• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS INTEGRASI HARGA MINYAK BUMI, MINYAK KEDELAI, CPO, MINYAK GORENG DOMESTIK DAN TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT. Oleh: BAMBANG WAHYU PONCO AJI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS INTEGRASI HARGA MINYAK BUMI, MINYAK KEDELAI, CPO, MINYAK GORENG DOMESTIK DAN TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT. Oleh: BAMBANG WAHYU PONCO AJI"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS INTEGRASI HARGA MINYAK BUMI,

MINYAK KEDELAI, CPO, MINYAK GORENG DOMESTIK

DAN TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT

Oleh:

BAMBANG WAHYU PONCO AJI

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:

ANALISIS INTEGRASI HARGA MINYAK BUMI,

MINYAK KEDELAI, CPO, MINYAK GORENG DOMESTIK

DAN TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2010

BAMBANG WAHYU PONCO AJI NRP. H151080344

(4)
(5)

ABSTRACT

BAMBANG WAHYU PONCO AJI. 2010. Analysis of Price Integration among Crude Oil, Soybean Oil, CPO, Domestic Cooking Oil and Oil Palm Fresh Fruit Bunches. Under the guidance of NOER AZAM ACHSANI and SASMITO HADI WIBOWO.

Recently, CPO (Crude Palm Oil) is the most widely consumed vegetable oil. The global climate change, which caused a drop in soybean oil production, and the energy crisis that resulted in the rising of crude oil prices, had driven up the world demand for crude palm oil. As the results, the CPO price at the Rotterdam market went up and pushed the Indonesian exporters to sell more CPO overseas. It caused the domestic supply of CPO went down and forced the Indonesian cooking oil producers to increase the prices of their production. Due to asymmetric price transmission, the farmers were not necessarily better off. Using Granger Causality, co-integration, and vector error correction models, this study aimed to analyze the January 2003 – December 2008 price integration among crude oil, CPO, soybean oil, and cooking oil. This study was not examine non-price factors, differences between type and quality of cooking oils, coconut oil, palm fresh fruit bunches at farmers (TBS), imported CPO, government intervention, and the amount of taxes.

The results showed that two way causality existed among the prices of crude oil, CPO in Rotterdam, and CPO in Malaysia. The two way causality also existed among the prices of the Indonesian cooking oil and TBS with the prices of crude oil and CPO in Rotterdam. The prices of CPO in Malaysia, the Indonesian cooking oil and TBS also had two way causality. For the case of Indonesia only, the price of CPO export was affected by the prices of cooking oil and TBS. The occurrence of price integration was indicated by the similarity of the long-term movements among the investigated seven variables. The CPO prices in Rotterdam, Malaysia, and Indonesia had similar long term movements. The prices of crude oil, CPO export, Indonesian cooking oil, and TBS also had the same long term movements.

The price of CPO Rotterdam was mostly due to its own movement and soybean price movement. The impact of the change of crude oil price was no t higher than that of the change of soybean price to CPO prices in Rotterdam, Malaysia and Indonesia, as well as to the prices of the Indonesian cooking oil and TBS. The impact of price changes of crude oil, soybean, and CPO Rotterdam to others was permanent. The prices of the Indonesian cooking oil and TBS had some impact to the prices of CPO Rotterdam and soybean. Hence, the Indonesian market, such as Belawan could be the main reference for world CPO price. The movements of CPO Belawan, the Indonesian cooking oil, and TBS were caused by their own movements, CPO Rotterdam, and soybean prices. The degrees of pass-through of the prices of crude oil, soybean, and CPO Rotterdam were incompleted. The crude oil price had mediocre positive pass through to other six variables. However, the degree of pass through of soybean price, which was higher than that of CPO Rotterdam, indicated the influence of soybean prices was still higher in the international market.

Keywords: prices, crude oil, palm oil, soybean oil, cooking oil, palm fresh fruit bunches, vector error, CPO

(6)
(7)

RINGKASAN

BAMBANG WAHYU PONCO AJI. 2010. Analisis Integrasi Harga Minyak Bumi, Minyak Kedelai, CPO, Minyak Goreng Domestik dan Tandan Buah Segar Kelapa Sawit. Dibawah bimbingan NOER AZAM ACHSANI dan SASMITO HADI WIBOWO.

CPO (Crude Palm Oil) saat ini merupakan minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi. Adanya perubahan iklim global yang mengakibatkan turunnya produksi minyak kedelai dan naiknya harga minyak bumi karena krisis energi telah mendorong naiknya permintaan dunia terhadap CPO. Keadaan ini menyebabkan harga CPO dipasar Rotterdam mengalami kenaikan hingga mencapai USD1200. Pada saat yang lain, krisis finansial yang melanda dunia telah menyebabkan harga CPO kembali turun hingga kisaran harga USD550. Fluktuasi harga CPO dipasar Rotterdam akibat guncangan-guncangan ekonomi tersebut berpengaruh terhadap Indonesia sebagai produsen CPO terbesar dunia. Disisi lain, naiknya produksi TBS karena tingginya insentif ekspor CPO dapat mempengaruhi supply CPO dunia. Selain itu meningkatnya jumlah penduduk Indonesia yang mengakibatkan naiknya permintaan minyak goreng dapat berpengaruh terhadap kuantitas ekspor CPO. Mengingat pentingnya CPO bagi perekonomian Indonesia maka perlu dilakukan penelitian mengenai integrasi harga minyak bumi, minyak kedelai, CPO, minyak goreng domestik dan tandan buah segar kelapa sawit. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis integrasi harga harga minyak bumi, harga minyak kedelai, harga CPO Rotterdam, harga CPO Malaysia, harga ekspor CPO Indonesia, harga minyak goreng domestik dan harga TBS pembelian petani serta merumuskan kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah sehubungan dengan hasil analisis.

Keterbatasan dari penelitian ini adalah (1) tidak mengkaji faktor non harga, (2) tidak dibedakannya bentuk dan kualitas minyak goreng, (3) hanya membahas minyak goreng sawit, tidak memperhitungkan minyak goreng kelapa, (4) tandan buah segar merupakan pembelian ditingkat petani, (5) tidak memperhitungkan impor CPO, (6) tidak memperhitungkan intervensi pemerintah secara kuantitas seperti besarnya kuantitas operasi pasar minyak goreng dan besarnya pajak ekspor CPO.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Granger Causality, kointegrasi multivariat, kointegrasi bivariate, dan vector error correction model (VECM). Data yang digunakan adalah harga minyak bumi, harga minyak kedelai, harga CPO Rotterdam, harga CPO Malaysia, harga ekspor CPO Indonesia, harga minyak goreng domestik dan harga TBS pembelian petani. Penelitian ini menggunakan data bulanan dari Januari 2003–Desember 2008. Data penelitian diperoleh dari IFS, Oil World, Bappebti dan BPS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diantara harga-harga tersebut terjadi hubungan kausalitas. Ditingkat dunia, harga minyak bumi, harga CPO Rotterdam dan harga CPO Malaysia terjadi hubungan kausalitas dua arah. Demikian pula antara harga domestik Indonesia yaitu berupa harga minyak goreng dan harga TBS terjdai hubungan kausalitas dua arah dengan harga dunia berupa harga minyak kedelai dan harga CPO Rotterdam. Demikian pula antara produsen utama CPO yaitu harga CPO Malaysia dengan harga minyak goreng domestik Indonesia dan harga TBS

(8)

menunjukkan kausalitas dua arah. Pada sisi domestik Indonesia, harga ekspor CPO Indonesia dipengaruhi oleh harga minyak goreng dan harga TBS.

Diantara ketujuh variabel penelitian tersebut ditemukan adanya kesamaan pergerakan jangka panjang. Kondisi ini menunjukkan terjadinya integrasi harga. Integrasi harga diantara harga CPO Rotterdam, harga CPO Malaysia dan harga ekspor CPO Indonesia juga ditunjukkan dengan adanya kesamaan pergerakan jangka panjang diantara ketiganya. Dampak dari perubahan harga minyak bumi secara umum tidak besar. Dampak dari perubahan harga-harga tersebut adalah konsisten yaitu tidak kembali mendekati harga keseimbangan awal. Perubahan harga yang terjadi pada harga CPO Rotterdam lebih banyak dijelaskan oleh variabilitasnya sendiri dan harga minyak kedelai. Demikian pula perubahan pada harga ekspor CPO Indonesia, harga minyak goreng domestik dan harga TBS lebih banyak dijelaskan oleh variabilitasnya sendiri, harga CPO Rotterdam dan harga minyak kedelai.

