• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis hubungan kausalitas ekspor CPO dengan nilai tukar dan harga minyak bumi (periode 2000-2010)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis hubungan kausalitas ekspor CPO dengan nilai tukar dan harga minyak bumi (periode 2000-2010)"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI TUKAR DAN HARGA MINYAK BUMI

(PERIODE 2000-2010)

OLEH

EMBANG MARYANA H14070048

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

EMBANG MARYANA. Analisis Hubungan Kausalitas Ekspor CPO dengan Nilai Tukar dan Harga Minyak Bumi (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM).

Batasan perekonomian dunia saat ini semakin menipis, dimana suatu negara memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan negara lainnya. Salah satunya dalam hal perdagangan internasional. Indonesia, sebagai negara berkembang yang menganut perekonomian terbuka, juga aktif dalam perdagangan internasional khususnya kegiatan ekspor. Pada era 1970-an ekspor Indonesia sangat mengandalkan sektor migas. Namun sejak tahun 1987, pemerintah mulai beralih kepada ekspor sektor non migas. Selama beberapa tahun terakhir, Sektor non migas telah menjadi sektor andalan yang memberikan kontribusi yang besar dalam penerimaan devisa negara.CPO merupakan salah satu komoditi ekspor unggulan non migas.

Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia mengungguli Malaysia yang sebelumnya merupakan produsen CPO terbesar. Produksi CPO Indonesia dalam sebelas tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Peningkatan produksi tidak menjamin bahwa ekspor CPO Indonesia akan terus stabil bahkan meningkat. Faktanya adalah ekspor CPO Indonesia cenderung berfluktuasi. Nilai tukar dan harga minyak bumi dapat memengaruhi pergerakan ekspor CPO. Sebagai komoditi ekspor unggulan, ekspor CPO dinilai dapat juga memengaruhi nilai tukar dan harga minyak bumi. Selain itu variabel lain seperti, produksi CPO, harga internasional CPO, suku bunga dapat memengaruhi pergerakan ekspor CPO.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan kausalitas antara volume ekspor CPO Indonesia dengan nilai tukar dan harga internasional minyak bumi. Selain itu penelitian ini juga akan mengidentifikasi sejauh mana perubahan variabel nilai tukar, harga internasional minyak bumi, harga internasional CPO, suku bunga dan produksi memengaruhi variabel ekspor CPO.

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode VAR-VECM. Hubungan kausalitas antara ekspor CPO dengan nilai tukar dan harga minyak bumi dianalisis dengan uji kausalitas Granger dan VAR-VECM. Sementara itu identifikasi perubahan variabel nilai tukar, harga internasional minyak bumi, harga internasional CPO, suku bunga dan produksi terhadap perubahan ekspor CPO dianalisis dengan analisis Variance Decomposition. Data yang digunakan adalah data sekunder dengan periode waktu dari kuartal I Tahun 2000 sampai dengan kuartal IV Tahun 2010.

(3)

dan suku bunga berpengaruh positif terhadap volume ekspor CPO. Pada jangka panjang, nilai tukar, suku bunga dan harga internasional minyak bumi berpengaruh negatif terhadap volume ekspor CPO sedangkan harga internasional CPO dan produksi berpengaruh positif terhadap volume ekspor CPO. Berdasarkan analisis Variance Decomposition, variabel volume ekspor CPO sangat dipengaruhi oleh perubahan variabel nilai tukar, produksi CPO dan harga internasional minyak bumi. Perubahan variabel harga internasional CPO dan suku bunga pengaruhnya relatif kecil terhadap variabel volume ekspor CPO.

Berdasarkan hasil penelitian, Bank Indonesia perlu membuat kebijakan makroekonomi yang lebih kondusif untuk peningkatan ekspor CPO seperti penetapan suku bunga yang rendah dan pelembahan nilai tukar. Selain itu, Indonesia merupakan produsen CPO terbesar di dunia namun saat ini Indonesia masih mengikuti patokan harga pasar internasional dalam pembuatan kebijakan mengenai CPO. Pemerintah, khususnya Kementrian Perdagangan RI dan seluruh stakeholder harus mengupayakan agar Indonesia dapat menjadi salah satu patokan harga pasar internasional dengan memindahkan transaksi perdagangan future market CPO dari bursa berjangka di Malaysia ke bursa berjangka di Indonesia. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk menambahkan variabel lain yang lebih relevan terkait dengan ekspor CPO seperti, pajak ekspor dan menggunakan data harga internasional CPO CIF Rotterdam yang sudah diakui sebagai rujukan harga internasional CPO.

(4)

ANALISIS HUBUNGAN KAUSALITAS EKSPOR CPO

DENGAN NILAI TUKAR DAN HARGA MINYAK BUMI

(PERIODE 2000-2010)

Oleh

EMBANG MARYANA H14070048

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Analisis Hubungan Kausalitas Ekspor CPO dengan Nilai Tukar dan Harga Minyak Bumi

Nama : Embang Maryana

NIM : H14070048

Menyetujui, Dosen Pembimbing.

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec. NIP. 19641022 198903 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi.

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M. Ec. NIP. 19641022 198903 1 003

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, Juli 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Embang Maryana lahir pada tanggal 30 September 1989 di Sukabumi. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Tatang Basuni dan Nenah Hasanah. Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar di SDN Cilendek 3 Bogor, kemudian melanjutkan ke SMPN 6 Bogor dan lulus pada tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMAN 2 Bogor dan lulus pada tahun 2007.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan sripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Hubungan Kausalitas Ekspor CPO dengan Nilai Tukar dan Harga Minyak Bumi”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertaninan Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan baik secara teknis, teoritis maupun moril dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr, selaku dosen penguji utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Muhammad Findi, A., M.E, selaku komisi pendidikan yang memberikan banyak informasi mengenai tata cara penulisan skripsi yang baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis, yaitu Bapak Tatang Basuni dan Ibu Nenah Hasanah serta saudara-saudara penulis. yang telah memberikan perhatian serta dukungan moral maupun materil. Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2011

Embang Maryana

(9)

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 6

1.3.Tujuan Penelitian ... 11

1.4.Manfaat Penelitian ... 11

1.5.Ruang Lingkup ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 13

2.1.Gambaran Umum ... 13

2.1.1. Profil Kelapa Sawit ... 13

2.1.2. Kebijakan Pemerintah dalam Perdagangan Komoditi CPO... 15

2.1.3. Perdagangan CPO Indonesia ... 17

2.2.Teori Perdagangan Internasional ... 20

2.3.Teori Penawaran Ekspor ... 24

2.4.Teori Nilai Tukar ... 26

2.4.1. Hubungan Nilai Tukar dengan Ekspor ... 29

2.5.Teori Suku Bunga ... 32

2.6.Teori Vector Auto Regression (VAR) ... 35

2.7.Penelitian Terdahulu ... 36

2.7.1. Penelitian Mengenai CPO ... 36

2.7.2. Penelitian Mengenai Nilai Tukar dan Harga Minyak Bumi ... 38

2.8.Kerangka Pemikiran ... 39

2.9.Hipotesis Penelitian ... 41

(10)

3.1. Jenis dan Sumber Data ... 41

3.2.Metode Analisis dan Pengolahan Data ... 41

3.2.1. Uji stasioneritas ... 43

3.2.2. Uji Lag Optimal ... 45

3.2.3. Uji Stabilitas ... 45

3.2.4. Uji Kointegrasi ... 46

3.2.5. Metode Analisis VAR ... 46

3.2.6. Metode Kausalitas Granger ... 47

3.2.7. Metode Analisis VECM ... 47

3.2.8. Impulse Response Function (IRF) ... 48

3.2.9. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) ... 49

3.3.Model Penelitian ... 49

3.4.Definisi Operasional Variabel ... 50

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

4.1.Uji Stasioneritas ... 52

4.2.Penentuan Lag Optimum ... 53

4.3.Uji Stabilitas ... 54

4.4.Uji Kointegrasi ... 54

4.5.Uji Kausalitas Granger ... 55

4.6.Hasil Estimasi VECM ... 58

4.7.Analisis Impulse Response Function ... 66

4.8.Analisis Forecasting Error Variance Decomposition ... 70

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

5.1.Kesimpulan ... 74

5.2.Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(11)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1.1. Nilai Ekspor Migas dan Nonmigas di Indonesia Tahun 2005-

2009 ... 2

1.2. Nilai Ekspor Komoditi Unggulan Subsektor Perkebunan Tahun 2005-2009 ... 3

2.1. Luas Areal Kelapa Sawit Tahun 2006-2010 ... 13

2.2. Produksi Kelapa Sawit Tahun 2006-2010 ... 12

2.3. Volume dan Nilai Impor Minyak Sawit Tahun 2002-2007 ... 20

4.1. Hasil Uji Akar Unit ... 52

4.2. Hasil Pengujian Lag Optimal (AIC) ... 54

4.3. Hasil Uji Kointegrasi ... 55

4.4. Uji Kausalitas Granger ... 56

4.5. Hasil Estimasi VECM Jangka Pendek ... 59

4.7. Hasil Estimasi VECM Jangka Panjang ... 62

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1.1. Pangsa Ekspor Negara Produsen CPO Tahun 2000 dan 2009 ... 4 1.2. Perkembangan Produksi CPO Indonesia Tahun 2000-2010 ... 6 1.3. Persentase Pertumbuhan Nilai Tukar Rupiah dan Volume

