• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL Keragaman Morfologi Pada Bawang Merah

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL Keragaman Morfologi Pada Bawang Merah

Hasil pengamatan morfologi menunjukkan bahwa terdapat keragaman morfologi pada 34 genotipe bawang merah koleksi PKHT yang diamati. Karakterisasi yang dilakukan menghasilkan 19 karakter yang beragam dari 24 karakter yang diamati. Keragaman morfologi yang dimaksud antara lain: umur panen, kemampuan berbunga, tinggi tanaman, warna daun, panjang daun, diameter daun, jumlah daun, tingkat kepatahan daun, bentuk umbi, bentuk ujung batang umbi, bentuk ujung akar umbi, warna daging umbi, warna kulit umbi, diameter umbi, posisi diameter maksimum umbi, bentuk leher umbi, tinggi umbi, jumlah siung umbi dan bobot umbi. Proporsi karakter hasil pengamatan morfologi disajikan pada Lampiran 2 dan deskripsi 34 genotipe bawang merah yang dianalisis dijelaskan pada Lampiran 3.

Umur panen genotipe bawang merah yang diamati berkisar antara 55 hari (varietas Batu Ijo) sampai 90 hari dan sebagian besar genotipe memiliki umur panen kategori sedang (60-90 hari). Tinggi tanaman yang didapatkan berkisar antara 23 cm (varietas Ilokos) sampai 51.67 cm (genotiep asal Bantaeng). Secara umum tanaman bawang merah mampu menghasilkan bunga, namun pada penelitian kali ini ditemukan 3 genotipe bawang merah yang tidak mampu menghasilkan bunga yaitu genotipe asal Bukittinggi, Kediri dan varietas Manjung (Gambar 2).

Morfologi daun pada 34 genotipe bawang merah yang diamati memiliki keragaman. Tingkat kepatahan daun pada bawang merah yang diamati bervariasi yaitu absent or weak, intermediet dan strong (Gambar 3). Warna daun yang ditemukan juga bervariasi yaitu hijau kekuningan, hijau muda dan hijau tua. Panjang daun yang ditemukan berkisar antara 21 cm (varietas Ilokos) sampai 49.50 cm (varietas Bangkok) dengan diameter daun berkisar antara 0.47 cm (varietas Trisula dan varietas Kuning) sampai 1 cm (varietas Bangkok) (Gambar 4). Jumlah daun yang ditemukan mulai dari 2 helai (Genotipe Solo 3) sampai 12 helai (varietas Tuk-tuk).

Gambar 2 Kemampuan berbunga. (A) tidak berbunga pada varietas Manjung; (B) berbunga pada genotipe asal Cirebon

Gambar 3 Variasi pada tingkat kepatahan daun. (A) Absent or weak pada varietas Sembrani; (B) Intermediet pada varietas Kuning; (C) Strong

pada genotipe asal Solo 3

Gambar 4 Variasi panjang daun. (A) pendek pada genotipe Solo 2; (B) sedang pada varietas Tuk-tuk; (C) panjang pada varietas Bangkok

Karakter morfologi umbi pada 34 genotipe bawang merah yang diamati memiliki keragaman. Bentuk umbi yang ditemukan bervariasi yaitu flat-globe,

rhomboid, broad-oval, globe dan broad-elliptic dan bentuk leher umbi bervariasi yaitu very narrow, narrow, medium dan broad (Gambar 5). Bentuk ujung batang umbi yang ditemukan yaitu flat, rounded, slightly-sloping dan strongly-sloping

sedangkan bentuk ujung akar umbi yang ditemukan yaitu depressed, flat, round,

V Sem V Kun BM SL3

A B C

BM SL2 V Tuk-Tuk V BGK

weakly-tapered dan strongly (Gambar 6 dan 7). Jumlah siung umbi yang ditemukan berkisar antara 2 siung (genotiep asal Tanduyung) sampai 27 siung (Genotipe asal Pekanbaru) (Gambar 8).

