• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sampel umbi bawang putih menunjukkan ciri-ciri benih yang baik yaitu umbi yang penuh berisi, siung tampak licin, tunas segar, dan berbentuk normal (Wibowo 2006). Masa simpan benih berkisar antara 6 sampai 8 bulan setelah panen. Gejala yang beragam pada berbagai kultivar ditemukan pada tanaman bawang putih yang ditumbuhkan di laboratorium. Gejala infeksi virus pada tanaman bawang putih yang diamati pada 3 MST dapat dibedakan menjadi lima jenis gejala yaitu keriting, mosaik hijau, permukaan daun mengerut, daun atas berlekuk dan mosaik kuning (Gambar 7). Gejala lain tidak ditemukan kemungkinan karena penanaman dilakukan di dalam ruangan laboratorium dengan kondisi lingkungan yang terjaga. Menurut Moreno et al. (2014), tanaman bawang putih yang terinfeksi virus di lapangan secara umum menimbulkan gejala daun keriting, mosaik, deformasi daun, daun menguning, melepuh, bergaris, dan kerdil. Infeksi tunggal atau campuran dapat menyebabkan gejala yang sama pada tanaman bawang putih. Demikian pula, gejala yang sama pada tanaman bawang putih dapat disebabkan oleh infeksi jenis virus yang berbeda.

Gambar 7 Gejala pada sampel tanaman bawang putih; Keriting (A), Mosaik hijau (B), Permukaan daun mengerut (C), Daun atas berlekuk (D), dan Mosaik kuning (E)

A B C

15

Pengamatan gejala merupakan langkah awal dalam diagnosis penyebab penyakit oleh virus. Namun, pengamatan gejala saja tidak cukup akurat untuk menentukan virus penyebab suatu penyakit karena gejala yang diduga disebabkan oleh virus bisa saja disebabkan oleh patogen lain, toksisitas serangga, maupun pengaruh faktor abiotik misalnya kekurangan dan kelebihan unsur hara, cekaman lingkungan dan sebagainya (Agrios 2005). Oleh karena itu itu, perlu dilakukan deteksi lebih lanjut untuk memastikan adanya infeksi virus pada tanaman yang menunjukkan gejala.

Deteksi Virus pada Tanaman Bawang Putih

Deteksi virus dilakukan dengan menumbuhkan umbi terlebih dahulu. Menurut Wulandari et al. (2015), infeksi virus lebih banyak terdeteksi dari sampel daun muda dibandingkan dengan sampel dari umbi. Hal ini menunjukkan bahwa untuk deteksi virus terbawa benih, sebaiknya umbi bawang perlu ditumbuhkan terlebih dahulu agar konsentrasi virus yang terdapat di dalam jaringan umbi (yang umumnya dalam konsentrasi rendah) dapat meningkat (Kurniawan & Suastika 2013). Infeksi virus pada tanaman bawang-bawangan akan terakumulasi dari satu generasi ke generasi selanjutnya melalui organ perbanyakan vegetatif (umbi). Virus terbawa umbi dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, karena virus berkembang bersama dengan pertumbuhan tanaman (Van Dijk 1993).

Tabel 2 Insidensi beberapa jenis virus pada beberapa kultivar bawang putih menggunakan metode dot immunobinding assay (DIBA)

Kultivar Insidensi virus (%) GarCLV OYDV SLV GarCLV dan OYDV GarCLV dan SLV SLV dan OYDV GarCLV, OYDV, dan SLV Total Benih bawang putih lokal (50 sampel uji)

Lumbu Hijau 12 24 0 62 0 0 0 98 Lumbu Kuning 8 44 2 36 0 0 2 92 Sangga Sembalun 0 48 0 52 0 0 0 100 Tawang-mangu Baru 2 58 4 24 0 4 4 96 Rata-rata 5.5 43.5 1.5 43.5 0 1 1.5 96.5

Bawang putih konsumsi (10 sampel uji)

