• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Mudharabah

1. Pengertian Mudharabah

Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang populer dalam produk perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal)

4

Budi Rahmwardana, “Efektifitas Modal Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (Studi Kasus

Kartu Shar-E PT. Bank Muamalat Indonesia),” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h.27

perjanjian pembagian keuntungan.5

Mudharabah dapat dilakukan secara terbuka maupun secara terbatas. Dalam mudhrabah terbuka, kerjasama tidak dibatasi oleh waktu, tempat, jenis usaha, jenis industri, pasar, customer, supplier, dsb. Apabila ada satu saja pembatas, maka mudharabah demikian disebut sebagai mudharabah terbatas. Dalam hal mudharabah dilakukan secara terbatas, maka mudharib harus mematuhi batasan-batasan yang disepakatinya dengan Shahibul Maal.

Mudharib dapat membebankan biaya-biaya yang langsung terkait dengan usaha yang di-mudharabahkan sebagai beban account mudharabah. Persentase pembagian keuntungan di sepakati didepan antara Mudharib dan Shahibul Mal. Apabila terjadi kerugian, maka kerugian ini terlebih dahulu akan mengurangi cadangan keuntungan sebelumnya (kalau ada), setelah itu kerugian ini menjadi pengurang modal yang disetor oleh Shahibul Maal. Pada umumnya, Mudharib menanggung kerugian dari sisi waktu dan usaha (tanpa memperoleh hasil). Tanggung jawab Shahibul Maal dalam akad Mudharabah terbatas pada modal yang disetornya dan tidak lebih dari ini.6

5 Ahmad Rodoni, Investasi Syariah, Cet.1, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h.35.

6

Muhammad Iqbal, Dinar Solution (Dinar Sebagai Solusi), Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani, 2008), h. 84.

18

2. Landasan Hukum Mudharabah

Akad seperti ini dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dan seorang ahli dalam memutar uang.7 a. Berikut dalil-dalil Al-Quran yang berkenaan dengan mudharabah :

1) Firman Allah QS. Al-Muzzammil [73]:20:

ها ضف م غت ي رأا يف برضي رخأ

...

)

مز ا

:

(

Sebagian dari mereka orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS.73:20)

Ayat tersebut menerangkan bahwasannya mereka bepergian meninggalkan tempat tinggalnya untuk mencari sebagian karunia Allah baik keuntungan perniagaan atau memperoleh ilmu. Aka tetapi yang kita bahas ini adalah mengenai konsep mudharabah dalam mencari keuntungan.8

2) Firman Allah QS. Al-Jumuah [62]:10:

ها ضف م ا غتبا رأا يف ا رشت اف ا ا تيضق ا إف

ح فت م ع اريثك ها ا رك ا

)

ع ا

:

(

Apabila telah selesai solat, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi (untuk menjalankan urusan masing-masing) dan carilah karunia Allah.” (Qs.62:10)

7

Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Islam, jilid 4, (Jakarta:Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1196.

8

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, Volume 14, (Jakarta:Lentera Hati, 2002), h. 537

yakni dikumandangkan adzan oleh siapapun untuk sholat pada Zuhur hari Jumat, maka bersegeralah kuatkan tekad dan langkah, jangan bermalas-malasan apalagi mengabaikannya, untuk menuju dzikrullah menghadiri shalat dan khutbah Jumat, dan tinggalkanlah jual beli yakni segala macam interaksi dalam bentuk dan kepentingan apapun bahkan semua yang dapat mengurangi perhatian terhadap upacara Jumat. Demikian itulah yakni menghadiri acara Jumat, yang baik buat kamu, jika kamu mengetahui kebaikannya pastilah kamu mengindahkan perintah ini.

Untuk mengindahkan kesan bahwa perintah ini adalah sehari penuh, sebagaimana yang diwajibkan kepada orang-orang yahudi pada hari Sabtu, ayat diatas melanjutkan dengan menegaskan: Lalu apabila telah ditunaikan shalat, maka jika kamu mau, maka bertebarlah di muka bumi untuk tujuan apapun yang dibenarkan Allah, karena karunia Allah sangat banyak dan tidak mungkin kamu dapat mengambil seluruhnya, dan ingatlah Allah banyak-banyak jangan sampai kesungguhan kamu mencari karunia-nya itu melengahkan kamu. Berdzikirlah dari saat ke saat dan disetiap tempat dengan hati atau

20

bersama lidah kamu supaya kamu beruntung memperoleh apa yang kamu dambakan.9

3) Firman Allah QS. Al-Baqarah [2]: 198:

م ِبر م اضف ا غت ت أ ا ج م ي ع سي

...

