• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

C. Kata penutup

BAB II

LAND ASAN TEORI

A. Pola Asuh Orangtua 1. Pengertian Pola Asuh

Pola berarti cara atau model (Poerwadarminta, 1982:763) Sedangkan asuh berarti menjaga, merawat dan mendidik anak kecil untuk dapat berdiri sendiri (Poerwadarminta, 1982:63). Jadi pola asuh berarti model merawat, mendidik, membantu dan melatih anak supaya dapat berdiri sendiri.

Pola asuh adalah merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orangtua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggungiawab kepada anak, dimana tanggung jawab untuk mendidik anak ini adalah merupakan tanggung jawab primer, karena anak adalah hasil dari buah kasih sayang yang diikat dalam tali perkawinan antara suami istri dalam suatu keluarga. Keluarga adalah satu elemen terkecil dalam masyarakat yang merupakan institusi sosial terpenting dan merupakan unit sosial yang utama melalui individu-individu disiapkan nilai-nilai hidup dan kebudayaan yang utama.

Mengutip pendapat Kohn dalam buku Chabib Toha (1996:110), pola asuh merupakan sikap orangtua dalam berhubungan dengan anaknya, sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain dari cara orangtua memberikan peraturan kepada anak, cara memberikan hadiah dan hukuman, cara orangtua menunjukkan otoritas dan cara orangtua memberikan pemahaman atau tanggapan terhadap keinginan anak. Dengan demikian, yang disebut dengan

16

pola asuh orangtua adalah bagaimana cara orangtua mendidik anak baik secara langsung maupun tidak langsung.

Cara mendidik secara langsung artinya bentuk-bentuk asuhan orangtua yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian, kecerdasan dan ketrampilan yang dilakukan secara sengaja baik berupa perintah, larangan, hukuman, penciptaan situasi maupun pemberian hadiah sebagai alat pendidikan dalam situasi seperti ini diharapkan muncul dari anak adalah efek instruksional yakni respon-respon anak terhadap aktifitas pendidikan itu.

Pendidikan secara tidak langsung adalah berupa contoh kehidupan sehari-hari baik tutur kata sampai alat kebiasaan dan pola hidup. Hubungan orangtua dengan keluarga, masyarakat, hubungan suami istri, semacam secara tidak sengaja telah membentuk situasi dewasa anak selalu bercermin terhadap kehidupan sehari-hari dari orangtuanya.

Pola asuh orangtua dalam membantu anak untuk mengembangkan disiplin diri ini adalah upaya orangtua yang diaktualisasikan terhadap penataan:

a. Lingkungan fisik

b. Lingkungan sosial internal dan eksternal c. Pendidikan internal dan eksternal

d. Dialog dengan anak-anaknya e. Suasana psikologis

f. Sosiobudaya

anak-17

anaknya

h. Kontrol terhadap perilaku anak-anak

i. Menentukan nilai-nilai moral sebagai dasar berperilaku dan diupayakan kepada anak-anak (Shochib, 1998:15).

Hampir tanpa terkecuali, para orangtua dapat digolongkan secara kasar dalam 3 kelompok yaitu: mereka yang menang, yang kalah dan yang menang- kalah. Para orangtua yang tergolong dalam kelompok pertama gigih mempertahankan dalam membenarkan hak mereka untuk menggunakan otoritas maupun kekuasaan atas anak. Mereka percaya perlunya mengekang, menentukan batas, menuntut tingkah laku sesuatu, memberi perintah, dan mengharapkan sikap taat. Kelompok orangtua kedua, yang berjumlah lebih sedikit daripada kelompok pertama, hampir selalu memberikan anak-anak mereka kebebasan. Mereka secara sadar menghindari pemberian batas-batas kepada anak mereka dengan bangga mengemukakan bahwa mereka bukan penganut metode otoriter. Kelompok terbesar dari para orangtua terdiri dari mereka yang beranggapan bahwa sulit mengikuti secara konsisten salah satu di antara kedua perdebatan tadi. Akibatnya, untuk mencoba sampai pada “perpaduan yang adil” dari masing-masing cara pendekatan itu, mereka bergerak hilir-mudik antara menjadi orangtua yang keras dan lemah, sulit mudah, membatasi dan membiarkan, menang dan kalah (Gordon, 1984:9-10). 2. Bentuk-bentuk Pola Asuh

a. Pola Asuh Otoriter

18

aturan-aturan yang ketat namun dituntut untuk mempunyai tanggungjawab, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orangtua), kebebasan untuk bertindak atas nama sendiri dibatasi sehingga anak tidak bisa mengembangkan segala potensi yang dimiliki termasuk kreativitasnya

. Anak jarang dijajak berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orangtua, orangtua menganggap bahwa semua sikapnya sudah benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak.