Posisi diameter maksimum umbi yang ditemukan beragam yaitu umbi dengan diameter maksimumnya pada daerah mendekati ujung batang, mendekati ujung akar dan pada bagian tengah (Gambar 9). Warna daging umbi yang ditemukan bervariasi yaitu merah keunguan, merah kecoklatan, merah muda, merah tua, ungu keputihan, ungu muda dan ungu tua sedangkan warna kulit umbi juga bervariasi yaitu merah muda, merah, merah tua, merah kecoklatan, merah keunguan, coklat kekuningan dan coklat tua (Gambar 10). Tinggi umbi yang ditemukan berkisar antara 0.97 cm (genotipe asal Vietnam 4) sampai 6.01 (varietas Bangkok). Bobot basah umbi tertinggi dimiliki oleh genotipe dari varietas Bangkok (57.56 g/rumpun) dan bobot basah umbi terendah dimiliki oleh genotipe varietas Kuning (2.33 g/rumpun). Diameter umbi yang diamati berkisar antara 1.51 cm (genotipe solo 7) sampai 7.54 cm (varietas Bangkok) (Gambar 11).

Gambar 5 Variasi bentuk umbi dan bentuk leher umbi (garis kuning). (A) Bentuk umbi flat-globe dan bentuk leher umbi broad pada varietas Sembrani; (B) Bentuk umbi rhomboid dan bentuk leher umbi narrow pada varietas Tuk-tuk; (C) Bentuk umbi broad-oval dan bentuk leher umbi

medium pada varietas Trisula; (D) Bentuk umbi globe dan bentuk leher umbi medium pada varietas Batu Ijo; (E) Bentuk umbi broad-elliptic dan bentuk leher umbi very narrow pada genotipe Solo 3

Gambar 6 Variasi bentuk ujung batang umbi. (A) flat pada varietas Sembrani; (B) strongly-sloping pada genotipe Solo 3; (C) slightly sloping pada varietas Batu Ijo; (D) rounded pada genotipe Vietnam 3

V Sem BM SL3 V BtIj BM VT3

A B C D

V Sem V TukTuk V TRS V BtIj BM SL3

Gambar 7 Variasi bentuk ujung akar umbi. (A) round pada varietas Batu Ijo; (B)

weakly-tapered pada genotipe Cirebon; (C) strongly pada genotipe solo 3; (D) flat pada varietas Sembarani; (E) depressed pada genotipe Bantaeng

Gambar 8 Variasi jumlah siung umbi. (A) sedikit (2-5 siung); (B) sedang (6-9 siung) ; (C) banyak (>10 siung)

Gambar 9 Variasi posisi diameter umbi. (A) mendekati ujung batang; (B) di bagian tengah; (C) mendekati ujung akar (tanda panah kuning)

Gambar 10 Variasi warna kulit umbi. (A) merah ; (B) merah keunguan; (C) merah kecoklatan; (D) merah tua; (E) coklat kekuningan

BM BTE V Sem V BtIj BM CRI BM SL3 A B C D E A B C A B C D E A B C

Kelompok I terdiri dari 27 genotipe yang memiliki kemiripan, 18 genotipe merupakan hasil eksplorasi dari berbagai daerah di Indonesia, 5 genotipe merupakan impor dari luar (Vietnam) dan 4 genotipe lainnya merupakan varietas yang telah dilepas oleh Kementan RI (varietas Brebes, Manjung, Kuning dan Trisula). Kelompok II terdiri dari 7 genotipe yang memiliki kemiripan yaitu varietas Bangkok (impor), varietas Batu Ijo, Sembrani, Ilokos, Tuk-tuk (varietas yang sudah dilepas oleh Kementan RI) dan 2 genotipe lainnya merupakan hasil eksplorasi PKHT (Kediri dan Cirebon).

