• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nesting Ecology and Utilization Intensity of Pig-nosed Turtle at Vriendschap River Asmat Regency, Papua.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nesting Ecology and Utilization Intensity of Pig-nosed Turtle at Vriendschap River Asmat Regency, Papua."

Copied!
295
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN ASMAT, PAPUA

RICHARD GATOT NUGROHO TRIANTORO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ekologi Peneluran dan Intensitas Pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi (Carettochelys insculpta Ramsay 1886) di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

(4)
(5)

RICHARD GATOT NUGROHO TRIANTORO. Nesting Ecology and Utilization Intensity of Pig-nosed Turtle at Vriendschap River Asmat Regency, Papua. Under direction of MIRZA D. KUSRINI dan LILIK B. PRASETYO.

(6)
(7)

RICHARD GATOT NUGROHO TRIANTORO. Ekologi Peneluran dan Intensitas Pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua. Dibimbing oleh MIRZA D. KUSRINI dan LILIK B. PRASETYO.

Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) merupakan salah satu jenis labi-labi di Indonesia yang hanya hidup di wilayah Selatan Papua. Kelangsungan hidupnya di alam tidak terlepas dari tekanan dan ancaman terutama akibat perburuan yang tidak terkontrol. Pengelolaan terhadap Labi-labi moncong babi harus segera dilakukan untuk menjaga kestabilan populasinya di alam dan mendukung pemanfaatan berkelanjutan. Di Indonesia, informasi yang dibutuhkan untuk mendukung pengelolaannya masih sangat kurang. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ekologi peneluran dan intensitas pemanfaatannya. Hasil yang diharapkan dalam penelitian ini adalah : 1) jumlah induk bersarang, jumlah sarang dan pola penyebaran sarang, 2) biologi peneluran, 3) pemilihan habitat bersarang, 4) wilayah pemanfaatan adat C. insculpta, 5) pemanfaatan sumber daya lahan, sumber daya alam, dan sistem ekonomi di lokasi pemanfaatan, 6) intensitas pemanfaatan C. insculpta, dan 7) pengumpulan telur dan pemanfaatan induk betina C. insculpta.

Metode yang digunakan untuk ekologi peneluran adalah metode survei dengan sistem transek, sedangkan untuk intensitas pemanfaatan yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik wawancara tidak terstruktur dan teknik observasi. Analisis deskriptif dilakukan terhadap sarang peneluran, biologi peneluran, dan intensitas pemanfaatan. Pola sebaran jejak induk dan sarang dianalisis menggunakan metode ratio ragam dan indeks, sementara habitat persarangan dianalisis menggunakan ArcView 3.3 dan Microsoft office excel

2007. Tekstur pasir diperoleh dari hasil analisis di laboratorium tanah IPB. Parameter fisik lingkungan yang mempengaruhi jumlah jejak induk dan sarang dianalisis menggunakan Regresi linier.

Jumlah jejak induk (induk bersarang) yang terdata selama waktu penelitian adalah sebanyak 543 jejak dimana 19 jejak terdapat di wilayah rawa dan 524 jejak terdapat di wilayah sungai. Jumlah sarang yang ditemukan sebanyak 131 sarang dengan sebaran 7 sarang berada di wilayah rawa dan 124 sarang terdapat di wilayah sungai. Sarang yang dibangun di wilayah Vriendschap mempunyai jarak yang lebih jauh dari tepi sungai apabila dibandingkan dengan jarak sarang yang didapati di wilayah peneluran di PNG dan Utara Australia. Analisis terhadap pola sebaran jejak induk menunjukkan pola sebarannya adalah mengelompok, begitu pula pola sebaran yang didapati pada sarang. Pengelompokan jejak induk dan sarang terjadi pada wilayah Obokain yang posisinya berada ditengah dari panjang Sungai Vriendschap.

(8)

diameter rata-rata sarang di permukaan hampir mencapai 12 cm. Dibandingkan dengan ukuran Labi-labi moncong babi di wilayah Kikori (PNG) yang aktifitas pemanenan juga tinggi, panjang kerapas Labi-labi moncong babi dari wilayah Vriendschap lebih panjang dari panjang kerapas yang terdapat di Kikori. Kualitas telur yang dihasilkan dari wilayah Vriendschap juga sedikit lebih baik dari wilayah Kikori. Pada sarang yang digali, tidak ditemukan adanya telur abnormal seperti yang umumnya ditemukan pada telur penyu.

Kepadatan jejak induk dan sarang pada pasir peneluran yang tidak terdapat tutupan vegetasi lebih rendah dibandingkan kepadatan jejak induk dan sarang pada pasir peneluran yang terdapat terdapat tutupan vegetasi. Untuk setiap luasan pasir peneluran tidak bervegetasi diperoleh kepadatan jejak induk sebesar 4,19/ha dan kepadatan sarang sebesar 0,23/ha, sedangkan pada pasir bervegetasi diperoleh kepadatan jejak induk sebesar 5,74/ha dan kepadatan sarang sebesar 2,76/ha. Pada setiap 1 Km panjang pasir (perimeter) diperoleh kepadatan jejak induk pada pasir tidak bervegetasi sebesar 13,63 jejak/Km dan kepadatan sarang sebesar 0,75 sarang/Km, sedangkan pada pasir bervegetasi diperoleh kepadatan jejak induk sebesar 18,70 jejak/Km dan kepadatan sarang sebesar 9 sarang/Km. Kompleksitas bentuk bentang pasir (fractal dimension), keteraturan bentuk permukaan pasir (shape index), dan ukuran tekstur pasir bukan merupakan dasar bagi induk Labi-labi moncong babi untuk melakukan aktifitas peneluran. Analisis regresi menunjukkan bahwa pemilihan pasir peneluran dengan adanya tutupan vegetasi memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah jejak induk dan jumlah sarang (P-value jejak = 0,001, R-Sq (adj) jejak = 21,6%; P-value sarang = 0,000, R-Sq (adj) sarang = 40,8%; α = 0,05; n = 48).

Wilayah pemanfaatan telur di Vriendschap secara adat terbagi atas lima (5) wilayah yang meliputi Bor (rawa) yang berada dibawah adat suku Betkuar, Bor (sungai), Obokain yang berada dibawah adat suku Diai dan Dini, dan Indama dan Sumo yang berada dibawah adat suku Momuna. Wilayah pemanfaatan telur merupakan wilayah yang jauh dari lokasi kampung masyarakat. Kondisi tersebut menyebabkan tidak terjadinya pemanfaatan lahan yang intensif pada wilayah pemanfaatan ini, selain karena sifat masyarakat lokal yang dalam memenuhi kebutuhannya hidupnya masih dominan bergantung dari ketersediaan sumber daya alam. Pemanfaatan sumber daya alam dari tumbuhan oleh masyarakat lokal di lokasi pemanenan meliputi sagu dan pucuk rotan, sedangkan dari satwa liar meliputi kura-kura, buaya, babi hutan, kasuari, ular, ikan, dan ulat sagu. Pengelolaan pemanenan telur pada wilayah Bor (rawa) dan Obokain didapati adanya kerjasama dengan pencari telur dari luar komunitas masyarakat adat, sedangkan pada wilayah Sumo tidak didapati kerjasama tersebut. Perburuan telur dan kerjasama yang terjadi menciptakan sistem perdagangan di lokasi perburuan yang meliputi sistem barter, kombinasi antara sistem barter dan penjualan langsung tukik, dan sistem penjualan tukik langsung kepada pembeli.

(9)
(10)
(11)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(12)
(13)

KABUPATEN ASMAT, PAPUA

RICHARD GATOT NUGROHO TRIANTORO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)
(15)

Nama Mahasiswa : Richard Gatot Nugroho Triantoro

Nomor Pokok : E351100151

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(16)
(17)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan kasih-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan bulan November 2011 ini memilih tema ekologi peneluran dan pemanfaatan satwa liar dengan judul “Ekologi Peneluran dan Intensitas Pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi (Carettochelys insculpta Ramsay 1886)

di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat”. Tesis ini dibuat dalam dua

makalah terpisah untuk memudahkan penulisan dan pemahaman substansinya. Terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si dan Bapak Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Arif Nirsatmanto, M.Sc dalam memperlancar aksesibilitas ke lokasi penelitian dan Bapak Yohannes Wibisono, S.Hut yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak (almarhum), ibu, istri dan anak, serta seluruh keluarga besar, atas segala doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa kepada rekan-rekan Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) 2010, penulis sampaikan terimakasih atas segala kebersamaan dan bantuannya saat menjalani pendidikan pascasarjana.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan memberi kebijaksanaan pengelolaan sumber daya alam oleh manusia.

Bogor, Oktober 2012

(18)
(19)

Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 24 Februari 1972 sebagai anak ke tiga dari pasangan Albertus Magnus Soemarlan dan Ibu Albertina Sri Rahayu. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih, lulus tahun 1996. Tahun 2010, penulis diterima di Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya tahun 2012.