Pola asuh yang bersifat otoriter juga ditandai dengan penggunaan hukuman yang keras, lebih banyak menggunakan hukuman badan, anak juga diatur segala keperluan dengan aturan yang ketat dan masih tetap

diberlakukan meskipun menginjak usia dewasa (Thoha, 1994:111).

Sebagai akibat yang lebih jauh akan berpengaruh kepada sifat-sifat kepribadian anak, sehingga kemungkinan sifat anak dari keluarga otoriter ialah:

1) Kurang inisiatif 2) Gugup

3) Ragu-ragu

4) Suka membangkang

5) Menentang kewibawaan orangtua 6) Penakut

7) Penurut (Bamadib, 1976:126).

19

orangtua untuk menolong anak dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka, akan tetapi tidak boleh berlebih-lebihan dalam menolong sehingga anak tidak kehilangan kemampuan untuk berdiri sendiri nanti (Al Qussy, 1974:220). Lebih lanjut dikemukakan bahwa ada orangtua yang suka mencampuri urusan anak sampai masalah yang kecil-kecil, misalnya mengatur jadwal perbuatan anaknya, jam istirahat, cara membelanjakan uang, warna pakaian yang cocok, memilihkan teman- teman untuk bermain, macam sekolah yang harus dimiliki. Anak yang dibesarkan dalam suasana semacam ini akan besar dengan sifat yang ragu- ragu, lemah kepribadian dan tidak sanggup mengambil keputusan tentang apa saja (Al Qussy, 1974:225).

Anak dari orangtua otoriter menunjukkan ciri-ciri pasivitas (sikap menunggu) dan menyerahkan segala-galanya kepada pemimpin, makin berkurang ketidaktaatan, kurangnya inisiatif, tidak merencanakan sesuatu, daya tahan berkurang dan ciri-ciri takut-takut (Gerungan, 1991:189).

Kepribadian anak juga dipengaruhi negatif oleh disiplin yang terlalu keras. Anak yang di luar tampak diam, berperilaku baik dan tidak melawan sering memendam permusuhan mendalam yang membuatnya tidak bahagia dan curiga terhadap siapa saja yang berhubungan dengannya, terutama yang berkuasa,

b. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orangtua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu

20

tergantung kepada orangtua. Orangtua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggungjawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya (Thoha,

1996:111).

Sebagai akibat yang lebih jauh akan berpengaruh kepada sifat-sifat kepribadian anak dari keluarga yang demokratis antara lain:

1) Anak aktif di dalam hidupnya 2) Penuh inisiatif

3) Percaya kepada diri sendiri 4) Perasaan sosial

5) Penuh tanggung jawab

6) Menerima kritik dengan terbuka 7) Emosi lebih stabil

8) Mudah menyesuaikan diri (Bamadib, 1976:125).

Prof.Dr. Abdul Aziz Al Qussy mengatakan bahwa tidak semua orangtua harus mentolerir terhadap anak, dalam hal-hal tertentu orangtua perlu ikut campur tangan, misalnya:

1) Dalam keadaan yang membahayakan hidupnya atau keselamatan anak 2) Hal-hal yang terlarang bagi anak dan tidak tampak alasan-alasan yang

lahir

21

keruhnya suasana yang mengganggu ketenangan umum (Al Qussy, 1974:227).

Demikian pula kepada hal-hal yang sangat prinsip sifatnya mengenai pilihan agama, pilihan nilai hidup yang bersifat universal dan absolut, orangtua dapat memaksakan kehendaknya kepada anak karena anak belum memiliki wawasan yang cukup mengenai hal ini.

Kedisiplinan berasal dari kebebasan di rumah tampil dalam kerjasama yang baik, ketekunan yang lebih besar dalam menghadapi hambatan, pengendalian diri yang lebih baik, kreatifitas yang lebih besar dan sikap yang ramah terhadap orang lain.

