KRITERIA KESESUAIAN LAHAN UNTUK TIPE
PENGGUNAAN LAHAN BERBASIS JAGUNG DAN
KACANG TANAH DI DAERAH BOGOR
DJADJA SUBARDJA SUTAATMADJA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Kriteria Kesesuaian
Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah di Daerah Bogor
adalah karya saya sendiri dan belum diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Doktor dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Bogor, Oktober 2005
ABSTRACT
DJADJA SUBARDJA SUTAATMADJA. Land Suitability Criteria for Maize and
Groundnut Based Land Utilization Types in the Bogor Area. Supervised by SUDARSONO
as Chairman, SARWONO HARDJOWIGENO, SUPIANDI SABIHAM, HIDAYAT
PAWITAN and BUDI MULYANTO as Members.
The existing criteria of land suitability classification for maize and groundnut which
have been used to evaluate of land suitability in Indonesia are too general and not used on
spesified location of upland agriculture. The parameters and their ratings in the criteria
were not tested and verified in the field especially their relationship to the production of
crops, therefore the results of land suitability evaluation were often not suited to the
potential of land and expected yields. The objectives of the research are: (1) to study the
influence of variability of parent materials and soil development to land qualities and crop
productivity of maize and groundnut, (2) to identify the limiting factors of defined landuse
and minimum data set of land qualities for land suitability evaluation in the wet climate of
upland agriculture, and (3) to create the land suitability criteria for maize and groundnut
based land utilization types with low and medium inputs.
Variability of parent materials and soil development strongly influenced the land
qualities of nutrient retention and toxicity which are determined by land characteristics of
pH, base saturation, and exchangeable aluminum. Land quality of nutrient availability,
especially of available P, much more influenced by land management. The production of
maize and groundnut on the low and medium input of the land utilization types were varied
and influenced by variability of those parent materials and their soil developments. The
crop productions on medium input were higher and significantly differed from the low
input. The advanced stage of soil development tended to decrese the land qualities and crop
productions.
ABSTRAK
DJADJA SUBARDJA SUTAATMADJA. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe
Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah di Daerah Bogor. Dibimbing oleh
SUDARSONO sebagai Ketua, SARWONO HARDJOWIGENO, SUPIANDI SABIHAM,
HIDAYAT PAWITAN dan BUDI MULYANTO sebagai Anggota.
Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman jagung dan kacang tanah yang telah ada
untuk keperluan evaluasi kesesuaian lahan di Indonesia masih sangat umum dan tidak
untuk spesifik lokasi. Parameter yang digunakan dan pengharkatannya belum dikaji di
lapangan dan dihubungkan dengan produksi tanaman, sehingga seringkali terjadi hasil
penilaian kesesuaian lahan tidak sesuai dengan potensi lahan dan produksi yang
diharapkan. Penelitian ini bertujuan: (1) mempelajari pengaruh keragaman bahan induk dan
perkembangan tanah terhadap kualitas lahan dan tingkat produktivitas tanaman jagung dan
kacang tanah, (2) mengidentifikasi faktor-faktor pembatas penggunaan lahan dan
kebutuhan minimum data kualitas lahan untuk keperluan evaluasi kesesuaian lahan di lahan
kering beriklim basah, dan (3) menyusun kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan
lahan berbasis jagung dan kacang tanah pada input rendah dan sedang.
Keragaman bahan induk dan perkembangan tanah sangat mempengaruhi kualitas
lahan retensi hara dan bahaya keracunan yang ditunjukkan oleh pH tanah, kejenuhan basa
(KB) dan aluminium dapat tukar (Al-dd). Sedangkan kualitas lahan ketersediaan hara
terutama P-tersedia lebih dipengaruhi oleh pengelolaan lahan. Produksi jagung dan kacang
tanah pada tipe penggunaan lahan dengan input rendah dan sedang cukup bervariasi yang
disebabkan oleh pengaruh keragaman bahan induk dan perkembangan tanahnya. Produksi
tanaman pada input sedang lebih tinggi dan berbeda nyata dibanding dengan input rendah.
Perkembangan tanah pada tahap lanjut menurunkan kualitas lahan dan produksi tanaman.
© Hak cipta milik Djadja Subardja Sutaatmadja, tahun 2005
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor,
sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan
KRITERIA KESESUAIAN LAHAN UNTUK TIPE PENGGUNAAN
LAHAN BERBASIS JAGUNG DAN KACANG TAN AH
DI DAERAH BOGOR
DJADJA SUBARDJA SUTAATMADJA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Departemen Ilmu Tanah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi: Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan
Berbasis Jagung dan Kacang Tanah di Daerah Bogor
Nama
: Djadja Subardja Sutaatmadja
NRP
: 995033
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc.
Ketua
Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr.
Anggota
Anggota
Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc.
Dr. Ir. Budi Mulyanto, M.Sc.
Anggota
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Tanah
Dekan Sekolah Pascasarjana
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini
adalah Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan
Kacang Tanah di Daerah Bogor. Penelitian telah dilaksanakan sejak bulan Mei 2003
sampai dengan Juni 2004.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sudarsono M.Sc.,
sebagai Ketua Komisi Pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Sarwono Hardjowigeno M.Sc., Prof.
Dr. Ir. Supiandi Sabiham M.Agr., Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan M.Sc. dan Dr. Ir. Budi
Mulyanto M.Sc., masing-masing sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas semua
bimbingan, masukan dan saran-saran yang sangat berharga. Ucapan terima kasih
disampaikan juga kepada penguji Luar Komisi, yaitu Bapak Dr. Ir. M. Ardiansyah, Dr. Ir.
Ernan Rustiadi dan Dr. Istiqlal Amien M.Sc., APU atas saran dan masukannya untuk
perbaik an disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada
Bapak Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat dan Kepala Balai
Penelitian Tanah atas pemberian izin belajar dengan biaya sendiri. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB dan peneliti di
Kelompok Pedologi, Balai Penelitian Tanah yang telah memberikan dorongan semangat
serta bantuan moril dan material selama penulis menyelesaikan studi. Akhirnya, penulis
sampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas perhatian, pengertian, kesabaran serta
doa restu dan kasih sayangnya kepada ibu tercinta Hj. Ratu Siti Aminah, bapak dan ibu
mertua, isteri dan anak-anak tersayang serta kakak dan adik-adik semuanya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2005
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karawang pada tanggal 23 Nopember 1951 sebagai anak ke
empat dari dua belas bersaudara dari pasangan H. Mochammad Sulaeman Sutaatmadja dan
Hj. Ratu Siti Aminah. Pendidikan sarjana pertanian ditempuh di Departemen Ilmu Tanah,
Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 1977. Pada tahun 1983, penulis mengikuti
Postgraduate Course in Soil Survey di International Institute for Aerial Survey and Earth
Sciences, Enschede, Belanda. Pada tahun 1986, penulis melanjutkan pendidikan S2 di
tempat yang sama di Belanda dalam bidang evaluasi lahan dan lulus pada tahun 1987.
Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi ilmu tanah pada
Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 1999. Izin belajar atas biaya sendiri
diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Penulis bekerja sebagai peneliti bid ang genesis dan klasifikasi tanah pada
Kelompok Peneliti Pedologi, Balai Penelitian Tanah sejak tahun 1975. Sebelumnya penulis
pernah menjabat sebagai Kepala Sub Bidang Publikasi, Pusat Penelitian Tanah
(1991-1993), Pemimpin Proyek Penelitian Sumber Daya Lahan/LREP-II (1992-1997), Pemimpin
Bagian Proyek Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan (1998-1999).
Sekarang penulis sebagai Ahli Peneliti Madya pada Balai Penelitian Tanah sejak tahun
2002. Selama mengikuti pendidikan program S3, penulis juga menjabat sebagai Sekretaris
Jenderal Himpunan Ilmu Tanah Indonesia dan Ketua Himpunan Alumni Dewi Sri-SPMA
Negeri Bogor.
