3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
3.1.2. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan, Sumberdaya Alam dan Sistem
Ekonomi ... 88 3.1.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta ... 90 3.1.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys
insculpta ... 92 3.2. Pembahasan ... 93 3.2.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta ... 93 3.2.2. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan, Sumberdaya Alam dan Sistem
Ekonomi ... 94 3.2.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta ... 99 3.2.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys
insculpta ... 100 4. SIMPULAN ... 105 Daftar Pustaka ... 107 Lampiran ... 111 Pembahasan Paripurna ... 115 Daftar Pustaka ... 127 Rangkuman Simpulan dan Saran ... 131
Halaman
I.1 Pola sebaran sarang Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap ... 24 I.2 Pola sebaran jejak induk Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap .. 25 I.3 Sebaran jumlah jejak dan sarang Carettochelys insculpta pada 3 wilayah
pemanfaatan di Sungai Vriendschap. ... 29 I.4 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap
berdasarkan luasan pasir ... 28 I.5 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi Moncong Babi di Sungai
Vriendschap.berdasarkan perimeter ... 28 I.6 Sebaran pasir peneluran Carettochelys insculpta yang terdapat tutupan
vegetasi. ... 29 I.7 Sebaran curah hujan dan hari hujan tahun 2010 dan 2011 di wilayah
Wamena (Pegunungan) .... 32
I.8 Perbandingan jarak sarang di wilayah Sungai Vriendschap dan beberapa sungai di wilayah PNG dan Utara Australia ... 35 I.9 Perbandingan diameter dan berat telur di wilayah Sungai Vriendschap
dengan beberapa sungai di wilayah PNG dan Utara Australia. ... 36 I.10 Nilai shape index pasir peneluran dan jumlah jejak dan sarang Labi-labi
moncong babi di Sungai Vriendschap... 38
Halaman
1 Panjang Sungai Vriendschap dari hulu sampai muara ... 4 2 Posisi pasir peneluran di Sungai Vriendschap ... 4 3 Rentang jarak Agats dengan wilayah Sungai Vriendschap... 6 I.1 Lokasi penelitian sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai
Vriendschap... 13 I.2 Jejak induk dan sarang Labi-labi moncong babi ... 14 I.3 Pengukuran kerapas induk Labi-labi moncong babi. ... 15 I.4 Pengukuran plastron induk Labi-labi moncong babi. ... 15 I.5 Sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap. .. 23 I.6 Sebaran jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys insculpta di sepanjang
Sungai Vriendschap. ... 24 I.7 Sebaran harian jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys insculpta pada
bulan November 2011 di wilayah Sungai Vriendschap. ... 24 I.8 Sebaran tekstur pasir peneluran sarang Carettochelys insculpta di wilayah
Sungai Vriendschap ... 26 I.9 Sebaran luas pasir peneluran dan luas tutupan vegetasi pasir peneluran di
sepanjang Sungai Vriendschap ... 29 I.10 Pasir peneluran Labi-labi moncong babi di tepi sungai dan rawa
Vrienschap... 40 I.11 Sebaran pasir peneluran Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta)
di wilayah Sungai Vriendschap ... 42 I.12 Beberapa jenis vegetasi dominan penutup pasir peneluran Labi-labi
moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap ... 43 II.1 Lokasi penelitian intensitas pemanfaatan Carettochelys insculpta di wilayah
Sungai Vriendschap. ... 83 II.2 Sebaran wilayah pemanfaatan telur dan induk Labi-labi moncong babi pada
II.3 Sebaran responden di wilayah Sungai Vriendschap berdasarkan
pekerjaan ……….. 89
II.4 Sebaran pendidikan responden dan hubungannya dengan pemanfaatan telur Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap ... 89 II.5 Sebaran pencari telur Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap
berdasarkan (a) suku dan (b) kampung... 91 II.6 Sebaran umur dan pengalaman perburuan responden terhadap telur Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap. ... 91 II.7 Sekumpulan sisa kerapas dan pemanfaatan induk Carettochelys insculpta di
Halaman