Analisis PCA 34 genotipe bawang merah berdasarkan karakter morfologi menghasilkan dua kelompok utama (kelompok I dan II) dengan nilai keragaman kumulatif 41.55% (33.41% PC1 dan 8.14% PC2) (Gambar 13). Hasil pengelompokan dengan PCA mendukung dendrogram, namun terdapat sedikit perbedaan pada anggota kelompok antara PCA dengan dendogram. Pada PCA untuk varietas Ilokos termasuk kedalam kelompok I sedangkan pada dendrogram varietas Ilokos termasuk kedalam kelompok II. Kelompok I mengelompok karena memiliki jumlah siung umbi sedikit (1 sampai 4 siung), bentuk leher umbi medium, bobot umbi sedang (10 sampai 20 g per rumpun) dan diameter daun lebar (>0.9 cm). Sedangkan kelompok II berkelompok karena memiliki umur panen <60 hari, tinggi tanaman >30 cm dan bentuk ujung akar umbi round.

Gambar 13 Matrix plot hasil Principal Component Analysis berdasarkan ciri morfologi 34 genotipe bawang merah, terbentuk dua kelompok yaitu kelompok I dan II. V = Varietas yang sudah dilepas; BM = Koleksi PKHT

Keragaman Genetik Bawang Merah Berdasarkan Marka ISSR

Keragaman genetik 34 genotipe bawang merah berhasil digambarkan menggunakan 13 Primer ISSR. Primer PKBT dan ISSRred yang digunakan

berhasil mengamplifikasi DNA dari 34 genotipe bawang merah. Jumlah pita yang dihasilkan berkisar antara 6-16 pita dengan ukuran pita yang bervariasi mulai dari 250 sampai 2000 pb (pasang basa) (Tabel 6). Total jumlah pita yang teramati dan terdeteksi adalah 115 pita, dengan rata-rata jumlah pita per primer yaitu 8.85 atau 9 pita per primer.

Tabel 6 Profil pita hasil amplifikasi dari 34 genotipe bawang merah menggunakan primer ISSR

No. Primer Ukuran

pita (pb) Jumlah Pita Jumlah Pita Polimorfik Persentase Pita Polimorfik (%) 1 PKBT 2 250-1500 7 6 85.71 2 PKBT 4 250-1500 8 8 100.00 3 PKBT 6 250-2000 9 8 88.89 4 PKBT 7 250-1500 9 8 88.89 5 PKBT 9 250-1500 8 6 75.00 6 PKBT 11 250-1500 8 7 87.50 7 ISSRred 4 250-2000 16 15 93.75 8 ISSRred 7 250-1500 9 8 88.89 9 ISSRred 9 250-2500 12 12 100.00 10 ISSRred 10 250-1500 7 7 100.00 11 ISSRred 17 250-1000 6 5 83.33 12 ISSRred 20 250-1000 8 7 87.50 13 ISSRred 25 250-1500 8 6 75.00 Total Rata-rata 115 8.85 103 7.92 89.57 88.80

Gambar 14 Elektroforegram hasil amplifikasi Primer ISSRred 4 (CAG)6G sebagai representasi pita dengan persentase pita polimorfik tinggi. Genotipe (1) Solo 8, (2) Solo 9, (3) Varietas Trisula, (4) Bilitar, (5) Kediri, (6) Aceh, (7) Pekanbaru, (8) Solok, (9) Bukittinggi, (10) Varietas Brebes, (11) Varietas Batu Ijo, (12) Varietas Sembrani, (13) Varietas Bangkok, (14) Vietnam 1, (15) Vietnam 2, (16) Cirebon, (17) Bantaeng, (18) Tanduyung, (19) Solo 1, (20) Solo 3, (21) Solo 4 dan (22) Tungganamo.