Ekspor CPO Tahun 2006-2010 ... 7 1.4. Perkembangan Harga Internasional CPO CIF North West

Europe ... 8 1.5. Pergerakan Harga Internasional Crude Oil dan Volume

Ekspor CPO Tahun 2004-2010 (Indeks) ... 10 2.1. Nilai Ekspor CPO Indonesia Tahun 2007-2009 ke Empat

Negara (US$) ... 18 2.2. Harga Komoditi Relatif Keseimbangan setelah Perdagangan

Ditinjau dari Analisis Keseimbangan Parsial ... 22 2.3. Efek Apresiasi Nilai Tukar di Negara A... 30 2.4. Hubungan antara Investasi dan Suku Bunga ... 33 2.5. Dampak Penurunan Suku Bunga dalam Perdagangan

Internasional ... 34 2.6. Alur Kerangka Pemikiran ... 40 4.1. Hubungan Antar Variabel Berdasarkan Uji Kausalitas Granger ... 57 4.2. Respon VXCPO terhadap Guncangan PCPOR, PCO, ERR,

dan IRR ... 69 4.3. Variance Decomposition Volume Ekspor CPO (VXCPO) ... 70 4.4. Variance Decomposition Nilai Tukar Riil (ERR) ... 72 4.5. Variance Decomposition Harga Internasional Minyak Bumi

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Uji stasioneritas Pada Level ... 80

2. Uji Stasioneritas Pada First Difference ... 82

3. Uji Kausalitas Granger ... 84

4. Uji Stabilitas ... 85

5. Uji Optimum Lag ... 86

6. Uji Kointegrasi... 86

7. Hasil Estimasi VECM ... 87

8. Hasil Impulse Response Function ... 92

(14)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perekonomian dunia saat ini batasannya semakin menipis, dimana antar negara memiliki keterkaitan dan ketergantungan yang erat satu sama lain. Salah satu bentuk keterkaitan dan ketergantungan tersebut yaitu dalam hal perdagangan internasional. Saat ini arus perdagangan barang dan jasa melalui kegiatan ekspor dan impor antar negara-negara di berbagai belahan dunia semakin meningkat. Menurut Todaro dan Smith (2006), terselenggaranya perdagangan internasional berdasar pada kenyataan bahwa setiap negara memiliki persediaan sumber daya, pilihan-pilihan dan teknologi, skala ekonomi, institusi-institusi sosial dan ekonomi, serta kapasitas pertumbuhan dan pembangunan yang sangat berbeda satu sama lain.

(15)

Tabel 1.1. Nilai Ekspor Migas dan Nonmigas di Indonesia Tahun 2005-2009

Sektor Nilai Ekspor (Juta US$)

2005 2006 2007 2008 2009

Migas 19.231,6 21.209,5 22.088,6 29.126,3 19.018,3 Nonmigas 66.428,4 79.589,1 92.012,3 107.894,2 97.491,7 TOTAL 85.660,0 100.798,6 114.100,9 137.020,5 116.510 Sumber: BPS Pusat, 2010.

Ekspor total pada tahun 2005-2008 cenderung mengalami peningkatan (Tabel 1.1), begitu pula dengan ekspor nonmigas. Namun pada tahun 2009 terjadi penurunan baik dari ekspor nonmigas maupun ekspor total. Ekspor nonmigas tahun 2009 mengalami penurunan hingga 9,64 persen dibanding tahun 2008. Ekspor total pada tahun 2008 naik sebesar 20,09 persen dibandingkan tahun 2007 namun pada tahun 2009 turun sebesar 14,97 persen. Hal tersebut disebabkan oleh krisis finansial global dimana terjadi penurunan laju perekonomian di hampir semua negara. Penurunan laju perekonomian tersebut membuat negara-negara tujuan ekspor Indonesia mengurangi permintaannya dan berkonsentrasi pada perekonomian domestiknya (BPS Pusat, 2010).

(16)

sawit lebih besar diantara nilai ekspor komoditi - komoditi unggulan subsektor perkebunan lainnya.

Tabel 1.2. Nilai Ekspor Komoditi Unggulan Subsektor Perkebunan Tahun 2005-2009

Komoditi Nilai Ekspor (Ribu US$)

2005 2006 2007 2008 2009

Kelapa Sawit 4.344.303 4.139.286 8.866.445 14.110.229 11.605.431 Karet 2.582.875 4.321.525 4.868.700 6.023.296 3.241.534 Kakao 664.338 852.778 924.157 1.268.914 1.413.535 Kopi 503.836 586.877 636.319 991.458 824.015 Sumber: Ditjend Perkebunan Kementrian Pertanian RI, 2010.

Kelapa sawit menghasilkan dua produk primer yang dapat diekspor yaitu, minyak sawit mentah (CPO) dan minyak inti kelapa sawit (PKO). Produk CPO Indonesia lebih banyak diekspor dibandingkan produk PKO. Dari tahun ke tahun produksi CPO mengalami perkembangan yang signifikan seiring dengan peningkatan luas areal dan produksi kelapa sawit. Saat ini Indonesia merupakan negara produsen CPO terbesar di dunia mengungguli Malaysia yang sebelum tahun 2006 adalah produsen CPO terbesar dunia.

(17)

Sumber: BPS Pusat, 2010 (diolah).

Gambar 1.1. Pangsa Ekspor Negara Produsen CPO Tahun 2000 dan 2009 Industri kelapa sawit memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian Indonesia melalui ekspor, pengurangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja baru. Produk kelapa sawit yaitu minyak sawit, juga merupakan sumber bahan baku industri utama di Indonesia, industri pangan (minyak goreng) maupun untuk kebutuhan industri non-pangan (kosmetik dan farmasi). Selain itu sebagai komoditi ekspor nonmigas unggulan, negara memperoleh penerimaan dari pungutan ekspor dan dalam bentuk devisa.

Minyak sawit mentah (CPO) dapat juga digunakan menjadi bahan bakar nabati (biofuel) sehingga peran minyak sawit semakin penting seiring dengan semakin langka dan mahalnya bahan bakar dari fosil (minyak bumi). Pada tahun 2007 harga minyak bumi di pasar internasional sebesar 69,08 dollar per barel kemudian pada tahun 2008 harga meningkat sebesar 94,25 dollar per barel. Walaupun pada tahun 2009 harga sempat menurun sebesar 61,06 dollar per barel tetapi pada tahun 2010 harga kembali meningkat sebesar 77,45 dollar per barel. Selain lebih ramah lingkungan sumber bahan bakar nabati yang berasal dari komoditi pertanian juga dapat diperoleh dengan mudah dengan harga yang lebih

(18)

murah seperti CPO, jarak pagar, kedelai, kelapa dan lainnya. Oleh sebab itu pergerakan ekspornya CPO tidak terlepas dari pergerakan harga minyak bumi.

Salah satu variabel makroekonomi yang memengaruhi kegiatan ekspor, adalah nilai tukar mata uang. Kegiatan ekspor berkaitan erat dengan nilai tukar karena harga barang-barang ekspor di pasar internasional dihitung dengan menggunakan satuan mata uang asing. Saat nilai tukar suatu negara mengalami depresiasi terhadap mata uang negara lain, harga barang ekspor akan dianggap lebih murah bagi konsumen di negara lain sehingga mendorong peningkatan ekspor. Pada saat apresiasi, harga barang ekspor di negara lain dianggap lebih mahal sehingga permintaan ekspor turun. Dengan demikian ekspor CPO sangat dipengaruhi oleh pergerakan nilai tukar rupiah.

(19)

1.2. Perumusan Masalah

Indonesia adalah produsen CPO terbesar di dunia mengungguli Malaysia yang sebelumnya merupakan produsen CPO terbesar. Indonesia lebih unggul dari Malaysia karena Indonesia memiliki lahan yang lebih luas sehingga perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Pada Gambar 1.2 dapat dilihat bahwa produksi CPO Indonesia dalam sebelas tahun terakhir mengalami peningkatan yang signifikan. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit yang terus dilakukan dan peningkatan permintaan CPO dunia, menjadi pendorong peningkatan produksi.

Sumber: BPS Pusat, beragam tahun (diolah).

Gambar 1.2. Perkembangan Produksi CPO Indonesia Tahun 2000-2010 Peningkatan produksi tidak menjamin bahwa ekspor CPO Indonesia akan terus stabil bahkan meningkat. Faktanya adalah seperti yang dialami oleh komoditi ekspor pertanian lain, ekspor CPO Indonesia cenderung berfluktuasi. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.3, dimana pertumbuhan volume ekspor CPO mengalami fluktuasi selama lima tahun terakhir, dari tahun 2006 hingga tahun 2010.