Keluarga demokrasi memandang anak sebagai individu yang berkembang, anak ditempatkan di tempat yang semestinya, yang mempunyai kebebasan untuk berinisiatif dan aktif, anak dapat menghargai orang lain karena anak sudah biasa menghargai hak dan anggota keluarga di rumah.

c. Pola Asuh Permisif

Pola asuh permisif ditandai dengan cara orangtua mendidik anak secara bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa/muda. Ia diberi kelonggaran seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki, kontrol orangtua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi anaknya. Semua apa yang dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu mendapatkan teguran, arahan atau bimbingan (Thoha, 1996:112).

22

Orangtua yang memberikan kebebasan kepada anaknya, orangtua

-p

yang tidak memegang fungsi sebagai pimpinan yang mempunyai kewibawaan, suasana keluarga bebas bahkan boleh dikatakan agak 'liar' karena tidak adanya norma-norma yang harus dianut. Anak merasa tidak ada pegangan tertentu sehingga mereka bertindak sekehendaknya sendiri.

Keadaan yang demikian mempunyai pengaruh yang negatif terhadap perkembangan kepribadian anak. Anak tidak dapat mengenal tata tertib, tidak dapat mematuhi pimpinan, tidak dapat memimpin dan tidak dapat dipimpin. Anak tidak dapat menghargai orang lain sehingga anak selalu mementingkan diri-sendiri. Di dalam keluarga permisif ini maka sifat atau pribadi anak kemungkinan sebagai berikut:

1) Agresif

2) Menentang atau tidak dapat bekerjasama dengan orang lain 3) Emosi kurang stabil

4) Selalu berekspresi bebas

5) Selalu mengalami kegagalan karena tidak ada bimbingan (Bamadib, 1976:124).

Dengan sifat permisif ini anak cenderung menjadi bingung dan merasa tidak aman.

Secara umum, dalam pola asuh otoriter orangtua sangat menanamkan disiplin dan menuntut prestasi tinggi pada anaknya, hanya sayangnya orang tua tidak memberikan kesempatan pada anak untuk

23

mengungkapkan pendapat sekaligus menomorduakan kebutuhan anak. Dalam pola asuh permisif, orangtua bersikap demokratis dan penuh kasih sayang, namun kendali orangtua dan tuntutan prestasi terhadap anak rendah. Anak dibiarkan berbuat sesukanya tanpa beban kewajiban atau target apapun. Sementara itu pola demokratis muncul bila orangtua menerapkan kendali yang tinggi pada anak, orangtua menuntut prestasi yang tinggi tapi disertai sikap demokratis dan kasih sayang pula.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orangtua yang berpola asuh otoriter memiliki ciri-ciri cenderung memberikan perintah dan larangan, menerapkan disiplin yang kaku, mengharuskan anak untuk patuh dan tidak boleh membantah orangtua, anak tidak mempunyai hak untuk berpendapat, bila bersalah anak harus dihukum, orangtua merasa paling benar dan anak disalahkan. Orangtua yang berpola asuh permisif memiliki ciri-ciri tidak membimbing dan memonitor anak, tidak ada aturan yang digariskan oleh orangtua, anak bebas melakukan segala sesuatu, bila anak bersalah tidak diberi hukuman, bila anak berbuat baik atau memenuhi harapan orangtua tidak memberi hadiah dan tidak ada kehangatan dalam hubungan keluarga. Sedangkan orangtua yang menerapkan pola asuh demokratis memiliki ciri-ciri keputusan dan aturan di rumah dibuat bersama oleh orangtua dan anak, ada bimbingan dan kontrol dari orangtua kepada anak, bila melakukan kesalahan anak akan mendapat peringatan atau hukuman, dan bila anak berbuat baik akan mendapatkan pujian atau hadiah. Pelaksanaan peraturan dan disiplin

24

mempertimbangkan keadaan atau alasan dari anak yang dapat diterima oleh orangtua, hubungan keluarga sangat komunikatif dan hangat.