Primer yang menghasilkan pola pita polimorfik paling banyak adalah primer ISSRred 4 (Gambar 14) dan ISSRred 9 yang mampu menghasilkan pita polimorfik masing-masing sebanyak 15 dan 12 pita, sedangkan pola pita 1kb 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1kb 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

250pb 2000pb

(Na), jumlah alel efektif (Ne), keragaman genetik (h), indeks informasi Shannon (I) dan persentase lokus polimorfik (PLP). Populasi yang dianalisis struktur genetika populasinya sebanyak 8 populasi, karena hanya 8 populasi yang memenuhi syarat untuk dianalisis dengan jumlah individu hidup paling banyak (N= 5 sampai 8 individu). Populasi lainnya memiliki jumlah individu yang sangat sedikit, sehingga tidak dianalisis struktur genetika populasinya. Struktur genetika populasi yang dihasilkan berdasarkan data ISSR menggunakan program GenAlex dapat dilihat pada Tabel 7.

Nilai keragaman genetik (h) 8 populasi bawang merah yang dikoleksi dari beberapa daerah di Indoneisa secara umum cukup tinggi. Jumlah alel yang diamati berkisar antara 1.43 sampai 1.58, jumlah alel efektif berkisar antara 1.41 sampai 1.53, nilai indeks informasi Shannon berkisar antara 0.37 sampai 0.44 dan nilai keragaman genetik berkisar antara 0.24 sampai 0.31. Persentase lokus polimorfik yang dihasilkan bervariasi berkisar antara 67.83% sampai 77.39% dengan nilai rata-rata persentase lokus polimorfik 72.72%. Populasi Solo memiliki nilai PLP tertinggi (77.39%) sedangkan populasi Solok memiliki nilai PLP terendah (67.83%). Nilai keragaman genetik (h), indeks informasi Shannon dan persentase lokus polimorfik pada populasi bawang merah asal Solo adalah tertinggi dan pada populasi bawang merah asal Solok adalah terendah dibandingkan populasi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa populasi Solok memiliki keragaman genetik terendah dan populasi Solo memiliki keragaman genetik tertinggi di antara populasi bawang merah lainnya.

Tabel 7 Struktur genetika populasi pada 8 populasi bawang merah di Indonesia

No. Populasi N Na Ne I h PLP (%)

1 Aceh 5 1.53 1.50 0.43 0.29 73.91

2 Solok 7 1.43 1.41 0.37 0.24 67.83 3 Pekanbaru 5 1.53 1.50 0.43 0.29 73.91 4 Var. Batu Ijo 8 1.48 1.48 0.41 0.28 72.17 5 Cirebon 5 1.50 1.48 0.41 0.28 71.30 6 Var. Brebes 5 1.54 1.53 0.44 0.30 73.91

7 Solo 8 1.58 1.49 0.44 0.31 77.39

8 Vietnam 5 1.50 1.48 0.41 0.28 71.30 Rata-rata 6 1.51 1.48 0.42 0.28 72.72 Keterangan: Var= Varietas; N= Jumlah individu; Na= Jumlah alel teramati; Ne= Jumlah alel

efektif; h= Keragaman genetik Nei; I= Nilai indeks informasi Shannon dan PLP= Presentase Lokus Polimorfik

PEMBAHASAN

Penelitian ini mengungkapkan adanya keragaman genetik bawang merah di Indonesia. Dendrogram berdasarkan marka morfologi dan molekuler (ISSR) menunjukkan nilai keragaman yang sama yaitu sebesar 27%, namun pola pengelompokkan (cluster) yang dihasilkan berbeda. Perbedaan pola pengelompokkan dikarenakan primer ISSR yang digunakan merupakan sekuen

bukan gen yang tidak mengekspresikan suatu karakter morfologi tertentu, sehingga kemungkinan untuk sama dengan marka morfologi sangat jauh. Keragaman morfologi ditunjukkan dengan adanya 19 karakter polimorfik pada pengamatan morfologi yang dilakukan. Keragaman morfologi bawang merah juga ditemukan pada 49 aksesi bawang merah asal Ethiopia, dimana terdapat variasi pada karakter tinggi tanaman, panjang daun, diameter umbi, bobot umbi dan umur panen (Degewione et al. 2011). Akter et al. (2015) juga melaporkan 11 genotipe bawang merah asal India memiliki variasi morfologi pada karakter umbi dan daun.