I.1 Persentase tekstur pasir pada setiap pasir peneluran Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah Sungai Vriendschap. ... 59 I.2 Suhu lingkungan di wilayah Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat ... 61 I.3 Jumlah sarang, jumlah jejak, luas pasir (area), perimeter, shape index,
fractal dimension, tekstur pasir dan luas tutupan vegetasi. ... 63 I.4 Pola sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai
Vriendschap... 65 I.5 Pola sebaran jejak induk Carettochelys insculpta di wilayah Sungai
Vriendschap... 67 I.6 Analisis regresi jumlah sarang terhadap parameter luas pasir, perimeter,
shape index, fractal dimension, tekstur pasir, dan luas tutupan vegetasi. .... 69 I.7 Analisis regresi jumlah jejak induk terhadap parameter luas pasir, perimeter,
shape index, fractal dimension, tekstur pasir, dan luas tutupan vegetasi ... 73 I.8 Titik sebaran sarang Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap
Kabupaten Asmat ... 77 II.1 Panduan pertanyaan pengumpulan data intensitas pemanfaatan
Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah Sungai
PENGANTAR PARIPURNA
Carettochelys insculpta (Labi-labi moncong babi, pig-nosed turtle) termasuk dalam famili Carettochelyidae dan merupakan satu-satunya spesies dari famili ini yang masih tersisa di dunia. Kura-kura ini merupakan salah satu jenis berukuran besar dengan sebaran terbatas di Selatan New Guinea dan Australia Utara dengan populasi perkembangbiakan cukup baik terdapat di sungai Daly pada aliran Alligator Timur dan Alligator Selatan (Doody et al. 2000; Georges dan Kennett 1989) dan di Indonesia (IUCN 2010) yang hanya terdapat di Papua bagian selatan, menyebar dari wilayah Merauke sampai ke Kaimana.
C. insculpta merupakan satwa reptil yang hampir seluruh hidupnya selalu di dalam air (aquatic) dan hanya ke darat saat bertelur saja. Habitat hidupnya di Sungai Vriendschap meliputi rawa dan sungai utama Vriendschap termasuk hulu, cabang atau anak sungai, juga ditemukan pada daerah muara sungai yang tidak didapati pasir peneluran (Triantoro dan Rumawak 2010), sungai (termasuk estuaria dan delta sungai), laguna rumput, rawa, danau, dan cekungan berair dari dataran rendah dibagian selatan Papua New Guinea (Georges et al. 2006, 2008a), sementara habitat penelurannya dilakukan pada pasir peneluran (sand bank) yang terdapat di sepanjang sungai atau rawa. Pemilihan habitat terjadi ketika ketersediaan habitat digunakan proporsional dan tipe habitat yang tersedia berbeda pada setiap spesies (Rasmussen dan Litzgus 2010a).
Kebanyakan amfibi dan reptil bergerak relatif sedikit selama seumur hidup mereka kecuali ketika mereka berkembang biak dan pada kura-kura, pergerakan di habitatnya dapat disebabkan oleh adanya musim peneluran, perkawinan, perubahan iklim, ketersediaan makanan, maupun persaingan dalam populasi, sedangkan pergerakan meninggalkan habitat perairan dilakukan untuk menggali sarang, mencari pasangan, melewati musim dingin, atau mencari habitat akuatik baru ketika aliran atau kolam mengering (Vitt dan Caldwell 2009). Pola pergerakan yang terjadi tidak sama antara jenis yang satu dengan jenis lainnya. Pada jenis Map Turtles (Graptemys geographica), pola pergerakan di lingkungan lotik (sungai St. Lawrence) dan lentik (danau Opinicon) memberikan perbedaan dimana pola pergerakan atau daya jelajah pada lingkungan lentik (danau) tidak
dipengaruhi oleh ukuran klas reproduksi (betina dewasa, betina muda, dan jantan), tetapi pada lingkungan lotik (sungai) betina dewasa mempunyai daya jelajah lebih luas dan lebih besar dibandingkan betina muda dan pejantan (Carriére et al. 2009). Pada lingkungan lahan basah (wet land), pergerakan perpindahan Chelodina longicollis jantan dewasa diantara lahan basah dengan jarak yang ditempuh, mempunyai perpindahan lebih panjang dibanding betina dewasa dan betina muda karena ukuran tubuh kura-kura jantan yang kecil memberikan peranan penting terhadap pergerakan pada lahan basah (Roe et al. 2009). Untuk jenis C. insculpta, pergerakan dalam penggunaan pasir persarangan tidak berbeda antara betina bertelur dan tidak bertelur tetapi C. insculpta betina mempunyai wilayah jelajah lebih luas dibandingkan wilayah jelajah jantannya (Doody et al. 2002).