)

رق ا

:

(

Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk mencari karunia Tuhanmu.” (QS. 2:198).

Ayat ini menerangkan bahwasannya kita sebagai umat Islam Dianjurkan mencarikan anugerah (keuntungan) dari Allah berupa rizki dari perniagaan dan usaha halal lainnya.10

b. Berikut hadits-hadits yang berkaitan dengan mudharabah : 1) Hadits Nabi Riwayat Abu Dawud

اخ ا إف حاص ا حأ ي م ام ي يرَش ا ث اث ا ا قي ها ِ إ

ا يب م تجرخ

)

ا بأ ا ر

(

“Sesungguhnya Allah SWT berfirman, “Aku adalah pihak ketiga (yang akan melindungi) dua orang yang melakukan perseroan selama salah seorang di antara mereka tidak mengkhianati temannya. Apabila salah seorang di antara mereka telah mengkhianati temannya maka aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Dawud).

9

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, Volume 14, (Jakarta:Lentera Hati, 2002), h. 230

10

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, Volume 1, (Jakarta:Lentera Hati, 2002), h. 436

untuk membangun kepercayaan antara rekan kerja. Kita bisa mengetahui bahwa Allah SWT akan memberkahi orang yang bekerjasama ketika keduanya saling percaya tidak ada kebohongan atau berkhianat atas kesepakatan yang telah disetujui oleh keduanya. Hal ini menunjukkan kecintaan Allah SWT kepada hamba-hambanya yang melakukan kerjasama selama saling menjunjung tinggi amanat kerjasama dan menjauhi pengkhiatan.

Dalam kerjasama bagi hasil harus jujur sebagaimana kita ketahui bahwasannya kerjasama dalam bisnis Rasulullah SAW dilandasi oleh dua pokok yaitu kepribadian yang amanah dan terpercaya, serta keahlian yang memadai.11

3. Rukun dan Syarat Mudharabah

Ulama Hanafiah mengemukakan bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul. Sedangkan menurut jumhur ada tiga, yaitu: orang yang berakad (1) Shahibul Mal dan Mudharib, (2) obyek akad yaitu Modal, Pekerjaan, dan keuntungan, dan (3) Shighat (Ijab qabul).

Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang dikemukakan jumhur ulama di atas adalah:

11

Ilfi Nurdiana, Hadits-Hadits Ekonomi, Cet 1 (Malang: UIN-MALANG PRESS, 2008), h. 149

22

a. Yang terkait dengan orang yang melakukan akad, harus orang yang cakap hukum, cakap diangkat sebagai wakil, karena pada satu sisi posisi orang yang akan mengelola modal adalah wakil dari pemilik modal. Itu sebabnya, syarat-syarat seorang wakil juga berlaku bagi pengelola modal dalam akad mudharabah.

b. Yang terkait dengan modal, disyaratkan seperti: berbentuk uang, jelas jumlahnya, tunai, dan diserahkan sepenuhnya kepada pedagang/pengelola modal. Oleh sebab itu, jika modal berbentuk barang, menurut mayoritas ulama tidak dibolehkan, karena sulit untuk menentukan keuntungan yang cenderung menimbulkan gharar. Ulama Hanafiah, Hambaliah, Ibnu Abi laila dan Al-Auza’i berpendapat bahwa diperbolehkan modal itu berupa

apapun yang dapat dinilai dan dapat diperhitungkan dengan uang. Nilai itulah yang dihitung sebagai modal. Demikian juga halnya dengan piutang, tidak boleh dijadikan modal mudharabah. Akan tetapi, jika modal itu berupa wadi’ah (titipan) pemilik modal kepada pedagang, boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila modal itu tetap dipegang sebagiannya oleh pemilik modal dalam artian tidak diserahkan seluruhnya,

menurut ulama Hanafiah, Malikiyah, dan Syafi’iyah, akad mudharabah

tidak sah. Akan tetapi, ulama Hanabilah menyatakan boleh saja sebagian modal itu berada di tangan pemilik modal, asal tidak menggangu kelancaran usaha itu. Di sini pendapat Jumhur kiranya lebih tepat dijadikan pegangan sebab mudharabah itu sendiri adalah akad

sebelumnya telah diketahui oleh shahibul mal, selain itu lebih memberikan kemudahan dan kebebasan bagi mudharib dalam mengalokasikan dana dalam investasi. Akan tetapi sekiranya shahibul maal belum sepenuhnya mengetahui kredibilitas mudharib dapat saja pendapat Hanabilah dijadikan pegangan misalnya pemberian modal secara bertahap selama hal tidak menggangu kelancaran bisnis.