Impor 0 0 0 0 0 0 100 100

GarCLV, Garlic common latent virus; OYDV, Onion yellow dwarf virus; SLV, Shallot latent virus Deteksi virus pada sampel bawang putih menunjukkan hasil yang beragam antar sampel tanaman (Tabel 2). Lebih dari satu jenis virus ditemukan pada satu tanaman bawang putih. Total insidensi virus pada umbi bawang putih sangat tinggi, yaitu 100% pada cv. Sangga Sembalun, 98% pada cv. Lumbu Hijau, 96% pada cv. Tawangmangu Baru, 92% pada cv. Lumbu Kuning, dan 100% pada bawang putih

16

Gambar 8 Hasil deteksi sampel daun umbi bawang putih dengan metode DIBA menggunakan antibodi: (A) GarCLV, (B) OYDV, (C) SLV. a1: bufer, a2: kontrol negatif, a3: kontrol positif, b-k: sampel uji

impor. Dua kultivar bawang putih lokal dengan insidensi virus tertinggi, yaitu cv. Sangga Sembalun dan Lumbu Hijau dipilih untuk digunakan sebagai bahan tanaman dalam perlakuan eliminasi virus.

Jenis virus yang paling banyak menginfeksi bawang putih lokal adalah OYDV, baik secara tunggal (43.5%) maupun bersama dengan GarCLV (43.5%), SLV (1%), GarCLV dan SLV (1.5%). Infeksi tunggal GarCLV dan SLV dideteksi dari sampel bawang putih, yaitu berturut-turut sebanyak 5.5% dan 1.5%, tetapi infeksi campuran keduanya tidak ditemukan, sedangkan pada bawang putih impor terinfeksi OYDV, GarCLV dan SLV (100%). Infeksi virus pada bawang putih lokal lebih rendah dibandingkan bawang putih impor. Pada bawang putih lokal, infeksi OYDV dan GarCLV mencapai 100% sehingga perlu dilakukan eliminasi kedua virus pada umbi bawang putih.

Infeksi lebih dari satu jenis virus pada satu tanaman bawang putih dapat menyebabkan variasi gejala yang beragam. Hal yang serupa dilaporkan oleh Kadwati dan Hidayat (2015), bahwa benih bawang putih terinfeksi GarCLV, SLV, dan Potyvirus. Menurut Diekmann (1997), kelompok virus yang umum menginfeksi tanaman bawang putih berasal dari genus Carlavirus (SLV dan GarCLV), Potyvirus (OYDV, Shallot yellow stripe virus/SYSV, Leek yellow stripe virus/LYSV), dan Allexivirus (Garlic Mite-born filamentous virus/GarMbFV). Virus utama pada tanaman bawang putih yang menyebabkan kerugian ekonomis diantaranya SLV, GarCLV, OYDV, SYSV, LYSV (Dovas et al. 2001; Chen et al.

2004; Arya et al. 2006; Shahraeen et al. 2008)

Tingginya infeksi OYDV dan GarCLV mencapai 100% baik infeksi tunggal maupun infeksi campuran kedua jenis virus, dimana infeksi OYDV lebih dominan dibandingkan GarCLV. Menurut Dovas et al. (2001), perbedaan tingkat infeksi GarCLV berkaitan dengan lokasi pertanaman di Yunani. Perbedaan distribusi geografi dari infeksi GarCLV telah dilakukan di daerah selatan Yunani dimana

1 2 3 a b c d e f g h i j k 1 2 3 1 2 3 A B C

17

tingkat infeksi GarCLV mencapai 23%, sedangkan di daerah utara mencapai 98% (Dovas & Vovlas 2003). Tingginya infeksi OYDV mencapai 100% juga ditemukan di negara Yunani dan Iran (Dovas et al. 2001). Oleh karena itu, perlunya dilakukan mendapatkan metode eliminasi yang tepat terhadap kedua jenis virus OYDV dan GarCLV dalam upaya mendapatkan tanaman bebas virus untuk meningkatkan produksi bawang putih di Indonesia.