Musim peneluran C. insculpta di Sungai Vriendschap terjadi pada pertengahan Agustus sampai pertengahan Desember (Triantoro dan Rumawak 2010). Di Sungai Daly, C. insculpta dapat bertelur dua kali dalam setahun musim peneluran (Doody et al. 2000) dan melakukan aktifitas peneluran di malam hari pada saat air pasang maupun pada saat air surut (Georges et al. 2008b). Sarang yang dibangun di Sungai Vriendschap berdiameter 12 – 16 cm dengan kedalaman 18 – 23 cm (Triantoro dan Rumawak 2010), sedangkan kedalaman sarang di Australia Utara berkisar 10 – 22 cm (Doody et al. 2000).
C. insculpta merupakan hewan omnivorous yaitu hewan yang mengkonsumsi tumbuhan dan hewan lain sebagai sumber pakannya seperti buah pandan batu, daun Melaleuca spp, biji, akar, batang tanaman Aerenchymatous, dan materi hewan yang meliputi siput air tawar (Thiaridae sp), Water boatmen
(Corixidae sp), kumbang air (Homeodytes scutellaris Germ.), Hydrophilus latipalpus Cast. (Hydrophilidae), dan semut-semut (Iridomyrmex sp) (Schodde et al. 1972), buah-buahan dan dedaunan dari pohon Pandanus aquaticus, buah-buahan dan dedaunan dari pohon Ficus racemosa, algae, ikan, buah-buahan dan dedaunan dari jambu-jambuan (Syzygium cf forte), dan Nimpha (Najas tenuifolia) (Georges dan Kennett 1989).
Di Indonesia, C. insculpta merupakan satwa dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978 dan dikuatkan pula oleh PP No. 7 Tahun 1999, dan dalam perdagangan dimasukkan ke dalam Apendix II
CITES (Convention International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) (UNEP-WCMC 2011) dengan status Vulnerable oleh The IUCN Red List of Threatened Species (IUCN 2010). Dengan status perlindungan tersebut kuota terhadap C. insculpta belum bisa diberikan, namun yang terjadi di alam adalah pemanenan terutama terhadap telurnya terus terjadi dari tahun ke tahun. Pemanenan yang tinggi terhadap telur C. insculpta dari alam selama ini berasal dari kawasan Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, tetapi sejauh mana tingkat pemanfaatannya juga belum diketahui. Kondisi tersebut cukup disayangkan mengingat informasi mengenai C. insculpta baik informasi dasar dan tingkat pemanfaatannya di Indonesia masih sangat kurang. Tanpa adanya informasi terhadap suatu jenis satwa maka dasar pengelolaannya masih sangat jauh dari harapan karena informasi dasar mengenai populasi dan biologi suatu jenis merupakan hal yang penting dalam pengelolaannya (Alikodra 2002).
