• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Evaluasi Kesesuaian Lahan vs Produksi Jagung Tanpa Input

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kualitas/Karakteristik Lahan untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan

Kering (FAO, 1983) 118

2 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Jagung (Djaenudin et al., 2003) 120

3 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Kacang Tanah

(Djaenudin et al., 2003) 121

4 Uraian Morfologi Profil Tanah di Lokasi Penelitian 122

5 Komposisi Mineral Pasir dari Tanah-tanah di Lokasi Penelitian 129

6 Sifat Fisika Tanah dari Tanah-tanah di Lokasi Penelitian 130

7 Sifat Kimia Tanah dari Tanah-tanah di Lokasi Penelitian 131

8 Sifat Kimia Tanah Lapisan Atas (0-20 cm) di Lokasi Penelitian 133

9 Sifat Kimia Tanah Lapisan Atas (0-20 cm) pada Pertanaman Jagung

dan Kacang Tanah 134

10 Perhitungan Besarnya Erosi (A) dan Erosi yang Diperbolehkan (T)

di Lokasi Penelitian 135

11 Data Tinggi Tanaman dan Produksi Jagung di Lokasi Penelitian 136

12 Data Tinggi Tanaman dan Produksi Kacang Tanah di Lokasi

Penelitian 138

13 Matriks Korelasi antara Sifat Kimia Tanah dan Produksi Jagung 140

14 Matriks Korelasi antara Sifat Kimia Tanah dan Produksi Kacang

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan nasional, pengembangan pertanian di lahan kering mempunyai harapan besar untuk mewujudkan pertanian yang tangguh di Indonesia, mengingat potensi dan luas lahannya yang jauh lebih besar daripada lahan sawah dan lahan gambut. Selain itu lahan kering sangat berpeluang untuk pengembangan berbagai komoditi andalan, namun sampai saat ini potensinya belum dimanfaatkan secara optimal. Bila dikelola dengan baik, lahan kering akan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap penyediaan pangan nasional (Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian, 1998).

Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Di Indonesia, lahan kering dapat dibedakan berdasarkan kondisi iklimnya, yaitu lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Lahan kering beriklim basah mempunyai penyebaran sangat luas, meliputi 74,58 juta hektar dimana sekitar 49 juta hektar merupakan lahan datar sampai bergelombang yang potensial untuk pengembangan pertanian tanaman pangan (padi gogo dan palawija). Kendala utama yang sering dijumpai pada lahan kering beriklim basah adalah reaksi tanah masam, miskin hara, kandungan bahan organik rendah, kandungan besi dan aluminium tinggi yang melebihi batas toleransi tanaman serta peka erosi sehingga tingkat produktivitasnya rendah (Hidayat et al., 2000).

Umumnya di Indonesia, faktor bahan induk tanah merupakan faktor pembentuk tanah yang paling dominan pengaruhnya terhadap sifat dan ciri tanah yang terbentuk serta potensinya untuk pertanian, selain faktor iklim dan topografi

(Buol et al., 1980). Keragaman bahan induk tanah memberikan keanekaragaman

sifat dan jenis tanah yang terbentuk. Proses pelapukan bahan induk pada kondisi iklim basah dengan suhu udara yang tinggi berjalan sangat intensif. Akibatnya tanah cepat berkembang membentuk tanah -tanah berlapukan tinggi. Terdapat tiga ordo tanah utama pada lahan kering beriklim basah yang potensial untuk pertanian, yaitu Inceptisol, Ultisol dan Oxisol (Subagyo et al., 2000). Soil Survey

2 Staff (1999) mengindikasikan sekuen perkembangan tanah dari yang lemah sampai lanjut, yaitu: Entisol-Inceptisol-Alfisol-Ultisol-Oxisol berdasarkan diferensiasi horison bawah penciri. Perkembangan tanah yang semakin lanjut cenderung menurunkan kualitas dan tingkat kesesuaiannya untuk pertanian (Sys, 1978). Secara alami, keragaman bahan induk dan perkembangan tanah yang terus berlanjut akan berpengaruh terhadap tingkat kesesuaian lahan dan produksi pertanian. Penurunan produksi pertanian pada lahan kering dipengaruhi oleh tingkat perkembangan tanah yang terus berlanjut dan dipercepat oleh adanya erosi yang terjadi secara alami atau karena penggunaan lahan yang tidak sesuai (Arsyad, 1989).