Derajat pass-through harga minyak bumi, harga minyak kedelai dan harga CPO Rotterdam adalah incomplete pass-through karena nilainya antara 0 – 1. Derajat

pass-through harga minyak bumi terhadap keenam variabel lainnya walaupun

pengaruhnya positif namun tidak besar. Lebih besarnya derajat pass-through harga minyak kedelai dibandingkan derajat pass-through harga CPO Rotterdam menunjukkan bahwa pengaruh minyak kedelai di pasar dunia saat ini masih lebih besar daripada CPO Rotterdam.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terjadi integrasi diantara harga minyak bumi, minyak kedelai, CPO, minyak goreng domestik dan TBS kelapa sawit. Pengaruh harga minyak bumi terhadap harga-harga tersebut tidak terlalu besar, hal ini menunjukkan bahwa konversi energi dari minyak bumi ke minyak nabati belum begitu besar. Besarnya permintaan negara-negara pengkonsumsi CPO masih lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan industri pangan.

Keterkaitan harga antara minyak kedelai dan CPO Rotterdam berpengaruh besar terhadap harga ekspor CPO Indonesia, harga minyak goreng domestik dan harga TBS, karena minyak kedelai merupakan substitusi CPO sehingga ketika volume minyak kedelai di pasaran berkurang karena adanya penurunan produksi dunia maka harga CPO akan meningkat. Pengaruh harga ekspor CPO Indonesia, harga minyak goreng domestik dan harga TBS terhadap harga CPO Rotterdam belum besar, karena Indonesia masih mengacu kepada harga CPO Rotterdam. Besarnya pass-through harga ekspor CPO Indonesia terhadap harga CPO Malaysia dapat menunjukkan besarnya pengaruh perubahan harga CPO di Indonesia terhadap harga CPO Malaysia. Simulasi terhadap Cholesky Ordering menunjukkan bahwa perubahan harga minyak goreng domestik dan harga TBS kelapa sawit dapat mempengaruhi harga CPO Rotterdam dan harga minyak kedelai. Terbukanya kawasan Asia sebagai pasar utama CPO Indonesia dapat merupakan modal berharga bagi Indonesia untuk menjadikan harga CPO Indonesia sebagai salah satu harga referensi dunia.

Kata kunci: harga, minyak bumi, minyak kedelai, minyak sawit, minyak goreng, tandan buah segar, vector error, CPO, TBS, VECM

(9)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1 Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2 Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

(10)
(11)

ANALISIS INTEGRASI HARGA MINYAK BUMI,

MINYAK KEDELAI, CPO, MINYAK GORENG DOMESTIK

DAN TANDAN BUAH SEGAR KELAPA SAWIT

Oleh:

BAMBANG WAHYU PONCO AJI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)
(14)
(15)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Analisis Integrasi Harga Minyak Bumi, Minyak Kedelai, CPO, Minyak Goreng Domestik dan Tandan Buah Segar Kelapa Sawit

Nama : Bambang Wahyu Ponco AJi

NRP : H151080344

Program Studi : Ilmu Ekonomi

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS Dr. Ir. Sasmito Hadi Wibowo, MSc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MSiProf. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

(16)
(17)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis ini. Judul tesis ini adalah “Analisis Integrasi Harga Minyak Bumi, Minyak Kedelai, CPO, Minyak Goreng Domestik dan Tandan Buah Segar Kelapa Sawit”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Noer Azam Achsani, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Sasmito Hadi Wibowo, MSc selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada Dr. D.S. Priyarsono, dan Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc yang telah banyak membantu mahasiswa dalam proses perkuliahan, Dr. Ir. Nunung Nuryartono, MSi dan Dr. Lukytawati selaku Ketua dan sekretaris Program Studi Ilmu Ekonomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada istri tercinta Eni Suprapti dan kekasih kecilku Abdullah Hanif Da’i Athfan yang telah banyak berkorban untuk penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini. Ibunda terkasih Satinah, ayahanda Ngadijono serta kakak-kakakku yang selalu memberi semangat, dorongan dan doa yang tulus.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman BPS baik di BPS

(18)

Provinsi Papua serta BPS Jakarta yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini.

Tidak ada satupun yang sempurna, begitu juga tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya, penulis berharap bahwa apa yang telah penulis kerjakan ini dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak dan menjadi landasan yang baik menuju tahap berikutnya.

Bogor, Juli 2010

(19)

RIWAYAT HIDUP

Bambang Wahyu Ponco Aji, dilahirkan di Magelang pada tanggal 13 September 1978 dari pasangan Ngadijono dan Satinah. Penulis merupakan anak kelima dari lima bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan Eni Suprapti dan telah dikaruniai seorang putra: Abdullah Hanif Da’i ‘Athfan.

Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Sukorejo I Magelang pada tahun 1986 sampai dengan tahun 1991, Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Magelang pada tahun 1992 sampai dengan tahun 1994, dan melanjutkan Sekolah Menengah Umum Negeri 3 Magelang pada tahun 1995 sampai dengan tahun 1997. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta sampai tahun 2001, dan memperoleh gelar Sarjana Sains Terapan (SST).

Setelah tamat STIS, penulis menjalani ikatan dinas di BPS Provinsi Papua dari tahun 2002 sampai tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Program S2 Penyelenggaraan Khusus BPS-IPB di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

(20)
(21)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL... iii

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN... vii

DAFTAR SINGKATAN ... ix I. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 5 1.4 Kegunaan Penelitian ... 5 1.5 Ruang Lingkup... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 7

2.1 Tinjauan Teori... 7

2.1.1 Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian... 7

a. Teori Permintaan ... 7

b. Teori Penawaran ... 9

2.1.2 Teori Perdagangan Internasional... 11

a. Teori Pra-Klasik Merkantilisme... 11

b. Teori Klasik... 12

c. Teori Modern... 12

d. International Competitive of Nation Porters’s Diamond 13

2.1.3 Transmisi Harga ... 16

2.1.4 Integrasi Pasar ... 20

2.1.5 Manajemen Pemasaran Pasar Fisik dan Pasar Berjangka ... 21

2.1.6 Peranan Pemerintah ... 24

2.2 Penelitian Terdahulu ... 26

2.3 Kerangka Pemikiran... 30

2.4 Hipotesis Penelitian... 32

III. METODE PENELITIAN... 33

3.1 Jenis dan Sumber Data... 33

3.2 Metode Analisis Data... 33

3.2.1 Vector Autoregression (VAR) ... 34

3.2.2 VECM... 36

3.2.3 Pengujian Pra-Estimasi... 37

3.2.4 Derajat Pass-Through... 43

(22)

IV. GAMBARAN UMUM... 47 4.1 Perkembangan Harga Minyak Bumi... 47 4.2 Perdagangan Dunia Minyak Nabati ... 51 4.3 Perkembangan Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa

Sawit ... 52 4.4 Perkembangan Ekspor Minyak Kelapa Sawit... 54 4.5 Perkembangan Harga Dunia CPO... 55 4.6 Perkembangan Harga Ekspor CPO, Minyak Goreng dan TBS ... 56

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 59 5.1 Pengujian Akar Unit ... 59 5.2 Penentuan Lag Optimal ... 62 5.3 Pengujian Stabilitas VAR... 63 5.4 Granger Causality... 63 5.5 AnalisisKointegrasi ... 65 5.6 Analisis Vector Error Correction Model ... 68 5.7 Analisis Impulse Response Function (IRF)... 74 5.7.1 Respon terhadap Perubahan Harga Minyak Bumi ... 74 5.7.2 Respon terhadap Perubahan Harga Minyak Kedelai... 76 5.7.3 Respon terhadap Perubahan Harga CPO Rotterdam ... 79 5.7.4 Respon terhadap Perubahan Harga Ekspor CPO

Indonesia, Harga Minyak Goreng Domestik dan

Harga TBS Kelapa Sawit... 81 5.8 Analisis Variance Decomposition ... 81 5.9 Derajat Pass-Through ... 86

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 91 6.1 Simpulan ... 91 6.2 Saran... 91

DAFTAR PUSTAKA... 93

(23)

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

1. Produksi dan Konsumsi Minyak Nabati Dunia... 51 2. Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia menurut Negara Tujuan

Utama ... 54 3. Hasil Pengujian Akar Unit Tingkat Level... 61 4. Hasil Pengujian Akar Unit Tingkat First Difference ... 62 5. Panjang Lag Optimal Berdasarkan Beberapa Kriteria... 62 6. VAR Stability Condition Check ... 63 7. Granger Causality Test Lag 1 ... 64 8. Hasil Pengujian Kointegrasi... 66 9. Hasil Kointegrasi Bivariate... 67 10 Hasil Estimasi VECM Jangka Panjang... 69 11. Hasil Estimasi VECM Jangka Pendek ... 71 12. Volume Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia menurut Negara