Kawasan Sungai Vriendschap terdiri atas wilayah sungai dan wilayah rawa dimana bagian hulunya bertemu dengan muara Sungai Baliem dan Sungai Seng yang mengalir dari wilayah pegunungan, sedangkan bagian hilirnya (muara) bertemu dengan muara Sungai Catarina. Anakan ataupun alur sungai yang terbentuk saat banjir dan terputus di saat sungai surut sangat banyak didapati. Tepian Sungai Vriendschap maupun di dalam kawasan rawanya, termasuk didalamnya alur-alur sungai, terdapat kumpulan pasir (sandbank) yang sangat berpotensi sebagai tempat peneluran atau persarangan kura-kura air tawar, terutama dari jenis labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta). Panjang Sungai Vriendschap mulai hulu (pertemuan dengan sungai Baliem dan Seng) sampai muara (pertemuan dengan Sungai Catarina) adalah ± 110 km. Sebagai gambaran panjang Sungai Vriendschap dan posisi kumpulan pasir di tepi sungai dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Sumber peta : Google earth (2011)
Gambar 1 Panjang Sungai Vriendschap dari hulu sampai muara
Sumber peta : Google earth (2011) dikombinasi dengan hasil penelitian 2011
Gambar 2 Posisi pasir peneluran di Sungai Vriendschap
Jarak Sungai Vriendschap dari Agats sebagai ibukota kabupaten Asmat cukup jauh karena sebagian sudah berada atau berbatasan dengan wilayah
Kabupaten Yahukimo. Secara administratif belum disepakati antara Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Asmat dengan Pemda Kabupaten Yahukimo, apakah pemukiman (kampung) di Vriendschap masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Asmat atau Yahukimo, namun aksesibilitas masyarakat di Vriendschap dalam menjual dan membeli kebutuhan hidup lebih banyak dilakukan ke wilayah Kabupaten Asmat, seperti Jinak, Waganu, Atsy, Distrik Akat, maupun sampai ke Agats sendiri. Saat sungai Vriendschap meluap perjalanan dapat dilakukan dengan speed boat 40 PK sampai di lokasi pemanenan telur, sedangkan apabila sungai surut perjalanan hanya dapat dilakukan sampai di Kolam Tujuh dan dilanjutkan kembali menggunakan perahu tempel 15 PK atau mesin Katinting. Kolam Tujuh merupakan nama sebuah tempat sebelum memasuki Sungai Vriendschap yang dihuni oleh para pencari gaharu (terutama masyarakat pendatang) sejak lama. Aktifitas utama masyarakat ditempat tersebut adalah sebagai pencari dan penadah hasil gaharu dari masyarakat lokal, sedangkan aktifitas lainnya adalah menjual berbagai kebutuhan kelontong (berdagang).
Pergerakan masyarakat kedalam, keluar dan selama di wilayah Sungai Vriendschap hanya dilakukan menggunakan perahu dan hampir keseluruhan perahu sudah menggunakan mesin (terutama) katinting. Kebutuhan terhadap sarana transportasi tersebut menyebabkan ketergantungan terhadap kepemilikan perahu bermesin sangat tinggi pada seluruh lapisan masyarakat. Kesulitan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis bensin yang digunakan saat musim perburuan telur maupun bukan musim perburuan, dan dalam menunjang aktifitas masyarakat antar kampung, menuju ibukota distrik dan ibukota Kabupaten Agats, membuat penggunaan mesin perahu didominasi oleh mesin katinting karena lebih irit, tidak memerlukan oli sebagai campuran bensin, dan masih dapat digunakan walau sudah pernah tenggelam ke dalam sungai. Gambaran rentang jarak Agats sebagai ibukota kabupaten dengan wilayah sungai Vriendschap dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Rentang jarak Agats dengan wilayah Sungai Vriendschap.