Karya ilmiah ini kupersembahkan kepada
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL xii
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Hipotesis 4
Kegunaan Hasil Penelitian 4
TINJAUAN PUSTAKA 6
Karakteristik Lahan Kering 6
Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Kualitas Lahan 7
Perkembangan Metode Evaluasi Kesesuaian Lahan 9
Prosedur Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Pertanian Lahan Kering 11
Kriteria Kesesuaian Lahan 12
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 15
Lokasi Penelitian 15
Keadaan Iklim 15
Geologi dan Bahan Induk 19
Keadaan Tanah 22
Penggunaan Lahan dan Pertanian 24
BAHAN DAN METODE PENELITIAN 26
Tempat dan Waktu Penelitian 26
xi
Karakterisasi Lahan dan Identifikasi Tipe Penggunaan Lahan 26
Percobaan Lapangan 30
Evaluasi Kesesuaian Lahan 31
Penyusunan Kriteria Kesesuaian Lahan 32
HASIL DAN PEMBAHASAN 35
Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Lahan Kering 35
Karakteristik Tanah pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan Tanah 38
Pengaruh Lereng dan Konservasi Tanah terhadap Bahaya Erosi 61
Tipe Penggunaan Lahan dan Produktivitas Lahan Kering 63
Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Kualitas Lahan 68
Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Produksi Tanaman 78
Pengaruh Kualitas Lahan terhadap Produksi Tanaman 84
Kelas Kesesuaian Lahan vs Kualitas Lahan 88
Kelas Kesesuaian Lahan vs Produksi Tanaman 91
Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung dan Kacang Tanah 95
Penggunaan Kriteria Kesesuaian Lahan di Lokasi Penelitian 105
Kelebihan dari Kriteria Kesesuaian Lahan yang Dibangun 109
KESIMPULAN DAN SARAN 112
Kesimpulan 112
Saran-saran 112
DAFTAR PUSTAKA 113
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kualitas/Karakteristik Lahan untuk Evaluasi Kesesuaian
Lahan Kering 14
2 Data Iklim di Daerah Kabupaten dan Kota Bogor (Schmidt &
Ferguson, 1951) 18
3 Keadaan Iklim di Daerah Penelitian 18
4 Jenis -jenis Tanah Utama di Daerah Kabupaten dan Kota Bogor 24
5 Luas dan Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor Tahun 2003
(Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, 2004) 25
6 Luas, Jenis Komoditas dan Produktivitas Pertanian Lahan Kering
di Kabupaten Bogor Tahun 2003 (Dinas Pertanian Kabupaten
Bogor, 2004) 25
7 Sifat Morfologi, Kimia dan Mineralogi Tanah di Lokasi Penelitian 44
8 Sekuen Perkembangan Tanah di Lokasi Penelitian 50
9 Pendugaan Bahaya Erosi dan Erosi yang Diperbolehkan di Lokasi
Penelitian 62
10 Produksi Rata-rata Jagung dan Kacang Tanah di Lokasi Penelitian 66
11 Kualitas Lahan pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan Tanah
di Lokasi Penelitian 69
12 Produksi Tanaman pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan
Tanah di Lokasi Penelitian 78
13 Kualitas Lahan dan Kebutuhan Optimum Tanaman 85
14 Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Kualitas Lahan
di Lokasi Penelitian 89
15 Hubungan Kelas Kesesuaian Lahan dengan Produksi Tanaman 92
16 Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan Berdasarkan Produksi
xiii
17 Analisis Regresi Kuadratik antara Sifat-sifat Tanah dan Produksi
Tanaman 97
18 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis
Jagung dengan Input Rendah 102
19 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis
Jagung dengan Input Sedang 102
20 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis
Kacang Tanah dengan Input Rendah 103
21 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis
Kacang Tanah dengan Input Sedang 103
22 Persamaan untuk Pendugaan Produksi Jagung dan Kacang Tanah
di Lokasi Penelitian 104
23 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbas is
Jagung dan Kacang Tanah Berdasarkan Tingkat Produktivitas Lahan
di Lokasi Penelitian 105
24 Hubungan Kelas dan Produksi Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan
untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Jagung di Lokasi Penelitian 106
25 Hubungan Kelas dan Produksi Berdasarkan Kriteria Kesesuaian Lahan
untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis Kacang Tanah di Lokasi
Penelitian 106
26 Pendugaan Produksi dan Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tipe
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Peta Sebaran Lokasi Penelitian 16
2 Peta Geologi Daerah Bogor dan Sekitarnya 21
3 Peta Tanah Daerah Bogor 23
4 Bagan Alir Kegiatan Penelitian 27
5 Neraca Air untuk Tanaman Jagung dan Kacang Tanah di Cimanggu (a) Gunung Sindur (b), Jasinga (c) dan Jonggol (d) 36
6 Komposisi Mineral Pasir dari Tanah-tanah di Lokasi Penelitian 39
7 Difraktogram Liat dari Tanah Berbahan Induk Volkanik Intermedier (B1, B2) dan Batuan Sedimen Masam (B3, B4) 41
8 Difraktogram Liat dari Tanah Berbahan Induk Sedimen Basa (B5, B6, B7) 42
9 Distribusi Sifat Kimia Tanah: %-liat, pH, C-organik, P-total, K-total dan P-tersedia pada Penampang Tanah di Lokasi Penelitian 56
10 Distribusi S ifat Kimia Tanah: K-dd, Ca-dd, Mg-dd, KTK-tanah, Al-dd dan Kejenuhan Basa pada Penampang Tanah di Lokasi Penelitian 58
11 Produksi Jagung pada Input Rendah (TPL 1) dan Input Sedang (TPL 2) di Lokasi Penelitian 67
12 Produksi Tanaman Jagung dan Kacang Tanah pada Berb agai Jenis Tanah dan Tingkat Pengelolaan Lahan di Lokasi Penelitian 79
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Kualitas/Karakteristik Lahan untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan
Kering (FAO, 1983) 118
2 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Jagung (Djaenudin et al., 2003) 120
3 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Kacang Tanah
(Djaenudin et al., 2003) 121
4 Uraian Morfologi Profil Tanah di Lokasi Penelitian 122
5 Komposisi Mineral Pasir dari Tanah-tanah di Lokasi Penelitian 129
6 Sifat Fisika Tanah dari Tanah-tanah di Lokasi Penelitian 130
7 Sifat Kimia Tanah dari Tanah-tanah di Lokasi Penelitian 131
8 Sifat Kimia Tanah Lapisan Atas (0-20 cm) di Lokasi Penelitian 133
9 Sifat Kimia Tanah Lapisan Atas (0-20 cm) pada Pertanaman Jagung
dan Kacang Tanah 134
10 Perhitungan Besarnya Erosi (A) dan Erosi yang Diperbolehkan (T)
di Lokasi Penelitian 135
11 Data Tinggi Tanaman dan Produksi Jagung di Lokasi Penelitian 136
12 Data Tinggi Tanaman dan Produksi Kacang Tanah di Lokasi
Penelitian 138
13 Matriks Korelasi antara Sifat Kimia Tanah dan Produksi Jagung 140
14 Matriks Korelasi antara Sifat Kimia Tanah dan Produksi Kacang
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan nasional, pengembangan pertanian di lahan kering mempunyai harapan besar untuk mewujudkan pertanian yang tangguh di Indonesia, mengingat potensi dan luas lahannya yang jauh lebih besar daripada lahan sawah dan lahan gambut. Selain itu lahan kering sangat berpeluang untuk pengembangan berbagai komoditi andalan, namun sampai saat ini potensinya belum dimanfaatkan secara optimal. Bila dikelola dengan baik, lahan kering akan memberikan sumbangan yang cukup besar terhadap penyediaan pangan nasional (Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian, 1998).
Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Di Indonesia, lahan kering dapat dibedakan berdasarkan kondisi iklimnya, yaitu lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Lahan kering beriklim basah mempunyai penyebaran sangat luas, meliputi 74,58 juta hektar dimana sekitar 49 juta hektar merupakan lahan datar sampai bergelombang yang potensial untuk pengembangan pertanian tanaman pangan (padi gogo dan palawija). Kendala utama yang sering dijumpai pada lahan kering beriklim basah adalah reaksi tanah masam, miskin hara, kandungan bahan organik rendah, kandungan besi dan aluminium tinggi yang melebihi batas toleransi tanaman serta peka erosi sehingga tingkat produktivitasnya rendah (Hidayat et al., 2000).
Umumnya di Indonesia, faktor bahan induk tanah merupakan faktor pembentuk tanah yang paling dominan pengaruhnya terhadap sifat dan ciri tanah yang terbentuk serta potensinya untuk pertanian, selain faktor iklim dan topografi
(Buol et al., 1980). Keragaman bahan induk tanah memberikan keanekaragaman
2 Staff (1999) mengindikasikan sekuen perkembangan tanah dari yang lemah sampai lanjut, yaitu: Entisol-Inceptisol-Alfisol-Ultisol-Oxisol berdasarkan diferensiasi horison bawah penciri. Perkembangan tanah yang semakin lanjut cenderung menurunkan kualitas dan tingkat kesesuaiannya untuk pertanian (Sys, 1978). Secara alami, keragaman bahan induk dan perkembangan tanah yang terus berlanjut akan berpengaruh terhadap tingkat kesesuaian lahan dan produksi pertanian. Penurunan produksi pertanian pada lahan kering dipengaruhi oleh tingkat perkembangan tanah yang terus berlanjut dan dipercepat oleh adanya erosi yang terjadi secara alami atau karena penggunaan lahan yang tidak sesuai (Arsyad, 1989).
Evaluasi kesesuaian lahan sangat diperlukan dalam perencanaan penggunaan lahan kering agar lahan kering dapat digunakan secara produktif dan berkelanjutan. Potensi dan kendala penggunaan lahan dapat diidentifikasi sejak awal sehingga pengelolaan lahan dapat dilakukan lebih baik dan terarah sesuai dengan komoditas yang akan dikembangkan (FAO, 1976). Metoda evaluasi kesesuaian lahan telah banyak dikembangkan di Indonesia baik secara manual maupun komputerisasi. Beberapa sistem evaluasi kesesuaian lahan yang dikenal di Indonesia antara lain: Klasifikasi kemampuan lahan (Soepraptohardjo, 1970), Klasifikasi kesesuaian lahan secara parametrik (Driessen, 1971), Klasifikasi kesesuaian lahan untuk Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (Pusat Penelitian Tanah, 1983), Klasifikasi kesesuaian lahan untuk survei tanah tinjau (CSR/FAO, 1983), Land Evaluation Computer System (Wood dan Dent, 1983) dan Automated Land Evaluation System (Rossiter dan Wambeke, 1994). Namun metode yang ada masih beragam dan belum baku, sehingga bila diterapkan pada lahan yang sama seringkali memberikan hasil yang berbeda. Hal ini terutama disebabkan oleh perbedaan dalam penetapan parameter dan kriteria kesesuaian lahan serta pengambilan keputusan dalam klasifikasi kesesuaian lahan (Hardjowigeno et al., 1999).
