif tersebut bisa
5 Susila, W.R. “Harga BBε εelambung: Subsektor Perkebunan Buntung atau Untung”.
terjadi karena tingkat harga di Indonesia yang cenderung lebih mahal dibandingkan tingkat harga di Amerika Serikat, dengan asumsi nilai tukar nominal tetap. Oleh sebab itu pada penelitian ini nilai tukar rupiah yang mengalami depresiasi dapat menyebabkan volume ekspor CPO Indonesia turun.
Variabel suku bunga riil pada jangka panjang berpengaruh signifikan dan negatif terhadap volume ekspor CPO Indonesia sebesar - 0,021275 persen. Artinya apabila terjadi kenaikan sebesar satu persen pada suku bunga maka akan menurunkan volume ekspor CPO sebesar 0,021275 persen. Suku bunga yang tinggi dapat membuat ekspor suatu komoditi seperti CPO menjadi kurang kompetitif. Suku bunga yang tinggi akan membebankan produsen karena modal yang dipinjam untuk usaha mereka harus dikembalikan dengan jumlah yang lebih tinggi seiring dengan peningkatan suku bunga. Hal tersebut akan berdampak pada biaya produksi yang meningkat. Biaya produksi yang meningkat dapat menurunkan produksi produsen sehingga berdampak pada penurunan penawaran ekspor. Kesimpulannya, apabila suku bunga meningkat dalam jangka panjang maka produksi CPO akan menurun kemudian berdampak pada penurunan volume ekspor.