• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji lapang penggunaaan pupuk pasir dengan humat dilakukan di Kebun Kelapa Sawit PT. Biccon Agro Makmur, Muaro Jambi, Jambi. Kegiatan penelitian berlangsung dari bulan April sampai Mei tahun 2012. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah pupuk pasir setelah perlakuan dengan bahan humat kemudian pupuk tersebut diaplikasikan pada lahan gambut. Tanaman yang digunakan yaitu tanaman kelapa sawit yang berumur 2 tahun tetapi umur tanaman kontrol lebih tua sekitar dua bulan dari tanaman dengan perlakuan pupuk pasir dengan bahan humat. Metode uji lapang yaitu dengan menabur pupuk pasir setelah perlakuan dengan bahan humat di piringan tanaman kelapa sawit dengan dosis 1 kilogram untuk satu pokok tanaman dan dilakukan sebanyak 17 tanaman kelapa sawit. Sebelum dan setelah perlakuan dengan pupuk pasir hasil perlakuan dengan bahan humat (P), dilakukan analisis pada tanaman sebanyak 5 sampel yaitu sampel P3, P6, P7, P10 dan P11. Untuk tanaman kontrol (K) juga dilakukan analisis tanaman sebanyak 5 sampel yaitu sampel K3, K6, K7, K10 dan K11.

Pengamatan daun pelepah pertama pada tanaman kontrol (K) dan tanaman dengan perlakuan pupuk pasir dengan humat (P) dapat dilihat pada Gambar 6. Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa daun dengan perlakuan pupuk (P) memiliki daun yang lebih hijau jika dibandingkan dengan daun tanaman kontrol (K). Gambar ini berarti pemberian pupuk pasir dengan bahan humat (P) dapat mempengaruhi warna daun tanaman menjadi daun yang lebih hijau jika dibandingkan dengan tanaman kontrol (K).

Gambar 5. Pengamatan daun pelepah pertama tanaman kontrol (K) dan tanaman perlakuan pupuk pasir dengan bahan humat (P).

Hasil analisis setelah penambahan pupuk pasir dengan bahan humat disajikan pada Tabel 2. Tabel tersebut menunjukkan bahwa tanaman dengan perlakuan pasir dengan bahan humat memiliki nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol yang dapat dilihat dari nilai Kadar Abu, N-Total, P, Basa-basa, Unsur Mikro, dan Boron. Nilai bobot tanaman setelah perlakuan dengan pupuk pasir dengan bahan humat memiliki nilai yang lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai tanaman kontrol. Hal ini dikarenakan umur tanaman kontrol lebih tua dibandingkan umur tanaman dengan perlakuan pupuk pasir humat.

Tabel 2. Perbandingan hasil analisis tanaman kontrol dan tanaman dengan perlakuan pupuk pasir yang telah diperlakukan dengan bahan humat.

Kontrol Perlakuan Bobot Tanaman (g) 6,08 4,26 Kadar Air (%) 8,82 9,06 Kadar Abu (%) 4,57 5,62 N-Total (%) 2,77 3,29 P (%) 0,18 0,25 Basa-basa (%) K 1,17 1,36 Na 0,33 0,42 Ca 0,35 0,54 Mg 0,36 0,35 Unsur Mikro (ppm) Fe 113,24 144,44 Mn 37,36 39,62 Cu 22,14 26,26 Zn 18,64 22,24 B (ppm) 8,84 24,12

Hasil analisis memperlihatkan bahwa kandungan basa-basa pada tanaman perlakuan pupuk pasir dengan bahan humat memiliki kadar lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol yang dapat dilihat dari unsur K, Na dan Ca. Sedangkan untuk unsur Mg pada perlakuan pasir dengan bahan humat tidak mengalami perubahan karena pupuk pasir dengan humat memiliki kandungan unsur Mg yang sangat kecil. Dari Tabel 2 dapat dilihat juga bahwa kandungan unsur mikro dari perlakuan pupuk pasir dengan bahan humat memliki kadar lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari tingginya unsur Fe, Mn, Cu dan Zn jika dibandingkan dengan kontrol.