3
1983) dan Sys et al. (1993). Penilaian kesesuaian lahan umumnya dilakukan
secara fisik-kualitatif dan belum dilakukan pengkajian secara mendalam di lapangan terutama yang berkaitan dengan jenis dan jumlah parameter-parameter yang digunakan dalam kriteria kesesuaian lahan tersebut dan hubungan kelas kesesuaian lahan dengan produksi tanaman pada tingkat pengelolaan tertentu. Kriteria kesesuaian lahan yang telah ada dapat digunakan sebagai acuan umum, terutama pada lahan-lahan yang belum dibuka untuk pertanian, namun dalam penggunaannya masih perlu disesuaikan dengan kondisi setempat yang mencakup pertimbangan ketersediaan data kualitas lahan serta jenis tanaman atau tipe penggunaan lahan (TPL) yang diusahakan petani.
Tanaman jagung (Zea mays L.) dan kacang tanah (Arachis hypogaea L.)
merupakan tanaman pangan utama yang sangat strategis dikembangkan di lahan kering setelah padi. Kebutuhan akan jagung dan kacang tanah untuk memenuhi permintaan pasar dalam negeri terus meningkat sejak tahun 90-an sebagai bahan pangan, pakan ternak, bahan baku industri makanan dan minyak goreng. Tingkat produksi nasional untuk kedua komoditas ini masih rendah dan belum dapat memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri sehingga sampai saat ini masih terus diimpor. Pada tahun 2002 Indonesia mengimpor sekitar 2 juta ton jagung pipilan kering (Suprapto dan Marzuki, 2004) dan 200.000 ton kacang tanah (Sumarno, 2003).
4
Tujuan Penelitian
1. Mempelajari pengaruh keragaman bahan induk dan perkembangan tanah
terhadap kualitas lahan dan tingkat produktivitas tanaman jagung dan kacang tanah.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor pembatas penggunaan lahan dan kebutuhan minimum data kualitas lahan untuk evaluasi kesesuaian lahan pada lahan kering beriklim basah.
3. Menetapkan kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah pada tingkat pengelolaan lahan dengan input rendah dan sedang berdasarkan kualitas lahan yang tepat dan produksi tanaman.
Hipotesis
1. Keragaman bahan induk dan perkembangan tanah sangat berpengaruh
terhadap kualitas lahan dan tingkat produktivitas tanaman jagung dan kacang tanah.
2. Faktor pembatas penggunaan lahan dan kebutuhan minimum kualitas lahan untuk keperluan evaluasi kesesuaian lahan akan berbeda dalam jenis dan jumlahnya pada setiap lokasi dan tipe penggunaan lahannya.
3. Kriteria kesesuaian lahan yang telah ada untuk tanaman jagung dan kacang tanah masih terlalu umum dan tidak spesifik lokasi sehingga sering tidak sesuai dengan potensi dan atau produkstivitas lahan kering.
Kegunaan Hasil Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Lahan Kering
Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Berdasarkan iklimnya, lahan kering dibedakan atas lahan kering beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Lahan kering beriklim basah mempunyai curah hujan relatif tinggi (> 1500 mm/tahun) dengan masa hujan lebih lama dan tanpa kemarau yang jelas (Hidayat
et al., 2000). Menurut Schmidt dan Ferguson (1951), wilayah yang beriklim basah
dapat diklasifikasikan ke dalam tipe hujan A, B dan C. Pada kondisi iklim demikian, umumnya curah hujan lebih tinggi dari evapotranspirasi sehingga faktor curah hujan yang erat kaitannya dengan faktor ketersediaan air untuk tanaman tidak merupakan faktor pembatas dalam penggunaan lahan untuk pertanian. Dalam tanah demikian selalu tersedia air dan tanaman tidak akan pernah mengalami kekeringan dalam waktu lama. Keadaan kelembaban tanah tersebut
dalam Taksonomi Tanah termasuk ke dalam regim kelembaban tanah udic (Soil
Survey Staff, 1999).
7
tinggi yang melebihi batas toleransi tanaman serta peka erosi (Hidayat et al.,
2000). Walaupun tantangan dan kendala dalam pengembangan pertanian di lahan kering terasa berat, namun tetap dijadikan harapan besar bagi keberhasilan pertanian di masa datang mengingat lahan-lahan persawahan subur secara berlanjut telah dikonversi menjadi lahan non-pertanian, sementara produktivitasnya telah mengalami pelandaian dan cenderung menurun akibat
pemberian pupuk yang berlebihan (Adiningsih et al., 2000).
Pengaruh Bahan Induk dan Perkembangan Tanah terhadap Kualitas Lahan
Di wilayah tropika basah, termasuk Indonesia, selain faktor iklim dan topografi, faktor bahan induk tanah merupakan faktor pembentuk tanah yang paling dominan pengaruhnya terhadap sifat dan ciri tanah yang terbentuk serta
potensinya untuk pertanian (Buol et al., 1980). Keragaman bahan induk tanah
memberikan keanekaragaman sifat dan jenis tanah yang terbentuk. Menurut peta sumberdaya tanah Indonesia tingkat eksplorasi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000) tercatat bahwa di Indonesia ditemukan 10 ordo tanah dari 12 ordo tanah yang tersebar di dunia. Tiga ordo tanah di antaranya yaitu Inceptisol, Ultisol dan Oxisol merupakan tanah-tanah pertanian utama di lahan kering yang
berkembang dari batuan volkanik dan batuan sedimen (Subagyo et al., 2000).
Dudal dan Soepraptohardjo (1957) mengklasifikasikan tanah-tanah tersebut
sebagai Podsolik Merah Kuning dan Latosol. Buol et al. (1980) dan Mohr et al.
8 pada tanah -tanah di daerah lebih basah atau tanah -tanah tua, hubungan bahan induk dengan sifat-sifat tanahnya menjadi kurang jelas (Hardjowigeno, 1993).
Proses pelapukan bahan induk tanah pada kondisi iklim basah dengan curah hujan dan suhu udara tinggi berjalan sangat intensif. Akibatnya tanah cepat berkembang membentuk tanah-tanah yang berlapukan tinggi, dicirikan oleh solum tanah dalam, berwarna coklat kemerahan sampai merah, kandungan liat tinggi, masam, kapasitas tukar kation dan kejenuhan basa rendah, miskin hara, cadangan mineral rendah, kandungan besi dan aluminium tinggi, mineral liat didominasi
oleh tipe 1:1 (Subagyo et al., 2000). Tingkat perkembangan tanah diekpresikan
oleh diferensiasi horison (Soil Survey Staff, 1993), tingkat pelapukan batuan
induk dan muatan koloid tanah (Mohr et al., 1972; Sys, 1978) serta umur
9 penurunan kualitas lahan yang mengakibatkan terjad inya penurunan produksi pada beberapa tanaman pangan daerah tropika.
Perkembangan Metode Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi kesesuaian lahan atau sering disebut evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi atau kelas kesesuaian suatu lahan untuk tujuan penggunaan lahan tertentu. Penilaian kelas kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan karakteristik atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan (FAO, 1976). Dengan cara ini maka akan diketahui potensi atau kelas kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut. Hasil evaluasi kesesuaian lahan dapat digunakan sebagai dasar untuk perencanaan penggunaan tanah yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya selain dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan dan lingkungannya, juga dapat meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah-masalah sosial dan ekonomi lainnya (Hardjowigeno et al., 1999).
Metode evaluasi kesesuaian lahan telah banyak dikembangkan di Indonesia baik secara manual maupun komputerisasi. Soil Conservation Service,
USDA mula-mula memperkenalkan sistem kemampuan lahan atau land capability
(Klingebie l dan Montgomery, 1961). Dalam sistem ini satuan lahan dikelompokkan ke dalam delapan kelas (I sampai dengan VIII) berdasarkan kemampuannya untuk memproduksi tanaman-tanaman pertanian dan rumput makanan ternak tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang. Sistem ini diadopsi oleh Soepraptohardjo (1970) dan diterapkan di Lembaga Penelitian Tanah untuk pemetaan tanah tingkat tinjau dan eksplorasi di sebagian wilayah
Indonesia. Selanjutnya FAO (1976) dalam Framework of Land Evaluation
memperkenalkan sistem klasifikasi kesesuaian lahan (land suitability
classification) untuk jenis penggunaan tertentu yang banyak dianut dan
10 tiga kelas berdasarkan besarnya faktor pembatas, yaitu sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2) dan sesuai marginal (S3). Pada tahun 1983, Pusat Penelitian Tanah mengembangkan sistem evaluasi kesesuaian lahan untuk pemetaan tanah tingkat semidetil (skala 1:50.000) untuk tujuan proyek transmigrasi di luar Jawa yang merupakan modifikasi dari konsep FAO (1976). Kriteria kesesuaian lahan disusun berdasarkan parameter karakteristik lahan dan pengharkatannya disesuaikan dengan kebutuhan evaluasi kesesuaian lahan untuk padi sawah, tanaman pangan lahan kering dan tanaman perkebunan. Dalam tahun yang sama, Pusat Penelitian Tanah dan FAO (CSR/FAO, 1983) mengembangkan pula sistem evaluasi lahan
untuk pemetaan tanah tingkat tinjau (skala 1:250.000) dalam Atlas Format
Procedures, dimana disajikan kriteria kesesuaian lahan untuk 23 jenis tanaman
pertanian dan 10 jenis tanaman kehutanan. Kriteria-kriteria tersebut walaupun belum diuji kebenarannya di lapangan, namun telah digunakan secara luas di Indonesia, bahkan diterapkan juga pada pemetaan tanah tingkat semidetil. Dari sistem ini kemudian Wood dan Dent (1983) membangun suatu sistem evaluasi
lahan dengan komputer yang disebut LECS (Land Evaluation Computer System).