(20)
(21)

DAFTAR ISI ... xix

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvi

PENGANTAR PARIPURNA ... 1

Makalah I : EKOLOGI PENELURAN LABI-LABI MONCONG BABI (Carettochelys insculpta) DI SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN ASMAT, PAPUA 1. PENDAHULUAN ... 9

2. METODE PENELITIAN ... 13

2.1. Lokasi dan Waktu ... 13

2.2. Metode Pengumpulan Data ... 13

2.3. Analisis Data ... 17

3. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

3.1. Hasil ... 23

3.1.1. Jumlah Jejak Induk dan Sarang Peneluran ... 23

3.1.2. Biologi Peneluran ... 25

3.1.3. Habitat Peneluran (Bersarang) di Sungai Vriendschap ... 26

A. Panjang Pasir (Perimeter), Bentuk Bentang Pasir (Fractal Dimension dan Bentuk Permukaan Pasir (Shape Index) ... 26

B. Tekstur Pasir ... 26

C. Luas Pasir dan Tutupan Vegetasi ... 28

3.2. Pembahasan ... 30

3.2.1. Sebaran Jejak Induk dan Sarang Peneluran Carettochelys insculpta ... 30

3.2.2. Biologi Peneluran Carettochelys insculpta ... 36

3.2.3. Habitat Peneluran (Bersarang) Di Sungai Vriendschap ... 38

A. Panjang Pasir (Perimeter), Bentuk Bentang Pasir (Fractal Dimension) dan Bentuk Permukaan Pasir (Shape Index) ... 38

B. Tekstur Pasir ... 39

C. Luas Pasir dan Tutupan Vegetasi ... 41

3.2.4. Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Peneluran Carettochelys insculpta Di Sungai Vriendschap ... 47

(22)

Daftar Pustaka ... 53 LAMPIRAN ... 57 Makalah II :

INTENSITAS PEMANFAATAN LABI-LABI MONCONG BABI (Carettochelys insculpta) DI SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN ASMAT, PAPUA

1. PENDAHULUAN ... 77 2. METODE PENELITIAN... 83

2.1. Lokasi dan Waktu ... 83 2.2. Jenis Data ... 83 2.4. Metode Pengumpulan Data ... 84 2.5. Analisis Data ... 85

3. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 87

3.1. Hasil ... 87 3.1.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta ... 87 3.1.2. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan, Sumberdaya Alam dan Sistem

Ekonomi ... 88 3.1.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta ... 90 3.1.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys

insculpta ... 92 3.2. Pembahasan ... 93 3.2.1. Wilayah Pemanfaatan Carettochelys insculpta ... 93 3.2.2. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan, Sumberdaya Alam dan Sistem

Ekonomi ... 94 3.2.3. Intensitas Pemanfaatan Sarang Carettochelys insculpta ... 99 3.2.4. Pengumpulan Telur dan Pemanfaatan Induk Carettochelys

insculpta ... 100

(23)

Halaman

I.1 Pola sebaran sarang Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap ... 24

I.2 Pola sebaran jejak induk Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap .. 25

I.3 Sebaran jumlah jejak dan sarang Carettochelys insculpta pada 3 wilayah pemanfaatan di Sungai Vriendschap. ... 29

I.4 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap berdasarkan luasan pasir ... 28

I.5 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi Moncong Babi di Sungai

Vriendschap.berdasarkan perimeter ... 28

I.6 Sebaran pasir peneluran Carettochelys insculpta yang terdapat tutupan vegetasi. ... 29

I.7 Sebaran curah hujan dan hari hujan tahun 2010 dan 2011 di wilayah

Wamena (Pegunungan) .... 32

I.8 Perbandingan jarak sarang di wilayah Sungai Vriendschap dan beberapa sungai di wilayah PNG dan Utara Australia ... 35

I.9 Perbandingan diameter dan berat telur di wilayah Sungai Vriendschap dengan beberapa sungai di wilayah PNG dan Utara Australia. ... 36

I.10 Nilai shape index pasir peneluran dan jumlah jejak dan sarang Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap... 38

(24)
(25)

Halaman

1 Panjang Sungai Vriendschap dari hulu sampai muara ... 4

2 Posisi pasir peneluran di Sungai Vriendschap ... 4

3 Rentang jarak Agats dengan wilayah Sungai Vriendschap... 6

I.1 Lokasi penelitian sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap... 13

I.2 Jejak induk dan sarang Labi-labi moncong babi ... 14

I.3 Pengukuran kerapas induk Labi-labi moncong babi. ... 15

I.4 Pengukuran plastron induk Labi-labi moncong babi. ... 15

I.5 Sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap. .. 23

I.6 Sebaran jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys insculpta di sepanjang Sungai Vriendschap. ... 24

I.7 Sebaran harian jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys insculpta pada bulan November 2011 di wilayah Sungai Vriendschap. ... 24

I.8 Sebaran tekstur pasir peneluran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap ... 26

I.9 Sebaran luas pasir peneluran dan luas tutupan vegetasi pasir peneluran di sepanjang Sungai Vriendschap ... 29

I.10 Pasir peneluran Labi-labi moncong babi di tepi sungai dan rawa

Vrienschap... 40

I.11 Sebaran pasir peneluran Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah Sungai Vriendschap ... 42

I.12 Beberapa jenis vegetasi dominan penutup pasir peneluran Labi-labi

moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap ... 43

II.1 Lokasi penelitian intensitas pemanfaatan Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap. ... 83

(26)

II.3 Sebaran responden di wilayah Sungai Vriendschap berdasarkan

pekerjaan ……….. 89

II.4 Sebaran pendidikan responden dan hubungannya dengan pemanfaatan telur Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap ... 89

II.5 Sebaran pencari telur Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap

berdasarkan (a) suku dan (b) kampung... 91

II.6 Sebaran umur dan pengalaman perburuan responden terhadap telur Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap. ... 91

(27)

Halaman

I.1 Persentase tekstur pasir pada setiap pasir peneluran Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah Sungai Vriendschap. ... 59

I.2 Suhu lingkungan di wilayah Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat ... 61

I.3 Jumlah sarang, jumlah jejak, luas pasir (area), perimeter, shape index,

fractal dimension, tekstur pasir dan luas tutupan vegetasi. ... 63

I.4 Pola sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai

Vriendschap... 65

I.5 Pola sebaran jejak induk Carettochelys insculpta di wilayah Sungai

Vriendschap... 67

I.6 Analisis regresi jumlah sarang terhadap parameter luas pasir, perimeter,

shape index, fractal dimension, tekstur pasir, dan luas tutupan vegetasi. .... 69

I.7 Analisis regresi jumlah jejak induk terhadap parameter luas pasir, perimeter, shape index, fractal dimension, tekstur pasir, dan luas tutupan vegetasi ... 73

I.8 Titik sebaran sarang Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap

Kabupaten Asmat ... 77

II.1 Panduan pertanyaan pengumpulan data intensitas pemanfaatan Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah Sungai

(28)
(29)

PENGANTAR PARIPURNA

Carettochelys insculpta (Labi-labi moncong babi, pig-nosed turtle) termasuk dalam famili Carettochelyidae dan merupakan satu-satunya spesies dari famili ini yang masih tersisa di dunia. Kura-kura ini merupakan salah satu jenis berukuran besar dengan sebaran terbatas di Selatan New Guinea dan Australia Utara dengan populasi perkembangbiakan cukup baik terdapat di sungai Daly pada aliran Alligator Timur dan Alligator Selatan (Doody et al. 2000; Georges dan Kennett 1989) dan di Indonesia (IUCN 2010) yang hanya terdapat di Papua bagian selatan, menyebar dari wilayah Merauke sampai ke Kaimana.

C. insculpta merupakan satwa reptil yang hampir seluruh hidupnya selalu di dalam air (aquatic) dan hanya ke darat saat bertelur saja. Habitat hidupnya di Sungai Vriendschap meliputi rawa dan sungai utama Vriendschap termasuk hulu, cabang atau anak sungai, juga ditemukan pada daerah muara sungai yang tidak didapati pasir peneluran (Triantoro dan Rumawak 2010), sungai (termasuk estuaria dan delta sungai), laguna rumput, rawa, danau, dan cekungan berair dari dataran rendah dibagian selatan Papua New Guinea (Georges et al. 2006, 2008a), sementara habitat penelurannya dilakukan pada pasir peneluran (sand bank) yang terdapat di sepanjang sungai atau rawa. Pemilihan habitat terjadi ketika ketersediaan habitat digunakan proporsional dan tipe habitat yang tersedia berbeda pada setiap spesies (Rasmussen dan Litzgus 2010a).