B. Kemandirian Belajar Siswa 1. Pengertian Kemandirian Belajar

Kemandirian dari kata 'mandiri' yang berarti berdiri sendiri dan tidak bergantung pada orang lain (Poerwadarminta, 1982:630). Orang yang mandiri berarti orang yang dapat menghargai dirinya sendiri dan percaya pada diri sendiri tanpa menggantungkan dirinya dengan orang lain. Bila seseorang telah memiliki sikap tersebut, hal itu merupakan langkah awal dari sikap mandiri.

Sedangkan kemandirian menurut pendapat beberapa ahli adalah sebagai berikut:

a. Prof. Dr. Azyumardi Azra mengatakan kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri yang diwujudkan dalam aspek kreativitas dan kemampuan mencipta (Rofiq, 2008:65).

b. Zakiyah Darajat menjelaskan kemandirian adalah kecenderungan anak untuk melakukan sesuatu yang diinginkan tanpa minta tolong kepada orang lain, biasanya anak dapat berdiri sendiri, lebih mampu memikul tanggung jawab dan pada umumnya mempunyai emosi yang stabil (Zakiyah Darajat, 1976:130).

c. Agung menyatakan bahwa sebuah kemandirian adalah pemahaman kita mengenai hal-hal yang membutuhkan dan hal-hal yang kita inginkan (Agung, 2005:59).

d. Chabib Thoha merumuskan bahwa kemandirian adalah perilaku yang

25

aktivitasnya diarahkan kepada diri sendiri tanpa mengharapkan pengarahan dari orang lain dalam pemecahan masalah yang kita inginkan (Chabib Thoha, 1996:121).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat penulis simpulkan bahwa kemandirian adalah perilaku yang aktivitasnya diarahkan kepada diri sendiri tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain yang diwujudkan dalam aspek- aspek kreativitas dan kemampuan menciptakan sesuatu.

Pengertian kemandirian yang penulis maksud di sini adalah suatu sikap yang menunjukkan bahwa seorang siswa tidak lagi bergantung kepada orang lain, ia bersusaha di mana siswa menentukan cara berfikimya sesuai dengan kemampuannya sendiri, sehingga dapat bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri dengan belajar.

2. Ciri-ciri Kemandirian Belajar

Mandiri merupakan proses kepada kemerdekaan dan kesejahteraan yang mana setiap orang ingin memiliki sikap mandiri dalam menjalani hidupnya. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menguraikan sifat-sifat yang merupakan ciri-ciri mandiri, yaitu:

a. Mampu berfikir aktif

Seorang yang mandiri selalu mempunyai keinginan, keberanian untuk menampilkan minat serta kebutuhan dan permasalahannya.

b. Mampu berpikir kreatif

Kreatif adalah kecenderungan seseorang untuk menciptakan dan merealisasikan sesuatu yang baru.

2 6

Adapun ciri-ciri orang yang kreatif antara lain:

1) Kemampuan kognitif, yaitu kemampuan melahirkan gagasan-gagasan baru yang berlainan

2) Sikap yang terbuka, yaitu mempersiapkan dirinya untuk menerima stimulus internal dan eksternal dan ia memiliki minat yang beraneka ragam

3) Sikap yang bebas, otonom dan percaya pada dirinya sendiri (Jalaludin Rachmad, 1982:12).

c. Bertanggung) awab terhadap kegiatan dan hasil kelompok

Seorang yang mandiri tidak akan lari dari tanggungjawab terhadap suatu kegiatan atau suatu hasil kelompok yang telah dilaksanakan.

d. Berusaha bekerja dengan penuh keyakinan dan disiplin

Ketekunan, keyakinan dan disiplin merupakan kunci dari kesuksesan. Hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Bagi anak (santri) kesuksesan merupakan hal yang sangat penting, karena dengan disiplin akan terbentuk sikap mematuhi segala aturan yang dibentuknya sendiri.