Selanjutnya Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat pada tahun 1993 membuat petunjuk teknis evaluasi lahan untuk pemetaan tanah tingkat tinjau, semidetil dan detil yang dilakukan secara manual. Selain itu, dua tahun kemudian melalui
kegiatan Proyek LREP-II (Second Land Resources Evaluation and Planning
Project) telah dikembangkan juga sistem ALES (Automated Land Evaluation
System) yang berasal dari Amerika Serikat (Rossiter dan Wambeke, 1994). Sistem
ini menggunakan sistem pakar dan telah berkembang cepat. Semula hanya ditujukan untuk keperluan pemetaan tanah tingkat semidetil di daerah -daerah prioritas pengembangan di 17 provinsi di Indonesia, namun belakangan ini telah dikembangkan dan digunakan juga untuk berbagai keperluan dan berbagai skala pemetaan tanah di Indonesia.
11 memilih sistem mana yang harus dianut. Terjadinya perbedaan dalam hasil penilaian kesesuaian lahan tersebut antara lain disebabkan oleh: (1) perbedaan terhadap faktor-faktor yang dinilai yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman, (2) perbedaan pengharkatan dalam penilaian karakteristik lahan, (3) perbedaan dalam sistem klasifikasi yang digunakan, dan (4) perbedaan dalam metode pengambilan keputusan, antara lain metode penghambat maksimum atau metode parametrik
(Hardjowigeno et al., 1999). Disamping itu juga kriteria kesesuaian lahan yang
telah ada masih bersifat umum dan disusun berdasarkan pengalaman empiris yang belum dikaji di lapangan dan disesuaikan dengan produksi tanaman pada tipe penggunaan lahan tertentu. Kriteria kesesuaian lahan tersebut digunakan pada berbagai kondisi lahan, baik pada lahan kering maupun lahan basah atau lahan gambut. Prosedur umum tentang evaluasi lahan untuk pertanian lahan kering telah banyak dibahas oleh FAO (1983), namun kriteria kesesuaian lahan yang spesifik lokasi untuk tanaman pangan di lahan kering khususnya jagung dan kacang tanah belum dikemukakan. Spesifik lokasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lahan kering yang beriklim basah pada dataran rendah, datar atau diteras, sudah digunakan sebagai lahan pertanian tanaman pangan dengan tipe penggunaan lahan tertentu yang dibedakan berdasarkan jenis komoditas, pola tanam, tujuan produksi, dan besarnya input produksi yang diberikan terutama pupuk.
Prosedur Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Pertanian Lahan Kering
Prosedur evaluasi kesesuaian lahan untuk lahan kering secara umum telah dikemukakan oleh FAO (1983) namun prinsipnya hampir sama seperti dikemukakan dalam Kerangka Acuan Evaluasi Lahan menurut FAO (1976). Perbedaan yang mendasar dari prosedur ini hanya terletak pada penentuan tipe penggunaan lahan dan pemilihan kualitas lahan yang ditekankan pada lahan kering. Dengan demikian maka penggunaan beberapa komoditas pertanian seperti padi sawah dan atau kualitas lahan yang tidak relevan dengan lahan kering tidak digunakan lagi, seperti kualitas lahan gambut.
12 saat penilaian. Berdasarkan tingkat pemetaan tanah/lahan dibedakan ke dalam tiga tingkatan, yaitu tingkat tinjau skala 1:250.000, tingkat semi detil skala 1:50.000 dan tingkat detil skala lebih besar dari 1:25.000 (Djaenudin et al., 2003). Jenis,
jumlah dan kualitas data yang dihasilkan dari ketiga tingkat pemetaan tersebut sangat bervariasi, sehingga penyajian hasil evaluasi kesesuaian lahan ditetapkan sebagai berikut: pada tingkat tinjau dinyatakan dalam ordo, tingkat semi detil dalam kelas/subkelas dan pada tingkat detil dinyatakan dalam subkelas/subunit. Dari cara penilaiannya, dikenal dua macam kesesuaian lahan yaitu kesesuaian lahan kualitatif dan kesesuaian lahan kuantitatif (FAO, 1976). Dalam penilaian kesesuaian lahan kuantitatif, hasil pen ilaian kelas kesesuaian lahan telah dihubungkan dengan besarnya produksi tanaman (secara fisik-kuantitatif) atau keuntungan dalam bentuk uang yang akan diterima petani (ekonomi). Masing-masing kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai secara aktual (saat ini) maupun potensial, yang menghasilkan kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan aktual dihasilkan dari evaluasi kesesuaian lahan pada kondisi aktual (saat sekarang), tanpa masukan perbaikan, sedangkan kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang dihasilkan dari penilaian pada kondisi setelah diberikan masukan perbaikan sesuai dengan jenis faktor pembatasnya.
Kriteria Kesesuaian Lahan
13 kualitas/karakteristik lahan yang dibutuhkan untuk evaluasi kesesuaian lahan sangat ditentukan oleh tujuan evaluasi, relevansi, ketersediaan dan kualitas data yang dihasilkan dari kegiatan penelitian atau pemetaan sumberdaya lahan. FAO (1983) secara umum telah menginventarisasi sejumlah 25 kualitas lahan beserta karakteristik lahannya yang dibutuhkan dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian lahan kering.seperti tertera pada Lampiran 1. Namun demikian, untuk keperluan evaluasi lahan yang lebih spesifik lokasinya perlu dipilih kualitas/karakteristik lahan yang relevan dengan tujuan evaluasi dan ketersediaan data di suatu wilayah.
Kualitas dan karakteristik lahan yang digunakan CSR/FAO (1983), Wood
dan Dent (1983) dan Djaenudin et al. (2003) baru sebagian saja dari sejumlah
kualitas lahan yang dikemukakan FAO (1983), seperti tertera pada Tabel 1. Kualitas lahan dan karakteristik lahan lainnya dapat ditambahkan atau dikurangi
bila diperlukan sesuai dengan tujuan evaluasi dan kondisi lahannya. Djaenudin et
al. (1994, 2000, 2003) telah menetapkan dan menyusun kriteria kesesuaian lahan
untuk berbagai komoditas pertanian berdasarkan kualitas/karakteristik lahan yang relevan dengan kondisi wilayah di Indonesia. Contoh kriteria kesesuaian lahan
untuk tanaman jagung dan kacang tanah yang disusun Djaenudin et al. (2003)
14 penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah di daerah Bogor adalah ketersediaan air, ketersediaan oksigen, media perakaran, ketersediaan hara, retensi hara, bahaya keracunan, dan bahaya erosi. Ketersediaan hara dan bahaya keracunan aluminium yang cukup berpengaruh pada produktivitas lahan kering
(FAO, 1983; Wood dan Dent, 1983; dan Sys et al., 1993) belum terakomodasi
[image:30.612.93.529.241.725.2]dalam kriteria kesesuaian lahan yang dis usun oleh Djaenudin et al. (2003).
Tabel 1. Kualitas/Karakteristik Lahan untuk Evaluasi Kesesuaian Lahan Kering
FAO (1983) CSR/FAO (1983) Wood dan Dent
(1983) Sys et al. (1993) Djaenudin (2003) et al.
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Daerah Kabupaten dan Kota Bogor secara geografis terletak pada 6o 19’ –
6o 47’ Lintang Selatan dan 106o 21’- 107o 13’ Bujur Timur, dengan luas wilayah
334.378 ha (Setda Kabupaten Bogor, 2001). Wilayahnya bervariasi dari datar sampai berbukit dan bergunung. Ketinggian tempat dari permukaan laut berkisar dari 25 m di bagian utara sampai 2500 m di bagian selatan pada dataran tinggi Gunung Salak dan Gunung Pangrango.
Lokasi penelitian secara administratif termasuk ke dalam 4 Kecamatan, yaitu di Kecamatan Kota Bogor Barat, Kecamatan Gunung Sindur, Jasinga dan Jonggol, Kabupaten Bogor. Berdasarkan perbedaan bahan induk dan perkembangan tanah, telah ditetapkan 7 lokasi penelitian, yaitu 2 lokasi mewakili bahan in duk volkanik, yaitu di Cimanggu (B1) dan Gunung Sindur (B2), 2 lokasi di Jasinga yaitu di Desa Cikopomayak (B3) dan Tegalwangi (B4) mewakili bahan induk batuan sedimen masam, dan 3 lokasi di Jonggol yang mewakili bahan induk batuan sedimen basa (batu gamping), yaitu di sebelah Kebun Penelitian Peternakan IPB (B5), di Kampung Ciukuy-Cijambe (B6) dan di Kampung Melati (B7), Desa Singasari (Peta 1).