(30)

dipengaruhi oleh ukuran klas reproduksi (betina dewasa, betina muda, dan jantan), tetapi pada lingkungan lotik (sungai) betina dewasa mempunyai daya jelajah lebih luas dan lebih besar dibandingkan betina muda dan pejantan (Carriére et al. 2009). Pada lingkungan lahan basah (wet land), pergerakan perpindahan Chelodina longicollis jantan dewasa diantara lahan basah dengan jarak yang ditempuh, mempunyai perpindahan lebih panjang dibanding betina dewasa dan betina muda karena ukuran tubuh kura-kura jantan yang kecil memberikan peranan penting terhadap pergerakan pada lahan basah (Roe et al. 2009). Untuk jenis C. insculpta, pergerakan dalam penggunaan pasir persarangan tidak berbeda antara betina bertelur dan tidak bertelur tetapi C. insculpta betina mempunyai wilayah jelajah lebih luas dibandingkan wilayah jelajah jantannya (Doody et al. 2002).

Musim peneluran C. insculpta di Sungai Vriendschap terjadi pada pertengahan Agustus sampai pertengahan Desember (Triantoro dan Rumawak 2010). Di Sungai Daly, C. insculpta dapat bertelur dua kali dalam setahun musim peneluran (Doody et al. 2000) dan melakukan aktifitas peneluran di malam hari pada saat air pasang maupun pada saat air surut (Georges et al. 2008b). Sarang

yang dibangun di Sungai Vriendschap berdiameter 12 – 16 cm dengan kedalaman

18 – 23 cm (Triantoro dan Rumawak 2010), sedangkan kedalaman sarang di Australia Utara berkisar 10 – 22 cm (Doody et al. 2000).

C. insculpta merupakan hewan omnivorous yaitu hewan yang mengkonsumsi tumbuhan dan hewan lain sebagai sumber pakannya seperti buah pandan batu, daun Melaleuca spp, biji, akar, batang tanaman Aerenchymatous, dan materi hewan yang meliputi siput air tawar (Thiaridae sp), Water boatmen

(Corixidae sp), kumbang air (Homeodytes scutellaris Germ.), Hydrophilus latipalpus Cast. (Hydrophilidae), dan semut-semut (Iridomyrmex sp) (Schodde et al. 1972), buah-buahan dan dedaunan dari pohon Pandanus aquaticus, buah-buahan dan dedaunan dari pohon Ficus racemosa, algae, ikan, buah-buahan dan dedaunan dari jambu-jambuan (Syzygium cf forte), dan Nimpha (Najas tenuifolia) (Georges dan Kennett 1989).

(31)

CITES (Convention International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) (UNEP-WCMC 2011) dengan status Vulnerable oleh The IUCN Red List of Threatened Species (IUCN 2010). Dengan status perlindungan tersebut kuota terhadap C. insculpta belum bisa diberikan, namun yang terjadi di alam adalah pemanenan terutama terhadap telurnya terus terjadi dari tahun ke tahun. Pemanenan yang tinggi terhadap telur C. insculpta dari alam selama ini berasal dari kawasan Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, tetapi sejauh mana tingkat pemanfaatannya juga belum diketahui. Kondisi tersebut cukup disayangkan mengingat informasi mengenai C. insculpta baik informasi dasar dan tingkat pemanfaatannya di Indonesia masih sangat kurang. Tanpa adanya informasi terhadap suatu jenis satwa maka dasar pengelolaannya masih sangat jauh dari harapan karena informasi dasar mengenai populasi dan biologi suatu jenis merupakan hal yang penting dalam pengelolaannya (Alikodra 2002).

(32)

Sumber peta : Google earth (2011)

Gambar 1 Panjang Sungai Vriendschap dari hulu sampai muara

Sumber peta : Google earth (2011) dikombinasi dengan hasil penelitian 2011

Gambar 2 Posisi pasir peneluran di Sungai Vriendschap

(33)

Kabupaten Yahukimo. Secara administratif belum disepakati antara Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Asmat dengan Pemda Kabupaten Yahukimo, apakah pemukiman (kampung) di Vriendschap masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Asmat atau Yahukimo, namun aksesibilitas masyarakat di Vriendschap dalam menjual dan membeli kebutuhan hidup lebih banyak dilakukan ke wilayah Kabupaten Asmat, seperti Jinak, Waganu, Atsy, Distrik Akat, maupun sampai ke Agats sendiri. Saat sungai Vriendschap meluap perjalanan dapat dilakukan dengan speed boat 40 PK sampai di lokasi pemanenan telur, sedangkan apabila sungai surut perjalanan hanya dapat dilakukan sampai di Kolam Tujuh dan dilanjutkan kembali menggunakan perahu tempel 15 PK atau mesin Katinting. Kolam Tujuh merupakan nama sebuah tempat sebelum memasuki Sungai Vriendschap yang dihuni oleh para pencari gaharu (terutama masyarakat pendatang) sejak lama. Aktifitas utama masyarakat ditempat tersebut adalah sebagai pencari dan penadah hasil gaharu dari masyarakat lokal, sedangkan aktifitas lainnya adalah menjual berbagai kebutuhan kelontong (berdagang).

(34)

Gambar 3 Rentang jarak Agats dengan wilayah Sungai Vriendschap.

Wilayah Sungai Vriendschap merupakan wilayah terbuka, dataran rendah, dengan ketinggian 9 – 65 m dpl mulai dari wilayah Bor (rawa) sampai wilayah Sumo. Suhu lingkungan di pagi hari berkisar 23.5 – 26.2 ⁰C (Rata-rata = 24,6 ± 0.8) dengan kelembaban relatif berkisar 83 – 99% (Rata-rata = 92.0 ± 4.8), suhu di siang hari berkisar 27.9 – 42.1 ⁰C (Rata-rata = 34.1 ± 4.2) dengan kelembaban relatif berkisar 35 – 73% (Rata-rata = 55.1 ± 10.4), dan suhu di malam hari berkisar 23.6 – 28.6 ⁰C (Rata-rata = 25.6 ± 1.1) dengan kelembaban relatif berkisar 79 – 97% (Rata-rata = 89.3 ± 5.4).

Minimnya informasi dasar terkait jenis C. insculpta di Indonesia mendorong penelitian ini dilakukan. Informasi yang dicari dalam penelitian ini meliputi sebaran sarang yang dilakukan dengan pendekatan jumlah sarang, biologi peneluran yang meliputi karakteristik morfologi induk betina, telur dan sarang, serta mengetahui intensitas pemanfaatan telurnya oleh masyarakat. Hasil penelitian disajikan dalam 2 (dua) bentuk makalah dengan judul yaitu :

I. Ekologi peneluran Carettochelys insculpta (Ramsay, 1886) di Sungai

(35)

karakteristik induk betina, ukuran sarang, ukuran dan jumlah telur dalam aktifitas peneluran, pola sebaran sarang dan kepadatan sarang Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) di wilayah sungai Vriendschap, Kabupaten Asmat, Papua.

II. Intensitas pemanfaatan Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua dengan tujuan untuk mengetahui intensitas pemanfaatan Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) yang dilakukan oleh komunitas masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah Sungai Vriendschap, Kabupaten Asmat, Papua.

Wilayah sebaran C. insculpta di Sungai Vriendschap sampai saat ini bukan merupakan kawasan konservasi dan meliputi wilayah yang cukup luas. Sebaran sarang dan habitat penelurannya juga menyebar dalam rentang yang cukup panjang mengikuti alur Sungai Vriendschap dengan banyak alur-alur sungai yang menyertai didalamnya. Disisi lain, jenis ini di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi karena wilayah sebarannya yang terbatas di Papua bagian selatan. Walaupun termasuk jenis dilindungi, perburuan telur dan perdagangan illegal

anakannya terus terjadi dengan ditemukannya jenis ini di pasar penjualan satwa dalam dan luar negeri. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam :

1. Memberikan informasi terkait sebaran sarang dan pemilihan pasir peneluran Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap.

2. Memberikan informasi terkait biologi peneluran Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap.

3. Memberikan informasi terkait intensitas pemanfaatan Labi-labi moncong babi

yang terjadi di wilayah Sungai Vriendschap

4. Menyusun manajemen pengelolaan Labi-labi moncong babi kedepannya

(36)
(37)

Makalah I

EKOLOGI PENELURAN Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) DI SUNGAI VRIENDSCHAP KABUPATEN ASMAT, PAPUA

(Nesting Ecology of Carettochelys insculpta (Ramsay 1886) at Vriendschap River Asmat Regency, Papua)

Richard Gatot Nugroho Triantoro

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika Pascasarjana IPB

Email : richard_gnt@yahoo.com

ABSTRACT

Carettochelys insculpta (pig-nosed turtle) is one of the soft shelled turtle of southern Papua. Land clearing for human development affect the condition of forest ecosystems and put pressure on C. insculpta, while the scientific information in Indonesia is still lacking. In effort to obtain information of C. insculpta in Indonesia, the study was conducted to determine the nesting ecology of C. insculpta in Vriendschap River Asmat Regency, Papua. Survey was carried out in 8 – 25 November 2011 during nesting season by transect methods. Results showed that distribution pattern of nests and tracks in Vriendschap River region is clumped with most nesting sites located in Obokain area (the middle of the Vriendschap River). Nesting occurred during sunset (night) and in clear weather (no rain). High density of nests were built near vegetation cover compared to area without vegetation. Females prefer the sands with the presence of vegetation cover for nesting habitat.