Pengaruh Elektroterapi dan Termoterapi terhadap Persentase Hidup Eksplan, Jumlah Daun dan Tinggi Planlet

Pertumbuhan eksplan mulai terlihat sejak 1 MST pada media pertumbuhan. Eksplan yang hidup sampai dengan 4 MST pada cv. Lumbu Hijau dan Sangga Sembalun mencapai 100%, kecuali pada perlakuan suhu 38 °C (Tabel 3). Analisis varian menunjukkan bahwa termoterapi berpengaruh sangat nyata terhadap persentase hidup eksplan bawang putih, sedangkan elektroterapi dan interaksi kedua perlakuan tidak berbeda nyata terhadap persentase hidup eksplan bawang putih.

Tabel 3 Pengaruh elektroterapi dan termoterapi terhadap persentase hidup eksplan Termoterapi

(°C)

Persentase hidup eksplan (%)

Rata-rata Elektroterapi (mA) 0 5 10 15 20 cv. Lumbu Hijau 23 100 100 100 100 100 100a 28 100 100 100 100 100 100a 33 100 100 100 100 100 100a 38 0 0 0 0 0 0b cv. Sangga Sembalun 23 100 100 100 100 100 100a 28 100 100 100 100 100 100a 33 100 100 100 100 100 100a 38 0 0 0 0 0 0b

Angka-angka pada kolom dan kultivar yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu yang digunakan maka eksplan menjadi sangat terganggu setelah mendapat perlakuan termoterapi. Eksplan hidup ditandai dengan munculnya daun (Gambar 9). Perlakuan suhu yang terlalu tinggi yaitu 38 oC, menyebabkan penghambatan terhadap pertumbuhan eksplan. Hasil yang sama diperoleh pada penelitian-penelitian sebelumnya. Conci

et al. (2005) melakukan penelitian pada tanaman bawang putih, eksplan meristem yang diberi perlakuan suhu 36 °C selama 30-40 hari tumbuh sekitar 55-57% dibandingkan eksplan yang tidak diberi perlakuan dapat tumbuh sekitar 80-90%. Mahmoud et al. (2009) melakukan penelitian menggunakan tanaman kentang dan melaporkan bahwa tingkat regenerasi tanaman semakin menurun pada suhu 37 °C selama 40 hari secara in vitro.

18

Gambar 9 Pengaruh termoterapi terhadap eksplan hidup pada 4 MST; 23 oC (A), 28 oC (B), 33 oC (C), 38 oC (D)

Jumlah daun pada kedua kultivar juga sangat dipengaruhi oleh perlakuan suhu (Tabel 4). Peningkatan suhu menyebabkan penurunan jumlah daun secara nyata pada kedua kultivar. Pada cv. Lumbu Hijau, elektroterapi memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun, sedangkan interaksi antara kedua faktor tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun. Kondisi yang berbeda pada cv. Sangga Sembalun, elektroterapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun, tetapi interaksi kedua perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah daun.

Tabel 4 Pengaruh elektroterapi dan termoterapi terhadap rata-rata jumlah daun pada 4 MST

Termoterapi

(°C)

Rata-rata jumlah daun (Helai)

Rata-rata Elektroterapi (mA) 0 5 10 15 20 cv. Lumbu Hijau 23 2.41 2.75 3.16 3.33 2.67 2.86a 28 2.41 2.67 2.91 3.00 2.33 2.67a 33 1.58 1.50 2.08 1.75 1.67 1.71b 38 - - - - Rata-rata 2.13c 2.31abc 2.72a 2.69ab 2.22bc cv. Sangga Sembalun 23 2.58BCD 2.83BC 3.67A 3.67A 2.67BCD 3.08a 28 2.92B 2.83BC 2.50BCD 2.83BC 2.67BCD 2.75b 33 2.17BDCE 2.00DE 1.92DE 1.75E 2.08CDE 1.98c 38 - - - - Rata-rata 2.56 2.55 2.70 2.75 2.47

Angka-angka pada kolom atau baris berdasarkan kultivar yang sama diikuti oleh huruf nonkapital sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). Angka-angka pada kolom dan baris berdasarkan kultivar yang sama diikuti oleh huruf kapital sama menunjukkan respon interaksi elektroterapi dan termoterapi tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). A . B . C . D .