Keadaan Iklim
Keadaan iklim daerah penelitian dan umumnya di wilayah Kabupaten dan Kota Bogor relatif hampir sama, yaitu mempunyai curah hujan cukup tinggi (2300-4900 mm per tahun) dan hampir merata sepanjang tahun. Jumlah bulan-bulan basah (>100 mm) lebih dari 9 bulan-bulan, bahkan di sekitar Kota Bogor hampir
tidak ada bulan kering (< 60 mm). Suhu udara rata-rata berkisar dari 25-27oC.
17 bulan-bulan kering dan bulan basah sebesar 0-14,3%, sedangkan tipe hujan B relatif lebih kering, mempunyai rasio jumlah bulan kering dan bulan basah sebesar 14,3-33,3%. Koppen (dalam Schmidt dan Ferguson, 1951) menggolongkannya ke dalam tipe iklim Afa, yaitu termasuk ke dalam tipe iklim hujan tropika dengan periode kering tidak nyata, curah hujan bulanan di musim kemarau masih di atas 60 mm dan suhu udara rata-rata bulanan di atas 22oC.
Data iklim terbaru daerah penelitian selama periode 1956-2000 dari Badan Meteorologi dan Geofisika dan hasil pengukuran Balai Penelitian Agroklimat, Bogor (Tabel 3) menunjukkan bahwa secara umum di wilayah Kabupaten Bogor mengalami sedikit perubahan iklim, khususnya terhadap curah hujan tahunan di Jasinga, Gunung Sindur dan Jonggol yang cenderung menurun.
Data iklim yang lengkap untuk daerah penelitian hanya diperoleh dari stasiun iklim Cimanggu, Bogor terdiri dari data curah hujan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan radiasi matahari sedangkan di stasion iklim lainnya hanya diperoleh data curah hujan bulanan. Data suhu udara untuk stasiun
iklim lainnya ditetapkan berdasarkan rumus Braak (dalam Mohr et al., 1972),
yaitu setiap kenaikan/penurunan tinggi tempat 100 m dari permukaan laut akan
terjadi penurunan/kenaikan suhu udara sebesar 0,6oC. Pada Tabel 3 terlihat bahwa
iklim di sekitar Cimanggu, Bogor (240 m dpl) dicirikan oleh curah hujan tahunan yang cukup tinggi yaitu 4414 mm dan curah hujan bulanan hampir merata sepanjang tahun, tanpa bulan kering yang nyata. Curah hujan terendah pada bulan
Juli sebesar 193 mm. Suhu udara rata-rata bulanan 26,8 oC, dan kelembaban udara
18 Tabel 2. Data Iklim di Daerah Kabupaten dan Kota Bogor (Schmidt & Ferguson,
1951)
Jumlah No
Stasion Iklim
Nama Stasiun Iklim BK BB Nilai
Q Tipe Hujan (S&F) Tipe Iklim Koopen Jumlah Curah Hujan (mm) 2 16 36a 36c 48 87
Jasinga (90 m) Cigudeg (320 m) Parung (103)
Gunung Sindur (90 m) Kebun Raya (237 m) Jonggol (123 m)
0,5 0,5 1,5 1,5 0,3 1,1 10,9 11,1 9,9 9,8 11,5 10,4 4,5 4,5 15,1 15,3 2,6 10,5 A A B B A A Afa Afa Afa Afa Afa Afa 3.348 3.515 2.712 2.725 4.117 3.516 Keterangan: BK: Bulan Kering, BB: Bulan Basah, Q = BK/BB x 100
Tabel 3 Keadaan Iklim di Daerah Penelitian (Badan Meteorologi dan Geofisika, 1956-1986; Balai Penelitian Agroklimat, 1990-2000)
Un
sur Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nop Des
Ta-hun
Sta. Cimanggu, 240 m dpl, 112o 44’ BT dan 06o 37’ LS (1990-2000)
CH HH KR SU KA RM ET 472 24 84 25,8 0,7 254 3,52 378 19 82 26,0 0,7 278 3,60 412 19 80 26,6 0,8 350 3,77 479 19 80 26,9 0,7 352 3,52 396 15 78 27,4 0,7 362 3,60 259 10 76 27,1 0,8 352 3,67 193 9 73 27,0 0,9 372 3,67 248 9 71 27,1 1,0 414 4,17 237 9 71 27,5 1,1 456 4,50 505 18 75 27,2 1,0 401 4,25 477 21 79 26,7 0,9 336 3,75 358 21 80 26,5 0,8 307 3,87 4.414 193 77 26,8 0,8 352 3,82
Sta. Gunung Sindur, 90 m dpl, 106o 46’ BT dan 06o 25’ LS (1956-1986)
CH SU 312 26,6 223 26,2 239 27,3 236 27,7 181 28,1 97 27,8 108 27,6 111 27,7 127 28,4 163 28,1 202 27,6 188 27,4 2.187 27,5
Sta. Jasinga, 90 m dpl, 106o 27’ BT dan 06o 29’ LS (1956-1986)
CH SU 354 26,6 245 26,2 294 27,3 347 27,7 262 28,1 172 27,8 179 27,6 150 27,7 194 28,4 230 28,1 239 27,6 244 27,4 2.910 27,5
Sta. Jonggol, 123 m dpl, 107o 04’ BT dan 06o 28’ LS (1956-1986)
CH SU 386 26,2 316 26,3 315 27,1 343 27,5 246 27,9 135 27,6 136 27,4 121 27,5 160 28,2 227 27,9 253 27,4 284 27,2 2.922 27,3 Keterangan:
19
Geologi dan Bahan Induk
Wilayah Kabupaten dan Kota Bogor memiliki struktur geologi berupa struktur lipatan, sesar, volkanik dan sedimentasi (van Bemmelen, 1949). Struktur lipatan terdapat pada batuan sedimen berumur Miosen Tengah. Batuan ini terdapat pada formasi Jatiluhur, membentuk antiklin dan sinklin yang memiliki sumbu dengan arah Tenggara-Barat Laut, membujur melalui daerah G. Hambalang, Pasir Menteng dan Pasir Gombong. Struktur sesar terdapat dalam bentuk sesar mendatar arah Timur Laut dan Barat Daya memotong sumbu lipatan, membujur melalui daerah Gunung Hambalang, Pasir Menteng, Pasir Gombong dan Pasir Kutawesi dan tampak adanya kelurusan dengan arah Timur Laut-Barat Daya dan Barat Laut-Tenggara membujur melalui Warung Borong dan Sileuwi yang menunjukkan zona lemah berupa sesar. Struktur volkanik terdapat pada batuan berumur Pleistosin. Keberadaan struktur volkanik dapat dijumpai pada deretan G. Salak, G. Gede dan G. Pangrango. Struktur sedimentasi berkaitan dengan proses sedimentasi pada cekungan Bogor yang dicirikan oleh adanya endapan marin. Kemiringan lapisan batuan rata-rata 30% dengan arah Timur Laut-Barat Daya.
20 Batuan volkanik Gunung Salak yang tersusun dari tufa batu apung berpasir tersebar setempat-setempat di sekitar Gunung Menyan, Kampung Darmaga dan selatan Gunung Bubur. Batuan volkanik Gunung Salak yang tersusun dari lahar, breksi tufa dan lapili bersusunan andesit basal kebanyakan lapuk sekali, tersebar di sekitar Gunung Menyan, Cibogel dan Gunung Palasari. Sedangkan batuan volkanik Gunung Salak yang tersusun dari aliran lava andesit-basal dengan piroksin tersebar di bagian selatannya yaitu di sekitar Kampung Kiaralawang. Batuan breksi dan lava Gunung Kencana dan Gunung Limo tersusun dari bongkah-bongkah tufa dan breksi andesit dengan banyak sekali fenokris piroksin dan lava basal, tersebar di sekitar Gunung Panitisan, Gunung Kramat, Gunung Hanjuang, Gunung Palasari, Gunung Kendung, Gunung Halimun dan Gunung Kancana. Batuan volkanik dari Gunung Pangrango tersusun dari lava, lahar andesit-basal dengan oligoklas, tersebar di sekitar Bogor hingga Ciawi.
Batuan sedimen dan endapan sungai (aluvium) tersusun atas batu pasir konglomerat dan batu lanau berumur Pleistosen, endapan sungai Citarum dan Cibeet, tersebar di sekitar Setu, Cijambe dan Tegalkadu dengan ketebalan mencapai 50 m. Endapan kipas aluvium berumur Pleistosen terdiri dari konglomerat, batu pasir tufa, tufa dan breksi mempunyai ketebalan mencapai 300 m, tersebar di sekitar Kota Bogor, Cibinong, Cileungsi, Bekas i dan Cikarang. Ketebalan tanah berkisar antara 3-8 m, tanah terlapuk lanjut berupa liat bertufa dan pasir lanau. Endapan sungai muda terdiri dari pasir, lumpur, kerikil dan kerakal, umumnya tersebar sepanjang jalur aliran Sungai Cihoe, Sungai Cikarang, Sungai Cikeas dan Sungai Cileungsi.