Evaluasi kesesuaian lahan sangat diperlukan dalam perencanaan penggunaan lahan kering agar lahan kering dapat digunakan secara produktif dan berkelanjutan. Potensi dan kendala penggunaan lahan dapat diidentifikasi sejak awal sehingga pengelolaan lahan dapat dilakukan lebih baik dan terarah sesuai dengan komoditas yang akan dikembangkan (FAO, 1976). Metoda evaluasi kesesuaian lahan telah banyak dikembangkan di Indonesia baik secara manual maupun komputerisasi. Beberapa sistem evaluasi kesesuaian lahan yang dikenal di Indonesia antara lain: Klasifikasi kemampuan lahan (Soepraptohardjo, 1970), Klasifikasi kesesuaian lahan secara parametrik (Driessen, 1971), Klasifikasi kesesuaian lahan untuk Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (Pusat Penelitian Tanah, 1983), Klasifikasi kesesuaian lahan untuk survei tanah tinjau (CSR/FAO, 1983), Land Evaluation Computer System (Wood dan Dent, 1983) dan Automated Land Evaluation System (Rossiter dan Wambeke, 1994). Namun metode yang ada masih beragam dan belum baku, sehingga bila diterapkan pada lahan yang sama seringkali memberikan hasil yang berbeda. Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan dalam penetapan parameter dan kriteria kesesuaian lahan serta pengambilan keputusan dalam klasifikasi kesesuaian lahan (Hardjowigeno et al., 1999).

Kriteria kesesuaian lahan yang telah ada untuk berb agai komoditas pertanian di Indonesia masih bersifat umum, disusun berdasarkan kompilasi data dan pengalaman empiris terhadap penggunaan lahan yang tidak spesifik lokasi dengan mengacu banyak kepada publikasi dari luar negeri, antara lain FAO (1976,

3

1983) dan Sys et al. (1993). Penilaian kesesuaian lahan umumnya dilakukan

secara fisik-kualitatif dan belum dilakukan pengkajian secara mendalam di lapangan terutama yang berkaitan dengan jenis dan jumlah parameter-parameter yang digunakan dalam kriteria kesesuaian lahan tersebut dan hubungan kelas kesesuaian lahan dengan produksi tanaman pada tingkat pengelolaan tertentu. Kriteria kesesuaian lahan yang telah ada dapat digunakan sebagai acuan umum, terutama pada lahan-lahan yang belum dibuka untuk pertanian, namun dalam penggunaannya masih perlu disesuaikan dengan kondisi setempat yang mencakup pertimbangan ketersediaan data kualitas lahan serta jenis tanaman atau tipe penggunaan lahan (TPL) yang diusahakan petani.

Tanaman jagung (Zea mays L.) dan kacang tanah (Arachis hypogaea L.)

merupakan tanaman pangan utama yang sangat strategis dikembangkan di lahan kering setelah padi. Kebutuhan akan jagung dan kacang tanah untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri terus meningkat sejak tahun 90-an sebagai bahan pangan, pakan ternak, bahan baku industri makanan dan minyak goreng. Tingkat produksi nasional untuk kedua komoditas ini masih rendah dan belum dapat memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri sehingga sampai saat ini masih terus diimpor. Pada tahun 2002 Indonesia mengimpor sekitar 2 juta ton jagung pipilan kering (Suprapto dan Marzuki, 2004) dan 200.000 ton kacang tanah (Sumarno, 2003).

Berdaasarkan hal tersebut, maka penelitian tentang : “Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah di Daerah Bogor” sangat diperlukan untuk perbaikan kriteria kesesuaian lahan yang telah ada dan pengembangan metode evalu asi kesesuaian lahan yang lebih bersifat kuantitatif dan spesifik lokasi dalam upaya mencari alternatif teknologi pengelolaan lahan yang lebih sesuai dan dapat meningkatkan produktivitas lahan kering secara optimal dan berkelanjutan.

4

Tujuan Penelitian

1. Mempelajari pengaruh keragaman bahan induk dan perkembangan tanah

terhadap kualitas lahan dan tingkat produktivitas tanaman jagung dan kacang tanah.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor pembatas penggunaan lahan dan kebutuhan minimum data kualitas lahan untuk evaluasi kesesuaian lahan pada lahan kering beriklim basah.

3. Menetapkan kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah pada tingkat pengelolaan lahan dengan input rendah dan sedang berdasarkan kualitas lahan yang tepat dan produksi tanaman.