0 5.000.000 10.000.000 15.000.000 20.000.000 25.000.000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi (ton)

(20)

Sumber: Kementrian Pertanian RI dan IFS, 2011 (diolah).

Gambar 1.3. Persentase Pertumbuhan Nilai Tukar Rupiah dan Volume Ekspor CPO Tahun 2006-2010

Pergerakan volume ekspor CPO Indonesia juga dipengaruhi oleh variabel-variabel makroekonomi, seperti suku bunga dan nilai tukar. Suku bunga dapat memengaruhi ekspor CPO melalui perubahan kegiatan investasi dan produksi. Apabila suku bunga tinggi maka sumber modal semakin mahal sehingga menghambat proses investasi. Selanjutnya, proses produksi yang terhambat akan memengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia.

(21)

perekonomian Indonesia pulih dari krisis, nilai tukar rupiah mengalami apresiasi dan stabil sebesar Rp 9.000 per dollar Amerika. Hal tersebut berdampak pada penurunan ekspor CPO Indonesia.

Fluktuasi nilai tukar dipengaruhi oleh perdagangan internasional. Menurut Lipsey, et al (1997) kegiatan ekspor suatu negara dapat memengaruhi fluktuasi nilai tukar melalui permintaan dan penawaran mata uang negara tersebut. Namun tidak semua ekspor komoditi dapat memengaruhi pergerakan nilai tukar. CPO merupakan salah satu komoditi unggulan ekspor nonmigas Indonesia. Nilai ekspor CPO Indonesia berkontribusi terhadap ekspor nonmigas sebesar 11, 5 persen pada tahun 2008 dan 10,6 persen pada tahun 2009.1 Dengan kontribusi yang cukup besar dibandingkan dengan komoditi lain, ekspor CPO dinilai dapat memengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah. Peningkatan ekspor CPO akan meningkatkan permintaan rupiah dari negara pengimpor sehingga rupiah dapat mengalami apresiasi dan begitu pula sebaliknya.

Sumber : UNCTAD, 2011 (diolah).

Gambar 1.4. Perkembangan Harga Internasional CPO CIF North West Europe

1

Agustira, M. A dan A. Jatmika. “εembentuk Harga Referensi CPO Dunia”. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol. 32 No. 6, h. 16-18.

0

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(22)

Dalam sepuluh tahun terakhir harga CPO di pasar internasional semakin meningkat (Gambar 1.4). Pada periode tahun 2006-2008 harga CPO bahkan melonjak dua kali lipat. Peningkatan harga tersebut didorong oleh semakin meningkatnya permintaan CPO di pasar internasional akibat kenaikan konsumsi yang terjadi di beberapa negara. Menurut Abidin (2008), di Eropa Barat terjadi kenaikan konsumsi minyak sawit sebesar 9,6 persen dalam lima tahun terakhir, di Korea dan Jepang laju konsumsinya meningkat sekitar 5,9 persen dan 8,9 persen per tahun selama lima tahun. Peranan minyak sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia diperkirakan akan terus meningkat, dimana pertumbuhannya mencapai 5,4 persen per tahun melampaui perkembangan volume perdagangan minyak nabati jenis lainnya.

(23)

Sumber : OPEC dan Kementrian Pertanian RI, 2011 (diolah).

Gambar 1.5. Pergerakan Harga Internasional Crude Oil dan Volume Ekspor CPO Tahun 2004-2010 (Indeks)

Gambar 1.5, menunjukkan pergerakan harga minyak bumi dan volume ekspor CPO yang dirubah dalam bentuk indeks. Harga internasional minyak bumi selama enam tahun terakhir cenderung meningkat tiap tahunnya kecuali pada tahun 2009 dimana terjadi penurunan harga. Harga minyak bumi yang cenderung semakin mahal diantaranya disebabkan oleh, pembatasan produksi oleh negara-negara produsen, konsumsi energi yang semakin meningkat dan cenderung tidak kondusifnya kondisi politik negara produsen minyak beberapa tahun terakhir. Selain itu dapat dilihat juga bahwa pergerakan volume ekspor CPO dari tahun 2004-2010 cenderung bergerak seiring dengan harga minyak bumi, kecuali pada tahun 2008-2010.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi ekspor CPO sehingga dalam penelitian ini rumusan masalah yang akan diteliti dan dianalisis lebih lanjut, antara lain :

(24)

1. Bagaimana hubungan kausalitas antara volume ekspor CPO Indonesia dengan nilai tukar dan harga internasional minyak bumi ?

2. Sejauh mana perubahan variabel nilai tukar, harga internasional minyak bumi, harga internasional CPO, suku bunga, dan produksi memengaruhi variabel ekspor CPO ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan diatas, tujuan dalam penelitian ini adalah : 1. Menganalisis hubungan kausalitas antara volume ekspor CPO Indonesia

dengan nilai tukar dan harga internasional minyak bumi.

2. Mengidentifikasi sejauhmana perubahan variabel nilai tukar, harga internasional minyak bumi, harga internasional CPO, suku bunga dan produksi memengaruhi variabel ekspor CPO.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pihak-pihak terkait. Manfaat tersebut antara lain :

(25)

2. Bagi pembaca, penelitian ini juga diharapkan dapat berguna untuk digunakan sebagai rujukan dan sumber informasi sejenis.

3. Bagi penulis, penelitian ini dapat menjadi pengaplikasian ilmu pengetahuan yang telah didapatkan selama di Institut Pertanian Bogor.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Gambaran Umum

2.1.1. Profil Kelapa Sawit

Tanaman kelapa sawit pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Sir Thomas Stanford Raffles. Tanaman kelapa sawit berasal dari Afrika Barat namun dapat tumbuh dengan baik di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit pertama di Indonesia dibangun pada tahun 1911 di pesisir timur Sumatera Utara. Saat ini kelapa sawit merupakan salah satu komoditi andalan ekspor Indonesia. Luas areal dan produksi kelapa sawit dalam lima tahun terakhir berkembang dengan signifikan.

Tabel 2.1. Luas Areal Kelapa Sawit 2006-2010

Tahun Luas Areal (Hektar)

Luas Areal (Total) PR PBS PBN

2006 6.594.914 2.549.572 3.357.914 687.428

2007 6.766.836 2.752.172 3.408.416 606.248

2008 7.363.847 2.881.898 3.878.986 630.512

2009 7.873.294 3.061.413 4.181.368 630.512

2010* 8.430.027 3.077.629 4.321.317 637.486 Sumber: Ditjend Perkebunan Kementrian Pertanian RI, 2011.

Keterangan: * = data sementara

PR = Perkebunan Rakyat

PBS = Perkebunan Besar Swasta

PBN = Perkebunan Besar Negara

(27)

perkebunan negara mendominasi perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Namun saat ini perkebunan besar swasta lebih mendominasi dibanding perkebunan milik negara atau rakyat.

Perkebunan kelapa sawit banyak dikembangkan di daerah luar Pulau Jawa seperti, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Pulau Sumatera merupakan produsen kelapa sawit terbesar di Indonesia. Pada tahun 2008 produksi kelapa sawit di Riau sebesar 24,40 persen dari total produksi kelapa sawit Indonesia sedangkan Sumatera Utara 21,4 persen, dan Sumatera Selatan sebesar 9,76 persen (BPS Pusat, 2008).

Produk kelapa sawit dapat diolah menjadi berbagai macam produk, pangan dan non pangan. Pahan (2008) menjelaskan bahwa industri hulu perkebunan kelapa sawit menghasilkan produk primer berupa minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak inti kelapa sawit (PKO). Dari kedua produk tersebut dapat dikembangkan menjadi berbagai macam produk industri hilir. Industri hilir produk kelapa sawit dapat dibagi menjadi industri hasil setengah jadi dan industri barang jadi.

1. Industri setengah jadi:

- Oleo-pangan: penggunaan minyak sawit untuk produk pangan seperti, minyak goreng, margarine, dan shortening.

(28)

2. Industri barang jadi

Industri makanan (kue, roti cokelat), industri kosmetik (sabun, lotion, shampoo), industri farmasi (vitamin A dan E), industri pabrik logam, industri karoseri, industri tinta cetak.