Tujuan Ekspor ... 72 13. Konsumsi Minyak Nabati Dunia... 81 14. Derajat Pass-Through Harga Minyak Bumi... 86 15. Derajat Pass-Through Harga Minyak Kedelai ... 87 16. Derajat Pass-Through Harga CPO Rotterdam ... 88

(24)
(25)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1. Pergerakan harga CPO di pasar Rotterdam dan harga minyak bumi dunia tahun 2003-2008 ... 2 2. Kurva Permintaan ... 9 3. Kurva Penawaran... 10 4. Porter’s Diamond ... 14 5. Kurva Perdagangan Internasional Antar Dua Negara ... 14 6. Kurva Penawaran Ekspor Negara A ... 15 7. Asimetri Transmisi Harga Berdasarkan Kriteria Kecepatan, Besaran

serta Kecepatan dan Besaran ... 19 8. Asimetri Transmisi Harga Berdasarkan Kriteria Positif dan Negatif.. 20 9. Kerangka Konseptual ... 29 10. Perkembangan Harga Bulanan Minyak Bumi Januari 1947 –

Agustus 2009 ... 47 11. Perkembangan Harga Minyak Bumi Tahun 1947–1973 ... 48 12. Perkembangan Harga Minyak Bumi Tahun 1973–1981 ... 48 13. Perkembangan Harga Minyak Bumi Tahun 1981–1998 ... 49 14. Perkembangan Harga Minyak Bumi Tahun 1997–2003 ... 49 15. Perkembangan Harga Minyak Bumi Tahun 2001–2005 ... 50 16. Perkembangan Harga Minyak Bumi Tahun 2004–2007 ... 50 17. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit menurut Status Pengusahaan

tahun 1997-2006 ... 53 18. Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit menurut Status Pengusahaan

tahun 1997-2006 ... 53 19. Pergerakan Harga bulanan CPO di Pasar Rotterdam tahun 1980 -

2008 ... 55 20. Pergerakan Harga Ekspor CPO tahun 2003-2008 ... 56 21. Pergerakan Harga Minyak Goreng Domestik tahun 2003-2008 ... 57 22. Plot Data untuk Uji Stasioneritas... 60 23. Perkembangan Ekspor CPO Indonesia Ke Kawasan Asia dan Eropa. 73 24. Respon terhadap Perubahan Harga Minyak Bumi ... 76 25. Respon terhadap Perubahan Harga Minyak Kedelai ... 78 26. Respon terhadap Perubahan Harga CPO Rotterdam ... 80 27. Analisis Variance Decomposition Harga CPO Rotterdam... 82 28. Analisis Variance Decomposition Harga Ekspor CPO Indonesia... 83 29. Analisis Variance Decomposition Harga Minyak Goreng Domestik . 84 30. Analisis Variance Decomposition Harga Tandan Buah Segar... 85

(26)
(27)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Halaman

1. Uji Stasioneritas Data Level ... 97 2. Uji Stasioneritas Data First Difference... 103 3. Granger Causality Lag 1... 109 4. Granger Causality Lag 2... 111 5. Johansen Cointegration Test (Summary) ... 113 6. Johansen Cointegration Test (Asumsi)... 115 7. Kointegrasi Bivariate... 117 8. Estimasi VECM... 137 9. Impulse Response Function (IRF)... 141 10. Kumulatif Impulse Response Function (IRF) ... 149 11. Forecast Error Decomposition of Variance (FEDV)... 153 12. Pass-Through Simulasi Choesky Ordering... 161

(28)
(29)

DAFTAR SINGKATAN

ADF : Augmented Dicky Fuller AIC : Akaike Information Criterion BPS : Badan Pusat Statistik

CCO : Crude Coconut Oil CE : Cointegration Equation CPO : Crude Palm Oil

FEVD : Forecasting Error Variance Decomposition FPE : Final Prediction Error

HPE : Harga Patokan Ekspor HQ : Hannan Quinn Criterion

IFS : International Financial Statistics IRF : Impulse Response Function

LRa : Long Run

LRb : Likelihood Ratio MGK : Minyak Goreng Kelapa MGS : Minyak Goreng Sawit

PE : Pajak Ekspor

SIC : Schwarrz Information Criterion

SR : Short Run

TBS : Tandan Buah Segar VAR : Vector Autoregression

(30)
(31)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Minyak nabati merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan minyak pangan dunia. Tahun 2008 minyak nabati menguasai pangsa 84.8% dari konsumsi minyak pangan dunia. Sebelum tahun 1990-an, perdagangan minyak nabati dunia masih didominasi oleh minyak kedelai yang banyak diproduksi di negara-negara kawasan Amerika Utara dan Selatan. Setelah tahun 1990-an perdagangan minyak nabati dunia lebih didominasi oleh minyak kelapa sawit yang banyak diproduksi di negara-negara kawasan Asia Tenggara, terutama Indonesia dan Malaysia.

Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dunia maka terjadi kenaikan kebutuhan konsumsi minyak nabati. Cepatnya pertumbuhan ekonomi Cina dan India, negara yang berpenduduk paling banyak telah mendorong peningkatan konsumsi minyak nabati dunia. Konsumsi minyak Cina naik menjadi 76%, dimana India 45% dari konsumsi minyak makannya dipasok dari impor (Depperin 2009).

Pada saat yang sama, perubahan iklim global telah mengakibatkan penurunan pasokan minyak kedelai akibat kekeringan yang terjadi di Brazil dan Argentina yang merupakan supplier terbesar minyak kedelai dunia. Kondisi ini menggambarkan adanya ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan. Pasokan yang semakin menurun sedangkan permintaan terhadap minyak kedelai tetap tinggi. Dinilai memiliki harga yang cukup terjangkau dibandingkan komoditas substitusi lainnya, maka permintaan dunia beralih ke Crude Palm Oil (CPO) sebagai subtitusi minyak kedelai.

Pada tingkat yang efisien, biaya produksi minyak kelapa sawit adalah USD200 per ton, jauh lebih efisien dibandingkan minyak nabati lainnya (Arianto 2008). Berbagai keunggulan CPO atau minyak kelapa sawit mentah menurut Siregar (2009) antara lain sumber provitamin A, vitamin E, antioksidan, asam linoleat rendah, kalori yang tinggi, tidak mudah teroksidasi, mampu melarutkan bahan kimia yang tidak larut oleh bahan pelarut lainnya dan mempunyai daya melapis tinggi. CPO banyak digunakan sebagai bahan baku dalam industri kimia, mentega, sabun, lilin, produk

(32)

minyak makan. Selain itu CPO juga digunakan untuk industri baja, kawat, radio, tekstil, bahan perekat, industri farmasi dan kosmetik.

Meningkatnya permintaan dunia terhadap CPO menyebabkan perkembangan harga CPO sepanjang tahun 2002-2007 cenderung mengalami kenaikan rata-rata 5% pertahun (Depperin 2009). Peningkatan harga CPO yang tajam terjadi sejak tahun 2006, dari USD400 per ton menjadi USD1200 per ton pada tahun 2008. Kenaikan ini sehubungan dengan penggunaan CPO sebagai biofuel karena naiknya harga minyak bumi.

Adanya pembatasan produksi minyak bumi oleh negara-negara produsen menyebabkan pasokan di pasar dunia menurun. Pada saat yang sama permintaan terhadap minyak bumi meningkat karena negara-negara dibelahan bumi utara sedang mengalami musim dingin. Konsekuensinya, negara-negara konsumen minyak bumi mencari bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi. Gambar 1 memperlihatkan pergerakan harga CPO di pasar Rotterdam dan harga minyak bumi.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

Jan-03 Jan-04 Jan-05 Jan-06 Jan-07 Jan-08

U S $ p e r to n 0 20 40 60 80 100 120 140 U S $ p e r b a re l

Harga CPO Rotterdam Harga Minyak Bumi Dunia

Sumber : Oil World dan IFS, diolah

Gambar 1. Pergerakan harga CPO di pasar Rotterdam dan harga minyak bumi dunia tahun 2003-2008

Krisis finansial global tahun 2008 yang melanda dunia menyebabkan pertumbuhan output dan permintaan output mengalami penurunan. Dampak krisis tersebut pada gilirannya menyebabkan penurunan permintaan Crude Palm Oil (CPO) sebagai komoditas perkebunan. Seiring dengan menurunnya daya beli masyarakat di negara–negara yang terkena imbas krisis finansial, volume impor CPO dari negara– negara tersebut juga mengalami penurunan. Disisi lain, Indonesia sebagai produsen

(33)

utama CPO sedang giat melakukan ekspansi untuk menaikkan produksi tandan buah segar kelapa sawit (TBS) karena tingginya insentif ekspor CPO. Akibat turunnya permintaan dan meningkatnya produksi, maka stok CPO melimpah sehingga harga CPO di pasar Rotterdam merosot tajam dari harga USD1200 menjadi USD550 pada akhir tahun 2008.