Keragaman dapat terjadi pada tingkat spesies yang disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan (Hartati dan Darsana 2015). Henry (1997) menyatakan bahwa penggunaan marka molekuler dalam analisis keragaman adalah untuk mendukung juga mengevaluasi hasil analisis marka morfologi karena marka molekuler bersifat lebih konsisten atau tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Jumlah pita DNA hasil amplifikasi yang dihasilkan cukup tinggi (115 pita) dimana semakin banyak pita yang dihasilkan oleh masing-masing primer menunjukkan bahwa sekuen pada primer tersebut tersebar melimpah dalam genom tanaman (Powell et al. 1996). Persentase pita polimorfik yang dihasilkan sedikit lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Khar et al. (2011) pada 46 aksesi bawang merah di India menggunakan 30 primer EST-SSR (53.3%) dan Mallor et al. (2014) pada 85 sampel bawang merah di Spanyol menggunakan 18 primer SSR (75%). Primer yang informatif dalam mengungkap keragaman genetik pada 34 genotipe bawang merah yang dianalisis diantaranya primer PKBT 4, ISSRred 4, ISSRred 9 dan ISSRred 10 karena menghasilkan persentase pita polimorfik paling tinggi (90-100%).

Nilai keragaman yang dihasilkan cukup rendah (< 50%) karena genotipe berasal dari spesies yang sama dan dibudidayakan secara vegetatif (umbi). Berdasarkan dendrogram yang dihasilkan marka morfologi koefisien kemiripan morfologi terendah (0.68) atau jarak genetik terjauh (0.32) dijumpai antara bawang merah varietas Tuk-tuk dengan genotipe asal Solok, sedangkan koefisien kemiripan morfologi tertinggi (0.95) atau jarak genetik terdekat (0.05) dijumpai antara genotipe bawang merah asal Solo 7 dengan Vietnam 5 (genotipe Vietnam generasi kedua). Sedangkan marka ISSR menghasilkan dendogram dengan koefisien kemiripan genetik terendah (0.62) atau jarak genetik terjauh (0.38) dijumpai antara bawang merah varietas Batu Ijo dengan genotiope Tanduyung, sedangkan koefisien kemiripan genetik tertinggi (0.89) atau jarak genetik terdekat (0.11) dijumpai antara genotipe bawang merah varietas Trisula dengan Tuk-tuk.

Analisis keragaman genetik bawang merah menggunakan marka morfologi dan molekuler menghasilkan nilai keragaman dan jarak genetik yang relatif sama, untuk itu dilakukan analisis lanjut dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Analisis PCA sangat mendukung dendrogram, dimana dapat menentukan marka mana yang lebih tepat menggambarkan keragaman genetik dan jarak genetik antara genotipe bawang merah yang dianalisis. Analisis PCA menghasilkan nilai keragaman yang lebih tinggi dari dendrogram. Nilai keragaman kumulatif yang dihasilkan yaitu sebesar 41.55% untuk marka morfologi dan 44.68% untuk marka molekuler. Marka molekuler menghasilkan nilai keragaman kumulatif lebih tinggi dibandingkan marka morfologi, untuk itu hasil analisis PCA marka molekuler lebih tepat digunakan

sebagai dasar untuk menentukan genotipe tetua yang akan digunakan untuk proses pemuliaan bawang merah. Berdasarkan analisis PCA marka molekuler, bawang merah varietas Bangkok dan Sembrani yang memiliki diameter umbi terbesar dapat disilangkan dengan bawang merah asal Pekanbaru dan Nganjuk, karena memiliki jarak genetik yang cukup jauh. Persilangan antar genotipe tersebut diharapkan akan menghasilkan genotipe bawang merah yang memiliki sifat unggul dari kedua genotipe tetuanya.