Hipotesis

1. Keragaman bahan induk dan perkembangan tanah sangat berpengaruh

terhadap kualitas lahan dan tingkat produktivitas tanaman jagung dan kacang tanah.

2. Faktor pembatas penggunaan lahan dan kebutuhan minimum kualitas lahan untuk keperluan evaluasi kesesuaian lahan akan berbeda dalam jenis dan jumlahnya pada setiap lokasi dan tipe penggunaan lahannya.

3. Kriteria kesesuaian lahan yang telah ada untuk tanaman jagung dan kacang tanah masih terlalu umum dan tidak spesifik lokasi sehingga sering tidak sesuai dengan potensi dan atau produkstivitas lahan kering.

Kegunaan Hasil Penelitian

Keluaran hasil penelitian ini diharapkan dapat: (1) memberikan informasi tentang potensi dan tingkat produktivitas lahan kering, khususnya untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah pada tingkat pengelolaan

5 tertentu, (2) mengetahui pengaruh kualitas lahan dari bahan induk dan perkembangan tanah yang berbeda terhadap produksi tanaman pangan, (3) memperbaiki dan mengembangkan kriteria kesesuaian lahan kering yang lebih kuantitatif khususnya untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah pada tingkat pengelo laan tertentu. Dengan demikian, maka potensi, kendala dan tindakan pengelolaan lahan yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat produksi tanaman pangan yang optimal dapat diketahui secara tepat, sehingga produktivitas lahan kering dapat ditingkatkan dan program ketahanan pangan khususnya di daerah Bogor dapat dilaksanakan secara berkelanjutan.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Lahan Kering

Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Berdasarkan iklimnya, lahan kering dibedakan atas lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Lahan kering beriklim basah mempunyai curah hujan relatif tinggi (> 1500 mm/tahun) dengan masa hujan lebih lama dan tanpa kemarau yang jelas (Hidayat

et al., 2000). Menurut Schmidt dan Ferguson (1951), wilayah yang beriklim basah dapat diklasifikasikan ke dalam tipe hujan A, B dan C. Pada kondisi iklim demikian, umumnya curah hujan lebih tinggi dari evapotranspirasi sehingga faktor curah hujan yang erat kaitannya dengan faktor ketersediaan air untuk tanaman tidak merupakan faktor pembatas dalam penggunaan lahan untuk pertanian. Dalam tanah demikian selalu tersedia air dan tanaman tidak akan pernah mengalami kekeringan dalam waktu lama. Keadaan kelembaban tanah tersebut

dalam Taksonomi Tanah termasuk ke dalam regim kelembaban tanah udic (Soil

Survey Staff, 1999).

Di Indonesia, lahan kering yang beriklim basah mempunyai penyebaran yang sangat luas, meliputi 74,58 juta hektar, dimana sekitar 49,05 juta hektar merupakan lahan datar sampai bergelombang yang berpotensi untuk pengembangan pertanian tanaman pangan (Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian, 1998). Selain potensi dan luas lahannya yang jauh lebih besar dari lahan sawah dan lahan gambut, lahan kering juga sangat berpeluang untuk pengembangan berbagai komoditas andalan yang hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal. Umumnya di lahan kering, faktor iklim terutama curah hujan dan suhu udara, topografi, keragaman bahan induk dan tanah sangat berpengaruh terhadap produktivitas lahan. Kendala utama yang sering dijumpai pada lahan kering beriklim basah adalah tingkat produktivitasnya rendah, dicirikan oleh tanah yang berlapukan lanjut, solum tebal, berwarna kemerahan, kadar liatnya tinggi, reaksi tanah masam, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa rendah, miskin hara terutama fosfor, kandungan bahan organik rendah, kandungan besi dan aluminium

7

tinggi yang melebihi batas toleransi tanaman serta peka erosi (Hidayat et al.,

2000). Walaupun tantangan dan kendala dalam pengembangan pertanian di lahan kering terasa berat, namun tetap dijadikan harapan besar bagi keberhasilan pertanian di masa datang mengingat lahan-lahan persawahan subur secara berlanjut telah dikonversi menjadi lahan non-pertanian, sementara produktivitasnya telah mengalami pelandaian dan cenderung menurun akibat

pemberian pupuk yang berlebihan (Adiningsih et al., 2000).

Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Kualitas Lahan

Di wilayah tropika basah, termasuk Indonesia, selain faktor iklim dan topografi, faktor bahan induk tanah merupakan faktor pembentuk tanah yang paling dominan pengaruhnya terhadap sifat dan ciri tanah yang terbentuk serta

potensinya untuk pertanian (Buol et al., 1980). Keragaman bahan induk tanah

memberikan keanekaragaman sifat dan jenis tanah yang terbentuk. Menurut peta sumberdaya tanah Indonesia tingkat eksplorasi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000) tercatat bahwa di Indonesia ditemukan 10 ordo tanah dari 12 ordo tanah yang tersebar di dunia. Tiga ordo tanah di antaranya yaitu Inceptisol, Ultisol dan Oxisol merupakan tanah-tanah pertanian utama di lahan kering yang

berkembang dari batuan volkanik dan batuan sedimen (Subagyo et al., 2000).

Dudal dan Soepraptohardjo (1957) mengklasifikasikan tanah-tanah tersebut

sebagai Podsolik Merah Kuning dan Latosol. Buol et al. (1980) dan Mohr et al.

(1972), menyatakan bahwa sifat bahan induk dari batuan volkanik dan batuan sedimen dapat dibedakan berdasarkan komposisi dan cadangan mineralnya. Secara umum, batuan volkanik mengandung banyak felspar dan sedikit kuarsa, sedangkan batuan sedimen tersusun dari banyak mineral kuarsa keruh dan sangat sedikit felspar. Cadangan mineral atau jumlah mineral dapat lapuk dari tanah-tanah yang berkembang dari batuan sedimen umumnya sangat rendah bila dibandingkan dengan batuan volkanik dan didominasi oleh mineral resisten terutama kuarsa keruh. Pengaruh bahan induk terhadap sifat-sifat tanah lebih terlihat jelas pada tanah -tanah di daerah kering atau tanah -tanah muda, sedangkan

8 pada tanah -tanah di daerah lebih basah atau tanah -tanah tua, hubungan bahan induk dengan sifat-sifat tanahnya menjadi kurang jelas (Hardjowigeno, 1993).

Proses pelapukan bahan induk tanah pada kondisi iklim basah dengan curah hujan dan suhu udara tinggi berjalan sangat intensif. Akibatnya tanah cepat berkembang membentuk tanah-tanah yang berlapukan tinggi, dicirikan oleh solum tanah dalam, berwarna coklat kemerahan sampai merah, kandungan liat tinggi, masam, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa rendah, miskin hara, cadangan mineral rendah, kandungan besi dan aluminium tinggi, mineral liat didominasi

oleh tipe 1:1 (Subagyo et al., 2000). Tingkat perkembangan tanah diekpresikan

oleh diferensiasi horison (Soil Survey Staff, 1993), tingkat pelapukan batuan

induk dan muatan koloid tanah (Mohr et al., 1972; Sys, 1978) serta umur

pembentukan tanah (Hardjowigeno, 1993). Pada tingkat perkembangan tanah lanjut, pelapukan bahan induk mencapai tingkat akhir, dicirikan oleh diferensiasi horison yang jelas, solum dalam, kandungan liat tinggi, cadangan mineral sangat rendah dan hanya mineral resisten yang tertinggal, KTK liat sangat rendah (<16 cmol(+)/kg liat), kandungan besi dan aluminium bebas meningkat tinggi, susunan mineral liat didominasi oleh kaolinit, goethit, disertai dengan meningkatnya muatan tergantung pH. Soil Survey Staff (1999) menghubungkan sekuen perkembangan tanah dengan ordo-ordo tanah dalam Taksonomi Tanah mulai dari yang lemah sampai yang lanjut berdasarkan pembentukan horison bawah pencirinya yaitu Entisol-Inceptisol-Alfisol-Ultisol-Oxisol. Semakin lanjut perkembangan tanah cenderung menurunkan kualitas lahan dan tingkat kesesuaiannya untuk pertanian. Tanah yang berlapukan lanjut memiliki daya dukung yang lebih rendah bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Hasil penelitian Firmansyah (1997) di perkebunan tebu Pelaihari, Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa produksi hablur gula dari tanah-tanah yang mempunyai horison kambik (Dystropept) dan argilik (Plinthohumult) lebih tinggi dari pada tanah-tanah yang mempunyai horison oksik (Hapludox). Penurunan kualitas lahan terutama ditandai oleh penurunan kesuburan tanah (ketersediaan hara), retensi hara, bahaya keracunan aluminium dan pemadatan tanah akibat akumulasi liat. Sys (1978) melaporkan pengaruh tingkat pelapukan bahan induk tanah terhadap

9 penurunan kualitas lahan yang mengakibatkan terjad inya penurunan produksi pada beberapa tanaman pangan daerah tropika.