Key Words : Carettochelys insculpta, Papua, pressure, Vriendschap River, nesting ecology

1. PENDAHULUAN

(38)

dan sarana transportasi yang berkembang pesat di Papua ikut mempengaruhi kondisi ekosistem hutannya dengan cepat pula. Tekanan pada C. insculpta telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di Papua Barat (Indonesia) dan Papua New Guinea, terutama karena pertumbuhan populasi manusia, kecenderungan yang lebih besar bagi pembangunan desa-desa di tepi sungai setelah penghentian perang suku dan pengenalan teknologi baru (Alvarenga 2010), sedangkan kegiatan pertanian dan drainase pada Daerah Aliran Sungai (DAS) di Australia Utara potensi memberikan dampak serius bagi populasi Labi-labi moncong babi (Georges et al. 2008a). Tanpa disadari proses degradasi habitat terjadi baik secara sengaja maupun tidak sengaja yang dapat menyebabkan kehilangan atau kepunahan spesies. Dampak degradasi hutan terhadap hilangnya spesies diungkapkan oleh Arief (2001) yang mengatakan bahwa sepetak hutan kecil yang dirusak dapat mengakibatkan banyak spesies yang hilang sama sekali atau punah secara lokal. Pemanenan, pengurangan habitat alami dan fragmentasi telah menjadi faktor utama pendorong spesies amfibi dan reptil ke jurang kepunahan (Vitt dan Caldwell 2009).

Di alam, Labi-labi moncong babi merupakan satwa yang membuat sarang di pasir, meletakkan telurnya pada sarang yang dibangun dan menyerahkan proses penetasan sepenuhnya pada alam. Sarang-sarang C. insculpta umumnya terdapat pada pasir yang bersih, halus, yang tidak tertutup oleh vegetasi dan dekat dengan air (Georges et al. 2008b) dan hanya dapat bertelur pada pasir yang rendah dimana pasir masih dapat saling terikat dengan kelembaban yang rendah, didominasi oleh substrat pasir namun dapat juga bersarang pada berbagai substrat mulai dari pasir lempung sampai mengandung kerikil, sekumpulan pasir dengan sedikit atau tanpa vegetasi penutup yang mempunyai ketinggian pasir 0,25 m di atas air (Doody et al. 2003b), pasir pada tepi sungai atau rawa, substrat pasir halus sampai bercampur kerikil (Triantoro dan Rumawak 2010). Keberhasilan penetasan telur-telurnya dapat disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan seperti faktor panas, tekstur pasir, kelembaban pasir, luas pasir, tutupan vegetasi pasir,

(39)

Informasi terkait spesies C. insculpta di Indonesia sangatlah kurang walau dengan status vulnerable pada daftar merah IUCN. Dengan mengetahui informasi terkait populasi, biologi peneluran, habitat hidup, perilaku bertelur, pemilihan habitat persarangan, dan informasi pendukung lainnya, maka manajemen pengelolaan terhadap kelestarian spesies C. insculpta dapat dilakukan dengan baik. Dalam upaya mendapatkan informasi terkait C. insculpta maka dalam penelitian ini dapat diketahui pola sebaran sarang dan biologi penelurannya.

Pengujian secara ekologi dilakukan untuk mengetahui informasi terkait pola sebaran sarang dan biologi peneluran yang dapat menjadi indikator dalam upaya pengelolaan dan konservasi C. insculpta kedepannya. Pertama, survei dilakukan di sepanjang sungai dan rawa untuk mendapatkan jumlah sarang secara akurat dan jumlah pasir peneluran, baik yang terdapat sarang maupun tidak terdapat sarang. Pengukuran terhadap induk betina, sarang dan telur dilakukan untuk melihat karakteristik morfologi induk, ukuran sarang, ukuran telur dan jumlah telur terkait tingkat kedewasaan induk betina dan mengestimasi calon anakannya. Jumlah sarang digunakan sebagai salah satu cara pendekatan terhadap populasi induk C. insculpta maupun calon regenerasinya (anakan) di alam. Kedua, menguji pola sebaran sarang apakah bersifat acak, homogen atau berkelompok. Kepadatan sarangnya diuji berdasarkan luasan pasir dan perimeter pasir pada pasir peneluran bervegetasi dan tanpa vegetasi. Pola sebaran dan kepadatan sarang dapat memberikan informasi terkait wilayah bersarang potensial.

Ketiga, menguji pemilihan habitat bersarang induk betina C. insculpta

(40)
(41)

2. METODE PENELITIAN

2.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di wilayah Sungai Vriendschap (Gambar I.1) yang termasuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Asmat dan Kabupaten Yahukimo, Papua. Pendataan sarang dan pasir peneluran dilakukan di rawa dan sepanjang sungai Vriendschap yang berada pada wilayah adat masyarakat Bor, Obokain, Indama dan Sumo, dan pada rawa yang masuk dalam wilayah adat Betkuar. Penelitian dilakukan dalam rentang waktu 8 – 25 November 2011 dengan pertimbangan masih berada dalam rentang waktu puncak musim peneluran.

Gambar I.1 Lokasi penelitian sebaran Carettochelys insculpta di wilayah Sungai Vriendschap.

2.2. Metode Pengumpulan Data

(42)

wilayah Bor (sungai) dilakukan selama 2 hari (terdapat jejak dan sarang dalam 1 hari), di wilayah Obokain, Indama dan Sumo dilakukan selama 5 hari (terdapat jejak dalam 5 hari dan sarang dalam 3 hari di Obokain, jejak dan sarang dalam 2 hari di Indama, dan jejak dan sarang dalam 3 hari di Sumo). Data yang dikumpulkan meliputi sarang peneluran, biologi peneluran, dan habitat persarangan. Pendataan dilakukan mulai jam 05.00 – 16.00 WIT. Sarang peneluran terlebih dahulu di data kemudian dilanjutkan dengan pendataan habitat persarangan. Pengukuran biologi peneluran dilaksanakan saat tidak melakukan pendataan sarang peneluran dan habitat persarangan. Pengambilan data meliputi :

1. Data Sarang Peneluran

Jumlah sarang : menghitung jumlah sarang yang ditemui dan mengambil titik-titik koordinat sarang peneluran menggunakan GPS pada setiap pasir peneluran disepanjang Sungai Vriendschap. Sarang yang telah dihitung kemudian ditandai untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda (double counting).

Jejak induk : menghitung jejak induk yang naik pada pasir peneluran baik jejak induk membuat sarang maupun tidak membuat sarang. Induk yang naik ke pasir sering membuat jejak berputar-putar mulai saat naik dari tepi sungai sampai kembali ke sungai, sehingga satu jejak induk dihitung sebagai satu individu induk dengan mengikuti jejak yang dibuat pada saat naik ke pasir sampai kembali ke sungai.

Keterangan : a. Jejak induk Labi-labi moncong babi; b. Sarang Labi-labi moncong babi

Gambar I.2. Jejak induk dan sarang Labi-labi moncong babi.

(43)

2. Data Biologi Peneluran

Data biologi peneluran yang diambil meliputi ukuran karapas induk C. insculpta, ukuran plastron, karakteristik telur, dan karakteristik sarang. Pengukuran karapas induk C. insculpta mengacu pada metode pengukuran karapas penyu menurut Bolten (1999) yang meliputi panjang karapas tegak lurus (SCL : Straight Carapace Length) yang di ukur secara panjang tegak lurus karapas, panjang karapas lengkung (CCL : Curved Carapace Length) yang di ukur mengikuti panjang lengkung karapas, lebar karapas tegak lurus (SCW : Straight Carapace With) yang di ukur mengikuti lebar tegak lurus

karapas dan lebar karapas lengkung (CCW : Curved Carapace With) yang di

ukur mengikuti lebar lengkung karapas. Plastron di ukur terhadap panjang dan lebarnya. Pengukuran karapas dan plastron menggunakan roll meter (3 m) dengan satuan dalam centimeter dan dua angka dibelakang koma dalam satuan terkecil milimeter. Jumlah individu yang ditangkap dan berhasil diukur sebanyak 14 ekor. Pengukuran SCL, CCL, SCW, CCW, dan plastron Labi-labi moncong babi seperti terlihat pada Gambar I.3 dan I.4.