Sumber Peta : Peta Geologi Jawa dan Madura, Lembar Jawa Barat, Skala 1:500.000 (Direktorat Geologi, 1969)
PETA GEOLOGI
DAERAH BOGOR DAN SEKITARNYA
Skala 1:500.000
Andesit
Fasies sedimen Miosen Bahan volkanik tak teruraikan, Kuarter
Fasies gunung api, Plistosen
Fasies batu gamping Miosen
Bahan volkanik Kuarter Tua Aluvium Holosen
Fasies Sedimen Pliosen
22
Keadaan Tanah
Menurut Peta Tanah Tinjau Kabupaten dan Kota Bogor skala 1:250.000 (Lembaga Penelitian Tanah, 1966) menunjukkan bahwa tanah-tanah di daerah Bogor cukup beragam, sejalan dengan keragaman bahan induk tanahnya. Tanah diklasifikasikan menurut Dudal dan Soepraptohardjo (1957), terdiri dari Aluvial, Regosol, Andosol, Litosol, Renzina, Grumusol, Latosol dan Podsolik Merah Kekuningan. Latosol yang berkembang dari bahan volkanik mempunyai penyebaran paling luas di daerah Bogor (67% dari luas seluruh Kabupaten dan Kota Bogor), kemudian diikuti oleh Podsolik Merah Kekuningan (15%) yang berkembang dari batuan sedimen masam, banyak dijumpai di daerah perbukitan lipatan sekitar Leuwiliang dan Jasinga. Tanah-tanah lainnya mempunyai penyebaran sempit, seperti Mediteran dan Kompleks Renzina-Brown Forest Soil yang terdapat di sekitar daerah Jonggol dan Cariu yang berkembang dari batu gamping.
Aluvial terbentuk dari bahan aluvium, mempunyai penyebaran sempit dan terbatas di sepanjang jalur aliran sungai, antara lain Sungai Cisadane, Ciliwung, Cimandiri dan Cihoe-Cibeet. Penggunaan tanah umumnya untuk persawahan. Regosol dan Andosol dijumpai di lereng atas volkan G. Salak dan G. Pangrango pada ketinggian di atas 1000 m dari permukaan laut. Sedangkan Renzina, Brown Forest Soil, Grumusol dan Mediteran berkembang dari batuan sedimen basa (batu gamping dan napal), terdapat di daerah perbukitan lipatan/angkatan di sekitar Jonggol dan Cariu. Jenis-jenis tanah utama di daerah Bogor dapat dilihat pada Tabel 4, sedangkan penyebarannya dari masing-masing jenis tanah tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
24 Tabel 4. Jenis-Jenis Tanah Utama di Daerah Kabupaten dan Kota Bogor
No Jenis Tanah Bahan Induk Fisiografi Lokasi profil
1 Aluvial Endapan sungai Dataran aluvial
2 Regosol Pasir, abu volkan Volkan
3 Andosol Abu, pasir volkan Volkan
4 Latosol Tuf volkan
intermedier Volkan B1, B2
5 Renzin a, Brown
Forest Soil Batu gamping Bukit angkatan B5
6 Mediteran Batu gamping Bukit angkatan B6, B7
7 Podsolik Merah
Kekuningan Batu liat/batu pasir Bukit lipatan B3, B4
Penggunaan Lahan dan Pertanian
Penggunaan lahan di Kabupaten dan Kota Bogor secara umum terbagi dalam 5 jenis penggunaan lahan, yaitu: pertanian lahan sawah, pertanian lahan kering, perkebunan, perhutanan, permukiman dan kawasan industri. Sebagian besar lahan telah digunakan terutama untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Selama masa 10 tahun terakhir telah terjadi konversi lahan dari lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman dan industri, sementara hutan -hutan yang ada semakin menyempit akibat penebangan liar (Fakultas Kehutanan IPB, 2003). Jenis dan luas penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 5, sedangkan luas, jenis komoditas dan produktivitas pertanian lahan kering yang diusahakan masyarakat di sajikan pada Tabel 6 (Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, 2004).
25 bahwa tanaman pangan lahan kering yang banyak diusahakan masyarakat setempat adalah ubi kayu, ubi jalar, padi gogo, jagung dan kacang tanah..
Tabel 5. Luas dan Jenis Penggunaan Lahan di Kabupaten Bogor Tahun 2003 (Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, 2004)
Luas
No Jenis Penggunaan Lahan
Ha %
1. Lahan Sawah
1.1. Pengairan Teknis
1.2. Pengairan Setengah Teknis 1.3. Pengairan Sederhana PU 1.4. Pengairan Non PU 1.5. Tadah Hujan
48.177 4.106 6.402 14.441 14.919 8.309 17,9 1,5 2,3 5,4 5,6 3,1
2. Lahan Kering
2.1. Bangunan dan Pekarangan 2.2. Tegalan/Kebun
2.3. Ladang/Huma (Padi gogo) 2.4. Penggembalaan/Padang Rumput 2.5. Rawa yang Tidak Ditanami 2.6. Kolam/Empang
2.7. Lahan Kering Tidak Diusahakan 2.8. Hutan Rakyat Tanaman Kayu-Kayuan 2.9. Hutan Negara
2.10. Perkebunan
2.11. Penggunaan Lain-Lain.
220.831 36.616 55.172 7.352 300 361 2.580 483 13.193 37.317 19.454 48.003 82,1 13,7 20,6 2,7 0,1 0,1 0,9 0,1 4,9 14,0 7,2 17,8
Jumlah Penggunaan Lahan 269.008 100,0
[image:41.612.113.499.180.481.2]
Tabel 6. Luas, Jenis Komoditas dan Produktivitas Pertanian Lahan Kering di Kabupaten Bogor Tahun 2003 (Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, 2004)
No
. Jenis Komoditas
26 Tipe penggunaan lahan untuk jagung dan kacang tanah di daerah Bogor dan khususnya di sekitar lokasi penelitian umumnya tergolong pada tingkat pengelolaan dengan input sedang dan hanya sedikit sekali petani menggunakan input rendah karena telah disadari akan produktivitas lahan yang rendah. Data produktivitas lahan kering khususnya jagung, kacang tanah dan ubi kayu dengan input sedang di sekitar lokasi penelitian diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2004). Produktivitas lahan rata-rata untuk jagung, kacang tanah dan ubi kayu di sekitar lokasi penelitian, rata-rata produksi di Kabupaten Bogor dan nasional serta potensi produksi hasil-hasil penelitian dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (1993, 2002) disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7. Produktivitas Lahan Kering Rata-rata untuk Jagung, Kacang Tanah dan Ubi Kayu di Kabupaten Bogor, Rata-rata Produksi Nasional dan Hasil- Hasil Penelitian.
Produktivitas Lahan (ton/ha)
No Nama Kecamatan Jagung
(biji kering) (polong kering) Kacang tanah (umbi segar) Ubi kayu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Jasinga Cigudeg Ciampea Dramaga Sukaraja Cariu Jonggol Cileungsi Parung Gunung Sindur 2,93 3,00 3,09 3,12 3,19 3,13 3,13 3,15 2,78 2,97 1,22 1,20 1,12 1,00 1,00 1,13 1,22 1,21 1,31 1,20 17,43 18,72 19,22 19,27 19,78 18,97 18,29 18,76 19,23 18,68
Rata-rata Kabupaten Bogor 3,09 1,19 18,90
Rata-rata Nasional 2,5 0,97 12,2
Rata-rata Hasil Penelitian : Jagung varietas Bisma
Kacang tanah varietas Kelinci Ubi kayu klon MLG-1
5,7-6,0
2,0-3,0
25-42 Sumber data: Dinas Pertanian Kabupaten Bogor (2004), Sumarno (2003), Suprapto dan Marzuki (2004), Ispandi dan Sutrisno (2001), Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (1993).
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian terletak di 7 lokasi lahan kering di daerah Kabupaten dan Kota Bogor yang terbagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan perbedaan bahan induk dan jenis tanah, yaitu: (1) di Cimanggu (B1) dan Gunung Sindur (B2), mewakili Latosol dari bahan volkanik intermedier, (2) di Cikopomayak (B3) dan Tegalwangi (B4), Jasinga mewakili Podsolik Merah Kuning dari batuan sedimen masam, dan (3) 3 lokasi di desa Singasari, Jonggol mewakili Brown Forest Soil (B5) dan Mediteran (B6 dan B7) dari batuan sedimen basa (batu gamping). Penetapan lokasi penelitian merujuk pada Peta Tanah Tinjau Kabupaten Bogor (Lembaga Penelitian Tanah, 1966) dan Peta Geologi Lembar Bogor skala 1:100.000 (Effendi, 1986).
Waktu penelitian selama 14 bulan, dilaksanakan mulai bulan Mei 2003 sampai dengan Juni 2004.
Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dalam 4 tahapan kegiatan, yaitu: (1) karakterisasi lahan dan identifikasi tipe penggunaan lahan, (2) percobaan lapangan, (3) evaluasi kesesuaian lahan, dan (4) penyusunan kriteria kesesuaian lahan. Bagan alir kegiatan penelitian disajikan pada Gambar 4.