Perkembangan Metode Evaluasi Kesesuaian Lahan

Evaluasi kesesuaian lahan atau sering disebut evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi atau kelas kesesuaian suatu lahan untuk tujuan penggunaan lahan tertentu. Penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan karakteristik atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan (FAO, 1976). Dengan cara ini maka akan diketahui potensi atau kelas kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut. Hasil evaluasi kesesuaian lahan dapat digunakan sebagai dasar untuk perencanaan penggunaan tanah yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya selain dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan dan lingkungannya, juga dapat meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah-masalah sosial dan ekonomi lainnya (Hardjowigeno et al., 1999).

Metode evaluasi kesesuaian lahan telah banyak dikembangkan di Indonesia baik secara manual maupun komputerisasi. Soil Conservation Service,

USDA mula-mula memperkenalkan sistem kemampuan lahan atau land capability

(Klingebie l dan Montgomery, 1961). Dalam sistem ini satuan lahan dikelompokkan ke dalam delapan kelas (I sampai dengan VIII) berdasarkan kemampuannya untuk memproduksi tanaman-tanaman pertanian dan rumput makanan ternak tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang. Sistem ini diadopsi oleh Soepraptohardjo (1970) dan diterapkan di Lembaga Penelitian Tanah untuk pemetaan tanah tingkat tinjau dan eksplorasi di sebagian wilayah

Indonesia. Selanjutnya FAO (1976) dalam Framework of Land Evaluation

memperkenalkan sistem klasifikasi kesesuaian lahan (land suitability

classification) untuk jenis penggunaan tertentu yang banyak dianut dan dikembangkan di Indonesia. Dalam sistem ini, klasifikasi kesesuaian lahan terbagi dalam ordo sesuai (S) dan ordo tidak sesuai (N). Ordo sesuai dibagi lagi ke dalam

10 tiga kelas berdasarkan besarnya faktor pembatas, yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3). Pada tahun 1983, Pusat Penelitian Tanah mengembangkan sistem evaluasi kesesuaian lahan untuk pemetaan tanah tingkat semidetil (skala 1:50.000) untuk tujuan proyek transmigrasi di luar Jawa yang merupakan modifikasi dari konsep FAO (1976). Kriteria kesesuaian lahan disusun berdasarkan parameter karakteristik lahan dan pengharkatannya disesuaikan dengan kebutuhan evaluasi kesesuaian lahan untuk padi sawah, tanaman pangan lahan kering dan tanaman perkebunan. Dalam tahun yang sama, Pusat Penelitian Tanah dan FAO (CSR/FAO, 1983) mengembangkan pula sistem evaluasi lahan

untuk pemetaan tanah tingkat tinjau (skala 1:250.000) dalam Atlas Format

Procedures, dimana disajikan kriteria kesesuaian lahan untuk 23 jenis tanaman pertanian dan 10 jenis tanaman kehutanan. Kriteria-kriteria tersebut walaupun belum diuji kebenarannya di lapangan, namun telah digunakan secara luas di Indonesia, bahkan diterapkan juga pada pemetaan tanah tingkat semidetil. Dari sistem ini kemudian Wood dan Dent (1983) membangun suatu sistem evaluasi

lahan dengan komputer yang disebut LECS (Land Evaluation Computer System).

Selanjutnya Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat pada tahun 1993 membuat petunjuk teknis evaluasi lahan untuk pemetaan tanah tingkat tinjau, semidetil dan detil yang dilakukan secara manual. Selain itu, dua tahun kemudian melalui

kegiatan Proyek LREP-II (Second Land Resources Evaluation and Planning

Project) telah dikembangkan juga sistem ALES (Automated Land Evaluation System) yang berasal dari Amerika Serikat (Rossiter dan Wambeke, 1994). Sistem ini menggunakan sistem pakar dan telah berkembang cepat. Semula hanya ditujukan untuk keperluan pemetaan tanah tingkat semidetil di daerah -daerah prioritas pengembangan di 17 provinsi di Indonesia, namun belakangan ini telah dikembangkan dan digunakan juga untuk berbagai keperluan dan berbagai skala pemetaan tanah di Indonesia.