Gambar I.3. Pengukuran karapas induk Labi-labi moncong babi

Gambar I.4. Pengukuran plastron induk Labi-labi moncong babi

Karakteristik telur dan sarang C. insculpta yang dikumpulkan meliputi jumlah telur dalam satu sarang, jumlah telur normal dan abnormal dalam satu sarang,

c b

a

d

a. Pengukuran SCL

b. Pengukuran CCL

c. Pengukuran SCW

d. Pengukuran CCW

e

f

(44)

diameter telur normal dan abnormal, berat telur normal dan abnormal, diameter sarang dan kedalaman sarang. Pengukuran diameter telur menggunakan digital caliper dengan satuan nilai dalam millimeter. Telur abnormal berbeda dengan telur normal dimana telur abnormal tidak mempunyai kuning telur dan secara visual telur abnormal mempunyai ukuran lebih kecil (biasanya setengah atau lebih kecil dari ukuran telur normal) bila dibandingkan dengan telur normal, dan semakin kecil mendekati akhir peneluran.

3. Data Habitat Persarangan

Habitat sarang peneluran Labi-labi moncong babi yang dimaksudkan adalah sekumpulan pasir di tepi sungai atau rawa yang digunakan oleh Labi-labi moncong babi untuk melakukan aktifitas bertelur. Data yang dikumpulkan meliputi :

Luasan pasir : mengingat bentuk luasan pasir di alam tidak beraturan maka luasan pasir dihitung berdasarkan titik-titik koordinat (tracking)terluar. Posisi koordinat diambil menggunakan Global Positioning System (GPS). Pasir yang di data adalah pasir yang terdapat sarang, pasir yang terdapat jejak, dan pasir tanpa sarang dan jejak. Luasan masing-masing pasir peneluran akan dihitung dan kemudian diakumulatif untuk mendapatkan luasan pasir peneluran yang terdata disepanjang Sungai Vriendschap. Luasan pasir akan dibedakan antara pasir di wilayah rawa dengan pasir di wilayah sungai.

Panjang pasir (Perimeter) : merupakan ukuran panjang pasir dalam meter yang didapatkan dengan nilai indeks > 0 sampai tidak terbatas.

Bentuk bentang pasir (Fractal Dimension) : diperoleh dengan mengambil titik koordinat tepi pasir menggunakan GPS untuk mendapatkan dimensi bentuk pasir sarang peneluran. Nilai bentuk bentang pasir berupa nilai indeks

tanpa satuan dengan interval nilai indeks 1 ≤ Fract ≤ 2. Nilai 1 menunjukkan bentuk pasir adalah sederhana dan bentuk semakin kompleks mencapai nilai 2.

Bentuk permukaan pasir (Shape Index) : diperoleh dalam bentuk nilai

indeks tanpa satuan dengan nilai indeks ≥ 1 sampai tidak terbatas. Nilai 1

(45)

Tekstur pasir : analisa terhadap tekstur pasir dilakukan dilaboratorium tanah Institut Pertanian Bogor. Analisa tekstur pasir dilakukan dari sampel pasir pada keseluruhan pasir (site) yang di data yaitu sebanyak 48 area pasir peneluran. Pendataan tekstur pasir dilakukan pada pasir yang terdapat sarang, jejak maupun yang tidak terdapat sarang. Sampel diambil pada kedalaman 10

– 25 cm yang didasarkan pada kedalaman sarang labi-labi moncong babi dengan cara mencampurkannya (mix). Hasil ditunjukkan dalam bentuk ukuran butiran pasir berdasarkan metode penyaringan. Tekstur butiran pasir diklasifikasikan berdasarkan kelompok yang meliputi pasir sangat halus (very fine sand) 0,05 – 0,1 mm, pasir halus (fine sand) 0,1 – 0,25 mm, pasir sedang (medium sand) 0,25 – 0,5 mm, pasir kasar (coarse sand) 0,5 – 1,0 mm, dan pasir sangat kasar (very coarse sand) 1,0 – 2,0 mm (Gee dan Bauder, 1986).

Luas tutupan vegetasi : tutupan vegetasi di lakukan dengan mendata ada tidaknya vegetasi penutup pada habitat peneluran. Luasan vegetasi penutup dihitung pada setiap satu luasan pasir peneluran untuk mendapatkan luasan tutupan vegetasi. Untuk luasan tutupan vegetasi yang besar atau luas, pengukuran luas dilakukan dengan mengambil titik-titik koordinat tepi vegetasi terluar menggunakan GPS kemudian dihitung luasnya menggunakan ArcView 3.3, sedangkan untuk luasan tutupan vegetasi yang kecil dapat diukur secara manual menggunakan roll meter (50 m). Untuk memudahkan penghitungan luas tutupan vegetasi ang kecil secara manual, pendekatan penghitungannya disesuaikan dengan bentuk tutupan vegetasi dilapangan, apakah berbentuk lingkaran, persegi panjang, bujur sangkar, dan lain-lain. Jika terdapat lebih dari satu luasan tutupan vegetasi dalam satu pasir peneluran maka luasan tutupan vegetasinya merupakan kumulatif dari lebih dari satu luas tutupan vegetasi yang ada.

2.3. Analisis Data

(46)

bentang pasir (Fractal Dimension), bentuk permukaan pasir (Shape Index), tekstur pasir dan luasan tutupan vegetasi penutup pasir.

Nilai Shape Index (SHAPE), Fractal Dimension (FRACT) dan Perimeter (PERIM) dicari dengan menggunakan rumus (McGarigal et al. 1995) sebagai berikut :

Shape Index : Vector

SHAPE : pij

2√π ₀ aij

Satuan : tidak ada; Kisaran nilai : SHAPE ≥ 1, sampai tidak terbatas

Fractal Dimension : Vector

FRACT : 2 ln pij

ln aij Satuan : Tidak ada

Kisaran nilai : 1 ≤ FRACT ≤ 2 Perimeter :

Vector

PERIM : pij

Satuan : Meter

Kisaran nilai : PERIM ≥ 0, sampai tidak terbatas

Proses mendapatkan nilai luasan pasir, Perimeter (PERIM), Fractal Dimension (FRACT) dan Shape Index (SHAPE), diawali dengan membuat

polygon setiap pasir peneluran terlebih dahulu kemudian dianalisis menggunakan ekstension Habitat Analysis dan Patch Analysis pada ArcView 3.3, sedangkan untuk mendapatkan nilai luasan tutupan vegetasi menggunakan ArcView 3.3 dan

Microsoft office exel 2007. Nilai tekstur pasir didasarkan pada kelas ukuran tekstur pasir mulai dari pasir sangat kasar sampai sangat halus berdasarkan hasil analisis di laboratorium tanah IPB.

(47)

ragam adalah nilai tengah dan nilai keragaman. Rumus yang digunakan berdasarkan metode rasio ragam adalah :

= = dan S² =

Dimana : = nilai tengah atau rata-rata S2 = varians/keragaman xi = jumlah individu

fi = frekuensi banyaknya jumlah individu ditemukan

n = jumlah total individu (jumlah sarang/jejak induk) N = jumlah plot (jumlah pasir peneluran)

Hipotesis yang dapat dibuat dalam melihat sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi berdasarkan metode rasio ragam adalah :

 Jika S² = X, maka sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi

adalah acak (randomly disperse)

 Jika S² < X, maka sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi

adalah homogen/teratur (regularly disperse)

 Jika S² > X, maka sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi

adalah mengelompok/agregat (contagiously disperse)

Dari nilai tengah dan nilai keragaman kemudian dilanjutkan dengan melihat pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menggunakan Metode indeks yang meliputi Index of Dispertion (ID), Index of Clumping (IC) dan Green’s Index (GI) (Ludwig dan Reynolds 1988).

Index of Dispertion (ID) :

Untuk menghitung nilai Index of Dispertion (ID) dan nilai Chi-square (X2) menggunakan rumus :

ID = S2 / x dan X2 = ID (N - 1)

Dimana : = = dan S2 =

Hipotesis yang dapat dibuat dalam melihat sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi berdasarkan Index of Dispertion (ID) adalah jika :

(48)

 ID = 1, maka sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menyebar secara acak (randomly disperse)

 ID < 1, maka sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menyebar secara homogen (regularly disperse)

 ID > 1, maka sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi menyebar secara mengelompok (contagiously disperse)

Index of Clumping (IC) :

Untuk menghitung nilai Index of Clumping (IC) digunakan rumus :

IC = (S2 / x) – 1 = ID – 1 dimana : IC = Index of Clumping

ID = Index of Dispertion

Green’s Index (GI) :

Untuk menghitung nilai Green’s Index (GI) digunakan rumus :

GI = [(S2 / x) – 1] / n-1 = IC / n-1 dimana : GI = Green’s Index

IC = Index of Clumping

Hipotesis yang dapat dibuat dalam melihat sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi berdasarkan Index of Clumping (IC) dan Green’s Index (GI) adalah jika :

 IC atau GI = 0 maka pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong

babi adalah acak (randomly disperse)

 IC atau GI < 0 maka pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi adalah seragam (regularly disperse)

 IC atau GI > 0 maka pola sebaran sarang dan jejak induk Labi-labi moncong babi adalah mengelompok (contagiously disperse)

(49)

Adapun persamaan regresi linier yang digunakan adalah sebagai berikut :

Y1 = a + bV1 + cV2 + dV3 + eV4 + fV5 + gV6

Y2 = a + bV1 + cV2 + dV3 + eV4 + fV5 + gV6

Dimana : Y1 = Jumlah sarang Carettochelys insculpta

Y2 = Jumlah jejak induk Carettochelys insculpta di pasir

a = Nilai konstanta b-g = Nilai setiap variabel V1 = Variabel luasan pasir

V2 = Variabel panjang pasir (Perimeter)

V3 = Variabel bentuk bentang pasir (Fractal Dimension)

V4 = Variabel bentuk permukaan pasir (Shape Index)

V5 = Variabel tekstur pasir

V6 = Variabel luasan tutupan vegetasi

Untuk mengetahui validitas data yang diperoleh maka dilakukan tahapan-tahapan pengecekan menggunakan minitab 16 sebagai berikut :

Analisis regresi linier awalnya dilakukan terhadap data yang diperoleh langsung dari lapangan sehingga belum diketahui apakah data yang diperoleh menyebar normal atau tidak.