Wilayah Sungai Vriendschap merupakan wilayah terbuka, dataran rendah, dengan ketinggian 9 – 65 m dpl mulai dari wilayah Bor (rawa) sampai wilayah Sumo. Suhu lingkungan di pagi hari berkisar 23.5 – 26.2 ⁰C (Rata-rata = 24,6 ± 0.8) dengan kelembaban relatif berkisar 83 – 99% (Rata-rata = 92.0 ± 4.8), suhu di siang hari berkisar 27.9 – 42.1 ⁰C (Rata-rata = 34.1 ± 4.2) dengan kelembaban relatif berkisar 35 – 73% (Rata-rata = 55.1 ± 10.4), dan suhu di malam hari berkisar 23.6 – 28.6 ⁰C (Rata-rata = 25.6 ± 1.1) dengan kelembaban relatif berkisar 79 – 97% (Rata-rata = 89.3 ± 5.4).
Minimnya informasi dasar terkait jenis C. insculpta di Indonesia mendorong penelitian ini dilakukan. Informasi yang dicari dalam penelitian ini meliputi sebaran sarang yang dilakukan dengan pendekatan jumlah sarang, biologi peneluran yang meliputi karakteristik morfologi induk betina, telur dan sarang, serta mengetahui intensitas pemanfaatan telurnya oleh masyarakat. Hasil penelitian disajikan dalam 2 (dua) bentuk makalah dengan judul yaitu :
I. Ekologi peneluran Carettochelys insculpta (Ramsay, 1886) di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua dengan tujuan untuk mengetahui
karakteristik induk betina, ukuran sarang, ukuran dan jumlah telur dalam aktifitas peneluran, pola sebaran sarang dan kepadatan sarang Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah sungai Vriendschap, Kabupaten Asmat, Papua.
II. Intensitas pemanfaatan Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua dengan tujuan untuk mengetahui intensitas pemanfaatan Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) yang dilakukan oleh komunitas masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah Sungai Vriendschap, Kabupaten Asmat, Papua.
Wilayah sebaran C. insculpta di Sungai Vriendschap sampai saat ini bukan merupakan kawasan konservasi dan meliputi wilayah yang cukup luas. Sebaran sarang dan habitat penelurannya juga menyebar dalam rentang yang cukup panjang mengikuti alur Sungai Vriendschap dengan banyak alur-alur sungai yang menyertai didalamnya. Disisi lain, jenis ini di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi karena wilayah sebarannya yang terbatas di Papua bagian selatan. Walaupun termasuk jenis dilindungi, perburuan telur dan perdagangan illegal
anakannya terus terjadi dengan ditemukannya jenis ini di pasar penjualan satwa dalam dan luar negeri. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam :
1. Memberikan informasi terkait sebaran sarang dan pemilihan pasir peneluran Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap.
2. Memberikan informasi terkait biologi peneluran Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap.
3. Memberikan informasi terkait intensitas pemanfaatan Labi-labi moncong babi yang terjadi di wilayah Sungai Vriendschap
4. Menyusun manajemen pengelolaan Labi-labi moncong babi kedepannya
terkait pengelolaan wilayah (pemanfaatan dan perlindungan) dan kelestarian jenis.
Makalah I
EKOLOGI PENELURAN Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) DI SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN ASMAT, PAPUA
(Nesting Ecology of Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) at Vriendschap River Asmat Regency, Papua)
Richard Gatot Nugroho Triantoro
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika Pascasarjana IPB
Email : [email protected]
ABSTRACT
Carettochelys insculpta (pig-nosed turtle) is one of the soft shelled turtle of southern Papua. Land clearing for human development affect the condition of forest ecosystems and put pressure on C. insculpta, while the scientific information in Indonesia is still lacking. In effort to obtain information of C. insculpta in Indonesia, the study was conducted to determine the nesting ecology of C. insculpta in Vriendschap River Asmat Regency, Papua. Survey was carried out in 8 – 25 November 2011 during nesting season by transect methods. Results showed that distribution pattern of nests and tracks in Vriendschap River region is clumped with most nesting sites located in Obokain area (the middle of the Vriendschap River). Nesting occurred during sunset (night) and in clear weather (no rain). High density of nests were built near vegetation cover compared to area without vegetation. Females prefer the sands with the presence of vegetation cover for nesting habitat.