Kemudian ciri-ciri kemandirian yang dirumuskan oleh Prof. Dr. H. Hadari Nawawi (1993:341-372), adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui secara tepat cita-cita yang hendak dicapainya

Mengetahui secara tepat keinginan atau yang dikehendaki dalam menjalani dan menjalankan hidup dan kehidupan sebagai khalifah di bumi, akan menuntun pikiran, sikap dan tingkah laku manusia. Pribadi mandiri berdasarkan cita-citanya itu mengetahui secara tepat apa yang

27

diinginkan dan yang harus dikerjakan sehari-hari. Sejak bangun dari tidurnya dimalam hari, pribadi mandiri sudah mengetahui apa yang akan dikerjakannya disiang hari guna menunjang tercapainya cita-cita dalam kehidupan, tahu menyibukkan dirinya dengan melakukan kegiatan yang bermanfaat, untuk kebaikan hidupnya di dunia dan di akhirat kelak,

b. Percaya pada nasib dari Allah SWT tetapi memahami bahwa semua manusia diberikan kesempatan yang sama dalam berusaha untuk memperoleh nasib terbaik, sesuai cita-citanya

Dalam Al-Qur'an Surat Ar-Raad ayat 11 bahwasanya Allah SWT telah berfirman, yaitu:

Artinya: Nasib suatu kaum (termasuk individu) tidak akan berubah jika kaum (individu) tersebut tidak berusaha untuk merubah nasibnya (Depag, 2005 : 198)

Pada dasarnya tidak seorangpun manusia yang mengetahui nasibnya, besok atau kemudian hari.oleh karena itulah kepada semua manusia sebenarnya telah diberi peluang atau kesempatan yang sama untuk mencapai sukses material maupun spiritual,

c. Percaya diri, dapat dipercaya orang lain

Orang-orang yang mandiri merupakan orang yang menggunakan pikiran agar bekeija untuk dirinya, bukan sebaliknya melawan dirinya. Pada tahap pertama, pikiran harus digunakan untuk menumbuhkan kepercayaan pada diri sendiri, percaya bahwa diri sendiri sama baiknya dengan orang lain, sehingga yakin bahwa jika orang lain dapat melakukan

sesuatu kebaikan, maka diri sendiripun mampu melakukannya, baik untuk kepentingan hidup di dunia maupun di akhirat. Mempunyai percaya diri terdapat keyakinan yang kuat bahwa dirinya bisa mengerjakan sesuatu yang membawa dirinya pada sukses.

Adapun ciri-ciri orang yang percaya diri antara lain sebagai berikut: 1) Selalu bersikap tenang di dalam mengerjakan sesuatu

2) Mampu menyesuaikan diri dan berkomunikasi di berbagai situasi 3) Memiliki kemampuan bersosialisasi

4) Selalu bereaksi positif di dalam menghadapi berbagai masalah, misalnya dengan tetap tegar, sabar dan tabah dalam menghadapi persoalan hidup (Hakim, 2002:5).

Orang-orang beriman yang percaya diri sebagai bagian pribadi mandiri selalu mampu bersaing, namun mampu pula bekerjasama dengan orang lain. Percaya pada orang lain merupakan dasar bagi perwujudan kerjasama, karena menyadari bahwa pekerjaan besar selalu memerlukan bantuan orang lain, mengingat kodrat sebagai makhluk sosial. Keijasama atas dasar percaya pada orang lain, terutama sesama saudara umat Islam diyakininya akan membawa kebaikan,

d. Mengetahui bahwa sukses adalah kesempatan bukan hadiah

Orang-orang yang berkepribadian mandiri yang kreatif dan penuh inisiatif, mampu menciptakan kerja dan tidak menunggu-nunggu kerja. Orang-orang tersebut pandai menyibukkan diri dengan tidak

29

buang waktu hanya utnuk tidur atau tidur-tiduran belaka. Disiplin waktu dan disiplin kerjanya sangat tinggi.

Orang yang mandiri tahu dengan tepat cara mempergunakan waktu, kapan waktu harus belajar, bekeija dan santai. Penggunaan waktu tidak akan dibaliknya dengan bersantai di waktu harus belajar atau bekerja, sebaliknya juga tidak bekerja pada saat seharusnya santai dan istirahat. Dalam kondisi itu terwujudlah disiplin kerja pada seseorang dan berjalan terus tidak akan dipergunakan untuk merugikan dirinya, justru sebaliknya harus dijadikan kesempatan untuk mengejar sukses. Allah SWT berfirman di dalam Surat Al Ashr ayat 1 sampai 3:

I j U - p j O iO J l *5 j ( J )

j^ > - J i}

o i

0

! J J J (3>«J L) i jf r y O l j ) " j i ~ l l Artinya: Demi masa, sesungguhnya manusia itu berada dalam kerugian.