Analisis PCA juga dapat digunakan untuk mengetahui pola pengelompokan dan karakter utama yang menentukan pengelompokan tersebut. Pengelompokkan 34 genotipe bawang merah yang dianalisis baik menggunakan marka morfologi maupun molekuler (ISSR) terlihat tidak berhubungan dengan asal geografi genotipe tersebut, namun berkelompok menjadi satu kelompok yang sama walaupun berasal dari geografi yang berbeda. Hasil penelitian ini sesuai dengan Arifin et al. (2000) yang melaporkan 65 aksesi bawang merah asal Indonesia dan Jepang menggunakan 12 primer RAPD menghasilkan dua kelompok utama yang pengelompokkannya tidak berdasarkan asal geografi aksesi bawang merah tersebut.

Keragaman morfologi dan genetik pada genotipe bawang merah yang diamati diduga merupakan hasil proses budidaya dalam waktu lama dengan kondisi lingkungan beragam. Selain itu diduga dipengaruhi oleh distribusi perdagangan, terlihat dari pola pengelompokan yang tidak behubungan dengan letak geografi atau daerah asal genotipe tersebut. Bawang merah yang dikoleksi dari pulau Sumatera (Aceh, Solok, Bukittinggi dan Pekanbaru) berkelompok dengan bawang merah asal pulau Jawa (Blitar, Solo, Tungganamo, Sumbawa, Kediri, Nganjuk, Yogja dan Brebes) juga pulau Sulawesi (Bantaeng). Hal ini terjadi karena petani bawang merah di pulau Sumatera selain menggunakan bibit lokal juga menggunakan bibit yang berasal dari luar. Petani Aceh selain menggunkan bibit dari lokal Aceh juga menggunkan bibit dari Sumatera Utara untuk memenuhi kebutuhan bibit. Sementara itu, petani di Sumatera Utara bibitnya diperoleh dari Jawa Tengah sehingga terdapat kemiripan antara bawang merah asal Aceh dengan bawang merah asal Jawa Tengah (Solo). Bawang merah asal Bantaeng (Sulawesi Selatan) memiliki kemiripan morfologi dengan bawang merah asal Tungganamo dan Sumbawa (Nusa Tenggara), hal ini terjadi karena bawang merah hasil produksi Nusa Tenggara dipasarkan ke wilayah Sulawesi Selatan (Arsanti 2013; BPS 2015b).

Keragaman genetik suatu individu dalam suatu populasi mewariskan sifat dari tetuanya. Faktor yang menyebabkan keragaman tersebut dapat karena perkawinan secara acak. Faktor lain yang dapat menyebabkan keragaman yaitu mutasi pada lokus berukuran besar dimana efek mutasi sulit dibedakan secara konvensional. Dua alel dikatakan identik hanya jika kedua alel tersebut tidak mengalami mutasi pada pewarisan generasi selanjutnya, namun pada faktanya hasil analisis genetik memiliki frekuensi alel yang beragam (Riupassa 2016). Jika faktor genetik muncul sebagai interaksi gen, maka suatu ciri morfologi yang berbeda dapat muncul pada suatu spesies sebagai karakter kasat mata yang mungkin dapat menjadi potensi plasma nutfah yang terpendam

Jumlah alel (Na) adalah jumlah alel aktual yang dapat diamati dalam suatu populasi. Nilai Na diperoleh dengan menghitung alel yang muncul sedangkan jumlah alel efektif (Ne) merupakan pendugaan variabilitas alel yang muncul

dalam suatu populasi. Nilai keragaman genetik (h) dan persentase lokus polimorfik (PLP) yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Baldwin et al. (2012). Baldwin et al. (2012) melaporkan 24 populasi bawang merah di Afrika Barat memiliki nilai h = 0.19-0.49 dan PLP = 20-83% menggunakan marka SSR. Nilai persentase lokus polimorfik (PLP) yang dihasilkan >50% (77.39%) sehingga dapat disimpulkan bahwa primer ISSR yang digunakan pada penelitian ini sangat informatif dan layak digunakan untuk mengungkap keragaman genetik bawang merah di Indonesia. Analisis struktur genetika 8 populasi bawang merah yang diamati menunjukkan bahwa populasi Solo memiliki keragaman genetik tertinggi dan populasi Solok memiliki keragaman genetik terendah (Tabel 7).