Karakterisasi Lahan dan Identifikasi Tipe Penggunaan Lahan (TPL)
Karakterisasi lahan bertujuan untuk mengumpulkan data karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan kualitas lahan yang digunakan dalam evaluasi kesesuaian lahan di lahan kering, yaitu kualitas lahan suhu, ketersediaan air, ketersediaan oksigen, media perakaran, ketersediaan hara, retensi hara, bahaya
keracunan, dan penyiapan lahan (FAO, 1983; Djaenudin et al., 2003). Dalam
28 pembatas penggunaan lahan. Karakterisasi lahan meliputi pengamatan tubuh tanah (profil) dan faktor fisik lingkungannya (keadaan batuan atau singkapan batuan di permukaan tanah, bentuk wilayah/lereng, vegetasi/penggunaan lahan, ketinggian tempat dan batuan induk tanah), pengambilan contoh tanah serta pengumpulan data iklim.
Pengamatan tubuh tanah dilakukan di 7 lokasi penelitian untuk memperoleh data sifat-sifat morfologi tanah yang berhubungan dengan karakteristik lahan untuk keperluan evaluasi kesesuaian lahan dan klasifikasi tanah, yaitu: kedalaman efektif tanah, drainase, keadaan batuan di dalam penampang, sifat-sifat horison tanah meliputi tebal dan batas horison, warna, tekstur, struktur, konsistensi, pori, keadaan perakaran dan pH tanah. Deskripsi profil tanah mengacu kepada Guideline for Soil Profile Description (FAO, 1978), Soil Survey Manual (Soil Survey Staff, 1993) dan Penuntun Pengamatan Tanah di Lapang (Lembaga Penelitian Tanah, 1969). Profil tanah dibuat sedalam 1,2 m - 1,6 m atau sampai kedalaman batuan induk. Contoh tanah dari profil dan komposit (lapisan atas 0-20 cm) diambil sebanyak 1 kg untuk keperluan analisis sifat kimia dan mineralogi tanah. Contoh tanah ring dari kedalaman tanah 0-20 cm dan 20-40 cm diambil untuk menganalisis sifat-sifat fisik tanah. Tingkat perkembangan tanah di lapang dibedakan berdasarkan susunan dan sifat horison bawah penciri (B-kambik, B-argilik, B-oksik).
Analisis sifat-sifat fisik, kimia dan mineralogi tanah dari contoh tanah profil dan komposit serta contoh ring untuk mempelajari asal bahan induk tanah, perkembangan dan klasifikasi tanah, penilaian status hara, pendugaan erodibilitas tanah (K) dan bahaya erosi, hubungan antar sifat-sifat tanah, serta melihat pengaruh bahan induk dan perkembangan tanah terhadap karakteristik/kualitas lahan. Jenis dan metode analisis tanah meliputi penetapan tekstur 4 fraksi cara
pipet (termasuk fraksi liat halus), pH tanah (H2O dan KCl 1N), C-organik
(Walkley-Black), N-total (Kjeldahl), P dan K total (HCl 25%) dan P-tersedia
(Bray I atau Olsen), basa-basa dapat tukar (NH4OAc-pH 7), KTK tanah (NH4OAc
29 difraksi sinar-x untuk penetapan jenis dan jumlah mineral liat di dalam tanah yang berhubungan dengan sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya (Grim, 1968). Analisis sifat fisik tanah meliputi penetapan bobot isi, permeabilitas, kapasitas air tersedia, ruang pori total dan distribusi ukuran pori. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Metode dan prosedur analisis tanah mengikuti Soil Survey Laboratory Methods and Procedures for Collecting Soil Samples (SCS-USDA, 1982). Klasifikasi tanah ditetapkan menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999). Pendugaan bahaya erosi atau besarnya erosi yang terjadi di setiap lokasi penelitian dihitung dengan persamaan USLE (Wischmeier dan Smith, 1978).
Data iklim dikumpulkan dari stasiun iklim di Cimanggu, Gunung Sindur, Jasinga dan Jonggol selama 10-20 tahun pengamatan, terdiri dari: curah hujan bulanan, jumlah hari hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, lama penyinaran matahari, lama bulan basah dan bulan kering untuk keperluan
klasifikasi iklim, perhitungan neraca air dan lamanya masa pertumbuhan (length
of growing period). Besarnya evapotranspirasi acuan (ET0) dan neraca air
diperhitungkan dengan program CropWat (Clarke, 1998). Kebutuhan air untuk tanaman jagung dan kacang tanah ditetapkan menurut Doorenbos dan Pruitt
(1984) sebesar ET0 x Kc (Kc-jagung = 0,80 dan Kc-kacang tanah = 0,75). Data
iklim dari stasion Cimanggu-Bogor diperoleh dari Balai Penelitian Agroklimat, sedangkan data iklim dari stasion lainnya diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
30 pengumpulan data input dan output produksi dari Dinas Pertanian di Kecamatan dan Kabupaten Bogor serta data statistik Kabupaten Bogor dan data dari kebun-kebun percobaan lingkup Puslitbang Tanaman Pangan. Tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dibedakan berdasarkan input produksi terutama pupuk (FAO, 1983).
Percobaan Lapangan
Percobaan lapangan bertujuan untuk mempelajari pengaruh keragaman bahan induk dan perkembangan tanah serta tingkat pengelolaan lahan yang diterapkan terhadap tingkat produksi tanaman dari tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah. Dari percobaan ini dipelajari juga hubungan antara karakteristik dan atau kualitas lahan dengan produksi tanaman jagung dan kacang tanah sebagai dasar dalam penetapan karakteristik/kualitas lahan yang akan digunakan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan tersebut.
31 Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman berumur 2, 4, dan 6 minggu setelah tanam dan komponen produksi tanaman yang terdiri dari bobot brangkasan, bobot tongkol dan bobot biji kering jagung pipilan (kadar air 14%), bobot polong kering dan biji kacang tanah. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terpisah (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Perlakuan terdiri dari dua faktor, yaitu faktor tanah dan faktor pengelolaan lahan. Faktor tanah terdiri dari tujuh jenis tanah dari tujuh lokasi penelitian (B1, B2, B3, B4, B5, B6 dan B7) dan faktor pengelolaan lahan terdiri dari dua tingkat, yaitu input rendah (tidak dipupuk, P0) dan input sedang (dipupuk, P1). Pengujian terhadap pengaruh jenis tanah dan tingkat pengelolaan lahan terhadap produksi tanaman jagung dan kacang tanah dilakukan dengan uji Duncan (DMRT) pada taraf nyata 5% menggunakan program SAS (Mattjik dan Sumertajaya, 2002). Untuk melihat hubungan antara karakteristik tanah dan produksi tanaman, contoh tanah komposit dari petak percobaan diambil pada saat panen untuk dianalisis sifat-sifat kimianya.
Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara membandingkan kualitas lahan dengan persyaratan penggunaan lahan (FAO, 1976). Kualitas lahan
merupakan keragaan lahan (performance) yang berpengaruh terhadap
kesesuaiannya untuk penggunaan tertentu dan biasanya terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan. Evaluasi kesesuaian lahan dilakukan secara fisik kualitatif untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dengan menggunakan kualitas/karakteris tik lahan dari setiap lokasi penelitian yang
dibandingkan dengan kriteria kesesuaian lahan yang disusun oleh Djaenudin et al.
32 kualitas lahan yang relevan di lahan kering dan hubungannya dengan produktivitas tanaman jagung dan kacang tanah. Faktor-faktor pembatas penggunaan lahan di lokasi penelitian diidentifikasi sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan karakteristik/kualitas lahan yang digunakan dalam penyusunan kriteria kesesuaian lahan yang bersifat fisik-kuantitatif, meliputi jenis dan jumlah karakteristik lahan penentu setiap kualitas lahan serta pengharkatannya.
Dalam perbaikan kriteria kesesuaian lahan untuk tujuan evaluasi kesesuaian lahan secara fisik-kuantitatif dalam pengertian setiap kelas kesesuaian lahan dihubungkan dengan produksi tanaman, perlu dibangun suatu klasifikasi kesesuaian lahan berdasarkan tingkat produktivitas lahan. Kisaran produksi tanaman dari masing-masing tipe penggunaan lahan untuk setiap kelas kesesuaian lahan ditetapkan berdasarkan indeks produksi mengacu kepada FAO (1983) dan Wood dan Dent (1983). Dalam penelitian ini, kelas kesesuaian lahan terbagi dalam 5 kelas yang dihubungkan dengan indeks produksi yang digunakan untuk setiap tipe penggunaan lahan adalah sebagai berikut: sangat sesuai (S1, >80% dari produksi optimal), cukup sesuai (S2, 60-80%), agak sesuai (S3, 40-59%), tidak sesuai saat ini (N1, 20-39%) dan tidak sesuai permanen (N2, <20%).
Penyusunan Kriteria Kesesuaian Lahan
Kriteria kesesuaian lahan untuk tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dengan input rendah dan sedang disusun berdasarkan dua pendekatan, yaitu: (1) kualitas lahan yang relevan di lahan kering dan sangat berpengaruh terhadap produksi tanaman, dan (2) tingkat produktivitas lahan.