Kecuali orang-orang yang beriman, berbuat baik dan saling menasihati dengar> eraran dan kesabaran. (Depag, 2005 : 485)

Dengan demikian jelas pula bahwa orang-orang mandiri yang beriman mengetahui secara tepat kapan harus beribadah dan berbuat amal kebaikan, karena jika terlambat maka akan menjadi sia-sia. Oleh karena itu berarti orang-orang yang berkepribadian mandiri terdiri dari orang- orang yang bersedia dan mampu bekeija keras (termasuk belajar) bagi siswa dan mahasiswa.

e. Membekali dengan pengetahuan dan ketrampilan yang berguna untuk mencari nafkah dalam masyarakat modem

31

kehidupannya yang berada dalam kekuasaan dan pemeliharaan Allah SWT. Bersyukur diberi kehidupan karena merupakan kesempatan untuk melakukan segala sesuatu, terutama untuk menyembah Allah SWT dan untuk berbuat amal kebaikan semata-mata karena Allah SWT. Pada tahap berikutnya bersyukur terhadap pemberian wujud diri dengan perpaduan jasmani dan rohani, bagaimanapun kejadian atau keadaannya. Untuk itu seluruh pemberian itu patut digunakan untuk melakukan segala sesuatu yang diridhoi Allah SWT.

Dari uraian di atas berarti pribadi mandiri merupakan kemampuan mengendalikan atau memenej diri. Dengan kata lain, sukses tergantung pada bagaimana seseorang mengendalikan atau mengelola dirinya sendiri di tengah-tengah kehidupan masyarakat modem yang kondisinya semakin berat dan penuh tantangan. Setiap hari yang kita lewati diisi dengan sesuatu yang berkarya, sederhana apapun persaingan dalam segala segi kehidupan semakin ketat. Namun itu bukan berarti manusia harus pasrah, tetapi kita harus berusaha sekuat kemampuan yang kita miliki.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian Belajar

Suatu kemandirian yang timbul dari pribadi seseorang dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri anak dan faktor dari luar anak, yaitu:

a. Faktor dari dalam diri anak yaitu pembawaan (hereditas) yang melekat pada organisme dan citra diri (se lf concept) (Andi, 1982:67)

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1) Usia

Salah satu faktor yang menentukan sikap kemandirian dan berasal dari dalam diri anak yaitu faktor usia, karena dengan bertambahnya usia anak akan mendorong timbulnya kecenderungan untuk melepaskan diri dari orangtua dengan melihat fakta-fakta yang ada sesuai jenjang umur, seperti dikatakan Zakiyah Daradjat (1993:90):

Masa remaja awal adaalah masa perkembangan yang akan mencapai puncaknya pada umur antara 16-18 tahun. Perkembangan kecerdasan dapat dikatakan selesai. Oleh karena itu, mereka telah mampu mengkritik orangtuanya, guru dan para pemimpin yang menurut penilaian objektif kurang baik atau

tidak bijaksana.

Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila usia semakin bertambah maka bertambah pula kecakapan-kecakapan dan ketrampilan yang dimiliki, sehingga otomatis sikap kemandirian anak dapat bertambah semakin matang.

2) Motivasi

Motivasi merupakan tenaga penggerak bagi aktifitas belajar anak. Motivasi diartikan sebagai suatu dorongan yang berasal dari diri seseorang yang menyebabkan seseorang tersebut melakukan suatu perbuatan. Dengan motivasi yang kuat, anak mempunyai banyak tenaga yang mendorong untuk belajar mandiri sehingga kemandirian anak meningkat dan tumbuh secara maksimal. Sedangkan motivasi yang berasal dari orang lain merupakan sebagai pancingan saja.

33

Motivasi yang lemah akan menyebabkan anak sulit menjadi mandiri dan belajar akan mudah luntur.

3) Kepribadian

Kepribadian seorang anak seperti ketekunan, kemauan anak untuk bersaing, tidak mudah putus asa dan tidak takut gagal mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan anak untuk mandiri. Pribadi yang tangguh akan membuat anak memiliki semangat tinggi, rasa ingin tahu yang tinggi dan giat demi tercapai cita-citanya. Sebaliknya, pribadi yang lemah seperti kurang percaya

Dokumen terkait