Keragaman morfologi dan genetik merupakan modal awal dalam proses pemuliaan tanaman (Surahman et al. 2009). Variasi morfologi yang dihasilkan dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam proses perakitan varietas unggul bawang merah Indonesia. Genotipe bawang merah yang dikategorikan unggul diantaranya memiliki diameter umbi besar dan jumlah siung umbi banyak sehingga menghasilkan bobot umbi dan produktivitas panen yang tinggi. Azmi et al. (2011) mengkategorikan bawang merah dengan diameter umbi >1.7 cm termasuk dalam kategori mutu I dan bawang merah dengan diameter umbi <1.3 cm termasuk dalam kategori II. Hampir semua genotipe bawang merah yang diamati pada penelitian ini termasuk dalam kategori mutu I yang disenangi oleh konsumen dan petani kecuali genotipe solo 7 dan varietas Kuning (1.51 cm dan 1.56 cm).

Genotipe yang memiliki diameter umbi besar (>3 cm) diantaranya varietas Bangkok, Batu Ijo, Ilokos, Sembrani dan Tuk-Tuk, serta genotipe asal Cirebon, Kediri, Solo 6, Tungganamo, Vietnam 3 dan Vietnam 4, dengan diameter terbesar dimiliki oleh varietas Bangkok (7.54 cm) dan Sembrani (4.99 cm). Genotipe yang menghasilkan jumlah siung umbi banyak (>10 siung/rumpun) diantaranya genotipe asal Aceh, Blitar, Nganjuk, Solok, Pekanbaru, Sumbawa, Solo (1, 2, 3, 6, 7 dan 8) dan Vietnam (2, 3, 4 dan 5), serta varietas Kuning dan Manjung, dengan jumlah siung terbanyak dihasilkan oleh genotipe asal Pekanbaru (27 siung/rumpun) dan Nganjuk (20 siung/rumpun). Genotipe-genotipe potensial tersebut diharapkan dapat menjadi bahan dasar dalam perakitan varietas unggul bawang merah Indonesia nantinya.

KESIMPULAN

Marka morfologi menghasilkan 19 karakter informatif dengan koefisien kemiripan berkisar antara 0.68-0.95. Marka ISSR menghasilkan 103 pita DNA polimorfik dari 13 primer dengan koefisien kemiripan berkisar antara 0.62-0.89. Tingkat keragaman genetik yang dihasilkan kedua marka yaitu sebesar 27%. Pola pengelompokkan yang dihasilkan kedua marka tidak berhubungan dengan asal geografi genotipe.

Populasi bawang merah Indonesia memiliki keragaman genetik yang cukup berdasarkan nilai struktur genetika populasinya. Populasi bawang merah asal Solo memiliki keragaman genetik tertinggi (I= 0.44, h= 0.31 dan PLP= 77.39%). Sedangkan populasi bawang merah asal Solok memiliki keragaman genetik terendah (I= 0.37, h= 0.24 dan PLP= 67.83%).

Genotipe bawang merah potensial diantaranya: varietas Bangkok (diameter umbi terbesar) dan genotipe asal Pekanbaru (jumlah siung umbi terbanyak). Varietas Bangkok dan Sembrani dapat disilangkan dengan genotipe asal Pekanbaru dan Nganjuk karena memiliki jarak genetik cukup jauh. Genotipe tersebut dapat dijadikan genotipe tetua dalam merakit varietas unggul bawang merah Indonesia.

Dokumen terkait