Key Words : Carettochelys insculpta, Papua, pressure, Vriendschap River, nesting ecology
1. PENDAHULUAN
Carettochelys insculpta (Labi-labi moncong babi) merupakan salah satu jenis labi-labi di Indonesia yang hanya didapati hidup di wilayah Selatan Papua, menyebar dari Danau Yamur di Kabupaten Kaimana sampai ke Merauke. Kelangsungan hidupnya di alam tidak terlepas dari tekanan dan ancaman yang dapat terjadi seiring perkembangan pembangunan. Kebutuhan ruang untuk pembangunan diberbagai bidang seperti pembukaan lahan untuk perkebunan, pertanian, pemukiman (transmigrasi), pertambangan, pembangunan bendungan,
dan sarana transportasi yang berkembang pesat di Papua ikut mempengaruhi kondisi ekosistem hutannya dengan cepat pula. Tekanan pada C. insculpta telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di Papua Barat (Indonesia) dan Papua New Guinea, terutama karena pertumbuhan populasi manusia, kecenderungan yang lebih besar bagi pembangunan desa-desa di tepi sungai setelah penghentian perang suku dan pengenalan teknologi baru (Alvarenga 2010), sedangkan kegiatan pertanian dan drainase pada Daerah Aliran Sungai (DAS) di Australia Utara potensi memberikan dampak serius bagi populasi Labi-labi moncong babi (Georges et al. 2008a). Tanpa disadari proses degradasi habitat terjadi baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang dapat menyebabkan kehilangan atau kepunahan spesies. Dampak degradasi hutan terhadap hilangnya spesies diungkapkan oleh Arief (2001) yang mengatakan bahwa sepetak hutan kecil yang dirusak dapat mengakibatkan banyak spesies yang hilang sama sekali atau punah secara lokal. Pemanenan, pengurangan habitat alami dan fragmentasi telah menjadi faktor utama pendorong spesies amfibi dan reptil ke jurang kepunahan (Vitt dan Caldwell 2009).
Di alam, Labi-labi moncong babi merupakan satwa yang membuat sarang di pasir, meletakkan telurnya pada sarang yang dibangun dan menyerahkan proses penetasan sepenuhnya pada alam. Sarang-sarang C. insculpta umumnya terdapat pada pasir yang bersih, halus, yang tidak tertutup oleh vegetasi dan dekat dengan air (Georges et al. 2008b) dan hanya dapat bertelur pada pasir yang rendah dimana pasir masih dapat saling terikat dengan kelembaban yang rendah, didominasi oleh substrat pasir namun dapat juga bersarang pada berbagai substrat mulai dari pasir lempung sampai mengandung kerikil, sekumpulan pasir dengan sedikit atau tanpa vegetasi penutup yang mempunyai ketinggian pasir 0,25 m di atas air (Doody et al. 2003b), pasir pada tepi sungai atau rawa, substrat pasir halus sampai bercampur kerikil (Triantoro dan Rumawak 2010). Keberhasilan penetasan telur-telurnya dapat disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan seperti faktor panas, tekstur pasir, kelembaban pasir, luas pasir, tutupan vegetasi pasir,
predator, rusaknya sarang dan telur akibat terendam air saat sungai meluap, dan faktor pemangsa seperti babi hutan (Sus sp) dan biawak (Varanus sp).
Informasi terkait spesies C. insculpta di Indonesia sangatlah kurang walau dengan status vulnerable pada daftar merah IUCN. Dengan mengetahui informasi terkait populasi, biologi peneluran, habitat hidup, perilaku bertelur, pemilihan habitat persarangan, dan informasi pendukung lainnya, maka manajemen pengelolaan terhadap kelestarian spesies C. insculpta dapat dilakukan dengan baik. Dalam upaya mendapatkan informasi terkait C. insculpta maka dalam penelitian ini dapat diketahui pola sebaran sarang dan biologi penelurannya.
