• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

D. Bagi Hasil

1. Definisi bagi hasil

Bagi hasil menurut terminologi asing (Inggris) dikenal dengan profit and sharing. Profit and Sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definitif profit sharing diartikan: “distribusi beberapa bagian dari

laba pada para pegawai dari suatu perusahaan”. Lebih lanjut dikatakan, bahwa

hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun sebelum-sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan.22

Bagi hasil adalah bentuk return dari kontrak investasi, dari waktu ke waktu, tidak pasti dan tidak tetap. Besar kecilnya perolehan kembali itu bergantung pada hasil usaha yang benar-benar terjadi. Dengan demikian,

21

Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 135

22

32

dapat dikatakan bahwa system bagi hasil merupakan salah satu praktik perbankan syariah.23

Bank islam tidak dapat sekedar menyalurkan uang. Bank islam harus terus berupaya meningkatkan kembalian atau return of investment sehingga lebih menarik dan lebih memberi kepercayaan bagi pemilik dana.24

2. Sistem Bagi Hasil Vs Sistem Bunga

Sebagai alternatif sistem bunga dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam menawarkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing) ketika pemilik modal (surplus spending unit) bekerja sama dengan pengusaha (deficit spending unit) untuk melakukan kegiatan usaha. Apabila kegiatan usaha menghasilkan sebuah keuntungan maka keuntungan yang didapat dibagi dua, dan apabila kegiatan usahanya mengalami kerugian maka kerugian tersebut menjadi tanggung jawab debitur.

Sistem bagi hasil menjamin adanya keadilan dan tidak ada pihak yang terekploitasi (didzolimi). Sistem bagi hasil dapat berbentuk musyarakah dan mudharabah dengan berbagi variasinya.25

Saat ini lembaga keuangan syariah, baik Bank Umum dan Syariah, Bank Konvensional yang mempunyai cabang syariah, Bank Perkreditan

Rakyat Syariah (BPRS), dan Baitul Māl Tamwil (BMT) di Indonesia, dalam

melakukan distribusi hasil usaha antara shāhibul māl (deposan) dengan

23

Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, cet.III, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 191.

24

Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Cet. 2, (Jakarta:Kencana, 2005), h.41

25

bagi hasil (revenue sharing) belum ada yang mempergunakan metode pembagian laba (profit sharing).26

Uni-unit Syariah (UUS) Saat ini adalah perwujudan dari peranakan Bank-Bank Konvensional, dan melakukan bagi hasil dengan konsep mudharabah atau revenue sharing bukan semata-mata mencari keuntungan saja.

3. Nisbah Keuntungan

Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua belah pihak yang bermudharabah. Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-mal mendapatkan imbalan atas penyertaan modalnya. Nisbah keuntungan inilah yang akan mencegah terjadinya perselisihan antara kedua belah pihak mengenai cara pembagian keuntungan.

Nisbah keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk prosentase antara kedua belah pihak, bukan dinyatakan dalam nilai nominal tertentu. Jadi nisbah keuntungan itu misalnya adalah 50:50, 70:30, atau 60:40, atau bahkan 99:1.27

26

Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syariah, (Jakarta: PT. Grasindo, 2005), h. 120.

27

Adiwarman A. Karim, Bank Islam (Analisis Fiqih dan Keuangan), Ed.3-4, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), h. 206-207

34

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Nisbah Bagi Hasil a. Faktor Langsung

Diantara faktor-faktor langsung (direct factors) yang mempengaruhi perhitungan bagi hasil adalah investment rate, jumlah dana yang tersedia dan nisbah bagi hasil (profit sharing ratio).

1) Investment rate, merupakan persentase aktual dana yang diinvestasikan dari total dana. Jika bank menentukan investment rate sebesar 80%, hal ini berarti 20% dari total dana yang dialokasikan untuk memenuhi likuiditas.

2) Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu metode: a) Rata-rata saldo minimum bulanan

b) Rata-rata total saldo harian 3) Nisbah (profit sharing ratio)

a) Salah satu ciri mudhārabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan disetujui pada awal perjanjian.

b) Nisbah antara satu bank dengan bank lainnya dapat berbeda.

c) Nisbah juga dapat berbeda dari segi waktu ke waktu dalam satu bank misalnya deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan. d) Nisbah juga dapat berbeda antara satu account dengan account

1) Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudhārabah

a) Bank dan nasabah melakukan share dalam pendapatan dan biaya (profit and sharing). Pendapatan yang dibagihasilkan merupakan pendapatan diterima dikurangi biaya-biaya.

b) Jika semua biaya ditanggung bank, maka hal ini disebut revenue sharing.

2) Kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting), bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang diterapkan, terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.28 c. Kode Etik Pembagian Hasil Keuntungan

Ada sejumlah kode etik dalam sistem pembagian keuntungan dalam usaha berbasis penanaman modal ini diringkas sebagai berikut:

1) Keuntungan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung oleh pemilik modal saja.

Pembagian keuntungan antara kedua belah pihak yang terlibat usaha penanaman modal itu adalah berdasarkan kesepakatan mereka berdua, namun hanya pemilik modal saja yang menanggung kerugian. Pengelola modal hanya mengalami kerugian kehilangan tenaga. Alasannya, karena kerugian itu ungkapan yang menunjukkan berkurangnya modal, dan itu adalah persoalan pemilik modal, pengelola tidak memiliki kekuasaan

28Muhammad Syafi’I Antonio, Bank syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h. 237-238.

36

dalam hal itu, sehingga kekurangan modal hanya ditanggung oleh pemilik modal saja, tidak oleh pihal lain.

2) Keuntungan dijadikan cadangan modal.

Artinya, pengelola tidak berhak menerima keuntungan sebelum ia menyerahkan kembali modal yang ada, karena keuntungan itu adalah kelebihan dari modal.

3) Pengelola tidak boleh mengambil keuntungan sebelum masa pembagian. Alasan tidak dibolehkannya pengelola modal mengambil bagiannya dari keuntungan kecuali setelah masa pembagian. Bisa jadi terjadinya kerugian setelah itu, sehingga keuntungan itu digunakan untuk menutupinya, sebagaimana telah dijelaskan fungsi keuntungan itu sebagai cadangan modal. Sehingga bukan hanya dengan pembagian saja hak masing-masing dari kedua belah pihak terjaga. Pemilik modal adalah mitra usaha pengelola, sehingga tidak ada hak baginya untuk mengambil bagian keuntungannya tanpa izin dari mitra usahanya itu atau tanpa kehadirannya. 4) Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak

sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut.29

29

Abdullah al-Mushlih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Cet. 1, (Jakarta: Darul Haq, 2004), h. 177-178.

37

GAMBARAN UMUM BMT AL FATH IKMI PAMULANG

A. Sejarah Singkat BMT AL Fath IKMI

BMT AL FATH IKMI berdiri pada tahun 1996 (13 Oktober 1996), sebagai koperasi primer dengan anggota awal 25 orang badan pendiri dengan modal awal Rp 400.000,- per sendiri dan kini bertambah menjadi 36 anggota badan pendiri. Ide pendirian BMT AL FATH IKMI bermula dari para pengurus IKMI (Ikatan Masjid Indonesia) yang tergabung dalam kegiatan ta’lim. Gagasan untuk

mendirikan sebuah lembaga keuangan mikro syariah didasari oleh idealisme yang kuat untuk turut andil dalam membantu saudara-saudara kita yang bergerak dibidang usaha, tetapi sulit untuk berkembang, banyaknya praktek rentenir, sistem ekonomi liberal yang melahirkan kaum kapitalis sehingga distribusi pendapatan tidak merata. Disamping itu keinginan mengembangkan pola dakwah yang selama ini lebih banyak dibidang dakwah bil lisan, dicoba dibarengi dengan dakwah bilhal sehingga harapan besar dimasa mendatang sistem ekonomi Islam dapat diterapkan di bumi Indonesia.

Pada tahun 1998, BMT AL FATH IKMI resmi mendaftarkan diri pada departemen koperasi untuk mendapatkan badan hukum. Maka BMT AL FATH IKMI mendapatkan legal hukum dengan Nomor: 650/BH/kwk.10/VI/1998

38

Pada tahun 2005, berdasarkan hasil kesepakatan RAT tahun 2004, BMT AL FATH IKMI mengajukan perubahan badan hukum, maka lahirlah akte perubahan dengan Nomor: 518/BH/PAD/koperasi/2005 dengan nama Koperasi BMT AL

FATH IKMI”.

B. Landasan Hukum

Landasan hukum BMT AL FATH IKMI sebagai koperasi primer adalah:

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1995 tentang pelaksanaan kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi.

3. Keputusan Menteri Koperasi dan PPK Republik Indonesia Nomor 650/KEP/KWK.10/VI/1998

Dokumen terkait