Setelah didapat persamaan regresi dari data lapangan kemudian dilakukan pengecekan kenormalan data menggunakan Kolmogorov-Smirnov pada

software minitab 16. Jika nilai P-value belum melebihi dari 0.05 (P-value

0.05) maka data yang diperoleh belum menyebar normal dan apabila P-value

sudah melebihi dari 0.05 (P-value ≥ 0.05) maka data yang diperoleh sudah

menyebar normal

Apabila diperoleh data lapangan tidak menyebar normal maka dilakukan transformasi data agar mendapatkan sebaran data yang normal. Setelah proses transformasi data selesai dilakukan general regression dengan menggunakan

(50)

transformasi maka digunakan persamaan model regresi dari data awal (sebelum transformasi).

Tahap berikutnya yaitu mencari parameter terbaik yang mempengaruhi jumlah sarang dan jejak induk betina dengan menggunakan metode stepwise. Hasil yang diperoleh kemudian di cek kembali sebaran datanya normal atau tidak. Apabila belum normal digunakan data transformasi dan melakukan general regression menggunakan box-cox power transformation pada use optimal lambda lalu diteruskan pengecekan kenormalan sebaran data transformasi menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Jika setelah proses transformasi sebaran datanya menyebar normal maka digunakan persamaan hasil regresi dengan metode stepwise setelah transformasi tersebut, namun jika setelah proses transformasi peyebaran datanya tetap belum normal dan persamaan regresi yang dihasilkan ternyata kurang baik dibanding sebelum transformasi maka digunakan persamaan model regresi hasil metode stepwise dari data awal (sebelum transformasi).

Pada persamaan regresi ini dapat diketahui kontribusi variabel luasan pasir, panjang pasir (Perimeter), bentuk bentang pasir (Fractal Dimension), bentuk permukaan pasir (Shape Index), tekstur pasir dan luasan tutupan vegetasi penutup pasir, sehingga dapat ditentukan total kontribusi setiap faktor terhadap jumlah sarang peneluran dan jarak sarang Labi-labi moncong babi dari air/sungai.

Sebaran sarang peneluran Carettochelys insculpta di sungai dan rawa

(51)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

3.1.1. Jumlah Jejak Induk dan Sarang Peneluran

Total jejak C. insculpta berjumlah 543 jejak dengan rincian 19 jejak terdapat di wilayah Bor (rawa) sedangkan 524 jejak terdapat di sepanjang sungai yang meliputi wilayah Bor, Obokain, Indama dan Sumo (rata-rata = 11.44 ± 34.11; kisaran = 0 – 201). Sedangkan total sarang yang terdata berjumlah 131 sarang dengan rincian 7 sarang terdapat di wilayah rawa (Bor) dan 124 sarang terdapat di sepanjang sungai yang meliputi wilayah Bor (sungai), Obokain, Indama dan Sumo (rata-rata = 2.75 ± 15.26; kisaran = 0 – 106). Sebaran sarang sarang Labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap disajikan pada Gambar I.5 dibawah ini.

Gambar I.5 Sebaran sarang Carettochelys insculpta di wilayah Sungai

Vriendschap

(52)

Gambar I.6, sedangkan jumlah sarang dan jejak induk harian dapat dilihat pada Gambar I.7.

Gambar I.6 Sebaran jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys insculpta di sepanjang Sungai Vriendschap

Gambar I.7 Sebaran harian jumlah jejak induk dan sarang Carettochelys

insculpta pada bulan November 2011 di wilayah Sungai Vriendschap

Hasil analisis terhadap pola sebaran sarang dan jejak induk C. insculpta

menunjukkan bahwa pola sebaran sarang dan jejak C. insculpta di Sungai Vriendschap adalah berkelompok seperti yang terlihat pada Tabel I.1 dan Tabel I.2.

Tabel I.1 Pola sebaran sarang Carettochelys insculpta di Sungai Vriendschap.

(53)

Nilai Pola sebaran sarang

Diameter rata-rata sarang yang dibangun adalah 11.91 ± 1.73 cm (n = 62, kisaran = 8 – 17.5) dengan kedalaman rata-rata sarang adalah 17.38 ± 1.86 cm (n = 70, kisaran = 13 – 22). Jumlah telur rata-rata dalam satu sarang adalah 20.05 ± 5.60 butir (n = 79, kisaran = 7 – 34) dengan diameter rata-rata adalah 41.33 ± 1.54 mm (n = 400, kisaran = 35.25 – 46.49) dan berat telur rata-rata 37.98 ± 6.30 gr (n = 400, kisaran = 30 – 50). Telur yang sehat berwarna putih, cangkang yang keras dan terdapat titik embrio. Dalam satu sarang belum ditemukan telur Labi-labi moncong babi yang tidak normal (abnormal). Telur normal adalah telur yang ukurannya relatif seragam dan mengandung kuning telur sedangkan telur abnormal adalah telur yang tidak mengandung kuning telur dengan ukuran yang lebih kecil dari rata-rata ukuran normal. Rata-rata jarak sarang Labi-labi moncong babi dari tepi sungai atau air di wilayah Sungai Vriendschap adalah 22.13 ± 12.79 m (n = 116, kisaran = 4.10 – 49.70).

(54)

rata-rata berat induk adalah 11.63 ± 1.02 Kg (n = 14, kisaran = 10.43 – 13.38), rata-rata panjang plastron adalah 36.96 ± 1.41 cm (n = 14, kisaran = 35 – 39), rata-rata lebar plastron adalah 29.07 ± 1.40 cm (n = 14, kisaran = 27 - 31), rata-rata panjang lengkung kerapas (CCL) adalah 48.06 ± 0.93 cm (n = 14, kisaran = 46.4 – 49.5), rata-rata panjang tegak lurus kerapas (SCL) adalah 44.14 ± 2.91 cm (n = 14, kisaran = 35 - 47), rata-rata lebar lengkung kerapas (CCW) adalah 48.16 ± 1.68 cm (n = 14, kisaran = 45.6 – 51.5), dan rata-rata lebar tegak lurus kerapas (SCW) adalah 34.21 ± 1.66 cm (n = 14, kisaran = 30 - 36).

3.1.3. Habitat Peneluran (Bersarang) di Sungai Vriendschap

A. Panjang Pasir (Perimeter), Bentuk Bentang Pasir (Fractal Dimension) dan Bentuk Permukaan Pasir (Shape Index)

Perimeter pasir yang didapat berkisar 0,099 – 2,281 km atau 99 – 2.281 m ( rata-rata = 0.74 ± 0.42 km), fractal dimension berkisar 0.991 – 1.243 (rata-rata = 1.073 ± 0.047) dan shape index berkisar 0.964 – 2.061 (rata-rata = 1.405 ± 0.253) dari 48 pasir peneluran yang berhasil terdata di wilayah Sungai Vriendschap.

B. Tekstur Pasir

Dari 15 pasir di wilayah Bor (Rawa) dan 33 pasir di tepi sungai yang meliputi wilayah Bor (Sungai), Obokain, Indama dan Sumo, didapati sebaran tekstur pasir peneluran sarang di wilayah Sungai Vriendschap seperti tersaji pada Gambar I.8.