Pengujian secara ekologi dilakukan untuk mengetahui informasi terkait pola sebaran sarang dan biologi peneluran yang dapat menjadi indikator dalam upaya pengelolaan dan konservasi C. insculpta kedepannya. Pertama, survei dilakukan di sepanjang sungai dan rawa untuk mendapatkan jumlah sarang secara akurat dan jumlah pasir peneluran, baik yang terdapat sarang maupun tidak terdapat sarang. Pengukuran terhadap induk betina, sarang dan telur dilakukan untuk melihat karakteristik morfologi induk, ukuran sarang, ukuran telur dan jumlah telur terkait tingkat kedewasaan induk betina dan mengestimasi calon anakannya. Jumlah sarang digunakan sebagai salah satu cara pendekatan terhadap populasi induk C. insculpta maupun calon regenerasinya (anakan) di alam. Kedua, menguji pola sebaran sarang apakah bersifat acak, homogen atau berkelompok. Kepadatan sarangnya diuji berdasarkan luasan pasir dan perimeter pasir pada pasir peneluran bervegetasi dan tanpa vegetasi. Pola sebaran dan kepadatan sarang dapat memberikan informasi terkait wilayah bersarang potensial.
Ketiga, menguji pemilihan habitat bersarang induk betina C. insculpta
terhadap pasir peneluran berdasarkan parameter lingkungan yaitu 1) apakah pemilihan didasarkan atas luasan pasir peneluran, 2) apakah pemilihan didasarkan atas perimeter (perimeter) pasir, 3) apakah pemilihan didasarkan atas bentuk bentang (fractal dimension) pasir, 4) apakah pemilihan didasarkan atas bentuk permukaan (shape index) pasir, 5) apakah pemilihan didasarkan atas tekstur pasir (halus, sedang, kasar), dan atau 6) apakah pemilihan didasarkan atas luas tutupan vegetasi pasir peneluran. Pada penelitian ini ingin diketahui parameter fisik lingkungan yang paling mempengaruhi induk betina dalam memilih habitat pasir penelurannya.
2. METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di wilayah Sungai Vriendschap (Gambar I.1) yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Asmat dan Kabupaten Yahukimo, Papua. Pendataan sarang dan pasir peneluran dilakukan di rawa dan sepanjang sungai Vriendschap yang berada pada wilayah adat masyarakat Bor, Obokain, Indama dan Sumo, dan pada rawa yang masuk dalam wilayah adat Betkuar. Penelitian dilakukan dalam rentang waktu 8 – 25 November 2011 dengan pertimbangan masih berada dalam rentang waktu puncak musim peneluran.
Gambar I.1 Lokasi penelitian sebaran Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap.
2.2. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan adalah metode survey (perjumpaan) dengan sistem transek. Sebagai transek adalah panjang Sungai Vriendschap. Pendataan dilakukan disepanjang Sungai Vriendschap yang meliputi wilayah Bor (rawa) dilakukan selama 4 hari (terdapat jejak dalam 3 hari dan sarang dalam 2 hari), di
wilayah Bor (sungai) dilakukan selama 2 hari (terdapat jejak dan sarang dalam 1 hari), di wilayah Obokain, Indama dan Sumo dilakukan selama 5 hari (terdapat jejak dalam 5 hari dan sarang dalam 3 hari di Obokain, jejak dan sarang dalam 2 hari di Indama, dan jejak dan sarang dalam 3 hari di Sumo). Data yang dikumpulkan meliputi sarang peneluran, biologi peneluran, dan habitat persarangan. Pendataan dilakukan mulai jam 05.00 – 16.00 WIT. Sarang peneluran terlebih dahulu di data kemudian dilanjutkan dengan pendataan habitat persarangan. Pengukuran biologi peneluran dilaksanakan saat tidak melakukan pendataan sarang peneluran dan habitat persarangan. Pengambilan data meliputi :
1. Data Sarang Peneluran
Jumlah sarang : menghitung jumlah sarang yang ditemui dan mengambil titik-titik koordinat sarang peneluran menggunakan GPS pada setiap pasir