33
masing-masing kelas kesesuaian lahan ditetapkan dengan metode trial and error
berdasarkan persamaan regresi kuadratik dari hubungan karakteristik lahan dengan produksi tanaman serta kisaran produksi optimal yang ditetapkan dari
setiap kelas kesesuaian lahan pada setiap tipe penggunaan lahannya. Metode trial
and error dapat dilakukan dengan program Excel. Pengharkatan karakteristik
lahan disesuaikan dengan kelas kesesuaian lahannya berdasarkan kisaran produksi yang ditetapkan untuk masing-masing kelas dari setiap tipe penggunaan lahan. Kelas kesesuaian lahan ditetapkan dalam 5 kelas yang disesuaikan dengan indeks produksi, dinyatakan dalam persen terhadap produksi optimal, yaitu: sangat sesuai (S1) = >80%, cukup sesuai (S2) = 60-80%, sesuai marginal (S3) =40-59%, tidak sesuai saat ini (N1) = 20-39%, dan tidak sesuai permanen (N2) =<20%. Besarnya produksi optimal untuk setiap tipe penggunaan lahan berbasis jagung dan kacang tanah dengan input rendah dan sedang ditetapkan sebesar 0,6 dan 0,8 dari produksi optimal dengan input tinggi (FAO, 1983; Wood dan Dent, 1983) yang diasumsikan sama besarnya dengan produksi optimum yang dihasilkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Kisaran produksi dari setiap kelas kesesuaian lahan untuk setiap tipe penggunaan lahan dapat ditetapkan berdasarkan indeks produksinya. Penilaian kelas kesesuaian lahan ditentukan oleh kualitas lahan yang menjadi faktor pembatas maksimum terhadap penggunaan lahan dan secara agregat mengikuti hukum minimum (FAO, 1976; 1983). Dengan pendekatan ini dihasilkan kriteria kesesuaian lahan yang lebih bersifat fisik-kuantitatif, dimana setiap kelas kesesuaian lahan telah dihubungkan dengan tingkat produksi tanaman pada tingkat pengelolaan tertentu.
Pada pendekatan kedua, kriteria kesesuaian lahan ditetapkan berdasarkan tingkat produktivitas lahan. Setiap kelas kesesuaian lahan dari masing-masing tipe penggunaan lahan ditentukan oleh kisaran produksi tanaman. Pendugaan produksi ditetapkan dari persamaan regresi bertatar (stepwise) dari hubungan karakteristik
34 (StatSoft Inc., 1999). Secara bertahap, parameter-parameter yang kurang berpengaruh atau sangat kecil peranannya terhadap produksi dapat dihilangkan sesuai dengan kebutuhan sehingga tersisa beberapa parameter saja yang sangat berpengaruh terhadap produksi tanaman. Persamaan regresi bertatar yang terpilih ditetapkan berdasarkan besarnya nilai koefisien determinan dari persamaan
tersebut (R2> 0,8) dengan jumlah parameter sesedikit mungkin. Besarnya
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Lahan Kering
Iklim merupakan salah satu faktor pembentuk tanah yang penting dan secara langsung mempengaruhi proses pelapukan bahan induk dan pembentukan tanah. Unsur-unsur iklim yang penting dalam proses pembentukan tanah dan berpengaruh terhadap produktivitas lahan adalah curah hujan dan suhu. Curah hujan dan suhu ditetapkan sebagai parameter penentu kualitas lahan ketersediaan air dan suhu yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman pertanian (FAO, 1983; CSR/FAO, 1983; Sys et al., 1993; Djaenudin et al., 2003).
Kedua unsur iklim tersebut digunakan juga untuk penetapan rejim kelembapan dan rejim suhu tanah dalam klasifikasi tanah menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 1999).
Iklim di semua lokasi penelitian termasuk ke dalam tipe iklim Afa dan tipe hujan A, kecuali Gunung Sindur termasuk ke dalam tipe hujan B yang relatif lebih kering (Schmidt dan Ferguson, 1951). Walaupun terjadi musim kemarau pada bulan-bulan Juni sampai Agustus, namun curah hujan rata-rata bulanan masih di atas 100 mm/bulan. Berdasarkan hasil penelitian Pramudya (2002) bahwa bila curah hujan rata-rata bulanan di atas 100 mm, maka sangat kecil sekali peluang terjadinya tanaman kekeringan atau kekurangan air. Hal ini sejalan dengan hasil kajian FAO (1980) yang melaporkan bahwa lamanya periode pertumbuhan (length of growing period) di daerah Bogor adalah 330 – 365 hari per tahun,
berarti hampir sepanjang tahun tanaman pangan seperti jagung dan kacang tanah dapat diusahakan di lahan kering di daerah Bogor.
Neraca air (Gambar 5) yang diperhitungkan dari stasiun Cimanggu, Bogor dengan program CropWat (Clarke, 1998) menunjukkan bahwa besarnya curah hujan bulanan di semua bulan dalam setahun masih di atas besarnya keh ilangan
air melalui evapotranspirasi (ET0). Sepanjang tahun tidak terjadi defisit air.
Kebutuhan air untuk tanaman jagung (ETj = 0,8 x ET0) dan kacang tanah (ETk =
0,75 x ET0) yang diperhitungkan menurut Doorenbos dan Pruitt (1984),
36 Gambar 5. Neraca air untuk tanaman jagung dan kacang tanah di Cimanggu (a),
Gunung Sindur (b), Jasinga (c) dan Jonggol (d).
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)
Curah Hujan ET ET Jagung
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 550
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)
Curah Hujan ET ET Kacang Tanah
0 50 100 150 200 250 300 350
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)
Curah Hujan ET ET Jagung
0 50 100 150 200 250 300 350
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)
Curah Hujan ET ET Kacang Tanah
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)
Curah Hujan ET ET Jagung
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)
Curah Hujan ET ET Kacang Tanah
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Curah hujan, ET dan ET Jagung (mm)
Curah Hujan ET ET Jagung
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
Curah hujan, ET dan ET Kc Tanah (mm)
Curah Hujan ET ET Kacang Tanah
(a)
(b)
(c)
37 tidak akan mengalami kekurangan air atau kekeringan. Dalam Taksonomi Tanah, kondisi kelembaban tanah yang sangat basah seperti ini termasuk ke dalam rejim
kelembaban tanah perudic (Soil Survey Staff, 1999). Neraca air di lokasi
penelitian lainnya bila diasumsikan bahwa data iklim lainnya dianggap sama dengan Cimanggu kecuali curah hujan dan suhu udara, maka besarnya kebutuhan
air yang diperhitungkan untuk tanaman jagung dan kacang tanah (Kc x ET0)
tampak sedikit bervariasi di setiap lokasi penelitian. Di Cimanggu dan Jasinga, besarnya evapotranspirasi acuan tidak melebihi curah hujan bulanan, sedangkan di Gunung Sindur dan Jonggol evapotranspirasi acuan pada bulan-bulan Juni-September melebihi besarnya curah hujan bulanan. Namun demikian besarnya kebutuhan air untuk tanaman jagung dan kacang tanah di semua lokasi masih di bawah curah hujan bulanan. Tanah-tanah disini, selain di Cimanggu, tergolong
mempunyai rejim kelembaban tanah udic (Soil Survey Staff, 1999), dimana tanah
tidak akan mengalami kekeringan selama 90 hari kumulatif. Berdasarkan neraca air dan perhitungan kebutuhan air untuk tanaman jagung dan kacang tanah serta waktu tanam yang dilakukan oleh petani di lokasi penelitian umumnya pada awal musim hujan (Oktober-Pebruari) seperti pada percobaan ini, maka faktor ketersediaan air di semua lokasi penelitian tidak menjadi pembatas terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung dan kacang tanah.
Suhu udara rata-rata bulanan di Cimanggu, Bogor berkisar dari 25,6
sampai 27,5 oC dengan suhu rata-rata tahunan 26,7 oC. Suhu udara di lokasi
penelitian lainnya diduga dengan rumus Braak (dalam Mohr et al., 1972) berkisar
dari 27,3 – 27,5 oC. Kisaran suhu udara antara 25 oC sampai 27 oC seperti di
semua lokasi penelitian tergolong sesuai untuk tanaman jagung (Djaenudin et al.,
2003; CSR/FAO, 1983; Sys et al., 1993). Berdasarkan uraian di atas dapat
38
Karakteristik Tanah pada Berbagai Bahan Induk dan Perkembangan Tanah
Karakteristik tanah yang dipengaruhi oleh bahan induk dan perkembangan tanah serta digunakan dalam klasifikasi tanah dan penetapan kualitas lahan untuk evaluasi kesesuaian lahan meliputi sifat-sifat morfologi, mineralogi, fisika dan kimia tanah. Uraian sifat morfologi profil tanah dari masing-masing lokasi penelitian serta data-data mineralogi, sifat fisik dan kimia tanah diberikan pada Lampiran 4 sampai dengan 8.
Komposisi Mineral dan Bahan Induk. Komposisi mineral pasir dapat menjelaskan
asal batuan induk tanah, cadangan mineral atau jumlah mineral dapat lapuk dalam tanah yang berhubungan dengan potensi kesuburan alami tanah, perkembangan dan klasifikasi tanah. Sedangkan komposisi mineral liat sebagai partikel koloid tanah yang aktif dalam tanah lebih banyak berperan dalam menentukan sifat-sifat fisik dan kimia tanahnya, antara lain: sifat mengembang dan mengerut, kemudahan pengolahan tanah, retensi dan ketersediaan hara.