Saat ini Indonesia masih tertinggal oleh Malaysia dalam industri oleo-kimia yang merupakan produk turunan dari CPO. Indonesia hanya menguasai pasar oleo-kimia sebesar 12 persen sedangkan Malaysia sebesar 18,6 persen. Padahal industri oleo-kimia adalah industri strategis yang memberikan nilai tambah lebih dari 40 persen dibanding CPO. Produk turunan CPO diperkirakan tak kurang dari 150 produk turunan baik pangan maupun non pangan tetapi industri di Indonesia hanya mampu memproduksi 10 jenis produk turunan CPO.2

2.1.2. Kebijakan Pemerintah dalam Perdagangan Komoditi CPO

Kebijakan Pemerintah pada komoditi CPO dinilai penting karena CPO merupakan komoditi yang banyak berkontribusi bagi perekonomian Indonesia, salah satunya melalui devisa. Selain itu CPO merupakan bahan baku dari beberapa industri hilir yang memproduksi produk pangan maupun non pangan Salah satu dari produk yang menggunakan CPO sebagai bahan baku adalah minyak goreng. Sebagai salah satu dari kebutuhan pokok, minyak goreng sangat dijaga ketersediannya sehingga untuk menjaga ketersediannya pemerintah menerapkan beberapa kebijakan fiskal.

2

Kasmudi, ε. “Potret Buram Ekspor-Impor”. http:// economy.okezone.com/read/2011/02/17/279/

(29)

Instrumen kebijakan populer yang dilakukan pemerintah pada komoditi CPO antara lain Harga Patokan Ekspor (HPE) dan Pajak atau Pungutan Ekspor (PE). Pajak ekspor mulai diterapkan pemerintah pada tahun 1994 seiring dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 439/KMK.017/1994 tentang Pengenaan Pajak Ekspor atas Ekspor CPO, RBD PO, Crude Olein, dan RBD Olein. Kebijakan tersebut ditujukan untuk mengurangi laju ekspor yang diakibatkan kenaikan harga CPO di pasar internasional sehingga pasokan CPO sebagai bahan baku industri dalam negeri, terutama untuk industri minyak goreng, tetap terjamin dan harga minyak goreng terjaga kestabilannya. Selanjutnya, pajak ekspor berganti nama menjadi pungutan ekspor setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB).

(30)

Pemerintah juga mengeluarkan instrumen fiskal lain selain pungutan ekspor. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No.67/PMK.011/2010 yang dikeluarkan tanggal 22 Maret 2010 mengatur tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar, dengan besaran bervariasi antara 0 – 25 persen disesuaikan dengan harga CPO di pasar internasional. Kebijakan penetapan Bea Keluar (BK) ekspor ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pajak ekspor, yang juga sudah dilaksanakan terlebih dahulu. Perbedaan utama hanya terletak pada instansi pengumpul dana penerimaan negara, yaitu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk penerimaan negara yang diperoleh dari Bea keluar (BK) dan Direktorat Jenderal Pajak untuk penerimaan negara yang diperoleh dari pajak ekspor 3.

Kebijakan pemerintah tersebut banyak menimbulkan pro kontra karena dinilai merugikan pelaku sawit di sektor hulu terutama petani. Pungutan ekspor maupun bea keluar yang progresif akan membuat petani tidak dapat merasakan keuntungan akibat kenaikan harga internasional CPO. Pungutan ekspor dan bea keluar juga dapat mengurangi daya saing produk sawit Indonesia karena membuat harga sawit Indonesia di negara pengimpor semakin kurang kompetitif. Selain itu hasil pungutan ekspor maupun bea keluar pun tidak terlalu dirasakan manfaatnya secara langsung oleh para pelaku usaha sawit. Oleh sebab itu banyak desakan dari para pelaku sawit agar pemerintah meninjau ulang kebijakannya.

3 Arifin, B. “εenggugat εanfaat Bea Keluar Ekspor CPO”,

(31)

2.1.3. Perdagangan CPO Indonesia

CPO merupakan salah satu dari sepuluh komoditi andalan ekspor Indonesia. CPO Indonesia banyak diekspor ke berbagai negara, khususnya di benua Asia dan Eropa. Negara-negara tujuan ekspor CPO Indonesia antara lain, India, Belanda, Malaysia, Singapura, Jerman, Cina, Pakistan, Mesir. Berikut adalah perkembangan ekspor CPO Indonesia ke empat negara utama yaitu India, Belanda, Singapura dan Malaysia selama tiga tahun.

Sumber : UNCOMTRADE, 2011 (diolah).

Gambar 2.1. Nilai Ekspor CPO Indonesia Tahun 2007-2009 ke Empat Negara (US$)

Berdasarkan Gambar 2.1, India merupakan tujuan ekspor CPO Indonesia terbesar dengan nilai ekspor melebihi 1.500 juta dollar tiap tahunnya. Belanda ditempat kedua sebagai negara tujuan ekspor CPO kedua terbesar dengan nilai ekspor tertinggi pada tahun 2008 sebesar 700 juta dollar. Akibat terbatasnya lahan untuk perkebunan kelapa sawit, Malaysia sebagai salah satu produsen CPO pun banyak mengimpor dari Indonesia. Nilai ekspor dari Indonesia ke Malaysia

(32)

selama tiga tahun terus mengalami peningkatan. Singapura menjadi negara tujuan ekspor Indonesia selanjutnya dengan nilai ekspor kurang dari 500 juta dollar.

Saat ini pemerintah dan swasta berupaya mencari pasar baru untuk CPO setelah sebelumnya kesulitan untuk menembus pasar Eropa Barat. Negara-negara di kawasan itu mengajukan persayaratan yang ketat sehingga sulit dipenuhi eksportir Indonesia. Pemerintah dan swasta kini membidik negara-negara Eropa Timur sebagai pasar baru karena negara-negara tersebut memiliki aturan perdagangan yang tidak seketat di negara-negara Eropa Barat. Selain itu biaya pengiriman ke Eropa Timur dinilai lebih murah karena pengirimannya tidak melalui pelabuhan Rotterdam (Belanda) dan Hamburg (Jerman) yang saat ini dinilai kurang ekonomis.4

Ekspor CPO saat ini dipengaruhi pedoman Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dimana produksi minyak sawit haruslah berwawasan lingkungan sosial dan mendatangkan keuntungan. RSPO terbentuk utamanya karena permintaan dari konsumen dunia yang menginginkan produksi hijau. Saat ini memang banyak timbul isu negatif tentang produksi kelapa sawit yang dianggap merusak hutan. Banyak negara terutama di Benua Eropa yang sangat perhatian terhadap masalah tersebut. RSPO terdiri dari berbagai stakeholder minyak sawit seperti pekebun, pengolah, LSM dan konsumen. Oleh karena itu industri kelapa sawit Indonesia harus banyak berbenah diri untuk mencapai kriteria yang diinginkan dalam RSPO (Pahan, 2008).

4εedia Indonesia. “Eropa Timur Peluang EksporCPO RI”. hal.18 [22 εaret 2011

(33)

Indonesia masih mengimpor minyak sawit (CPO dan produk lainnya) untuk memenuhi dan menjaga kebutuhan dalam negeri namun jumlahnya tidak terlalu banyak. Impor minyak sawit biasanya terjadi pada waktu harga dunia tinggi dimana terjadi rush export dari Indonesia dan umumnya dalam bentuk olein dari Malaysia (Balitbang Pertanian, 2005). Pada Tabel 2.3 dapat dilihat bahwa impor CPO selama enam tahun cenderung untuk menurun.

Tabel 2.3. Volume dan Nilai Impor Minyak Sawit Tahun 2002-2007

Tahun Volume (ton) Nilai (000 US$)

2002 5.486 1.514

2003 39 24

2004 2.873 1.067

2005 19 14

2006 95 46

2007 7 11

Sumber: BPS Pusat, 2008.

2.2. Teori Perdagangan Internasional

Awal mula teori perdagangan dimulai oleh faham merkantilis. Berdasarkan Salvatore (1997), kaum merkantilis percaya bahwa sebuah negara hanya dapat memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan mengorbankan negara lainnya. Selain itu suatu negara harus melakukan sebanyak mungkin ekspor dan sesedikit mungkin impor untuk menjadi kaya dan kuat.

(34)

output yang memiliki kerugian absolut, maka kedua negara tersebut akan dapat meengkonsumsi lebih banyak kedua komoditi.

Teori perdagangan internasional Adam Smith disempurnakan oleh David Ricardo dengan teori keunggulan komparatif. Teori keunggulan komparatif menyatakan bahwa meskipun salah satu negara kurang efisien dibanding negara lainnya dalam memproduksi kedua komoditi, masih terdapat dasar dilakukannya perdagangan yang menguntungkan kedua belah pihak (sepanjang proporsi kerugian absolut satu negara pada kedua komoditi tersebut tidak sama). Negara yang kurang efisien harus berspesialisasi dalam produksi dan mengekspor komoditi yang kerugian absolutnya lebih sedikit atau komoditi yang memiliki keunggulan komparatif (Salvatore, 1997).

Teori perdagangan selanjutnya adalah teori Heckscher-Ohlin, yaitu teori kelimpahan faktor. Teori tersebut menjelaskan bahwa perdagangan internasional berlangsung atas dasar keunggulan komparatif yang berbeda dari masing-masing negara. Suatu negara akan melakukan spesialisai produksi dan mengekspor komoditi yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi yang relatif melimpah dan murah di negara itu. Dalam waktu bersamaan negara tersebut akan mengimpor komoditi yang produksinya memerlukan sumber daya yang relatif langka dan mahal di negara itu (Salvatore, 1997).

(35)

merupakan proses terciptanya harga relatif keseimbangan dengan adanya perdagangan (dengan menggunakan kurva permintaan dan kurva penawaran), melalui analisis keseimbangan parsial (Salvatore, 1997). Pada analisis keseimbangan parsial tersebut diasumsikan tidak adanya biaya transportasi pada proses perdagangan antara dua negara.

Sumber: Salvatore, 1997.

Gambar 2.2. Harga Komoditi Relatif Keseimbangan setelah Perdagangan Ditinjau dari Analisis Keseimbangan Parsial

Kurva Dx dan kurva Sx dalam panel A dan C masing-masing

(36)

Panel A memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P1, kuantitas komoditi X yang ditawarkan (QSx) akan sama dengan kuantitas yang diminta (QDx) oleh konsumen di negara 1, sehingga negara 1 tidak akan mengekspor komoditas X sama sekali. Hal tersebut memunculkan titik A* pada kurva S di panel B (yang merupakan kurva penawaran ekspor negara 1). Panel A juga memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P2, maka akan terjadi kelebihan penawaran (QSx) apabila dibandingkan dengan tingkat permintaan untuk komoditi X (QDx), dan kelebihan itu sebesar BE. Kuantitas BE merupakan kuantitas komoditi X yang diekspor oleh negara 1 pada harga relatif P2. BE sama dengan B*E* di panel B, dan disitulah terletak titik E* yang berpotongan dengan kurva penawaran ekspor komoditi X dari negara 1 (Gambar 2.2).

Panel C memperlihatkan bahwa berdasarkan harga relatif P3, maka penawaran dan permintaan untuk komoditi X akan sama besarnya, sehingga negara 2 tidak akan mengadakan impor komoditi X sama sekali. Hal tersebut dilambangkan oleh titik A’ yang terletak pada kurva permintaan impor komoditi

X di negara 2 yang berada di Panel B. Panel C juga menunjukkan bahwa berdasarkan harga relatif P2 akan terjadi kelebihan permintaan sebesar B’E’. Kelebihan itu sama artinya dengan kuantitas komoditi X yang akan diimpor oleh negara 2 berdasarkan harga relatif P2. Lalu jumlah tersebut sams dengan B*E* pada panel B, yang menjadi kedudukan titik E* (Gambar 2.2).

(37)

diperlihatkan oleh perpotongan antara kurva D dan kurva S setelah komoditi X diperdagangkan di antara kedua negara (lihat Panel B). Dengan demikian P2 merupakan harga relatif ekulibrium untuk komoditi X setelah perdagangan internasional berlangsung. Pada Panel B dapat dilihat bahwa apabila Px/Py lebih besar dari P2 maka kuantitas ekspor komoditi X yang ditawarkan akan melebihi tingkat permintaan impor sehingga lambat laun harga relatif komoditi x tersebut (Px/Py) akan mengalami penurunan sehingga pada akhirnya akan sama dengan P2. Namun apabila Px/Py lebih kecil dari P2, maka kuantitas komoditi X yang diminta akan melebihi kuantitas ekspor komoditi X yang ditawarkan sehingga Px/Py akan meningkat dan pada akhirnya akan sama dengan P2.

2.3. Teori Penawaran Ekspor

Konsep penawaran ekspor dapat diturunkan dari pengertian konsep penawaran. Berdasarkan Lipsey, et al (1997), penawaran suatu komoditas merupakan jumlah komoditi yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar pada tingkat harga dan waktu tertentu. Jadi pengertian penawaran ekspor yaitu jumlah komoditi yang ditawarkan oleh suatu negara kepada negara lain. Suatu negara dapat mengekspor barang-barang yang dihasilkannya ke negara lain yang tidak dapat menghasilkan barang yang dihasilkan oleh negara pengekspor.

(38)

1. Harga komoditi itu sendiri

Harga komoditi mempunyai hubungan positif dengan jumlah yang ditawarkan, semakin tinggi harganya semakin besar jumlah yang ditawarkan, ceteris paribus. Hal tersebut terjadi karena peningkatan harga komoditas menyebabkan peningkatan terhadap keuntungan yang mengacu pada peningkatan produksi maupun penjualan hasil produksinya yang pada akhirnya akan meningkatkan penawaran ekspor komoditas tersebut.

2. Tingkat teknologi.

Teknologi memiliki korelasi positif dengan jumlah yang ditawarkan. Penggunaan teknologi baru akan berdampak pada efisiensi waktu, tenaga, dan modal yang meningkat. Peningkatan tersebut tercermin dari peningkatan penerimaan dan penurunan biaya pada penggunaan faktor produksi sama, dan dampaknya jumlah penawaran akan komoditi tersebut akan meningkat, ceteris paribus.

3. Harga faktor produksi.

Harga faktor produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Perubahan terhadap harga faktor produksi akan memengaruhi keuntungan yang diterima perusahaan. Jika harga faktor produksi tersebut naik, cateris paribus. Maka keuntungan perusahaan akan berkurang, sehingga perusahaan akan menurunkan produksinya dan jumlah yang ditawarkan.

4. Tujuan Perusahaan

(39)

sebagai substitusi untuk memaksimumkan laba. Namun selama perusahaan memilih laba lebih besar kurva penawaran perusahaan akan memiliki kemiringan atau lereng positif.

Penawaran ekspor CPO merupakan hasil pengurangan produksi CPO dengan konsumsi CPO pada waktu tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut, penawaran ekspor CPO secara sistematis dapat dirumuskan sebagai berikut :

SXt = Qt – Ct (2.1)

Dimana : SXt = jumlah ekspor komoditi CPO periode waktu t Qt = jumlah produksi domestik CPO periode waktu t Ct = jumlah konsumsi periode waktu t

2.4. Teori Nilai Tukar

Nilai tukar antara dua negara adalah tingkat harga yang disepakati penduduk kedua negara untuk saling melakukan perdagangan. Nilai tukar dibagi menjadi dua, nilai tukar nominal dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (Nominal Exchange Rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara. Nilai tukar riil (Real exchange Rate) adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Nilai tukar riil disebut juga terms of trade (Mankiw, 2000).

(2.2)

(40)

Berdasarkan Lipsey, et al (1997), nilai tukar dapat dibagi menjadi tiga, diantaranya :

1. Nilai Tukar Fleksibel

Bila tidak ada transaksi pemerintah oleh bank sentral, nilai tukar ditentukan oleh kesamaan antara penawaran dan dan permintaan akan dollar yang timbul dari transaksi berjalan dan neraca modal.

2. Nilai Tukar Tetap

Pada sistem nilai tukar tetap apabila transaksi pemerintah digunakan untuk mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu, neraca pembayaran umumnya tidak nol. Hal tesebut sama dengan jumlah transaksi berjalan dan neraca modal yang terjadi pada nilai tukar tetap. Neraca transaksi pemerintah harus berjumlah berapapun yang diperlukan untuk mengimbangi defisit atau surplus neraca pembayaran yang terjadi.

3. Nilai Tukar Adjustable Peg dan Managed Float

Pada sistem nilai tukar adjustable peg pemerintah menetapkan dan berusaha menjaga nilai nominal untuk nilai tukar mata uang mereka, tetapi mereka secara eksplisit menyadari bahwa akan ada situasi-situasi yang mengharuskan mereka mengubah nilai nominal tersebut. Dalam sistem managed float, Bank Sentral berusaha menetapkannya pada nilai nominal yang diumumkan dalam sistem terbuka.

(41)

1. Gross Domestik Product (GDP)

GDP merupakan faktor penting dalam penentuan nilai tukar karena memengaruhi kemampuan dan keinginan negara untuk membeli barang dan jasa dari negara lain. Jika GDP suatu negara meningkat, masyarakatnya dapat membeli lebih banyak. Hal tersebut berdampak pada peningkatan impor barang dan jasa, perjalanan, dan investasi asing. Karena perubahan permintaan tersebut, mengakibatkan pula perubahan permintaan mata uang asing. Dengan demikian terdapat peningkatan supply pada mata uang negara domestik sehingga menyebabkan terjadinya depresiasi.

2. Harga Relatif

Suatu negara yang mengalami inflasi, atau peningkatan tingkat harga relatif terhadap negara lain dapat mengakibatkan produknya di pasar domestik dan luar negeri menjadi kurang kompetitif. Hal tersebut mengakibatkan banyaknya impor barang dan jasa dan sedikit ekspor. Peningkatan harga relatif meningkatkan supply domestik, menghasilkan depresiasi mata uang domestik dan apresiasi mata uang asing. Sebaliknya, bila inflasi domestik lebih kecil daripada negara lainnya, produk domestik menjadi lebih kompetitif. Hal tersebut menghasilkan penurunan impor dan peningkatan ekspor yang pada gilirannya akan menyebabkan peningkatan mata uang domestik.