(55)

Mengacu pada penggolongan tekstur pasir menurut Gee dan Bauder (1986) maka fraksi I adalah golongan pasir sangat kasar dengan ukuran butir pasir berkisar 2 – 1 mm, fraksi II adalah golongan pasir kasar dengan ukuran butir pasir berkisar 1 – 0.5 mm, fraksi III adalah golongan pasir sedang dengan ukuran butir pasir berkisar 0.5 – 0.25 mm, fraksi IV adalah golongan pasir halus dengan ukuran butir pasir berkisar 0.25 – 0.1 mm, fraksi V adalah golongan pasir sangat halus dengan ukuran butir pasir berkisar 0.1 – 0.05 mm, fraksi VI adalah golongan debu kasar dengan ukuran butir pasir berkisar 0.05 – 0.02 mm, fraksi VII adalah golongan debu sedang dengan ukuran butir pasir berkisar 0.02 – 0.005 mm, fraksi VIII adalah golongan debu halus dengan ukuran butir pasir berkisar 0.005 – 0.002 mm, fraksi IX adalah golongan liat kasar dengan ukuran butir pasir berkisar 0.002

– 0.0005 mm dan fraksi X adalah golongan liat halus dengan ukuran butir pasir berkisar < 0.0005 mm. Persentase tekstur pasir pada setiap pasir peneluran yang di data di wilayah Sungai Vriendschap dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar I.8 memperlihatkan sebaran tekstur pasir di sepanjang Sungai Vriendschap yang meliputi wilayah adat Bor (rawa dan sungai), Obokain, Indama dan Sumo, didominasi oleh tekstur pasir sedang (fraksi III) sebanyak 18 area pasir peneluran, dikuti tekstur pasir halus (fraksi IV) sebanyak 13 area pasir peneluran, tekstur pasir kasar (fraksi II) sebanyak 8 area pasir peneluran, tekstur pasir sangat kasar (fraksi I) sebanyak 4 area pasir peneluran, tekstur debu kasar (fraksi VI) sebanyak 3 area pasir peneluran dan fraksi tekstur pasir sangat halus (fraksi V) sebanyak 2 area pasir peneluran. Tekstur pasir peneluran pada wilayah Bor (rawa) terdiri atas kelompok pasir sedang, halus dan halus sekali dengan sebarannya di dominasi oleh pasir halus, sedangkan pada wilayah Bor (sungai) dan Indama tekstur pasir termasuk dalam kelompok pasir sangat kasar, kasar dan sedang. Sebaran tekstur pasir peneluran di wilayah Obokain terlihat lebih komplit dimana tekstur pasir peneluran termasuk pada kelompok pasir sangat kasar, kasar, sedang, halus dan debu kasar, sementara pada wilayah Sumo hanya terdiri atas dua kelompok pasir yaitu pasir sedang dan halus. Sebaran jumlah jejak dan sarang C. insculpta pada 3 wilayah pemanfaatan di Sungai Vriendschap yang didasarkan pada tekstur pasir, disajikan pada Tabel I.3.

(56)

Sebaran jejak dan sarang berdasarkan tekstur pasir didapati terkonsentrasi lebih tinggi pada kelompok pasir halus (IV) di wilayah pemanfaatan Obokain dibanding wilayah Bor dan Sumo. Potensi jejak induk labi-labi yang naik ke pasir untuk bertelur (bersarang) menggambarkan bahwa kelompok tekstur pasir sangat kasar, sedang dan halus berpotensi dijadikan pilihan sebagai habitat pasir peneluran bagi induk labi-labi untuk melakukan aktifitas bertelur.

C. Luas Pasir dan Tutupan Vegetasi

Total luasan pasir yang terdata dari 48 pasir peneluran adalah 1.156.823 m2 atau seluas 115,68 Ha dan total panjang perimeter adalah 35.518,37 m atau sepanjang 35,52 Km. 15 pasir peneluran diantaranya didapati adanya tutupan vegetasi dengan luas 416.128 m2 atau 41,6 Ha dan panjang perimeternya 12.778 m atau 12,78 Km. Didasarkan pada luasan pasir dan perimeter terdapat vegetasi dan tanpa vegetasi, maka kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi pada pasir peneluran di Sungai Vriendschap dapat dilihat pada Tabel I.4 dan I.5. Tabel I.4 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi di Sungai

Vriendschap berdasarkan luasan pasir

Uraian Nilai Kepadatan Uraian Nilai Kepadatan

Luas Total Pasir (Ha) 115.68

Pasir bervegetasi 115 2.76 Pasir tdk bervegetasi 17 0.23

Jejak

Keseluruhan 549 4.75 Jejak

Keseluruhan 549 4.75

(57)

Tabel I.5 Kepadatan sarang dan jejak Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap berdasarkan perimeter

Uraian Nilai Kepadatan Uraian Nilai Kepadatan

Panjang Total Perimeter (Km) 35.52

Pasir bervegetasi 115 9.00 Pasir tdk bervegetasi 17 0.75

Jejak

Keseluruhan 549 15.46 Jejak

Keseluruhan 549 15.46

Pasir bervegetasi 239 18.70 Pasir tdk bervegetasi 310 13.63

Pada habitat pasir peneluran, sebagian terdapat tutupan oleh vegetasi dan sebagian lagi bersih dari tutupan vegetasi. Dari 48 pasir peneluran yang terdata, 15 pasir peneluran (31.25%) diantaranya terdapat tutupan vegetasi sedangkan 33 pasir peneluran lainnya (68.75%) tidak tertutup oleh vegetasi dengan persentase luas tutupan vegetasi pada pasir peneluran berbeda-beda yaitu berkisar 0.2% sampai 49.05%. Sebaran pasir peneluran yang terdapat tutupan vegetasinya dapat dilihat pada Tabel I.6 dan perbandingan luasan pasir peneluran dengan luas tutupan vegetasi di sepanjang Sungai Vriendschap (termasuk rawa) dapat dilihat pada Gambar I.9.

Tabel I.6 Sebaran pasir peneluran Carettochelys insculpta yang terdapat tutupan vegetasi.

Uraian Wilayah

Bor (rawa)

Pasir 1 MB 3 MB 5 LT 6 MB 6 LT 7 LT 8 LT 9 LT

Luas Pasir (m2) 89285.88 51871.21 69771.77 14130.35 8267.93 10255.38 19491.86 12548.22

(58)

Gambar I.9 Sebaran luas pasir peneluran dan luas tutupan vegetasi pasir peneluran di sepanjang Sungai Vriendschap

3.2. Pembahasan

3.2.1. Sebaran Jejak Induk dan Sarang Peneluran Carettochelys insculpta

Didasarkan pada tingginya jumlah jejak dan sarang pada tiap wilayah peneluran di sungai Vriendschap, Gambar I.6 memperlihatkan pasir peneluran di wilayah Obokain paling dipilih oleh induk Labi-labi moncong babi untuk dijadikan tempat bersarang, sedangkan pasir peneluran pada wilayah Indama dan Sumo juga mempunyai potensi cukup baik untuk dijadikan tempat bersarang oleh induk Labi-labi moncong babi dimana terlihat jumlah jejak induk cukup tinggi. Pada pasir peneluran di wilayah Bor (rawa) dan Bor (sungai) terlihat mempunyai potensi yang kecil untuk dijadikan sarang peneluran yang ditandai dengan rendahnya jumlah jejak maupun sarang yang ditemukan.

(59)

penyu tempayan (Caretta caretta) di Pantai Atlantik, Florida mempunyai proporsi induk naik ke pasir dan keberhasilan membuat sarang lebih baik saat ada hujan dibanding malam-malam tanpa hujan. Godley et al. (2001) mendapati pula keberhasilan bersarang Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pulau Ascension, Selatan Atlantik, lebih baik di saat cuaca hujan, namun keduanya tidak mendapati korelasi yang signifikan antara keberhasilan bersarang dengan curah hujan. Penyebab keberhasilan peneluran Penyu Tempayan dan Penyu Hijau di saat hujan belum dapat dijelaskan oleh Pike (2008) dan Godley et al. (2001), tetapi keduanya mempunyai kesamaan dalam pendugaan proporsi induk naik ke pasir dan melakukan aktifitas bertelur mengacu pada isyarat lingkungan pada malam-malam dimana tekanan atau suhu udara meningkat atau lebih tinggi. Kamel dan Mrosovsky (2005) juga menyadari variasi lingkungan dapat menyebabkan perbedaan dalam pola persarangan pada Eretmochelys imbricata, tetapi mereka tidak menemukan korelasi antara penempatan sarang dengan kondisi cuaca di waktu malam.

(60)

pasir. Pada penyu, Pike (2008) mendapati penyu tempayan betina muncul menggunakan isyarat lingkungan untuk memandu perilaku bersarang, dan dapat menggunakan berbagai proses sensorik untuk menentukan kapan cuaca cocok untuk muncul dari laut dengan kondisi yang kondusif untuk bertelur.

Curah hujan dan hari hujan yang meningkat di wilayah Wamena (pegunungan) meningkatkan debit Sungai Baliem dan Sungai Seng yang berdampak langsung terhadap debit Sungai Vriendschap karena bagian hulu Sungai Vriendschap bertemu dengan kedua sungai tersebut. Peningkatan debit air sungai mengakibatkan pasir peneluran tertutup oleh air dan proses surutnya air sungai yang terjadi berangsur-angsur memungkinkan minimnya aktifitas peneluran. Gambaran tingginya curah hujan dan hari hujan tahun 2011 yang mempengaruhi aktifitas peneluran induk Labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap disajikan pada Tabel I.7 dan sebagai pembanding, disajikan pula curah hujan dan hari hujan tahun 2010.