Terlepas dari perkembangan beberapa sistem evaluasi lahan yang telah ada, namun masih dirasakan perlunya kriteria evaluasi lahan yang tepat. Dengan tidak adanya metode evaluasi lahan yang tepat seringkali lahan -lahan yang sama diklasifikasikan ke dalam kelas kesesuaian lahan yang berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Hal ini sangat membingungkan pengguna karena sulit

11 memilih sistem mana yang harus dianut. Terjadinya perbedaan dalam hasil penilaian kesesuaian lahan tersebut antara lain disebabkan oleh: (1) perbedaan terhadap faktor-faktor yang dinilai yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, (2) perbedaan pengharkatan dalam penilaian karakteristik lahan, (3) perbedaan dalam sistem klasifikasi yang digunakan, dan (4) perbedaan dalam metode pengambilan keputusan, antara lain metode penghambat maksimum atau metode parametrik

(Hardjowigeno et al., 1999). Disamping itu juga kriteria kesesuaian lahan yang

telah ada masih bersifat umum dan disusun berdasarkan pengalaman empiris yang belum dikaji di lapangan dan disesuaikan dengan produksi tanaman pada tipe penggunaan lahan tertentu. Kriteria kesesuaian lahan tersebut digunakan pada berbagai kondisi lahan, baik pada lahan kering maupun lahan basah atau lahan gambut. Prosedur umum tentang evaluasi lahan untuk pertanian lahan kering telah banyak dibahas oleh FAO (1983), namun kriteria kesesuaian lahan yang spesifik lokasi untuk tanaman pangan di lahan kering khususnya jagung dan kacang tanah belum dikemukakan. Spesifik lokasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lahan kering yang beriklim basah pada dataran rendah, datar atau diteras, sudah digunakan sebagai lahan pertanian tanaman pangan dengan tipe penggunaan lahan tertentu yang dibedakan berdasarkan jenis komoditas, pola tanam, tujuan produksi, dan besarnya input produksi yang diberikan terutama pupuk.

Prosedur Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Pertanian Lahan Kering

Prosedur evaluasi kesesuaian lahan untuk lahan kering secara umum telah dikemukakan oleh FAO (1983) namun prinsipnya hampir sama seperti dikemukakan dalam Kerangka Acuan Evaluasi Lahan menurut FAO (1976). Perbedaan yang mendasar dari prosedur ini hanya terletak pada penentuan tipe penggunaan lahan dan pemilihan kualitas lahan yang ditekankan pada lahan kering. Dengan demikian maka penggunaan beberapa komoditas pertanian seperti padi sawah dan atau kualitas lahan yang tidak relevan dengan lahan kering tidak digunakan lagi, seperti kualitas lahan gambut.

Berdasarkan tujuannya, evaluasi kesesuaian lahan dapat dibedakan berdasarkan tingkat pemetaan atau ketersediaan data, cara penilaian dan kondisi

12 saat penilaian. Berdasarkan tingkat pemetaan tanah/lahan dibedakan ke dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat tinjau skala 1:250.000, tingkat semi detil skala 1:50.000 dan tingkat detil skala lebih besar dari 1:25.000 (Djaenudin et al., 2003). Jenis, jumlah dan kualitas data yang dihasilkan dari ketiga tingkat pemetaan tersebut sangat bervariasi, sehingga penyajian hasil evaluasi kesesuaian lahan ditetapkan sebagai berikut: pada tingkat tinjau dinyatakan dalam ordo, tingkat semi detil dalam kelas/subkelas dan pada tingkat detil dinyatakan dalam subkelas/subunit. Dari cara penilaiannya, dikenal dua macam kesesuaian lahan yaitu kesesuaian lahan kualitatif dan kesesuaian lahan kuantitatif (FAO, 1976). Dalam penilaian kesesuaian lahan kuantitatif, hasil pen ilaian kelas kesesuaian lahan telah dihubungkan dengan besarnya produksi tanaman (secara fisik-kuantitatif) atau keuntungan dalam bentuk uang yang akan diterima petani (ekonomi). Masing-masing kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai secara aktual (saat ini) maupun potensial, yang menghasilkan kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual dihasilkan dari evaluasi kesesuaian lahan pada kondisi aktual (saat sekarang), tanpa masukan perbaikan, sedangkan kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang dihasilkan dari penilaian pada

Dokumen terkait