3. Suku Bunga Relatif

(42)

lebih besar. Hal tersebut menyebabkan permintaan mata uang negara tersebut meningkat. Sebagai dampaknya, mata uang negara tersebut mengalami apresiasi relatif terhadap negara lainnya. Jika suku bunga suatu negara menurun relatif terhadap negara lain, modal akan mengalir keluar negara tersebut dan secara bersamaan terjadi penurunan mata uang.

2.4.1. Hubungan Nilai Tukar dengan Ekspor

Lipsey (1997) menjelaskan perdagangan antar negara dapat terjadi hanya jika pertukaran mata uang dari satu negara ke negara lain dimungkinkan. Hal tersebut karena pembayaran internasional memerlukan pertukaran mata uang antara satu orang yang mempunyai mata uang tertentu dan membutuhkan mata uang lain. Nilai tukar menyatakan nilai satu mata uang terhadap mata uang lainnya atau harga suatu mata uang dalam satuan mata uang asing. Nilai tukar adalah salah satu peubah yang responsif terhadap nilai ekspor suatu komoditas.

(43)

Tweten (1992) menjelaskan bahwa permintaan mata uang asing dapat dilihat dari kebutuhan untuk membayar barang impor baik itu barang atau jasa, modal keluar untuk membayar aset diluar negeri, dan pembiayaan pemerintah. Oleh karena itu, permintaan mata uang asing dapat digambarkan sebagai nilai dari impor dalam mata uang asing, sedangkan penawaran mata uang asing digambarkan melalui nilai ekspor dalam bentuk mata uang asing. Penawaran mata uang asing diturunkan dari penawaran ekspor. Pada gambar dibawah akan ditunjukkan dampak dari perubahan nilai tukar dari negara pengekspor (negara A) terhadap negara lain (ROW).

Sumber: Tweeten, 1992

Gambar 2.3 Efek Apresiasi Nilai Tukar di Negara A

(44)

Pada keadaan keseimbangan pasar, negara A dan ROW berada pada harga dunia Pw dan ekspor Qe. Penguatan nilai tukar dari mata uang negara A akan menyebabkan kurva excess demand (ED) bergeser ke (ED’) karena ROW hanya ingin membayar dengan harga yang lebih murah dalam mata uang negara A. Pada jumlah ekspor yang sama (Qe), dan harga di ROW (P’r), apresiasi dari mata uang

A akan menaikkan harga di negara ROW. Kenaikan harga di negara ROW ini akan menyebabkan penurunan impor dari negara ROW dan juga ekspor dari negara A. Hal ini pada akhirnya akan menurunkan harga domestik di negara A (PA). Contohnya dapat diinterpretasikan dari penurunan mata uang negara ROW.

Kurva bagian bawah tengah gambar diatas menunjukkan pasar ekspor untuk negara A digambarkan dalam mata uang negara ROW. Dampak dari penguatan mata uang negara A akan menaikkan setiap nilai dari jumlah barang yang diekspor dari negara A, sehingga harga di negara ROW (P’r) meningkat. Hal ini akan menyebabkan kurva ES bergeser menjadi ES’. Penguatan mata uang ini merupakan implikasi dari pajak ekspor dan penurunan jumlah penawaran ekspor pada harga yang tetap. Pada gambar diatas juga dapat dilihat bahwa penguatan mata uang negara A berdampak terhadap terjadinya deflasi pada negara A karena harga turun dari Pw ke Pa’. Hal tersebut sama dengan penurunan mata uang di

(45)

sebaliknya akan meningkatkan impor, karena barang dari luar negeri menjadi lebih murah. Hal ini dimungkinkan karena keinginan konsumen untuk hidup lebih baik dengan barang impor, tetapi memberikan kerugian bagi sektor pertanian yang bergantung terhadap pasar ekspor (Tweeten, 1992).

2.5. Teori Suku Bunga

Kegiatan perdagangan suatu negara tidak terlepas dari pengaruh suku bunga. Mankiw (2000) menjelaskan bahwa suku bunga dapat dibagi menjadi dua yaitu suku bunga riil dan suku bunga nominal. Suku bunga nominal adalah tingkat bunga yang dilaporkan bank atau tingkat bunga yang dibayar investor untuk meminjam uang. Suku bunga riil adalah tingkat bunga yang disesuaikan dengan mengurangi perubahan dari tingkat inflasi sehingga lebih mencerminkan biaya peminjaman yang sesungguhnya.

r = i – π (2.3)

dimana : r = tingkat bunga riil i = tingkat bunga nominal π = tingkat inflasi

(46)

Sumber: Mankiw, 2000.

Gambar 2.4 Hubungan antara Investasi dan Suku Bunga

Gambar 2.4 menjelaskan hubungan antara investasi dan suku bunga yang disebut fungsi investasi. Pada gambar tersebut terlihat bahwa hubungan antara suku bunga riil dan investasi adalah negatif dimana peningkatan suku bunga riil akan berdampak penurunan tingkat investasi. Suku bunga riil akan memengaruhi keputusan investasi, karena suku bunga riil mencerminkan biaya pinjaman untuk melakukan kegiatan investasi dalam suatu usaha.

Menurut Semartoto (2004) investasi merupakan pengeluaran atas tambahan-tambahan terhadap persediaan modal. Investasi dilakukan dengan tujuan mencari keuntungan di kemudian hari misalnya, melalui pengoperasian mesin, pabrik dan kebun. Apabila perusahaan meminjam untuk membeli modal untuk investasi, maka suku bunga yang semakin tinggi akan membuat perusahan membayar bunga yang semakin banyak dari laba yang mereka terima setiap tahunnya. Hal ini menyebabkan semakin kecil keuntungan perusahaan tersebut. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah suku bunga maka semakin besar keuntungan yang diterima perusahaan.

(47)

Keterangan : qA1, qA2 = perubahan jumlah produksi negara A

PA1, PA2 =perubahan harga negara A

Pw1, Pw2 = perubahan harga dunia

Sumber: Semartoto, 2004.

Gambar 2.5 Dampak Penurunan Suku Bunga dalam Perdagangan Internasional

Gambar 2.5, menunjukkan bahwa dengan adanya penurunan suku bunga di negara A pada kondisi ceteris paribus, maka produksi akan meningkat yang diakibatkan dari meningkatnya investasi. Peningkatan ini menyebabkan bergesernya kurva suplai dari SA1 ke SA2 dan membentuk keseimbangan baru di negara A, yaitu di titik qA2 dan pA2. Hal tersebut mengakibatkan terbentuknya kurva penawaran ekspor yang baru yaitu XS2 dan terbentuk pula keseimbangan baru di blok dunia. Akibat dari perubahan keseimbangan, harga dunia akan menurun karena jumlah penawaran ekspor yang meningkat. Perubahan harga dunia menyebabkan harga dunia di negara pengimpor lebih murah dari sebelumnya dan harga domestik di negara B tidak berubah sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan impor oleh negara pengimpor (Semartoto, 2004).

(48)

2.6. Teori Vector Auto Regression

Vector Auto Regression (VAR) merupakan sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linear dari konstanta dan nilai lag dari peubah itu sendiri serta nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem. Menurut Gujarati (2004), model VAR mengabaikan pemisahan variabel eksogen dan endogen dan menganggap semua variabel yang digunakan dalam analisis berpotensi menjadi variabel endogen. Pasaribu (2003) menjelaskan bahwa VAR adalah model yang a-theory terhadap teori ekonomi namun model ini sangat berguna dalam menentukan tingkat eksogenitas suatu variabel ekonomi dalam sebuah sistem ekonomi di mana terjadi saling ketergantungan antar variabel dalam ekonomi.

Arsana (2006) menjelaskan bahwa VAR menyediakan tiga macam penggunaan yaitu dalam bentuk :

1. Forecasting, ekstrapolasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel.

2. Impulse Response Functions (IRF), melacak respon saat ini dan masa depan dari setiap variabel akibat perubahan atau shock suatu variabel tertentu,

3. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD), prediksi kontribusi presentase varians setiap variabel terhadap perubahan suatu variabel tertentu.

(49)

1. Metode VAR sederhana karena tidak membedakan variabel endogen maupun variabel eksogen, semua variabel VAR adalah endogen.

2. Estimasi VAR sangat sederhana, metode OLS biasa dapat diaplikasikan kepada tiap persamaan secara terpisah.

3. Peramalan yang diperoleh dari VAR dalam banyak kasus lebih baik daripada yang diperoleh dari Model Persamaan Simultan yang lebih kompleks.

Metode VAR juga memiliki kelemahan-kelemahan, yaitu :

1. Tidak seperti model persamaan simultan, metode VAR bersifat a-theory (tidak berdasarkan teori ekonomi) karena sedikit menggunakan informasi lampau.

2. Metode VAR lebih menitikberatkan pada peramalan (forecasting) sehingga model VAR dianggap tidak sesuai untuk analisis kebijakan. 3. Pemilihan panjang lag yang digunakan merupakan tantangan terberat

dalam metode VAR.