(61)

jumlah hari hujan tahun 2010 sebanyak 18.8 hari. Didasarkan kriteria curah hujan bulanan maka rata-rata curah hujan bulanan pada rentang waktu bulan Agustus – November di tahun 2010 dan 2011 masuk dalam kategori sedang. Kriteria curah hujan bulanan terbagi atas empat kriteria yaitu :

1. 0 - 100 mm/bulan : rendah; 2. 101 – 300 mm/bulan : sedang; 3. 301 – 400 mm/bulan : tinggi; 4. > 400 mm/bulan : sangat tinggi.

Sifat hujan pada tahun 2010 di bulan September dan November masuk dalam kategori dibawah normal (46.5% dan 74.6%) sedangkan di bulan Agustus dan Oktober masuk dalam kategori normal (111.5% dan 94.0%). Pada tahun 2011, sifat hujan berbanding terbalik dengan sifat hujan tahun 2010 dimana sifat hujan di bulan September dan November masuk dalam kategori normal (96.1% dan 99.1%) sedangkan di bulan Agustus dan Oktober masuk dalam kategori dibawah normal (67.3% dan 75.4%).

Sifat hujan adalah perbandingan antara jumlah curah hujan yang terjadi selama satu bulan dengan nilai rata-rata atau normalnya pada bulan tersebut di suatu tempat. Kategori sifat hujan terbagi atas tiga kategori yaitu :

1. di atas Normal (A), jika perbandingan terhadap rata-ratanya lebih besar dari 115%;

2. Normal (N), jika perbandingan terhadap rata-ratanya antara 85%-115%; dan 3. Di bawah Normal (B), jika perbandingan terhadap rata-ratanya lebih kecil

dari 85%.

Jumlah sarang yang didapati terkonsentrasi lebih tinggi pada wilayah Obokain dibanding pada 4 (empat) wilayah lainnya menggambarkan kecenderungan bersarang C. insculpta yang mengelompok. Hasil perhitungan sebaran sarang berdasarkan metode ratio ragam (Tabel I.1) diperoleh nilai ragamnya (232.957) lebih tinggi dari nilai tengahnya (2.75). Dengan hipotesis jika didapatkan nilai ragam lebih besar dari nilai tengah, maka didapatkan pola

sebaran sarang C. insculpta adalah mengelompok. Pola sebaran yang

(62)

nilai indeks dispersi (84.712) lebih besar dari 1, nilai indeks clumping (83.712) lebih besar dari 0, dan nilai indeks green (0.639) juga lebih besar dari 0.

Tabel I.2 menunjukkan pola sebaran jejak induk C. insculpta di Sungai Vriendschap juga mengelompok seperti pola sebaran sarang pada Tabel I.1. Pola sebaran sarang dan jejak induk yang mengelompok ini diduga disebabkan oleh sifat eco-ethology (sosio-ekologi) dari kelompok kura-kura atau penyu pada umumnya dimana induk ingin kembali pada tempat dilahirkan dengan pergerakan menuju tempat peneluran secara bersama sambil melakukan interaksi sosial. Sebaran mengelompok terjadi ketika individu cenderung tertarik ke (atau lebih mungkin bertahan dalam) bagian tertentu dari lingkungan, atau ketika kehadiran satu individu menarik atau memunculkan individu lainnya mendekat ke lingkungan tersebut (Begon et al. 2006). Di antara gerakan yang paling mencolok pada amfibi dan reptil yang masih ada adalah migrasi penyu dari tempat menetas menuju tempat makan sebagai remaja dan bertahun-tahun kemudian kembali ke pantai peneluran sebagai penyu dewasa (Vitt dan Caldwell 2009). Sifat tersebut juga diperlihatkan oleh Wood Turtles (Glyptemys insculpta) yang menunjukkan keterkaitan erat dengan tempat kelahirannya, dimana 95% betina kembali pada sarang atau tempat yang sama selama dua tahun berturut-turut (Walde et al. 2007). Tingkah laku bersarang yang mengelompok ini di satu sisi menjadi salah satu faktor penentu bagi peletakan dan keberhasilan persarangan, sementara disisi lain dapat memudahkan hilangnya sarang akibat pemanenan oleh manusia dan rusaknya sarang akibat pemangsaan satwa lainnya seperti babi hutan (Sus sp) dan biawak (Varanus sp).

Rowe et al. (2005) menyebutkan bahwa lokasi penjelajahan dalam air tampaknya dipengaruhi pemilihan dan kesetiaan penempatan sarang oleh beberapa individu meskipun individu lain bersarang relatif jauh dari daerah jelajah air. Individu-individu dari banyak spesies bergerak secara bersama dari satu habitat ke habitat yang lain dan kembali lagi berulang kali selama hidup mereka dengan skala waktu yang terlibat mungkin dalam hitungan jam, hari, bulan atau tahun (Begon et al. 2006). Doody et al. (2003c) mendapati bahwa induk betina

(63)

lainnya. Lebih lanjut disampaikan bahwa dengan menggunakan informasi sosial yang terkumpul dari induk betina sebelumnya, dapat mempengaruhi jumlah naiknya induk ke pasir untuk menemukan tempat bersarang yang cocok. Kura-kura dan penyu menggunakan kombinasi sinyal visual dan kimia selama interaksi sosial dengan melibatkan kepala dan menampilkan pola dan warna pada anggota tubuh bagian depan, leher, dan kepala (Vitt dan Caldwell 2009). Informasi yang terkumpul tersebut mendasari induk melakukan pilihan (1) hanya muncul ke pasir yang diketahui induk betina lainnya telah membuat sarang, dan (2) menghindari pasir dimana induk betina lainnya hanya berhasil naik ke pasir namun tidak membuat sarang. Apabila didapati pada awal proses peneluran terdapat induk betina Labi-labi moncong babi yang terganggu dalam usahanya melakukan aktifitas bertelur (naik maupun bertelur) maka kelompok induk betina lainnya yang belum naik ke pasir berpindah mencari tempat (pasir) peneluran lainnya dan bertelur selama beberapa malam ditempat yang baru tersebut (Doody et al. 2003c).

Dua perilaku penting intra spesifik induk kura-kura yang berkumpul di air pada saat hendak naik ke pasir ditunjukkan pula oleh Doody et al. (2009) yaitu perilaku 1) saat 2 individu atau induk bertemu secara berhadapan maka mereka saling menghindar dengan cara saling memutari atau melingkari satu sama lain, dan 2) beberapa kura-kura lebih kecil (kemungkinan betina atau jantan remaja)

muncul dan menciumi pasir basah selama 1 – 3 menit kemudian kembali dengan

cepat ke air. Didasari tingkah laku induk betina dalam rangkaian proses peneluran, Doody et al. (2003c) menyatakan keberhasilan bersarang Labi-labi moncong babi tidak dapat dianggap sama untuk setiap tahunnya di setiap pasir peneluran, dimana pendataan harus dilakukan setiap tahun untuk menganalisa seberapa jauh pengaruh lokasi, pasir, dan tutupan vegetasi terhadap aktifitas peneluran.

Jarak sarang yang dibangun oleh induk dapat berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Perbandingan jarak sarang C. insculpta dari air di lokasi Sungai Vriendschap dengan beberapa beberapa sungai lainnya ditampilkan pada Tabel I.8.

Gambar

Gambar 1 Panjang Sungai Vriendschap dari hulu sampai muara
Gambar 3  Rentang jarak Agats dengan wilayah Sungai Vriendschap.
Gambar I.1 Lokasi penelitian sebaran Carettochelys insculpta di wilayah Sungai
Gambar I.5 dibawah ini.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan uji statistik, ternyata secara empirik terdapat pengaruh yang signifikan pembelajaran dengan menggunakan media gambar

Kasus disini adala ran$ dalam situasi menerima atau men8ari ,ertln$an.. F arena selama

Pada peternakan KJT, pola penurunan diare dan mortalitas anak babi lahir dari induk yang divaksinasi dengan vaksin ETEC dapat dilihat pada Gambar 4.. Penggunaan 2 dosis vaksin

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cindy dan Yenny (2013),Mutia (2014), dan Wilda (2015) yang juga meneliti tentang pengaruh

Jika dicermati lebih jauh menggunakan kategori lapangan usaha, Kategori L (Real Estat) dan G (Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor) merupakan

Karena luasnya cakupan wilayah pemasaran PEP Jawa Barat dan supaya penelitian lebih terarah dan terfokus pada tujuan penelitian, maka masalah dibatasi oleh perbandingan

Produksi, Peningkatan Kualitas, Peningkatan Nilai Tambah, Dukungan Sarana &amp; Prasarana, Kemitraan) dan 5) Integrasi antar Kawasan (Perluasan Areal (off season),

Walaupun menunjukkan arah koefisien yang positif seperti penelitian sebelumnya, akan tetapi hasil regresi atas sampel penelitian ini menjelaskan bahwa perilaku