19

Perlakuan suhu menyebabkan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada kedua kultivar (Gambar 10). Semakin tinggi suhu yang digunakan nyata menurunkan tinggi tanaman. Pada cv. Lumbu Hijau, elektroterapi dan interaksi antara kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, tetapi pada cv. Sangga Sembalun, elektroterapi memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan interaksi kedua perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman.

Interaksi antara elektroterapi dan termoterapi pada cv. Sangga Sembalun memiliki pengaruh nyata terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman. Berdasarkan kedua parameter yang diamati, perlakuan terbaik terdapat pada kombinasi perlakuan elektroterapi 10 mA pada suhu 23 oC. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soliman et al. (2012), bahwa elektroterapi pada 10 mA selama 10 menit dapat meningkatkan tingkat regenerasi planlet bawang putih. Hal ini juga terjadi pada tanaman kentang yang diberi perlakuan elektroterapi 10 mA selama 10 menit dapat meningkatkan regenerasi tanaman (Mahmoud et al. 2009). Aliran listrik dilaporkan dapat memacu diferensiasi tanaman in vitro (Goldsworthy 1987). Menurut Badarua dan Chiru (2014), regenerasi eksplan in vitro dipengaruhi oleh elektroterapi tergantung pada besarnya aliran listrik dan kultivar tanaman yang digunakan.

Gambar 10 Pengaruh elektroterapi dan termoterapi terhadap tinggi planlet bawang putih pada 4 MST secara in vitro: cv. Lumbu Hijau (A), cv. Sangga Sembalun (B). Huruf nonkapital di atas balok data menunjukkan pembandingan nilai tengah pada tiap kelompok termoterapi berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Huruf kapital di atas balok data menunjukkan pembandingan nilai tengah pada tiap perlakuan berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf nyata 5%. 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 23 28 33 38 T ing g i tanam an (cm ) Termoterapi (°C) a b c -B B C AB B C A B C -A B C B B C 0.0 2.0 4.0 6.0 8.0 10.0 12.0 23 28 33 38 T ing g i tana m an ( cm ) Termoterapi (oC) 0 mA 5 mA 10 mA 15 mA 20 mA A B . A .

20

Pengaruh Termoterapi dan Elektroterapi terhadap Eliminasi OYDV dan GarCLVpada Tanaman Bawang Putih

Tanaman hasil kultur in vitro yang telah diberi perlakuan termoterapi dan elektroterapi dipindahkan ke media inisiasi akar, kemudian dilakukan aklimatisasi selama 2 minggu di laboratorium. Tanaman yang diberi perlakuan termoterapi 33 oC baik yang diberi elektroterapi maupun yang tidak diberi elektroterapi tidak menghasilkan akar sehingga aklimatisasi tidak dapat dilakukan. Tanaman hasil kultur in vitro tumbuh dengan baik ketika diaklimatisasi dan memperlihatkan gejala tanaman terinfeksi virus, seperti mosaik kuning, mosaik hijau, dan permukaan daun mengerut (Gambar 11).

Gambar 11 Gejala pada tanaman bawang putih 2 minggu setelah aklimatisasi;

Daun mengerut (A), Mosaik hijau (B), dan Mosaik kuning (C) Gejala infeksi virus terlihat pada tanaman saat aklimatisasi. Hal ini menandakan bahwa konsentrasi virus meningkat pada saat aklimatisasi seiring dengan pertumbuhan tanaman. Menurut Conci dan Nome (1991), tanaman yang diperoleh dari kultur in vitro memiliki konsentrasi virus yang rendah. Konsentrasi virus yang rendah diduga menyebabkan gejala tidak tampak pada kultur in vitro. Oleh karena itu, deteksi virus pada tanaman in vitro sebaiknya dilakukan setelah aklimatisasi.