4. Semua variabel dalam VAR harus stasioner. Jika tidak stasioner, maka ditransformasi lebih dahulu.

5. Interpetasi koefisien yang didapat berdasar model VAR tidak mudah.

2.7. Penelitian Terdahulu

2.7.1. Penelitian Mengenai CPO

(50)

ekspor. Abidin (2008) menganalisis faktor yang memengaruhi ekspor CPO Indonesia. Variabel yang digunakan yaitu volume ekspor sebagai variabel endogen, harga CPO domestik, harga internasional CPO, nilai tukar dan pertumbuhan produksi sebagai variabel eksogen. Metode yang digunakan adalah 2SLS (Two Stage Least Square). Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga CPO domestik berpengaruh negatif terhadap ekspor CPO, harga internasional CPO berpengaruh positif, nilai tukar berpengaruh negatif.

Penelitian Ashiqin (2010) menganalisis daya saing dan faktor-faktor yang memengaruhi ekspor CPO Indonesia ke China, Malaysia, dan Singapura dalam skema ASEAN-CHINA FREE TRADE AGREEMENT dengan menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA) dan data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua variabel berpengaruh nyata terhadap ekspor CPO Indonesia ke China, Malaysia, dan Singapura. Variabel harga riil CPO internasional, produksi CPO, lag ekspor, nilai tukar, dan dummy ACFTA berpengaruh positif terhadap ekspor CPO. Harga riil CPO domestik, harga riil minyak kedelai, harga minyak bumi riil berpengaruh negatif terhadap ekspor CPO.

(51)

menyimpulkan bahwa penawaran CPO Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh luas areal kelapa sawit, harga domestik CPO, nilai tukar, dan harga solar.

2.7.2 Penelitian Mengenai Nilai Tukar dan Harga Minyak Bumi

Pratika (2007) menganalisis pengaruh fluktuasi nilai tukar pada ekspor komoditi unggulan pertanian (karet dan kopi) di Indonesia dengan menggunakan metode VAR-VECM. Hasil untuk komoditi kopi, pada jangka pendek yang berhubungan positif dengan nilai ekspor kopi adalah harga kopi internasional dan GDP riil dunia sedangkan yang berhubungan negatif adalah nilai tukar. Pada jangka panjang yang berhubungan positif adalah harga kopi negara kompetitor, harga domestik dan GDP. Hasil untuk komoditi karet, pada jangka panjang variabel yang berhubungan positif adalah jumlah ekspor sendiri sedangkan yang berhubungan negatif adalah nilai ekspor dan nilai tukar. Pada jangka panjang harga domestik dan Industrial Index Production berpengaruh positif sedangkan jumlah ekspor karet dan harga negara kompetitor berpengaruh negatif.

Ahmed (2009) meneliti volatilitas nilai tukar dan dampaknya pada pertumbuhan perdagangan internasional di Bangladesh. Metode yang digunakan uji kointegrasi, Error Correction Model dan Kausalitas Granger. Hasil penelitian menyatakan bahwa nilai tukar tidak memiliki dampak yang signifikan pada perdagangan internasional di Bangladesh dalam jangka pendek maupun jangka panjang dengan negara partner dagang lainnya.

(52)

dengan metode VAR-VECM. Berdasarkan hasil penelitian, terjadi integrasi diantara harga minyak bumi, harga minyak kedelai, harga CPO Rotterdam, harga CPO Malaysia, harga Ekspor CPO, harga minyak goreng domestik dan harga TBS. Selain itu pengaruh harga minyak bumi terhadap harga-harga tersebut tidak terlalu besar, hal tersebut menunjukkan bahwa konversi energi dari minyak bumi ke minyak nabati belum begitu besar. Besarnya permintaan negara-negara pengkonsumsi CPO masih lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan industri pangan.

2.8. Kerangka Pemikiran

Crude Palm Oil (CPO) merupakan salah satu komoditi yang memimpin ekspor nonmigas Indonesia. Saat ini Indonesia merupakan produsen utama CPO mengalahkan Malaysia. Namun pertumbuhan ekspor CPO Indonesia masih berfluktuasi, hal tersebut dikarenakan terdapat faktor yang memengaruhi nilai tukar. Pada Gambar 1.3 dapat terlihat hubungan antara pergerakan ekspor CPO dengan pergerakan nilai tukar. Nilai tukar berpengaruh terhadap pergerakan ekspor komoditi seperti CPO, karena barang-barang ekspor ditentukan oleh satuan mata uang asing. Selain itu, sebagai komoditi unggulan ekspor nonmigas Indonesia, pergerakan ekspor CPO Indonesia diduga berpengaruh pada pergerakan rupiah. Oleh sebab itu, volume ekspor CPO dan nilai tukar diduga memiliki hubungan kausalitas.

(53)

tersebut karena harga minyak bumi semakin mahal dan pasokan yang terbatas dari negara produsen. Di lain pihak konsumsi energi negara-negara dunia terus bertambah. Permintaan CPO pun semakin meningkat terutama untuk diolah menjadi biodiesel. Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dapat memengaruhi pasokan CPO dunia. Oleh sebab itu harga minyak bumi dan volume ekspor CPO diduga saling memengaruhi satu sama lain. Pada penelitian ini turut disertakan faktor-faktor yang juga memengaruhi CPO diantaranya, harga internasional CPO, produksi CPO dan suku bunga.

Keterangan : = tidak dianalisis

Gambar 2.6. Alur Kerangka Pemikiran Nilai Tukar

Minyak Bumi Suku Bunga

Harga Internasional

CPO

Produksi

Volume Ekspor CPO

(54)

2.9. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan studi penelitian terdahulu maka dalam penelitian ini akan diajukan beberapa hipotesis, diantaranya :

1. Volume ekspor dengan nilai tukar dan harga internasional minyak bumi memiliki hubungan dua arah atau hubungan kausalitas.

2. Produksi CPO, harga internasional CPO, harga internasional minyak bumi dan nilai tukar berhubungan positif dengan volume ekspor CPO. Jika produksi, harga internasional minyak bumi dan harga internasional CPO meningkat maka volume ekspor CPO akan meningkat, demikian pula sebaliknya. Jika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika mengalami depresiasi maka volume ekspor CPO akan meningkat, demikian pula sebaliknya.

(55)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari statistik Direktorat Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian, Kementrian Perdagangan, Bank Indonesia, Badan Pusat Statistik, IFS (International Financial Statistics), OECD (Organization for Economic Co-operation and Economic Development), dan UNCTAD statistics (United Nations Conference on Trade and Development). Bentuk data adalah time series (triwulan) dari periode triwulan I 2000 sampai dengan triwulan IV 2010. Data yang digunakan pada penelitian ini antara lain :

1. Volume ekspor CPO (ton)

2. Harga internasional CPO (US$/ton)

3. Harga internasional minyak bumi (US$/barel) 4. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (Rp/US$) 5. Suku bunga riil (persen)

6. Produksi CPO domestik (ton)

3.2. Metode Analisis dan Pengolahan Data

(56)

dunia serta faktor apa saja yang memengaruhi ekspor CPO. Data yang digunakan diubah menjadi bentuk logaritma natural kecuali data suku bunga yang berbentuk persen. Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan Eviews 6.

Secara keseluruhan tahapan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

1. Pengujian Pra-Estimasi. Tahapan ini harus dilakukan sebelum melakukan estimasi VAR. Pengujian pra estimasi terdiri dari uji stasioneritas data, uji lag optimal, uji stabilitas dan uji kointegrasi.

2. Uji Kausalitas Granger 3. Analisis VAR-VECM

4. Analisis perilaku guncangan (stabilitas) suatu variabel dan peranan masing-masing guncangan terhadap variabel tertentu dengan menggunakan Impulse Response Function (IRF) dan Variance Decomposition (VD).

3.2.1. Uji Stasioneritas

(57)

Data yang stasioner akan memiliki kecenderungan untuk mendekati nilai rata-rata dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya. Data time series umumnya berbentuk nonstasioner atau mengandung akar unit dan varians-nya berubah sepanjang waktu. Data nonstasioner apabila diregresikan akan menghasilkan regresi palsu atau Spurious Regression. Spurious Regression adalah regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik padahal kenyataannya tidak.

Salah satu cara menguji stasioneritas data yaitu dengan Augmented Dickey Fuller (ADF) Test. Jika nilai mutlak statistik tes ADF lebih besar dari nilai mutlak MacKinnon Critical Value maka data tersebut stasioner. Contoh persamaan yang dapat diuji stasioneritas dengan Augmented Dickey-Fuller (ADF) dapat ditulis sebagai berikut (Gujarati, 2004) :

dimana :

t = pure white noise error term, ΔYt-1 = (Yt-1 – Yt-2), ΔYt-2 = (Yt-2 – Yt-3). Pengujian hipotesis pada ADF yaitu, H0 = = 0 (tidak stasioner) dengan hipotesis alternatif H1 = < 0 (stasioner). Artinya apabila H0 ditolak dan menerima H1 maka data stasioner dan begitu sebaliknya.