CPO mempunyai peran penting bagi perekonomian Indonesia. Prospeknya yang bagus di perdagangan dunia merupakan sumber devisa bagi pemerintah. Berdasarkan data BPS, kontribusi komoditas ini terhadap nilai ekspor non migas Indonesia cukup besar yaitu 2.28% pada tahun 2000 meningkat menjadi 11.47% pada tahun 2008.

Di pasar domestik, CPO merupakan salah satu sumber kebutuhan pokok bagi rakyat Indonesia yaitu bahan baku utama minyak goreng. Peningkatan jumlah penduduk mendorong meningkatnya kebutuhan terhadap minyak goreng. Konsumsi CPO domestik sebagian besar digunakan untuk industri minyak goreng sebagai konsumen utama CPO. Total penggunaan CPO tahun 2006 sebesar 16 juta ton, diistribusikan untuk ekspor sebesar 30.25%, minyak goreng 60.65%, margarin dan

shortening 4.34%, serta oleochemical 4.76% (Depperin 2009).

Pemanfaatan CPO sebagai bahan pangan dan non pangan perkembangannya selaras dengan pertumbuhan areal perkebunan dan produksi TBS sebagai sumber bahan baku. Tahun 2008 luas perkebunan kelapa sawit mencapai 7 juta ha dengan produksi TBS sebanyak 18.09 juta ton. Dibandingkan tahun 2000, peningkatannya sangat pesat. Produksi selama tahun 2000-2008 meningkat 93% dan luas lahannya meningkat lebih dari 100%. Pemanfaatan CPO sebagai bahan baku industri dapat memberikan efek berganda meliputi pertumbuhan sub sektor ekonomi lainnya, pengembangan wilayah industri, proses alih teknologi, perluasan lapangan kerja, perolehan devisa, dan peningkatan penerimaan pajak (Depperin 2009).

Di era perdagangan dunia yang makin terbuka, fluktuasi harga CPO di pasar dunia dapat mempengaruhi harga domestik. Demikian pula sebaliknya, Indonesia sebagai produsen utama CPO selain malaysia, dapat mempengaruhi perubahan stok CPO di pasar dunia. Pada tahun 1998, ketika Indonesia dan Malaysia lebih mengutamakan mengalokasikan CPO untuk kebutuhan domestik maka volume CPO yang diperdagangkan di pasar dunia berkurang, sedangkan permintaan terhadap CPO

(34)

tetap tinggi. Akibatnya harga CPO bulan Mei 1998 melambung sampai USD700, meningkat sekitar 40% dari harga CPO akhir tahun 1997.

Latar belakang diatas menunjukkan bahwa fluktuasi harga CPO dipengaruhi oleh harga minyak kedelai sebagai substitusinya. Selain itu pergerakan harga CPO juga berhubungan dengan pergerakan harga minyak bumi. Pada sisi yang lain, peningkatan produksi TBS kelapa sawit dan pemenuhan kebutuhan minyak goreng berpengaruh terhadap pasokan CPO domestik dan ekspor. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai integrasi harga minyak bumi, minyak kedelai, CPO, minyak goreng domestik dan tandan buah segar kelapa sawit.

1.2. Perumusan Masalah

Terjadinya krisis pangan dan krisis energi dunia membawa dampak pada kompetisi penggunaan minyak nabati untuk konsumsi pangan dan alternatif bahan bakar biofuel. Minyak kedelai yang semula mendominasi pangsa konsumsi minyak nabati dunia posisinya digantikan oleh CPO sebagai substitusinya, sehingga penurunan pasokan minyak kedelai berdampak pada kenaikan harga CPO. Demikian juga keterbatasan produksi minyak bumi menyebabkan harganya semakin naik, sehingga dicarilah bahan bakar alternatif pengganti minyak bumi yang harganya relatif lebih murah. Oleh karenanya sebagai salah satu sumber biofuel, pergerakan harga CPO dipasar Rotterdam berhubungan dengan pergerakan harga minyak bumi.

Harga CPO Rotterdam merupakan harga referensi dunia. Akibatnya fluktuasi yang terjadi dipasar CPO Rotterdam dapat berdampak pada Indonesia dan Malaysia sebagai produsen terbesar CPO dunia. Pada sisi sebaliknya, selain sebagai produsen terbesar CPO dunia Indonesia sekaligus merupakan konsumen utama CPO untuk memenuhi kebutuhan domestik. Meningkatnya permintaan CPO untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng domestik karena bertambahnya jumlah penduduk dapat mempengaruhi kuantitas ekspor CPO yang selanjutnya mempengaruhi pasokan CPO dunia. Demikian juga perluasan lahan dan peningkatan produksi TBS kelapa sawit juga dapat mempengaruhi kesinambungan pasokan CPO domestik dan ekspor. Mempertimbangkan hal di atas, maka pokok permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah integrasi antara harga minyak bumi, minyak kedelai, harga CPO minyak goreng domestik dan TBS kelapa sawit ?

(35)

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dilakukan yaitu:

1. Menganalisis integrasi harga minyak bumi, harga minyak kedelai, harga CPO Rotterdam, harga CPO Malaysia, harga ekspor CPO Indonesia, harga minyak goreng domestik dan harga TBS kelapa sawit.

2. Merumuskan kebijakan harga ekspor CPO, harga minyak goreng domestik dan harga TBS kelapa sawit.

1.4. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri juga bagi pihak-pihak lain, seperti:

1. Memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai integrasi harga minyak bumi, harga minyak kedelai, harga CPO Rotterdam, harga CPO Malaysia, harga ekspor CPO, harga minyak goreng domestik dan harga tandan buah segar.

2. Bagi penulis dapat meningkatkan pengetahuan, wawasan dan memberikan pemahaman yang semakin mendalam mengenai integrasi harga minyak bumi, harga minyak kedelai, harga CPO Rotterdam, harga CPO Malaysia, harga ekspor CPO, harga minyak goreng domestik dan harga tandan buah segar.

3. Bagi pemerintah, diharapkan dapat menjadi masukan dari adanya integrasi harga minyak bumi, harga minyak kedelai, harga CPO Rotterdam, harga CPO Malaysia, harga ekspor CPO, harga minyak goreng domestik dan harga tandan buah segar dalam penentuan kebijakan khususnya yang berkaitan dengan harga minyak goreng dan harga TBS.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan. Pertama, memberikan gambaran umum mengenai perdagangan CPO di pasar dunia, kondisi domestik minyak goreng dan tandan buah segar. Kedua, melihat transmisi perubahan harga CPO di pasar Rotterdam terhadap harga minyak goreng domestik dan tandan buah segar dengan menggunakan analisis vector autoregression (VAR) atau vector error correction

model (VECM). Ketiga melakukan analisis terhadap hasil estimasi dari model

(36)

Mengacu pada latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang sudah diuraikan sebelumnya, maka ruang lingkup penelitian ini adalah: (1) hanya mengkaji faktor harga, (2) Bentuk dan kualitas minyak goreng merupakan gabungan minyak goreng curah dan kemasan, (3) hanya membahas minyak goreng sawit, (4) tandan buah segar merupakan pembelian ditingkat petani, (5) hanya memperhitungkan ekspor CPO, (6) tidak memperhitungkan intervensi pemerintah secara kuantitas seperti besarnya kuantitas operasi pasar minyak goreng, besarnya pajak ekspor CPO.

(37)

2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Teori

2.1.1. Permintaan dan Penawaran Komoditas Pertanian

Permintaan dan penawaran komoditas pertanian berkaitan dengan interaksi antara penjual dan pembeli. Interaksi ini akan menentukan tingkat harga yang berlaku dan jumlah komoditas yang diperjualbelikan. Interaksi tersebut dapat diterangkan melalui teori permintaan dan teori penawaran.

a. Teori Permintaan

Teori permintaan menerangkan sifat dari permintaan pembeli pada suatu komoditas, serta menerangkan hubungan antara jumlah yang diminta, harga, dan pembentukan kurva permintaan (Sugiarto et al. 2007). Suatu komoditas dihasilkan oleh produsen karena dibutuhkan oleh konsumen dan konsumen bersedia membelinya. Konsumen mau membeli komoditas yang mereka perlukan apabila harga produk tersebut sesuai dengan keinginannya.