Deteksi virus setelah perlakuan eliminasi dilakukan secara komposit, yaitu 4 botol kultur dalam satu ulangan menggunakan metode RT-PCR. Deteksi virus terhadap tanaman hasil kultur in vitro dilakukan menggunakan metode RT-PCR dikarenakan metode ini memiliki sensitivitas yang tinggi. Hasil visualisasi RT-PCR pada planlet yang terinfeksi virus OYDV dan GarCLV ditunjukkan oleh amplifikasi pita dengan panjang OYDV 601 bp dan GarCLV 960 bp (Gambar 12).

Hasil deteksi virus diketahui bahwa tanaman bebas GarCLV lebih tinggi dibandingkan OYDV sampai 100% pada semua perlakuan baik dengan perlakuan eliminasi maupun tidak diberi perlakuan eliminasi. Hal ini mungkin dikarenakan kultur ujung tunas 2 mm mampu mengeliminasi GarCLV. Menurut Panattoni et al. (2013), ukuran eksplan seperti ujung tunas (5.0-10.0 mm) atau bagian meristem (0.2-0.7 mm) dapat digunakan dalam eliminasi virus dikarenakan semakin kecil ukuran tanaman maka semakin rendah konsentrasi virus dalam tanaman tersebut.

A . B . C . A . B . C .

21

Tabel 5 Pengaruh elektroterapi dan termoterapi terhadap persentase tanaman bebas OYDV dan GarCLV

Termoterapi

(°C)

Tanaman bebas virus (%)

Rata-rata Elektroterapi (mA) 0 5 10 15 20 cv. Lumbu Hijau 23 0A/100B 0/100 0/100 0/100 0/100 0b/100 28 0/100 0/100 0/100 0/100 0/100 0b/100 33 50/100 100/100 0/100 50/100 100/100 60a/100 38 td td td Td td Rata-rata 16.7/100 33.3/100 0/100 16.7/100 33.3/100 cv. Sangga Sembalun 23 0/100 0/100 0/100 0/100 0/100 0b/100 28 0/100 0/100 0/100 0/100 0/100 0b/100 33 0/100 50/100 0/100 100/100 50/100 40a/100 38 td td td Td td Rata-rata 0/100 16.7/100 0/100 33.3/100 16.7/100 A Tanaman bebas OYDV, B Tanaman bebas GarCLV,

a,bAngka-angka pada kolom dan kultivar yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan). td, tidak diuji karena tidak ada planlet yang tumbuh.

Berdasarkan hasil analisis statistik, perlakuan suhu memberikan pengaruh nyata terhadap persentase tanaman bebas OYDV (Tabel 5), sedangkan perlakuan elektroterapi dan interaksi kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase tanaman bebas OYDV. Pengaruh termoterapi dan elektroterapi terhadap persentase tanaman bebas OYDV ditentukan oleh jenis kultivar yang digunakan. Menurut Conci et al. (2005), efisiensi untuk mendapatkan tanaman bebas virus bergantung dari jenis virus target dan kultivar bawang putih yang digunakan.

Perlakuan suhu terbaik untuk mendapatkan tanaman bebas OYDV adalah perlakuan suhu 33 oC, yaitu menghasilkan tanaman bebas OYDV hingga 60% pada cv. Lumbu Hijau dan 40% pada cv. Sangga Sembalun. Menurut Conci et al. (2005), efisiensi untuk mendapatkan tanaman bebas virus bergantung dari jenis virus target dan kultivar bawang putih yang digunakan.

22

Gambar 12 Hasil amplifikasi RT-PCR tanaman bawang putih setelah perlakuan

elektroterapi dan termoterapi menggunakan primer spesifik (A) OYDV dan (B) GarCLV. M: Marker 1 kb; 1: Kontrol positif; 2:

Kontrol negatif; (3-7) Suhu 23 oC: 0 mA, 5 mA, 10 mA, 15 mA, dan 20 mA; (8-12) Suhu 28 oC: 0 mA, 5 mA, 10 mA, 15 mA, dan 20 mA, dan (13-17) Suhu 33 oC: 0 mA, 5 mA, 10 mA, 15 mA, dan 20 mA A . B . 601 bp 960 bp M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