c. Yang terkait dengan keuntungan, disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus jelas dan porsi masing-masing diambilkan dari keuntungan dagang itu, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat. Apabila pembagian keuntungan tidak jelas maka menurut ulama Hanafiah, akad itu fasid (rusak). Pembagian keuntungan tidak boleh berupa nominal tertentu atau prosentase dari modal.

d. Yang terkait dengan ijab qabul, harus diucapkan oleh kedua pihak guna menunjukkan kemauan mereka untuk melaksanakan kontrak. Shighat harus sesuai dengan hal-hal berikut: Secara eksplisit dan implisit menunjukkan tujuan kontrak, Shighat dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat yang diajukan penawaran atau salah satu pihak meninggalkan tempat berlangsungnya negoisasi tersebut, sebelum kontrak disempurnakan.12

12

Ah. Azharuddin Lathif, Fiqih Muamalat (Prinsip Dasar Transaksi Bisnis Dalam Islam), Cet. 1 (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 135-137

24

4. Jenis-Jenis Al Mudharabah

Secara umum Mudharabah terbagi kepada dua jenis, yaitu: a. Mudharabah Muthlaqah

Yang dimaksud dengan transaksi mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salaf ash-shalih seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib yang memberi kekuasaan sangat besar.

b. Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis dunia usaha.13

5. Keunggulan Sistem Mudharabah

Salah satu keistimewaan dari sistem mudharabah adalah pada peran ganda dari mudharib, yakni sebagai wakil (agen) sekaligus mitra. Mudharib adalah wakil dari rabb al-mal dalam setiap transaksi yang ia lakukan pada harta mudharabah. Mudharib kemudian menjadi mitra dari rabb al-mal ketika ada

13Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta: Tazkia Institute, 1999), h. 137

dan seorang wakil tidak berhak mendapatkan keuntungan atas dasar kerja dia setelah munculnya keuntungan. Tetapi ia menjadi seorang mitra dalam situasi ini disebabkan oleh perjanjian kemitraan.

Ada beberapa manfaat sekaligus menjadi keunggulan dari konsep mudharabah yang diterapkan dalam bank yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah:

a. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.

b. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap. Tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.

c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.

d. Bank akan lebih selektif dan prudent “hati-hati” mencari usaha yang

benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.

e. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan tetap menagih penerima

26

pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.14 6. Kerugian dan Berakhirnya Akad Mudharabah

Kerugian dalam mudharabah adalah ketidakmampuan mudharib dalam membayar cicilan pokok senilai pembiayaan yang telah diterimanya atau jumlah seluruh cicilan lebih kecil dari pembiayaan yang telah diterimanya. Kerugian ditanggung oleh pemilik modal, kecuali akibat:

a. Nasabah melanggar syarat yang telah disepakati b. Nasabah lalai dalam menjalankan modalnya;15

Pemilik modal tidak boleh mensyaratkan kepada mudharib untuk menanggung kerugian yang akan terjadi, karena ia adalah orang yang mendapatkan amanah (amin) sedangkan orang yang mendapatkan amanah tidak menanggung atas suatu kerugian. Dan apabila terjadi kesepakatan yang demikian, maka akad mudharabah menjadi rusak (fasid) karena menyalahi aturan dalam qiradh.16

Akad mudharabah dinyatakan berakhir atau batal dalam hal sebagai berikut:

14

Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General): Konsep dan Sistem Operasional, Cet. 1 (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.337

15

Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 74.

16

Ash-Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani, Penerjemah: A. Syakur, Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 2004), h. 98.

bertindak hukum terhadap modal yang diberikan, atau pemilik modal menarik modalnya.

b. Salah seorang yang berakad meninggal dunia.

c. Salah seorang yang berakad gila, karena orang gila tidak cakap lagi bertindak hukum.

d. Pemilik modal murtad (keluar dari agama islam), menurut Imam Abu Hanifah, akad mudharabah batal. 17

e. Modal habis di tangan pemilik modal sebelum dikelola oleh mudharib.

Dokumen terkait