(58)

digunakan adalah VAR FD atau VECM. Oleh sebab itu uji stasioneritas sangat penting dilakukan pada sebelum estimasi VAR.

3.2.2. Uji Lag Optimal

Penentuan panjang lag optimal sangat penting untuk memperoleh model VAR yang baik, karena dalam model VAR suatu variabel juga dipengaruhi dirinya sendiri selain variabel lain. Menurut Pratika (2007), lag yang terlalu panjang akan membuang dengan percuma derajat bebas, sedangkan lag yang terlalu pendek akan mengakibatkan spesifikasi model yang salah. Panjang lag yang optimal dapat dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kriteria informasi tersebut antara lain, Likehood Ratio (LR), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), Final Prediction Error (FPE) dan Hannan-Quinn Criterion (HQ).

3.2.3. Uji Stabilitas

(59)

3.2.4. Uji Kointegrasi

Menurut Nachrowi (2006), hubungan kointegrasi terjadi akibat variabel-variabel yang digunakan tidak stasioner secara individual tetapi, kombinasi linear antara dua atau lebih variabel tersebut merupakan time series yang stasioner. Kombinasi linier dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang.

Pada penelitian ini uji kointegrasi yang digunakan adalah uji kointegrasi Johansen. Uji tesebut akan menguji apakah kombinasi variabel yang tidak stasioner terkointegrasi. Hipotesis-nya adalah, H0 = non kointegrasi dan hipotesis alternatifnya H1 = terkointegrasi. Jika trace statistics lebih besar dari critical value maka tolak Ho yang artinya variabel-variabel tersebut terkointegrasi.

3.2.5. Metode Analisis VAR

VAR adalah metode analisis yang banyak digunakan untuk multivariate time series. Metode analisis ini hampir sama dengan Granger Causality namun Granger Causality merupakan bivariate time series. Secara umum persamaan VAR dengan orde p dan n buah peubah tak bebas pada waktu ke-t dapat dimodelkan seperti berikut (Enders, 2004) :

Xt = Ao + A1Xt-1 + A2Xt-2 +……+ ApXt-p + et (3.6)

Dimana :

Xt = vektor peubah tak bebas berukuran n x 1

A0 = vektor intersep berukuran n x 1

(60)

et = vektor sisaan berukuran n x 1

Asumsi yang harus dipenuhi pada analisis VAR yaitu semua peubah tak bebas harus bersifat stasioner dan semua sisaan harus bersifat white noise yaitu memiliki rataan nol, diantara peubah tak bebas tidak ada korelasi dan ragam konstan.

3.2.6. Metode Kausalitas Granger

Gujarati (2004) menjelaskan, walaupun analisis regresi berhubungan dengan keterkaitan antara variabel satu dengan variabel lain, tapi hal tersebut belum tentu menyiratkan adanya hubungan sebab akibat. Dengan kata lain, adanya hubungan antara variabel belum tentu membuktikan adanya kausalitas. Uji kausalitas Granger dapat mengindikasikan apakah suatu variabel mempunyai hubungan dua arah atau hanya satu arah saja dengan memasukan unsur waktu. Adanya hubungan dua arah atau satu arah tersebut dapat dilihat dengan membandingkan probabilitas dengan nilai kritis yang digunakan. Jika hasil uji kausalitas Granger menunjukkan probabilitas lebih kecil dari nilai kritis maka terdapat hubungan kausalitas (saling menyebabkan).

3.2.7. Metode Analisis VECM

(61)

ke dalam hubungan kointegrasi namun tetap membiarkan keberadaan dinamisasi jangka pendeknya. Oleh sebab itu pada VECM telah terkandung parameter jangka pendek dan jangka panjang yang memungkinkan kita untuk mengetahui respon pada jangka pendek dan jangka panjang. Secara umum model VECM adalah sebagai sebagai berikut :

- - – (3.7)

- - – (3.8)

Dimana, µ merupakan intersep, a1dan b1merupakan koefisien jangka pendek, γ

merupakan parameter koreksi error dan persamaan dalam tanda kurung menunjukkan kointegrasi diantara variabel x dan y.

3.2.8. Impulse Response Function (IRF)

Analisis IRF merupakan metode yang digunakan untuk meneliti hubungan antar variabel dengan menunjukkan bagaimana variabel endogen bereaksi terhadap guncangan (shock) atau inovasi variabel tertentu dan mengetahui berapa lama pengaruh tersebut terjadi. Menurut Gujarati (2004), IRF menggambarkan respon dari variabel dependen dalam sistem VAR terhadap guncangan pada error term. Guncangan akibat perubahan dalam error term senilai satu standar deviasi akan direspon oleh variabel dependen pada saat ini maupun masa depan.

(62)

3.2.9. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

Metode FEVD dapat melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel yang ditunjukan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya dalam model VAR-VECM. Metode ini mencirikan suatu struktur dinamis dalam model VAR-VECM. Dalam metode ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel dalam memengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang (Nachrowi. 2006)

Dengan analisis FEVD dapat diketahui secara pasti faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi dari variabel tertentu. Pada penelitian ini akan dilihat apakah fluktuasi variabel nilai tukar, harga minyak bumi, produksi CPO, harga internasional CPO dan suku bunga memengaruhi ekspor CPO.

3.3. Model Penelitian

Dalam Penelitian ini digunakan enam variabel yang terdiri dari volume ekspor CPO, harga internasional CPO, nilai tukar rupiah terhadap dollar, harga internasional minyak bumi, suku bunga, produksi CPO. Model persamaan VAR dalam bentuk vektor yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :

[

(63)

ERR = nilai tukar riil Rupiah terhadap Dollar (Rp/$) PCO = harga internasional minyak bumi (US$/barel) QCPO = produksi CPO domestik (ton)

IRR = suku bunga riil (%) c1 = intersep

eit = error

αij = koefisien lag peubah ke-j untuk persamaan ke-i

t = periode (t = 1,2,3…)

3.4. Definisi Operasional Variabel

Berikut akan dijelaskan pengertian dari data variabel yang digunakan dalam penelitian. Hal ini bertujuan agar dapat menyamakan konsep dalam melakukan penelitian. Variabel-variabel yang digunakan, antara lain :

a. Volume Ekspor CPO (VXCPO), adalah jumlah keseluruhan ekspor CPO Indonesia yang diekspor selama periode penelitian. Satuan yang digunakan adalah ton.

b. Produksi CPO Indonesia (QCPO), adalah jumlah keseluruhan komoditi CPO Indonesia yang diproduksi selama periode penelitian. Satuannya adalah ton.

(64)

d. Nilai Tukar Riil (ERR), adalah nilai tukar nominal rupiah per dollar Amerika Serikat (Rp/US$) yang dideflasikan dengan IHK Indonesia dan Amerika Serikat.

e. Harga Internasional Minyak Bumi adalah harga minyak bumi dunia yang merupakan rata-rata harga minyak West Texas Intermediate, U.K. Brent dan Dubai. Satuannya adalah US$ per barrel.

Gambar

Tabel 1.1. Nilai Ekspor Migas dan Nonmigas di Indonesia Tahun 2005-2009
Tabel 1.2.  Nilai Ekspor Komoditi Unggulan Subsektor Perkebunan Tahun 2005-2009
Gambar 1.1. Pangsa Ekspor Negara Produsen CPO Tahun 2000 dan 2009
Gambar 1.2. Perkembangan Produksi CPO Indonesia Tahun 2000-2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk menganalisis pengaru fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap rasio tingkat bunga domestik terhadap tingkat bunga internasional (RDNLN), neraca pembayaran (BoP), aliran

Metode peramalan untuk data deret waktu produksi, konsumsi, ekspor, impor, dan harga minyak bumi dapat dilakukan dengan teknik peramalan model deret waktu tunggal dan dapat

Hasil analisis regresi linear berganda menunjukkan adanya pengaruh secara bersama- sama antara variabel produksi, harga internasional, dan nilai tukar terhadap volume

Di dalam penelitian Vega Nurmalita dan Prasetyo, yang mana pada penelitian tersebut juga terdapat variabel nilai tukar dan harga internasional di dalam nya,

Dapat disimpulkan bahwa, ketiga variabel bebas yaitu Harga Tembakau Internasional, Jumlah Produksi Domestik dan Nilai Tukar mempunyai pengaruh yang signifikan

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis secara simultan (Uji F) terdapat pengaruh tidak signifikan antara produksi karet alam domestik, harga karet alam internasional,

jangka pendek yang ada pada variabel harga minyak dunia, nilai tukar rupiah (kurs), konsumsi minyak dalam negeri, dan produksi dalam negeri tidak memiliki pengaruh yang

4.Pengaruh antara produksi, harga Internasional dan nilai tukar dengan volume ekspor Indonesia Berdasarkan hasil penelitian ini, nilai signifikansi untuk pengaruh X1, X2 dan X3 secara