5 PEMBAHASAN

Pada umumnya, bawang putih di Indonesia dibudidayakan melalui perbanyakan vegetatif menggunakan umbi. Berbagai kultivar bawang putih yang saat ini banyak dibudidayakan seperti Tawangmangu Baru, Lumbu Hijau, Lumbu Kuning, dan Sangga Sembalun ditemukan telah terinfeksi OYDV, GarCLV, dan SLV dengan tingkat infeksi virus mencapai 100%. Hal tersebut terjadi karena umbi benih berasal dari umbi musim tanam sebelumnya. Dengan demikian patogen tular umbi, termasuk virus, memiliki resiko tinggi untuk menyebar di lapangan. Infeksi virus yang terjadi pada siklus penanaman bawang putih dapat menyebabkan penurunan hasil dan kualitas umbi. Perbanyakan vegetatif merupakan metode efektif untuk virus bertahan dan menyebar (Hull 2002). Cara utama penularan virus melalui perbanyakan tanaman secara vegetatif mendorong penyebaran dan akumulasi virus di dalam umbi (Chen et al. 2004). Kebiasaan petani menanam umbi bibit bawang putih yang terinfeksi virus menyebabkan virus terakumulasi, tersebar luas, dan bertahan dari generasi ke generasi selama bertahun-tahun. Selain itu, insidensi penyakit di lapangan dapat semakin meningkat dengan keberadaan serangga vektor. Serangga vektor berperan penting terhadap penyebaran virus sehingga menyebabkan tingginya insidensi penyakit. Belum banyak informasi tentang keberadaan serangga pada tanaman bawang putih di Indonesia.

Perlakuan eliminasi virus, misalnya melalui termoterapi dan elektroterapi secara in vitro pada umbi bawang putih telah dilaporkan dapat menurunkan insidensi penyakit virus pada bawang putih. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa termoterapi pada suhu 33 oC mampu menekan insidensi OYDV hingga 60%, tetapi sayangnya perlakuan tersebut dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Pada perlakuan termoterapi, kisaran suhu merupakan faktor penting yang memengaruhi persentase hidup tanaman. Beberapa peneliti melaporkan bahwa suhu udara di dalam botol lebih tinggi 1-2 oC dibandingkan suhu udara di ruangan (Deogratias et al. 1989; Stein et al. 1991). Lama perlakuan suhu merupakan faktor lain yang memengaruhi efisiensi eliminasi virus (Tan et al. 2010). Pada penelitian ini, suhu 38 oC memiliki pengaruh negatif, hal ini menunjukkan bahwa tanaman bawang putih in vitro sensitif apabila diberikan perlakuan suhu tinggi yang ekstrim.

Menurut Hadidi et al. (1998), perlakuan panas tidak hanya berpengaruh terhadap virus di dalam jaringan tanaman, tetapi perlakuan panas dapat berpengaruh terhadap metabolisme dan fisiologi tanaman. Perlakuan panas menyebabkan perubahan pada kloroplas dan perubahan sitoplasma sel sehingga mengganggu proses fotosintesis tanaman. Kerusakan klorofil menyebabkan tanaman mengalami klorosis sehingga tanaman berwarna hijau kekuningan bahkan kecoklatan, selanjutnya tanaman mengalami dehidrasi. Perlakuan panas juga dapat memengaruhi sintesis protein tanaman, meningkatkan reaksi gelap, dan mereduksi translokasi karbohidrat. Penelitian yang dilakukan oleh Ghaemizadeh et al. (2014) berhasil memperoleh tanaman bawang putih bebas OYDV dengan efisiensi 77% melalui perlakuan suhu 36 oC yang dikombinasikan dengan kultur stem-disc. Termoterapi pada suhu 37 oC selama 40 hari yang dikombinasikan dengan kultur meristem 100 µm mampu mengeliminasi PVY pada tanaman kentang dengan efisiensi mencapai 81% (Almaari et al. 2012). Cilienska (2007) berhasil