22

Dari hasil analisis uji lapang dapat disimpulkan bahwa pemberian pupuk pasir yang telah diperlakukan dengan bahan humat dapat meningkatkan serapan hara pada tanaman kelapa sawit.

Senyawa Humat. Thesis. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Birkeland, P.W. 1974. Pedology, Weathering and Geomorphological Research. Oxford University Press. Oxford.

Brownlow, A. H. 1979. Geochmestry. Prentice- Hall, Inc. Englewood Cliffs. New Jersey.

Corbett, G. J and Leach TM. 1996. Structure, alteration and mineralization.

Exploration Workshop. 41-74.

Francioso, O., D. Montecchio, V. Tugnoli, Z. Sanchez-Cortes and C. Gessa. 2003. Quantitative estimation of peat, brown coal and lignite humic acids using chmical parameters, 1H-NMR and DTA analyses. Bioresource Technology. 88: 189-195.

Holmes, A. 1964. Principle of Physical Geology. Nelson’s Australian Paperbacks. Australia.

Hurlbut, C. S and C. Klein. 1977. Manual of Mineralogy. John Wiley and Sons, Inc.

Irwanti, I. 1999. Peranan Urea dan Amonium Sulfat dalam Mempercepat Pelepasan Ca, Mg, K, Cu dan Zn dari Mineral-Mineral pada Pasir Cimangkok dan Ciapus. Skripsi. Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Karr, M. 2001. Oxidized Lignites and Extracs from Oxidized Lignites in Agriculture. ARCPACS Cert. Prof. Soil. Sci.

Lawson, G. J And D. Stewart. 1989. Coal Humid Acids. hlm 641-685. In: M.H.B. hayes (Eds). Humic Substances II. John Wiley & Sons Ltd.

Loughnan, F. C. 1969. Chemical Weathering of the Silicate Minerals. American Elsevier Publishing. New York.

Lowe, D. L. 1986. Controls on the rates of weathering and clay minerals in airfall tephras: a review and new New Zealand case study. In: SM Colman and DP Detheir (Eds). Rates of Chemical Weathering of Rocks and Minerals. Hlm 265-330. Academic Press. Orlando. FL.

Mato, M. C., R. Fabregas, and J. Mendez. 1971. Inhibition of soil humic acids on indoleacetic acid oxidase. Soil Biol Biochem 3: 285-288.

24

Mato, M. C., M. G. Olmedo, and I. Mendez. 1972. Inhibition of indoleacetic acid oxidase by soil humic acids fractionated in Sephadex. Soil Biol Biochem 4: 469-473.

Piccolo, A., G. Celano, and G. Pietramellara. 1993. Effects of fractions of coal-derived humic subtances on seed germination and growth of seedlings (Lactuca sativa and Lycopersicon esculentum). Biology and fertility of soil. 16 (1): 11-15.

Putnis, A. 1992. Introduction to Mineral Sciences. Cambridge University Press.

Poeloengan, L. Y. 1980. Kesuburan Alami Latosol Nanggung dan Ciampea. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sembiring, S. F. 2006. Low rank coal business opportunity of Indonesian. Asia

Pasific Symposium of Low Rank Coal. Bandung.

psdg.bgl.esdm.go.id/makalah/BS-simon-minerbapabum.pdf

Tan, K. H. 2003. Humic Matter in Soil and the Enviroment. Marcel Dekker, Inc. New York.

Travis, R. B. 1955. Classification of rock. Quaterly of the Corolado School of Mines. 50 (1): 98

Zavodska, L and J. Lesny. 2006. Recent development in lignite investigation.

26

a b c

Gambar Lampiran 1. Porses penggilingan pasir Andesitik Basaltik

a b

Gambar Lampiran 2. Proses inkubasi pasir yang sudah digiling dengan bahan humat

Tabel Lampiran 1. Pengukuran panjang dan lebar daun pelepah ke-9 pada tanaman kontrol (K) Kode

Minggu 0 Minggu 2 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8 Rataan

Panjang (cm) Lebar (cm) Panjang (cm) Lebar (cm) Panjang (cm) Lebar (cm) Panjang (cm) Lebar (cm) Panjang (cm) Lebar (cm) Panjang (cm) Lebar (cm) K1 53 3,6 53 3,7 53,5 3,9 54 4 53,5 3,9 53,4 3,82 K2 51 3 51 3,1 54 3,4 54 3,4 55,5 3,4 53,1 3,26 K3 47 3,5 47,5 3,5 54,5 3,4 55 3,4 65 3,6 53,8 3,48 K4 68 3,6 68.5 3,6 68 3,5 68 3,7 71,5 3,7 68,875 3,62 K5 45 3,4 45 3,6 52 3,5 52 3,5 61,5 3,5 51,1 3,5 K6 45 3,2 45 3,2 50 3,4 50 3,5 58 3,5 49,6 3,36 K7 50 3,5 50 3,5 52,5 3,2 53 3,2 53 3,4 51,7 3,36 K8 46 3,2 47 3,2 58 3,4 58,5 3,4 53,5 3,4 52,6 3,32 K9 65 4,2 65 4,3 67 3,7 67 3,7 68,5 3,8 66,5 3,94 K10 54 2,8 55 2,9 56,5 3,4 56,5 3,4 61,5 3,4 56,7 3,18 K11 62 4,4 62 4,4 60 4,2 60,5 4,2 67,5 4,2 62,4 4,28 K12 52,5 3,6 53 3,6 55 3,4 55 3,4 55 3,3 54,1 3,46 K13 46 3,2 47 3,3 47 3,8 47 4,1 41,5 3,4 45,7 3,56 K14 57 3,3 57 3,4 65,5 3,2 65,5 3,2 60 3 61 3,22 K15 52,5 3 53 3 52 3,1 52,5 3,1 54 3,1 52,8 3,06 K16 55,5 3,7 56 3,7 59 3,8 59,5 3,9 60 3,7 58 3,76 K17 59 3,8 59,5 3,8 64,5 3,5 64,5 3,8 66,5 3,7 62,8 3,72 Rataan 53,44 3,47 52,88 3,52 57,00 3,52 57,21 3,58 59,18 3,53 55,94 3,52 2 7

28

Tabel Lampiran 2. Pengukuran panjang dan lebar daun pelepah ke-9 pada tanaman setelah pemberian pupuk pasir dengan perlakuan bahan humat (P)

Kode

Minggu 0 Minggu 2 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8 Rataan

Panjang (cm) Lebar (cm) Panjang (cm) Lebar (cm) Panjang (cm) Lebar (cm) Panjang (cm) Lebar (cm) Panjang (cm) Lebar (cm) Panjang (cm) Lebar (cm) P1 53,5 3,3 54,5 3,3 58,5 3,3 58,5 3,4 60 3,5 57 3,36 P2 52 3,5 52 3,5 47 3,2 48 3,5 44 3,2 48,6 3,38 P3 41 3 41 3 38 3 38 3 44 3,1 40,4 3,02 P4 56 3,3 57 3,3 51 3,5 51,5 3,5 58 3,4 54,7 3,4 P5 47 3,4 47,5 3,4 42 3,1 42,5 3,1 55 3,1 46,8 3,22 P6 48 3,2 49 3,3 53,5 3,4 53,5 3,4 53,5 3,3 51,5 3,32 P7 49 3,5 49 3,6 54,5 3,8 55,5 3,8 54 3,6 52,4 3,66 P8 46 3,7 47 3,7 48,5 3,7 49 3,7 52 3,7 48,5 3,7 P9 48 3,9 49 3,9 52 3,6 52 3,6 52 3,6 50,6 3,72 P10 48 3,8 49 3,9 44 3,6 44 3,7 47 3,6 46,4 3,72 P11 43 3,4 44 3,4 51 3,2 51 3,3 49 3,5 47,6 3,36 P12 54 3,4 54 3,5 51 3,7 51 3,8 56,5 3,3 53,3 3,54 P13 66,5 3,4 67 3,4 38 3,3 38 3,3 31 3,3 48,1 3,34 P14 60,5 3,6 61 3,6 58 3,5 58,5 3,6 64 3,4 60,4 3,54 P15 56 3,4 57 3,4 49,5 3,5 49,5 3,6 56,5 3,7 53,7 3,52 P16 53,5 3,5 54,5 3,5 58 3,6 58 3,8 53 3,7 55,4 3,62 P17 58 4 59 4,1 41.5 3,8 42 3,8 50 3,9 52,25 3,92 Rataan 51,76 3,49 52,44 3,52 49,66 3,46 49,44 3,52 51,74 3,46 51,01 3,49 2 8

Pengembangan pertanian yang pesat menyebabkan hampir semua lahan berbahan induk volkanik yang relatif subur sudah digunakan. Pilihan pengembangan lahan berikutnya jatuh kepada lahan-lahan berbahan induk tua seperti Podsolik di Sumatera dan Kalimantan, yang umumnya memiliki kesuburan alami yang kurang baik, karena kandungan bahan mineral mudah lapuk seperti Olivin, Augit, Hyperstene, Feldspar yang sangat rendah. Usaha untuk meningkatkan kualitas kesuburan tanah miskin tersebut telah lama dipikirkan oleh para ahli tanah antara lain dengan memberikan tepung batuan ke dalam tanah untuk meniru apa yang terjadi pada saat abu gunung api tersebar pada lahan-lahan pertanian di Jawa.

Berbagai usaha untuk meningkatkan kecepatan pelepasan unsur hara dari tepung batuan yang diberikan kepada tanah telah dilakukan, sebagai contoh usaha penghancuran batuan menjadi ukuran yang lebih kecil, demikian pula dengan reaksi kimia seperti mengasamkan batuan. Semua hasil tersebut masih belum menunjukkan pelepasan unsur hara yang cukup nyata untuk diaplikasikan (Poeloengan, 1980). Adapula yang mereaksikannya dengan urea di mana terlihat peningkatan pelepasan unsur hara, akan tetapi masih sulit diaplikasikan (Irwanti, 1999).

Salah satu kemungkinan untuk peningkatan pelepasan unsur hara dari mineral adalah dengan mereaksikannya dengan bahan humat pada pH alkalis sehingga senyawa silika mineral akan lebih mudah larut dan pula diharapkan sebagian unsur-unsur akan dikhelat sehingga menjadi tersedia. Ahmad (2011), menunjukkan bahwa pemberian bahan humat pada batuan beku dalam dapat meningkatkan kelarutan unsur hara pada mineral dan juga memperlihatkan bagaimana proses pelapukan tersebut terjadi. Batuan beku dalam memiliki kristal yang besar dan umumnya sangat keras dibandingkan dengan batuan beku luar seperti pada pasir Andesitik yang banyak dijumpai dan lebih mudah hancur secara fisik dibandingkan batuan beku dalam, oleh karenanya penggunaan batuan beku

2

luar diperkirakan lebih mudah melepaskan unsur hara pada perlakuan batuan tersebut dengan bahan humat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari peranan senyawa humat dalam pelepasan unsur-unsur dari batuan (ukuran pasir) Andesitik-Basaltik dan sekaligus untuk memahami proses-proses yang terjadi.

Batuan yang terdapat di permukaan bumi sangat bervariasi jenis dan kepadatannya. Batuan beku merupakan penyusun utama kerak bumi, tetapi batuan sedimen merupakan penyusun permukaan bumi yang paling luas penyebarannya secara horisontal. Penyebaran batuan metamorf tidak seluas batuan beku dan sedimen kerena batuan ini terbentuk jauh di bawah permukaan bumi dan hanya berhubungan dengan proses tektovulkanisme. Batuan terjadi dalam kondisi berbagai pembentukan. Lingkungan pembentukan batuan dipengaruhi oleh pH, komposisi magma asal (batuan beku), komposisi batuan asal (sedimen dan metamorf), temperatur pembentukan, proses dekomposisi (rekristalisasi, lithifikasi), tekanan dan waktu. Pembentukan dan penyebarannya di permukaan bumi memerlukan berbagai proses geologi. Batuan beku memerlukan proses tektovulkanisme, batuan sedimen proses sedimentasi dan tektonik, batuan metamorf proses pembebanan dan tektonik. Tekstur dan komposisi mineral batuan beku pada suatu daerah, dapat sama dan dapat berbeda, tergantung dari temperatur, larutan kimia (fluida), konsentrasi, komposisi host rock dan waktu pembentukannya (Browne, 1991 dalam Corbett dan Leach 1996).

Batuan Beku

Batuan beku (igneous rock) adalah batuan yang terbentuk dari hasil pembekuan magma pada temperatur 600oC – 1500oC. Menurut Travis (1955), berdasarkan sifat kimia dan komposisi mineralnya, batuan beku dibagi atas:

1. Batuan beku ultra basa; dengan kandungan mineral: Olivin dan Ca-Plagioklas. Memberikan warna yang gelap. Contoh batuannya Peridotit. 2. Batuan beku basa; dengan kandungan mineral: Ca-Plagioklas, Piroksin.

Memberikan warna yang gelap. Contoh batuannya: Gabro dan Basalt. 3. Batuan beku intermediet; dengan kandungan mineral: Biotit, Ca – Na

Plagioklas, Hornblende/Amfibol. Contoh batuannya: Diorit dan Andesit. 4. Batuan beku masam; dengan kandungan mineral: Kuarsa, K – Feldspar.

4

Berdasarkan tempat terbentuknya batuan beku dibagi atas:

1. Batuan beku luar/ekstrusif/eruptif (vulcanic rocks), memiliki tekstur holohialin.

2. Batuan beku korok/gang (hypabysal rocks), memiliki tekstur hipokristalin. 3. Batuan beku dalam/intrusif (plutonic rocks), memiliki tekstur

holokristalin.

Tingkat pelapukan batuan beku dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan pembentukan dengan iklim (suhu) kepadatannya. Semakin berbeda lingkungan pembentukannya dengan lingkungan sekarang, akan semakin mudah lapuk. Batuan beku yang bertekstur holohialin lebih mudah melapuk dibanding yang bersifat hipokristalin dan holokristalin.

Sistematika Mineral pada Batuan

Mineral-mineral penyusun batuan memiliki kesamaan fisik dan sifat fisik, sehingga memungkinkan dilakukan penggolongan. Penggolongan mineral ke dalam suatu sistematika dikemukakan oleh Berzellius berdasarkan kelompok anion dan kation yang sama dalam kelompok besar yang disebut kelas. Klasifikasi mineral berdasarkan kelas atau golongan terdiri dari golongan unsur, golongan oksida, golongan hidroksida, golongan sulfida, golongan halida, golongan karbonat, golongan sulfat, golongan fosfat dan golongan silikat. (Tan, 2003).

Golongan Karbonat

Mineral golongan karbonat dicirikan oleh kompleks anion CO32-. Mineral karbonat yang penting dibagi atas tiga grup yaitu grup Kalsit, Aragonit dan dolomit. Pada grup Kalsit, setiap atom O akan terikat pada dua atom Ca dan setiap atom Ca akan terikat pada delapan atom O (Hurlbut and Klein, 1977). Kelarutan mineral Kalsit bervariasi tergantung pada tekanan CO2 dan konsentrasi H+ dalam larutan (Krauskopf, 1967 dalam Birkeland, 1974). Peningkatan tekanan CO2 dan konsentrasi ion H+ akan meningkatkan laju peruraian Kalsit dan Aragonit serta (CaMg)(CO3)2 dari golongan Dolomit. Kalsium karbonat (CaCO3) berada dalam bentuk (a) partikel dan fragmen yang berbeda dari bahan organik atau inorganik, (b) material mikrokristalin yang terbentuk dari lumpur karbonat, (c) pengendapan

oleh proses inorganik yang tersementasi secara kasar atau halus (Brownlow, 1979).

Golongan Silikat

Silika merupakan penyusun utama kerak bumi (Holmes, 1964). Kombinasi silika dengan unsur lain membentuk golongan silikat. Mineral golongan silikat dikelompokkan berdasarkan perbandingan unsur silikon dan oksigen. Mineral silikat terbagi dua jenis, yaitu silikat primer dan mineral silikat sekunder (Loughnan, 1969). Mineral silikat primer adalah mineral silikat yang terbentuk dari hasil pembekuan magma, contohnya grup mineral Piroksin, sedangkan mineral silikat sekunder terbentuk dari hasil pelapukan batuan atau dari hasil ubahan mineral primer, contohnya grup mineral liat (clay).

Menurut Loughnan (1969) dalam struktur silikat, oksigen merupakan anion yang paling penting. Ikatan antara kation dan oksigen meningkat sesuai dengan jarak radius kation dan oksigen maka ikatan mineralnya akan semakin kuat.

Mineral silikat didominasi oleh unsur Si, Al dan O ditambah unsur-unsur lain seperti K, Na, Ca, Mg, Fe. Unsur Si dengan angka koordinasi empat akan berikatan dengan oksigen membentuk kisi tetrahedra SiO4. Kisi tetrahedra di dalam mineral akan membentuk rantai tetrahedra melalui penggunaan secara bersama atom oksigen pada sudut-sudutnya. Berdasarkan susunan SiO4 di dalam struktur mineral, dikenal enam tipe silikat (Tan, 2003), yaitu:

1. Siklosilikat: lingkar tertutup atau lingkar ganda dari tetrahedra (SiO3, Si2O5). Struktur kelompok ini dicirikan oleh lingkaran heksagonal yang beranggota enam tetrahedra yang dihubungkan satu sama lain oleh kation seperti Mg, Na dan/atau Fe. Ikatan yang dihubungkan oleh kation tersebut merupakan titik lemah mineral Turmalin, namun karena banyaknya ikatan Si-O mineral ini relatif stabil.

2. Inosilikat: rantai tunggal atau ganda dari tetrahedra (SiO3, Si4O11). Kelompok ini dalam strukturnya mempunyai silika rantai tunggal (Piroksen) dan rantai ganda (Amfibol) dihubungkan satu sama lain oleh ikatan Ca-O, Mg-O dan/atau Fe-O, mineral ini cenderung cepat terlapuk.

6

3. Nesosilikat: tetrahedra SiO4 terpisah. Kelompok ini terdiri atas tetrahedra tunggal yang dihubungkan satu sama lain oleh ion Mg2+ dan Fe2+. Ikatan Mg-O dan Fe-O merupakan ikatan yang lemah. Kepekaan mineral ini terhadap pelapukan bervariasi satu sama lain, misalnya Amfibol dan Olivin. Susunan atom oksigen yang padat misalnya pada atom zirkon mengakibatkan mineral ini relatif keras, sementara pada atom olivin susunan oksigennya relatif lebih renggang membuat mineral ini cepat terlapuk.

4. Filosilikat: lembar tetrahedra (Si2O5). Rangkaian lembar tetrahedra silika dengan oktahedra aluminiun melalui penggunaan secara bersama atom oksigen. Penghancuran mineral biasanya terjadi melalui pemaksa-pisahan ikatan Al-O dalam posisi tetrahedra dan oktahedra. Mineral Biotit dan Muskovit merupakan contoh dari kelompok ini.

5. Sorosilikat: dua atau lebih tetrahedra berangkai (Si2O7, Si5O16). Tetrahedra silika secara tersendiri dan yang terangkai terbentuk melalui penggunaan secara bersama atom oksigen. Mineral Epidot agak sukar terlapuk, namun subsitusi isomorfik membuat mineral ini peka terhadap pelapukan.

6. Tektosilikat: jaringan tetrahedra (SiO2). Mineral ini dianggap sebagai larutan padat dengan bentuk jaringan tetrahedra silika, yang celah-celahnya ditempati oleh Na, Ca dan sebagainya. Kerapatan susunan atom dalam strukturnya menyebabkan tingkat ketahanan bervariasi. Subsitusi Si oleh Al dalam menyebabkan mineral Plagioklas lebih lemah dari mineral K-Feldspar.

Lignit

Lignit dikenal dengan nama batubara muda, batubara coklat (brown coal) dan leonardite (Karr, 2001). Lignit terbentuk dari proses akumulasi bahan organik dalam jumlah yang berlebih, tergenang, mengalami dekomposisi dan pengompakan (consolidated) (Lawson dan Stewart, 1989). Proses perubahan material organik menjadi lignit terjadi melalui dua fase pembentukan. Fase pertama adalah proses akumulasi bahan organik dalam lingkungan yang tergenang. Kemudian oleh aktivitas mikroba, akumulasi bahan organik mengalami proses dekomposisi (humifikasi). Dekomposisi bahan organik ini merupakan

proses pembentukan bahan gambut. Pada fase kedua, bahan gambut yang telah terbentuk mengalami proses penimbunan oleh material sedimen (sedimentasi), sehingga bahan gambut mengalami pemanasan hingga mencapai suhu ≥ 2000

C. Dari proses pematangan tersebut batubara diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan (Sembiring 2006), yaitu:

1. Batubara antrasit, merupakan batubara yang tingkat kematangannya paling tinggi dan nilai kalorinya berada > 7100 kal/gram.

2. Batubara bituminous, memiliki nilai kalori 6100-7100 kal/gram. 3. Batubara sub bituminous, memiliki nilai kalori 5100-6100 kal/gram. 4. Batubara lignit, merupakan batubara yang tingkat kematangannya paling

rendah dan memiliki nilai kalori < 5100 kal/gram.

Senyawa Humat

Bahan organik di dalam tanah sering dipisahkan menjadi bahan terhumifikasi dan tak terhumifikasi. Bahan-bahan tak terhumifikasi adalah senyawa-senyawa dalam tanaman dan organisme lain dengan karakteristik yang jelas seperti karbohidrat, asam amino, protein, lipid, asam nukleat dan lignin. Tidak semua senyawa-senyawa tersebut terkena reaksi-reaksi degradasi dan dekomposisi, ada yang dijerap oleh komponen anorganik tanah, seperti liat atau senyawa-senyawa tersebut berada dalam kondisi anaerobik. Di dalam kondisi-kondisi semacam ini, senyawa tersebut lebih terlindungi dari dekomposisi. Fraksi terhumifiksai dikenal sebagai humus, atau sekarang lebih dikenal dengan senyawa humat dan dianggap sebagai hasil akhir dekomposisi bahan tanaman di dalam tanah (Tan, 2003). Istilah asam humat berasal dari Berzellius pada tahun 1830, yang menggolongkan fraksi senyawa humat tanah ke dalam : (1) asam humat, yakni fraksi yang larut dalam basa. (2) asam krenik dan apokrenik, yakni fraksi yang larut dalam air, dan (3) humin, yakni bagian yang tidak dapat larut dan lembam (inert). Oleh Mulder pada tahun 1840 asam humat disebut juga asam ulmat, sedangkan humin disebut juga ulmin. Kemudian pada tahun 1912, Oden mengusulkan penggunaan nama asam fulvat menggantikan istilah asam krenik dan apokrenik. Kini senyawa-senyawa humat didefinisikan sebagai bahan

8

koloidal yang bersifat amorf, berwarna kuning hingga coklat hitam dan mempunyai berat molekul relatif lebih tinggi (Tan, 2003).

Senyawa humat tidak hanya di dalam tanah, tetapi juga terdapat di dalam batuan, endapan sedimen sungai, laut dan danau. Berdasarkan hal tersebut senyawa humat diklasifikasikan ke dalam 5 tipe (Tan, 2003), yaitu:

1. Senyawa humat yang berasal dari terrestrial atau tanah, dibedakan berdasarkan asal dari bahan organiknya; kayu daun jarum (softwood), kayu daun lebar (hardwood), rumput dan bambu.

2. Senyawa humat dari aquatic, merupakan senyawa humat yang berasal dari endapan sungai, laut dan danau, yang materialnya dapat berasal dari luar maupun dalam cekungan. Jika bahannya berasal dari luar cekungan, maka komposisi senyawa humatnya mirip dengan terrestrial.

3. Senyawa humat dari gambut atau endapan rawa.

4. Senyawa humat dari endapan geologi, berupa batubara dan serpih (shale). 5. Senyawa humat dari Anthropogenic; senyawa humat yang berasal dari

aktivitas pertanian, industri, ternak, unggas dan sisa pembuangan (sampah).

Bahan-bahan humat mengandung sejumlah ragam gugus hidroksil, namun untuk karakterisasi asam humat umumnya hanya tiga jenis OH yang dibedakan (Tan, 2003), yaitu:

1. Hidroksil total adalah gugus OH yang berkaitan dengan semua gugus fungsional, seperti fenol, enol, hidrokuinon. Akan tetapi, dalam banyak kasus hidroksil total mengacu hanya pada jumlah gugus OH-fenolik dan alkoholik.

2. Gugus OH-fenolik adalah OH yang terikat pada lingkar benzena.

3. Gugus OH-alkoholik adalah OH yang berikatan dengan gugus alkoholik.

Peranan Senyawa Humat

Bahan-bahan humat mempunyai peranan yang sangat menguntungkan di bidang pertanian. Bersama dengan liat tanah bahan-bahan humat mengandung peranan penting atas sejumlah aktivitas kimia tanah. Mereka terlibat dalam reaksi kompleks dan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara langsung

maupun tidak langsung. Secara tidak langsung mereka diketahui memperbaiki kesuburan tanah dengan mengubah kondisi fisik, kimia dan biologi tanah. Secara langsung, bahan-bahan humat dilaporkan merangsang pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap metabolisme dan terhadap sejumlah proses fisiologi lainnya. Senyawa humat juga berperan serta dalam pembentukan tanah dan memainkan peranan penting khususnya dalam translokasi atau mobilisasi lempung, aluminium dan besi yang menghasilkan perkembangan horizon spodik dan horizon argilik (Tan, 2003).

Asam Humat Lignit

Asam humat lignit bersifat lebih hydrophobic, mengalami kondensasi yang tinggi sehingga jumlah gugus rantai dan gugus fungsionalnya sedikit dengan kandungan hidrogen, oksigen dan nitrogen rendah (Francioso et al. 2003), serta kandungan alifatik dan C/N ratio yang tinggi (Zavodska dan Lesny, 2006).

Purifikasi garam humat akan menghasilkan senyawa humat dalam bentuk asam humat. Asam humat mempengaruhi tingkat pelepasan hara dari mineral tanah. Asam humat dapat memperbesar konsentrasi pelepasan hara kalium yang terfiksasi oleh mineral illit dan montmorillonit (Tan, 2003). Senyawa humat yang difraksionasi, utamanya dalam mencegah pemecahan hormon indoleacetic acid

(IAA) tanaman (Mato et al., 1971, 1972) dan meningkatkan serapan air (Piccolo

BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di dua laboratorium, yaitu (1) Laboratorium Genesis dan Klasifikasi Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor untuk perlakuan reaksi bahan humat dan pasir Andesitik-Basaltik serta analisis kimia, dan (2) Laboratorium di Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor untuk analisis mineral. Kegiatan penelitian berlangsung dari bulan Juli sampai Oktober tahun 2011.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah pasir dari Sungai Cimangkok, Cianjur, Jawa Barat dan pelarut yang digunakan adalah bahan humat. Untuk analisis kimia menggunakan air destilata dan Asam Sitrat 2%.

Alat yang digunakan adalah BICO PULVERIZER (sebagai alat penggiling), ember (wadah penampungan), Scanning Electron Microscope

(SEM), AAS (untuk mengukur kadar Ca, Mg, Fe, Cu, Zn dan Mn),

Flamephotometer (untuk mengukur kadar K dan Na), serta pH-meter (untuk mengukur pH).

Metode Penelitian

Metode penelitian dibagi menjadi tiga tahap yaitu: perlakuan pasir Cimangkok dengan bahan humat, analisis mineralogi dari pasir Cimangkok dan analisis kimia pasir Cimangkok sebelum dan setelah perlakuan dengan bahan humat. Tahapan kerja penelitian adalah sebagai berikut :

Perlakuan Pasir Cimangkok dengan Bahan Humat

Pasir Cimangkok digiling dengan alat BICO PULVERIZER hingga lolos

Dokumen terkait