Menurut Rahardja dan Manurung (2008), beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan barang yaitu:

1). Harga barang itu sendiri. Sifat hubungan antara permintaan dan harga dijelaskan dalam hukum permintaan. Hipotesis hukum permintaan menyatakan bahwa semakin rendah harga suatu komoditas maka semakin banyak jumlah komoditas tersebut yang diminta, sebaliknya semakin tinggi harga suatu komoditas semakin sedikit komoditas tersebut diminta, ceteris paribus. Menurut Sugiarto et al. (2007), hipotesis tersebut didasarkan atas asumsi:

a). Bila harga suatu komoditas turun, maka pembelian terhadap komoditas lain yang terkait akan menurun dan menambah pembelian terhadap komoditas yang mengalami penurunan harga tersebut. Penurunan harga suatu komoditas menyebabkan pendapatan riil para pembeli meningkat, sehingga mendorong untuk meningkatkan pembelian.

b). Bila harga suatu komoditas naik, maka pembeli akan mencari komoditas lain yang dapat digunakan sebagai pengganti atas komoditas yang mengalami kenaikan harga. Kenaikan harga menyebabkan pendapatan riil pembeli berkurang, sehingga mendorong pembeli mengurangi pembeliannya.

(38)

2). Harga barang lain yang terkait. Keterkaitan dua macam barang dapat bersifat substitusi ataupun komplemen. Menurut Djojodipuro (1991) barang substitusi adalah barang yang memenuhi kebutuhan yang sama. Biasanya barang substitusi tidak mutlak dapat menggantikan satu sama lain, sehingga konsumen dapat memilih mana yang lebih cocok untuk memenuhi kebutuhannya. Pada barang substitusi, bila harga barang yang satu naik, dengan mengabaikan pengaruh pendapatan maka barang yang lain akan naik pula harganya. Hal ini disebabkan kenaikan harga barang yang pertama mengakibatkan pemindahan permintaan ke barang lain dan menaikkan harganya. Oleh karena itu untuk barang substistusi, gerak harganya adalah searah.

3). Tingkat pendapatan perkapita. Tingkat pendapatan perkapita dapat mencerminkan daya beli.

4). Selera atau kebiasaan. 5). Jumlah penduduk.

6). Perkiraan harga dimasa mendatang. 7). Distribusi pendapatan

8). Usaha-usaha produsen meningkatkan penjualan.

Djojodipuro (1991) menyebutkan bahwa kurva permintaan (Gambar 2a) menggambarkan hubungan antara jumlah barang yang diminta sebagai fungsi harga dan menganggap variabel lainnya tetap (ceteris paribus). Pengaruh perubahan harga yang diminta yaitu barang x terhadap jumlahnya digambarkan sebagai pergerakan sepanjang kurva permintaan atau biasa disebut hukum permintaan. Pada Gambar 2b perubahan variabel lain seperti harga barang lain, pendapatan dan selera digambarkan sebagai pergeseran kurva permintaan. Kurva bergeser ke kanan jika perubahannya positif, dan bergeser ke kiri kalau perubahannya negatif. Misal pergeseran kurva karena peningkatan pendapatan. Pada harga yang sama konsumen mau membeli jumlah yang besar (0Qx – 0Q’x) atau jumlah barang yang sama, misal

(39)

D Harga Px Kuantitas Qx 0 D1 P’x Harga Px Kuantitas Qx Px Qx Q’x 0 2b 2a D

Gambar 2. Kurva Permintaan

b. Teori Penawaran

Teori penawaran menerangkan sifat para penjual dalam menawarkan komoditas yang akan dijualnya (Sugiarto et al. 2007). Pernyataan yang menjelaskan sifat hubungan antara harga suatu komoditas dan jumlah komoditas tersebut yang ditawarkan oleh produsen dikenal dengan hukum penawaran. Pada umumnya semakin tinggi harga suatu komoditas, semakin banyak jumlah komoditas tersebut yang akan ditawarkan oleh penjual. Sebaliknya makin rendah harga suatu komoditas makin sedikit jumlah yang ditawarkan oleh penjual. Menurut Rahardja dan Manurung (2008), beberapa faktor yang mempengaruhi penawaran barang yaitu: 1). Harga barang itu sendiri. Sifat hubungan antara harga suatu komoditas dan

jumlah penawaran komoditas tersebut dikenal dengan hukum penawaran. Pada umumnya semakin tinggi harga suatu komoditas semakin banyak jumlah komoditas tersebut yang akan ditawarkan oleh penjual.

2). Harga barang lain yang terkait. 3). Harga faktor produksi.

4). Biaya produksi. 5). Teknologi produksi. 6). Jumlah penjual. 7). Tujuan perusahaan. 8). Kebijakan pemerintah.

Menurut Djojodipuro (1991) kurva penawaran (Gambar 3a) menunjukkan berbagai jumlah barang yang seorang penjual bersedia menawarkan dengan berbagai

(40)

harga, ceteris paribus. Dalam keadaan ini, maka kurva tersebut menaik dari kiri bawah ke kanan atas. Kurva ini merupakan pembatas, dimana semua yang diatasnya mungkin terjadi dan yang dibawahnya tidak. Pada setiap tingkat harga, penjual bersedia menjual barang, tetapi mereka tidak dapat dirangsang untuk menjual lebih. Dari segi jumlah, maka kurva penawaran menunjukkan harga minimum yang mendorong penjual untuk menjual berbagai jumlah. Penjual mau menerima harga yang lebih tinggi untuk jumlah tertentu, tetapi tidak lebih rendah. Pada Gambar 3b perubahan variabel lain seperti harga barang lain, biaya produksi dan teknologi produksi digambarkan sebagai pergeseran kurva. Kurva bergeser ke kanan jika perubahannya positif, dan bergeser ke kiri kalau perubahannya negatif. Misal pergeseran kurva karena peningkatan teknologi.

S Harga Px Kuantitas Qx 0 3b 3a S2 S1 P’x Harga Px Kuantitas Qx Px 0 Qx Q’x

Gambar 3. Kurva Penawaran

Menurut Sugiarto et al. (2007) analisis permintaan dan penawaran merupakan alat yang penting untuk:

a. Memahami respon harga dan kuantitas suatu komoditas terhadap perubahan variabel-variabel ekonomi seperti teknologi, selera konsumen, harga komoditas lain, dan harga faktor produksi.

b. Menganalisis interaksi yang kompetitif antara penjual dan pembeli dalam menghasilkan harga dan kuantitas suatu komoditas.

c. Menunjukkan kebebasan yang diberikan pasar kepada konsumen dan produsen. d. Menganalisis efek berbagai intervensi kebijakan pemerintah dipasar, seperti

(41)

2.1.2. Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang melintasi antar negara yang mencakup aktivitas ekspor dan impor baik barang maupun jasa (Yuliadi 2007). Teori perdagangan internasional merupakan teori yang mencoba memahami mengapa sebuah negara mau melakukan kerjasama perdagangan dengan negara-negara lain. Berikut ini disampaikan beberapa teori perdagangan internasional. a. Teori Pra-Klasik Merkantilisme

Merkantilisme merupakan aliran ekonomi yang tumbuh dan berkembang pesat pada abad XVI sampai dengan XVIII di Eropa Barat. Merkantilisme merupakan ajaran yang berkeyakinan bahwa perekonomian suatu negara makin makmur bila mampu memaksimalkan surplus perdagangan. Konsekuensinya adalah memaksimalkan ekspor sekaligus meminimalkan impor, sehingga surplus perdagangan akan meningkat (Rahardja & Manurung 2008).

Kebijakan ini diadaptasi kembali oleh banyak negara dalam bentuk Neo Merkantilisme. Ciri utamanya yaitu pemeliharaan surplus perdagangan, bila perlu melakukan proteksi. Kebijakan proteksi dilakukan untuk melindungi dan mendorong ekonomi industri nasional dengan menggunakan kebijakan tarif dan non tarif. Kebijakan ini dilakukan negara-negara Barat agar negara eksportir memperhatikan kelestarian alam dimana setiap produknya mempunyai green label ataupun pemerhatian terhadap hak asasi manusia. Hal ini merupakan salah satu cara yang dilakukan negara kapitalis untuk menghambat ekspor dari negara berkembang. Contoh konkret adalah isu perusakan lingkungan yang dilakukan oleh Indonesia yaitu memperluas perkebunan kelapa sawit dengan cara membuka hutan. Isu ini dilontarkan Amerika untuk melindungi perdagangan minyak jagungnya di pasaran dunia sehubungan dengan adanya peningkatan ekspor CPO ke beberapa negara. Kebijakan ini juga pernah diterapkan oleh Indonesia dalam bentuk larangan ekspor CPO dan penetapan harga patokan ekspor CPO untuk melindungi industri minyak goreng dalam negeri.

b. Teori Klasik

1). Teori Absolute Advantage

Teori keunggulan absolut dikemukakan oleh Adam Smith. Menurutnya perdagangan akan meningkatkan kemakmuran jika dilaksanakan melalui mekanisme

(42)

perdagangan bebas Melalui mekanisme perdagangan bebas, para pelaku ekonomi diarahkan untuk melakukan spesialisasi dalam upaya peningkatan efisiensi. Setiap negara akan memperoleh manfaat perdagangan internasional karena melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak, serta mengimpor barang jika negara tersebut memiliki ketidakunggulan mutlak (Hady 2001).

2). Teori Comparative Advantage

Teori keunggulan komparatif dikemukakan oleh David Ricardo yang dikenal dengan model Ricardian. Teori ini didasarkan pada nilai tenaga kerja, yaitu harga suatu produk ditentukan oleh jumlah waktu atau jam kerja yang diperlukan untuk memproduksinya (Hady 2001). Konsep penting dalam model Ricardian adalah perbedaan sumber daya dan teknologi yang dimiliki oleh tiap negara menciptakan keunggulan bagi negara tersebut (comparative advantage). Ricardo membuktikan bahwa bila dua wilayah yang saling berdagang masing-masing mengkonsentrasikan diri untuk mengekspor barang yang memiliki keunggulan komparatif, maka kedua wilayah tersebut akan mendapatkan keuntungan. Atas dasar keunggulan komparatif maka berkembang suatu fenomena yang kemudian disebut spesialisasi yaitu setiap negara memproduksi sesuatu yang paling dikuasainya. Suatu negara dikatakan mempunyai keunggulan komparatif dalam memproduksi suatu komoditi kalau biaya pengorbanannya (opportunity cost) dalam memproduksi barang tersebut (dalam satuan barang lain) lebih rendah daripada negara-negara lainnya (Krugman & Obstfeld 2000).

c. Teori Modern

Teori Heckscher-Ohlin menjelaskan bahwa dalam kenyataannya perdagangan tidak hanya menunjukkan perbedaan produktivitas tenaga kerja namun juga mencerminkan perbedaan sumber daya di tiap negara yaitu karena adanya perbedaan jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki masing-masing negara (Rahardja & Manurung 2008). Dapat dikatakan bahwa suatu negara sebaiknya mengekspor barang yang menggunakan faktor produksi yang melimpah dan mengimpor barang yang menggunakan faktor produksi yang langka di negaranya. Namun ekspor dan impor untuk komoditi tersebut hanya dapat dilakukan bila penggunaan faktor produksi telah dilakukan secara intensif (Krugman & Obstfeld 2000).

(43)

d. International Competitive of Nation Porter’s Diamond

Pada era global yang makin kompetitif diperlukan keunggulan dalam biaya produksi dan keunggulan kompetitif. Menurut Porter dalam Rahardja dan Manurung (2008), keunggulan kompetitif suatu bangsa bersumber pada beberapa keunggulan berikut:

1). Keunggulan karena faktor produksi (factor conditions)

Faktor produksi yang dimiliki oleh suatu negara yang memberikan kontribusi terhadap keunggulan kompetitif adalah SDM, SDA, iptek, permodalan dan prasarana.

2). Keunggulan karena faktor permintaan (demand conditions)

Skala dan tingkat pertumbuhan pasar domestik maupun internasional merupakan salah satu faktor penunjang peningkatan daya saing. Skala pasar yang makin membesar dapat menurunkan biaya produksi per unit.

3). Keunggulan karenanjaringan kerja industri (related and supporting industry) Untuk menjaga dan dan memelihara kelangsungan keunggulan daya saing maka perlu dijaga kontak dan koordinasi dengan supplier.

4). Keunggulan karena strategi perusahaan dan struktur persaingan pasar (firm

strategy, structure and rivalry)

Strategi perusahaan, struktur organisasi dan kondisi persaingan antara perusahaan domestik yang sangat ketat dan tidak adanya proteksi pemerintah akan memaksa perusahaan memperbaiki kondisi internalnya. Hal ini mampu mendorong perusahaan bekerja efisien dan produktif sehingga dapat bersaing di pasar global. Gambar 4 menunjukkan hubungan keempat faktor tersebut dalam bentuk skema

Porter’s Diamond.

Related and Supporting Industry Factor Conditions

Firm Strategy, Structure and Rivalry

Demand Conditions

(44)

Teori perdagangan internasional menunjukkan bahwa tiap negara memiliki perbedaan sumber daya dalam memproduksi suatu barang sehingga menciptakan keunggulan komparatif dan spesialisasi pada tiap negara yang berimplikasi pada perbedaan harga untuk komoditi yang sama. Perbedaan harga menjadi dasar terjadinya arus perdagangan antar negara yang secara grafis dijelaskan Gambar 5 (Soekartawi 1991). DA SA Pd Harga Kuantitas DI SI Harga Kuantitas DB SB Harga Kuantitas Negara A Pasar Internasional Negara B

Pf Pd Y3 Y4 Y2 Y3 Y1 Y2 Y1 D C E // G F H 0 0 0

Gambar 5. Kurva Perdagangan Internasional Antar Dua Negara

Gambar diatas menunjukkan bahwa sebelum adanya perdagangan internasional, dinegara A harga keseimbangan komoditas Y pada titik C dan pada titik F pada negara B. Konsumsi di negara A sebesar 0Y1 dan 0Y4 pada negara B. Pf

adalah harga keseimbangan di pasaran internasional, maka konsumsi domestik negara A menjadi 0Y2 sedang total penawaran komoditas Y sebesar 0Y3 atau dititik

E. Gambar 6 menunjukkan jumlah komoditas Y yang diekspor sebesar 0-Y atau Y2

-Y3. DA SA Pd Harga Kuantitas SX Harga Kuantitas Pf Y3 Y1 Y2 Y’ D C E // 0 0

(45)

Faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor menurut Darmansyah dalam Soekartawi (1991) seperti diuraikan berikut ini:

a Harga Internasional

Makin besar selisih antar harga di pasar internasional dengan harga domestik akan menyebabkan jumlah komoditi yang akan diekspor menjadi bertambah banyak. Naik turunnya harga tersebut disebabkan oleh:

1). Keadaan perekonomian negara pengekspor, dimana dengan tingginya inflasi di pasar domestik akan menyebabkan harga dipasar domestik menjadi naik. Jika ditinjau dari pasar internasional secara riil harga komoditi tersebut akan terlihat semakin menurun.

2). Harga di pasar internasional semakin meningkat, dimana harga internasional merupakan keseimbangan antara penawaran ekspor dan permintaan impor suatu komoditas di pasar dunia meningkat. Jika harga komoditas di pasar domestik tersebut stabil, maka selisih harga internasional dan harga domestik semakin besar, akibatnya akan mendorong ekspor komoditi tersebut.

b Nilai tukar uang c Kuota ekspor impor

d Kebijakan tarif dan non tarif

Kebijakan tarif dan non tarif dimaksudkan untuk menjaga harga produk dalam negeri dalam tingkatan tertentu sehingga dengan harga tersebut dapat atau mampu mendorong pengembangan komoditi tersebut.

2.1.3. Transmisi Harga

Analisis yang umum dipakai untuk mengetahui hubungan antar harga adalah transmisi harga dan integrasi pasar. Terminologi analisis harga biasanya mengacu pada analisis kuantitatif dari keterkaitan antara aspek permintaan dan penawaran harga. Alasan pentingnya dilakukan analisis harga menurut Tomek dan Robinson (1972) yaitu: (1) untuk mengestimasi koefisien (parameter) ekonomi tertentu seperti elastisitas permintaan harga komoditas dan (2) untuk meramalkan harga pada masa mendatang dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat harga komoditas tertentu. Analisis harga sering digunakan untuk menjelaskan perilaku harga dan

(46)

variabel-variabel yang berhubungan. Harga dianggap dapat memberikan gambaran tentang pasar dan menjadi salah satu indikator tingkat penawaran dan permintaan suatu komoditas, maka analisis harga pangan merupakan hal yang penting guna perumusan kebijakan stabilisasi harga dan peningkatan produksi pangan serta membuat peramalan harga (Rachman 2005).

Isu penting dalam perdagangan dunia produk pertanian adalah bagaimana pasar komoditas pertanian domestik merespon perubahan harga dunia ataupun sebaliknya. Tingkat transmisi harga dari dunia ke harga domestik merupakan parameter kritis dalam model empiris perdagangan yang berusaha untuk memperkirakan besarnya dampak terhadap harga, output, konsumsi dan kesejahteraan. Globalisasi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu secara spasial, baik secara hierarki atau simetri. Keterpaduan pasar pada umumnya direfleksikan oleh keterkaitan harga antar pasar (Ravallion 1986).

Studi transmisi harga umumnya menguji hubungan antara series harga pada

channel yang berbeda pada rantai pemasaran ataupun pada pasar yang terpisah secara

spasial. Studi transmisi harga ditemukan pada konsep yang berhubungan dengan perilaku persaingan harga. Studi ini memberikan informasi bagaimana shock disatu pasar ditransmisikan ke pasar yang lain. Hal ini merefleksikan tingkatan pasar dalam melaksanakan fungsinya secara efisien.

Spasial transmisi harga melihat bagaimana harga pada pasar yang terpisah secara spasial di suatua negara adalah berhubungan atau bagaimana harga domestik melakukan penyesuaian terhadap harga dunia. Informasi pada kedua bentuk spasial transmisi harga tersebut sangat penting bagi pengambil kebijakan. Beberapa negara berkembang telah mengurangi peran pemerintah yang berhubungan dengan lembaga pemasaran, regulasi harga komoditas, dan kontrol terhadap perdagangan dunia. Informasi pada derajat dimana sinyal harga dunia ditransmisikan ke pasar komoditas domestik merupakan sesuatu yang penting bagi pengambil kebijakan.

Dalam istilah spasial, paradigma klasik dari hukum satu harga (law of one

price), memberikan dalil bahwa transmisi harga disebut lengkap pada kondisi harga

keseimbangan dari suatu komoditas terjual pada pasar bersaing di luar negeri dan domestik dibedakan hanya oleh biaya transfer ketika dikonversi ke suatu mata uang yang sudah umum digunakan dalam perdagangan dunia. Model ini memprediksi

(47)

bahwa perubahan pada permintaan dan penawaran di satu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan oleh karena itu harga di pasar yang lain pada kondisi keseimbangan dipulihkan melalui arbitrase spasial.

Keberadaan integrasi pasar, atau pass-through perubahan harga yang sempurna dari satu pasar ke pasar yang lain mempunyai implikasi terhadap kesejahteraan ekonomi. Adanya transmisi harga yang tidak sempurna pada perdagangan atau kebijakan lainnya, atau pada biaya transaksi seperti miskinnya infrastruktur transportasi dan komunikasi menyebabkan berkurangnya informasi yang diperoleh pelaku ekonomi dan konsekuensinya pada pengambilan keputusan yang berkontribusi pada hasil yang tidak efisien.

Rapsomanikis et al. (2004) merumuskan P1t dan P2t sebagai harga sebuah

komoditas yang pasarnya terpisah secara spasial, C adalah biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2. Hubungan yang terjadi antara harga tersebut adalah :

P1t = P2t + C ...(1)

Jika hubungan dua harga terjadi seperti formula tersebut maka kedua pasar dikatakan terintegrasi. Namun kondisi ini bisa dikatakan tidak mungkin terjadi terutama pada jangka pendek. Jika sebaran bersama dari dua harga tersebut ternyata independen sepenuhnya atau tidak ada hubungan sama sekali maka dapat dikatakan bahwa tidak terjadi integrasi pasar dan tidak ada transmisi harga. Umumnya arbitrase spasial diharapkan untuk memastikan bahwa harga dari sebuah komoditas akan berbeda sejumlah tertentu atau paling besar sama dengan biaya transfer, C adalah biaya transfer untuk mengangkut komoditas dari pasar 1 ke pasar 2,  adalah konstanta yang besarnya antara 0 dan 1. Hubungan antara harga di dua pasar tersebut diidentifikasi sebagai berikut :

P2t - P1t = C ...(2)

Fackler dan Goodwin dalam Rapsomanikis et al. (2004) mengacu pada hubungan diatas sebagai kondisi arbitrase spasial dan berdalil bahwa hubungan tersebut mengidentifikasi sebuah bentuk yang lemah dari hukum satu harga (law of

one price), bentuk yang kuat dicirikan oleh persamaan 1. Mereka juga menekankan

(48)

berbeda dari hubungan 1, tetapi arbitrase spasial akan menyebabkan perbedaan antara kedua harga tersebut bergerak menuju biaya transfer.

Kondisi arbitrase spasial mengimplikasikan bahwa integrasi pasar mendorongnya pada sebuah intepretasi kointegrasi dengan keberadaannya sedang dievaluasi oleh uji kointegrasi. Kointegrasi dapat dipahami sebagai pendekatan empiris dari dugaan teoritis suatu ekuilibrium hubungan jangka panjang. Jika dua pasar yang terpisah secara spasial series harganya terkointegrasi, ada kecenderungan terjadi pergerakan yang sama pada jangka panjang diantara keduanya berdasarkan hubungan linier. Pada jangka pendek harga dapat merenggang, seperti ketika goncangan pada salah satu pasar tidak akan dengan segera ditransmisikan ke pasar yang lain atau karena keterlambatan di dalam pengangkutan. Bagaimanapun, peluang arbitrasi memastikan bahwa divergensi dari peningkatan cepat pada keseimbangan hubungan jangka panjang bersifat sementara dan tidak permanen.

Transmisi harga asimetri menurut Meyer dan Taubadel (2004) diklasifikasikan berdasarkan tiga kriteria

1. Kecepatan (speed) atau besarnya (magnitude) transmisi harga asimetri

Simbol pout adalah harga output, pin adalah harga input. Diasumsikan pout tergantung pada pin. Gambar 7a, besarnya respon pout terhadap perubahan pin tergantung pada arah perubahan. Pada saat pin naik maka pout ikut naik sebesar kenaikan pin. Namun ketika terjadi penurunan pin, pout hanya sedikit merespon turunnya harga, akibatnya terjadi transfer kesejahteraan konsumen ke penjual secara permanen. Gambar 7b, respon kecepatan pout terhadap perubahan pin terjadi pada t1+n sehingga menyebabkan transfer kesejahteraan sementara dari

konsumen ke penjual selama selang waktu antara t dan t1+n. Gambar 7c,

kecepatan dan besarnya respon pout terhadap perubahan pin menyebabkan terjadinya transfer kesejahteraan sementara dan permanen.

(49)

pout pin p t pout pin p t t1 t1+n 7a 7b pout pin p t t1 t2 t3 7c Sumber: Meyer dan Taubadel (2004)

Gambar 7. Asimetri transmisi harga berdasarkan kriteria kecepatan, besaran serta kecepatan dan besaran

2. Positif atau negatifnya transmisi harga asimetri

Jika pout merespon dengan kecepatan dan besaran yang sama ketika pin naik dibandingkan ketika pin turun maka disebut asimetri positif (Gambar 8a). Sebaliknya, jika pout merespon dengan kecepatan dan besaran yang sama ketika pin turun dibandingkan ketika pin naik maka disebut asimetri negatif (Gambar 8b).

(50)

pout pin p t pout pin p t 8a 8b

Sumber: Meyer dan Taubadel (2004)

Gambar 8. Transmisi harga asimetri berdasarkan kriteria positif dan negatif 3. Vertikal atau spasialnya transmisi harga asimetri

Jika produsen dan konsumen mengeluhkan ketika terjadi kenaikan harga di level produsen yang langsung ditransmisikan secara penuh (kecepatan dan besaran) ke level pedagang besar dan pedagang eceran. Sebaliknya ketika terjadi penurunan harga di level produsen tidak ditransmisikan secara penuh (kecepatan dan besaran) ke level pedagang besar dan pedagang eceran. Kondisi transmisi harga asimetri karena perbedaan level pemasaran ini disebut transmisi harga asimetri vertikal.

Jika terjadi kenaikan harga di satu pasar yang terpisah secara geografis direspon oleh pasar yang lain di wilayah yang berbeda maka disebut transmisi harga asimetri spasial. Kedua kriteria ini juga dapat diklasifikasikan lagi berdasarkan kecepatan-besaran dan positif-negatif transmisi harga asimetri.

2.1.4. Integrasi Pasar

Analisis integrasi pasar merupakan salah satu indikator untuk mengetahui efisiensi pasar. Pengetahuan tentang integrasi pasar akan dapat bermanfaat untuk mengetahui kecepatan respon pelaku pasar terhadap perubahan harga sehingga dapat dilakukan pengambilan keputusan secara tepat dan tepat. Dua buah pasar yang terintegrasi akan membentuk harga kesetimbangan yang berkaitan secara langsung.

Globalisasi ekonomi telah membuat pasar komoditas semakin terpadu. Keterpaduan pasar pada umumnya direfleksikan oleh keterkaitan harga antar pasar (Ravallion 1986). Metode tradisional untuk studi integrasi pasar adalah berdasarkan korelasi pasangan (bivariate correlation) harga antar wilayah (region). Dalam

(51)

metode ini korelasi dan koefisien regresi diduga dari deret harga spot pada lokasi pasar yang berbeda.

Harris (1979) mengindikasikan integrasi pasar sebagai keterpaduan diantara beberapa pasar yang memiliki korelasi harga tinggi. McNew (1996) membatasi integrasi pasar sebagai kondisi ekuilibrium spasial efisien yang dicerminkan oleh adanya kejutan (shock) pada pasar tertentu yang secara sempurna ditransmisikan ke pasar-pasar lainnya. Sejalan dengan pandangan ini, Goodwin dan Schroeder (1991) menggambarkan integrasi pasar berkaitan dengan lokasi-lokasi spasial yang memiliki perubahan harga one-to-one. Lebih jauh lagi, Muwanga dan Snyder (1997) mengemukakan bahwa pasar-pasar terintegrasi jika terjadi aktivitas perdagangan antara dua atau lebih pasar-pasar yang terpisah secara spasial, kemudian harga di suatu pasar berhubungan atau berkorelasi dengan harga di pasar-pasar lainnya.

Untuk menganalisis perilaku pasar terdapat dua pendekatan integrasi, yaitu integrasi vertikal dan integrasi horizontal (spatial). Integrasi pasar vertikal menunjukkan perubahan harga di suatu pasar akan direfleksikan pada perubahan harga di pasar lain secara vertikal dalam produk yang sama (Suparmin 2005). Pada pasar yang terintegrasi secara vertikal, intervensi pada suatu pasar akan berdampak nyata terhadap pasar lainnya, atau sebaliknya pada pasar yang tidak terintegrasi secara vertikal intervensi pada suatu pasar tidak akan berpengaruh nyata terhadap pasar lainnya.

Integrasi pasar spasial merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara suatu pasar regional dan pasar regional lainnya. Integrasi pasar spasial dapat mencerminkan efek perubahan harga pada suatu pasar terhadap pasar lainnya. Dalam hal ini, perubahan harga di suatu pasar secara parsial atau total ditransmisikan ke harga yang terjadi di pasar-pasar lain, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang. Menurut Campenhout (2005) pasar dikatakan terintegrasi jika dihubungkan oleh sebuah proses arbitrase. Jika perbedaan harga antara dua pasar lebih rendah dari biaya transaksi, seorang pedagang akan berpikir untuk menghentikan perdagangan. Transmisi dan pemanfaatan informasi diantara berbagai pasar dapat mengakibatkan harga dari komoditas tertentu bergerak secara bersamaan di berbagai pasar tersebut. Jika pasar menggunakan harga yang lalu (past prices) secara tepat dalam penentuan

(52)

harga pada saat ini (current price determination), maka sistem pemasaran yang berlaku dapat dikategorikan efisien (Leuthold & Hartmann 1979).

2.1.5. Manajemen Pemasaran Pasar Fisik dan Pasar Berjangka

Hakim (2009) menyebutkan bahwa fungsi utama sistem pemasaran produk pertanian antara lain adalah bagaimana petani sebagai subjek atau pelaku ekonomi mendapatkan tingkat harga yang sesuai dengan tingkat resiko yang dihadapi baik resiko teknis seperti serangan hama, kekeringan dan kebanjiran juga resiko pasar karena pergerakan harga yang cenderung merugikan petani. Dalam pemasaran produk pertanian, petani seringkali berada dalam posisi lemah. Beberapa faktor yang menyebabkan lemahnya posisi petani antara lain bertindaknya petani secara individu, kepemilikan asetnya kecil, panjangnya rantai pemasaran antara petani dan konsumen akhir, dan struktur pasar yang didominasi pedagang.

Menurut Soekartawi (1991) alasan terjadinya rantai pemasaran hasil pertanian yang panjang dan seringkali merugikan petani sebagai produsen adalah: a Pasar tidak bekerja secara sempurna.

b Lemahnya informasi pasar.

c Lemahnya petani memanfaatkan peluang pasar.

d Lemahnya posisi petani sebagai produsen melakukan penawaran untuk mendapatkan harga yang baik.

e Petani melakukan usaha tani tidak didasarkan pada permintaan pasar, melainkan karena usaha tani yang diusahakan secara turun temurun.

Produk pertanian dapat dibedakan dengan produk lain berdasarkan beberapa karakteristiknya, yaitu: musiman, segar dan mudah rusak (perishable), volumenya besar tetapi nilainya relatif kecil (bulky) serta harganya cenderung berfluktuasi. Sifat musiman produk pertanian berimplikasi pada perlunya manajemen stok yang baik, sehingga perlu adanya biaya penyimpanan yang merupakan resiko yang harus dibayar oleh petani. Menurut Dahl dan Hammond dalam Hakim (2009) besarnya biaya tersebut tergantung pada fasilitas penyimpanan yang dimiliki dan lamanya penyimpanan. Resiko mudah rusaknya produk pertanian dapat dikurangi dengan asuransi pertanian. Namun di negara berkembang industri asuransi belum mencakup produk pertanian. Akibatnya ketika terjadi gagal panen, petani kehilangan sumber

(53)

pendapatannya. Harga produk pertanian sering mengalami perubahan terkait dengan dinamika penawaran dan permintaan. Fluktuasi harga yang sukar diprediksi dapat dikurangi dengan melakukan pengelolaan resiko harga (Hakim 2009).

Dalam pasar fisik atau tunai umumnya melibatkan keberadaan komoditi secara langsung dalam proses transaksi. Selain itu, transaksi biasanya tidak hanya terpusat di satu pasar. Hal ini tentu saja akan menimbulkan biaya transaksi yang lebih tinggi karena perlunya biaya penyimpanan. Dalam pasar berjangka, produsen dapat menjual produk pertanian yang baru akan dipanen beberapa bulan kemudian, pada harga yang telah dipastikan sebelum panen. Oleh karenanya produsen dapat memperoleh jaminan harga sehingga tidak terpengaruh oleh kenaikan atau pun penurunan harga jual produk dipasar fisik.

Pasar berjangka merupakan sarana pembentukan harga yang transparan dan wajar, yang mencerminkan kondisi pasokan dan permintaan yang sebenarnya dari komoditi yang diperdagangkan. Hal ini memungkinkan, karena transaksi hanya dilakukan oleh anggota bursa yaitu mewakili nasabah atau dirinya sendiri. Artinya antara pembeli dan penjual kontrak berjangka tidak saling kenal secara langsung. Harga yang terjadi di pasar berjangka umumnya dijadikan sebagai harga acuan (reference price) oleh dunia usaha, termasuk produsen dan pedagang untuk melakukan transaksi di pasar fisik. Demikian juga penetapan harga komoditi di bursa juga memperhatikan infomasi pasar perdagangan fisik. Margin yang telah ditetapkan berlaku untuk periode waktu tertentu, dapat diubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.

Instrumen yang digunakan dalam pasar berjangka diantaranya yaitu forward

contract, future contract dan options. Forward contract terjadi ketika kedua belah

pihak yaitu penjual dan pembeli sepakat untuk melakukan transaksi baik jumlah dan waktu dilakukan penyampaian produk ke pembeli. Kesepakatan mengenai harga, kualitas dan waktu penyampaian komoditi sangat spesifik. Penggunaan instrumen ini dapat melindungi kedua pihak dari pergerakan harga yang merugikan.

Future contract penting bagi pelaku pasar yang melakukan transaksi dalam

jumlah besar yang melibatkan ketersediaan stok yang cukup besar dan dalam jangka waktu penyimpanan yang lebih lama. Resiko terhadap perubahan jumlah dan nilai dapat dikurangi melalui instrumen ini. Sesuai tujuannya yaitu meminimalkan resiko

Gambar

Gambar 2. Kurva Permintaan  b.  Teori Penawaran
Gambar 3. Kurva Penawaran
Gambar 4 menunjukkan hubungan keempat faktor tersebut dalam bentuk skema  Porter’s Diamond
Gambar 5. Kurva Perdagangan Internasional Antar Dua Negara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sampling technique was used area sampling and data processing techniques used in this study include the validity and reliability test. Multiple regression

Pada waktu yang bersamaan kelompok P.lombinasi diberi diet tinggi kolesterol yaitu suspensi otak sapi sebanyak 3 ml per tikus per hari dan diet kombinasi madu + minyak

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat disampaikan rumusan permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan penelitian ini, yaitu, “Apakah melalui

uji hipotesis menggunakan Independent samples t-test pada kelompok perlakuan p = 0,029 (p < 0,05), hal ini menunjukkan bahwa perbedaan penambahan intervensi

Adapun kendala pelaksanaan grading system remunerasi pada BPR Konvensional di Sidoarjo adalah pemberian insentif yang diberlakukan BPR adalah sama terhadap semua karyawan

Berdasarkan hasil dan analisis data studi kasus tentang kebiasaan belajar siswa SMP Negeri 1 Rantau Pandan Kabupaten Bungo Propinsi Jambi sesuai dengan analisis

Berdasarkan pemaparan data dari hasil observasi, wawancara serta dokumentasi para pendidik dan peserta didik, bahwa strategi guru Pendidikan Agama Islam dalam menghadapi

 merencanakan kegiatan tindak lanjut dalam bentuk pembelajaran remedi, program pengayaan, layanan konseling dan/atau memberikan tugas baik tugas