24

mengeliminasi Prunus necrotic ringspot virus (PNRSV) dan Apple chlorotic leaf spot virus (ACLSV) pada Prunus sp. hingga 75% melalui perlakuan suhu 36 oC selama 4 minggu. Hu et al. (2015) berhasil mengeliminasi ACLCV, Apple stem pitting virus (ASPV), dan Apple stem grooving virus (ASGV) pada tanaman apel dengan nilai efisiensi mencapai 60% melalui termoterapi pada suhu 36 oC selama 20 hari. Szittya et al. (2003) melaporkan bahwa interaksi virus tumbuhan sangat dipengaruhi oleh suhu, yaitu suhu yang tinggi sering diasosiasikan dengan konsentrasi virus rendah pada tanaman terinfeksi. Tanaman yang diberi perlakuan panas dapat menurunkan sintesis movement protein (MP), coat protein (CP) virus dengan menghambat sintesis RNA virus (Bhojwani & Dantu 2013).

Percobaan eliminasi menggunakan metode elektroterapi pada berbagai tingkat arus listrik memperlihatkan bahwa perlakuan elektroterapi tidak berpengaruh nyata terhadap persentase tanaman bebas virus. Hal tersebut mungkin dikarenakan oleh konsentrasi virus yang tinggi. Lassois et al. (2013) menyatakan bahwa ketersediaan tanaman bebas virus sangatlah bergantung pada teknik yang dikembangkan dalam mengeliminasi virus, dan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih teknik eliminasi adalah karakteristik virus, tipe jaringan yang diberikan perlakuan, dan jenis tanaman yang digunakan. Dewi dan Slack (1994) menambahkan bahwa efisiensi protokol yang digunakan untuk mengeliminasi virus akan menurun jika eksplan yang digunakan mengandung konsentrasi virus yang tinggi atau telah terinfeksi oleh berbagai jenis virus. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa tanaman yang diberi arus listrik meningkatkan suhu di dalam sel tanaman. Denaturasi sebagian protein partikel virus mungkin terjadi seiring meningkatnya suhu dalam sel (Conzalez et al. 2006). Menurut Lozoya (1996), batang tanaman kentang yang diberi perlakuan elektroterapi dapat meningkatkan suhu batang tanaman kentang meningkat sekitar 4 oC sampai 10 oC, suhu ini mungkin menekan aktivitas virus tapi tidak menghambat metabolisme tumbuhan.

Perlakuan elektroterapi telah banyak digunakan pada berbagai jenis tanaman untuk mengeliminasi berbagai jenis virus. Almaari et al. (2012) berhasil mengeliminasi Potat virus Y melalui perlakuan elektroterapi menggunakan larutan NaCl (1N) dengan arus listrik 15 mA selama 10 menit yang dikombinasikan dengan kultur meristem 200 µm dan mampu menghasilkan tanaman bebas virus sebanyak 87%. Meybodi et al. (2011) berhasil mengeliminasi Potato virus Y menggunakan elektroterapi 35 mA selama 20 menit. Efisiensi elektroterapi dipengaruhi oleh tingkat arus listrik, lama elektroterapi, dan genotipe tanaman.

Hasil perlakuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan suhu yang dikombinasikan dengan kultur tunas pucuk merupakan perlakuan efektif dalam eliminasi virus pada bahan tanaman bawang putih dibandingkan perlakuan elektroterapi maupun kombinasi antara termoterapi dan elektroterapi. Selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah optimalisasi dalam metode eliminasi virus melalui termoterapi tanpa menghambat pertumbuhan tanaman dengan menurunkan lama durasi perlakuan suhu atau dikombinasikan dengan metode lain yang efisien seperti kultur meristem, kemoterapi, dan krioterapi dalam mengeliminasi virus. Penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti maupun lembaga yang berperan dalam menemukan metode penyediaan benih bebas virus yang unggul sehingga dapat meningkatkan produktivitas bawang putih lokal dan meningkatkan minat petani dalam budidaya bawang putih lokal.

6 SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait