• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

HASIL Medan Listrik

arus dan tegangan power supply. Besarnya medan listrik diukur dengan BK Toolkit Multimeter Model 2706A dalam besaran Medan Listrik E (V/m).

Pemberian Medan Magnet

Usus yang sudah dirangkai pada organ bath dan kymograf, dipapar medan magnet yang dihasilkan oleh solenoida. Medan magnet yang digunakan berupa medan magnet statik. Besar medan magnet diubah dengan cara mengubah arus dan tegangan power supply. Besarnya medan magnet yang dihasilkan dibaca pada komputer dengan menggunakan program Datas tudio and Scienceworkshop.

c. Pengambilan D ata

Data yang diambil berupa miogram yang dicetak oleh kymograf (Lampiran 1). Miogram tersebut menggambarkan kontraksi usus selama jangka waktu 6 menit, yaitu 3 menit untuk kontr ol dan 3 menit untuk perlakuan . Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).

d. Analisis Data

Miogram diukur dengan parameter amplitudo dan frekuensi kontraksi (Lampiran 2), kemudian dianalisis dengan software SPSS versi 11,5 menggunakan analisis Paired T-Test dengan taraf kepercayaan 95 % untuk mengetahui perbedaan tiap taraf perlakuan medan listrik dan magnet dengan kontrol. Persen perubahan amplitudo dan frekuensi diamati secara Fitted by Eye melalui grafik untuk mengetahui kecenderungan perubahan amplitudo dan frekuensi dari 6 taraf yang dicobakan.

HASIL Medan Listrik

Paparan medan listrik menyebabkan persentase perubahan amplitudo mengalami peningkatan dibanding kontrol (Gambar 6). Namun persen kenaikan ini semakin mengecil dengan meningkatny a kuat medan listrik yang dipaparkan. Hasil uji Paired T-Test (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perubahan ini tidak berbeda nyata dengan kontrol.

Gambar 6 Perubahan amplitudo duodenum pada paparan beberapa taraf kuat medan listrik.

Pola persentase perub ahan amplitudo jejenum (Gambar 7) berbeda dengan bagian duodenum (Gambar 6) maupun ileum (Gambar 8). Secara Fitted by Eye, perubahannya terlihat acak dan tidak berbeda nyata secara statistik.

Gambar 7 Perubahan amplitudo jejenum pada paparan beberapa taraf kuat medan listrik.

interface komputer yang menggunakan software Datas tudio and Scienceworkshop, PASCO CI-7500 Scienceworkshop 750 Interface sebagai alat pembaca kuat medan magnet (Lampiran 6) .

Metode Penelitian a. Isolasi Organ

Kelinci dipotong dan dibuka abdomennya dengan menggunakan gunting. Kemudian, usus kelinci tersebut dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam cawan petri besar yang berisi larutan tyrode bersuhu 37oC. Isi usus perlahan-lahan disemprot keluar dengan

syringe 20 cc yang berisi larutan tyrode 37oC, sampai bersih. Kemudian duodenum, jejenum, dan ileum diisolasi dan masing-masing dipotong sepanjang 2 cm sebanyak 3 potongan untuk tiap bagian usus halus.

Masing-masing potongan usus tersebut diikat dengan benang (dilakukan dalam gelas beker yang lebih kecil yang berisi larutan

tyrode 37oC), salah satu ujung potongan usus diikatkan pada ujung tabung aerator, sedangkan ujung lainnya dikaitkan ke bagian

kymograf yang berada di atasnya sehingga potongan usus d alam keadaan diregang. b. Pemberian Perlakuan

Pemberian Medan Listrik

Usus dirangkai pada organ bath dan

kymograph, kemudian diberi medan listrik yang dihasilkan oleh plat alumunium . Besar medan listrik diubah -ubah dengan mengubah arus dan tegangan power supply. Besarnya medan listrik diukur dengan BK Toolkit Multimeter Model 2706A dalam besaran Medan Listrik E (V/m).

Pemberian Medan Magnet

Usus yang sudah dirangkai pada organ bath dan kymograf, dipapar medan magnet yang dihasilkan oleh solenoida. Medan magnet yang digunakan berupa medan magnet statik. Besar medan magnet diubah dengan cara mengubah arus dan tegangan power supply. Besarnya medan magnet yang dihasilkan dibaca pada komputer dengan menggunakan program Datas tudio and Scienceworkshop.

c. Pengambilan D ata

Data yang diambil berupa miogram yang dicetak oleh kymograf (Lampiran 1). Miogram tersebut menggambarkan kontraksi usus selama jangka waktu 6 menit, yaitu 3 menit untuk kontr ol dan 3 menit untuk perlakuan . Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).

d. Analisis Data

Miogram diukur dengan parameter amplitudo dan frekuensi kontraksi (Lampiran 2), kemudian dianalisis dengan software SPSS versi 11,5 menggunakan analisis Paired T-Test dengan taraf kepercayaan 95 % untuk mengetahui perbedaan tiap taraf perlakuan medan listrik dan magnet dengan kontrol. Persen perubahan amplitudo dan frekuensi diamati secara Fitted by Eye melalui grafik untuk mengetahui kecenderungan perubahan amplitudo dan frekuensi dari 6 taraf yang dicobakan.

HASIL Medan Listrik

Paparan medan listrik menyebabkan persentase perubahan amplitudo mengalami peningkatan dibanding kontrol (Gambar 6). Namun persen kenaikan ini semakin mengecil dengan meningkatny a kuat medan listrik yang dipaparkan. Hasil uji Paired T-Test (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perubahan ini tidak berbeda nyata dengan kontrol.

Gambar 6 Perubahan amplitudo duodenum pada paparan beberapa taraf kuat medan listrik.

Pola persentase perub ahan amplitudo jejenum (Gambar 7) berbeda dengan bagian duodenum (Gambar 6) maupun ileum (Gambar 8). Secara Fitted by Eye, perubahannya terlihat acak dan tidak berbeda nyata secara statistik.

Gambar 7 Perubahan amplitudo jejenum pada paparan beberapa taraf kuat medan listrik.

Gambar 8 Perubahan amplitudo ileum pada paparan beberapa taraf kuat medan listrik.

Persentase perubahan amplitudo ileum (Gambar 8) memiliki pola yang sama dengan duodenum (Gambar 6), yaitu persen kenaikan amplitudo kontraksi yang berbanding terbalik dengan kuat medan listrik yang diberikan. Uji

Paired T-Test (Lampiran 3) menunjukkan bahwa persentase perubahan amplitudo duodenum, jejenum, dan ileum tidak berbeda nyata dengan kontrol. Secara umum dapat dikatakan bahwa paparan medan listrik tidak memberikan pengaruh kenaikan amplitudo yang signifikan.

Frekuensi kontraksi pada duodenum memiliki pola yang cenderung turun (Gambar 9) meski ada peningkatan dari kontrol (0 V/m) pada taraf 7,5 V/m dan 22,5 V/m. Perubahan ini tidak signifikan secara statistik.

Gambar 9 Perubahan frekuensi duodenum pada paparan beberapa taraf kuat medan listrik.

Rata-rata perubahan frekuensi jejenum pada tiap taraf percobaan (Gambar 10) menunjukkan adanya peningkatan maupun penurunan dengan pola acak. Hasil uji Paired T-Test ( Lampiran 3) menunjukkan bahwa perubahan ini tidak berbeda nyata secara statistik dengan kontrol.

Gambar 10 Perubahan frekuensi jejenum pada paparan beberapa taraf kuat medan listrik.

Secara Fitted by Eye, perubahan frekuensi ileum (Gambar 11), terlihat cenderung mengalami peningkatan dibanding kontrol ( 0 V/m). Namun peningkatan ini tidak berbeda nyata secara statistik.

Gambar 11 Perubahan frekuensi ileum pada paparan beberapa taraf kuat medan listrik.

Medan Magnet

Terjadi penurunan amplitudo duodenum dibanding dengan kontrol, kecuali pada taraf 30 Gauss. Persen penurunan amplitudo ini semakin besar dengan meningkatnya kuat medan yang diberikan (Gambar 12). Perubahan ini tidak berbeda nyata dengan kontrol (Lampiran 3).

Gambar 12 Perubahan amplitudo duodenum pada paparan beberapa taraf kuat medan magnet .

Amplitudo jejenum menunjukkan penurunan dibanding kontrol akibat paparan medan magnet pada semua taraf perlakuan (Gambar 13). Pola perubahan ini sedikit berbeda dengan pola penurunan amplitudo duodenum yang mengalami peningkatan pada taraf 30 Gauss (Gambar 12). Hasil uji statistik menunjukkan perubahan ini signifikan pada taraf 90 Gauss.

Gambar 13 Perubahan amplitudo jejenum pada paparan beb erapa taraf kuat medan magnet.

Ileum memiliki pola penurunan amplitudo kontraksi yang sama dengan duodenum (Gambar 12), yaitu adanya persentase peningkatan amplitudo kontraksi pada taraf 30 Gauss (Gambar 14). Uji Paired T-Test yang dilakukan menunjukkan perubahan ini signifikan pada taraf 90, 120, dan 180 Gauss dibandingkan dengan kontrol.

Gambar 14 Perubahan amplitudo ileum pada paparan beberapa taraf kuat medan magnet.

Frekuensi duodenum mengalami perubahan yang sifatnya acak (Gambar 15). Pada taraf 30, 90, dan 180 Gauss terjadi peningkatan frekuensi, sedangkan pada taraf 60, 120, dan 150 terjadi penurunan frekuensi kontraksi. Perubahan frekuensi kontraksi ini tidak signifikan secara statistik.

Pola perubahan frekuensi jejenum tidak memiliki pola khusus (Gambar 16). Empat taraf diantara enam taraf yang dicobakan mengalami peningkatan frekuensi, yaitu pada taraf 60, 90, 150 dan 180 Gauss. Sedangkan

pada taraf 30 dan 120 Gauss terjadi penurunan frekuensi kontraksi. Persentase perubahan frekuensi yang terjadi kecil dan tidak signifikan.

Frekuensi ileum pada semua taraf percobaan mengalami peningkatan (Gambar 17). Namun, perubahannya kecil, sehingga berdasarkan uji Paired T-Test, perubahan ini tidak berbeda nyata dengan kontrol.

Gambar 15 Perubahan frekuensi duodenum pada paparan beberapa taraf kuat medan magnet.

Gambar 16 Perubahan frekuensi jejenum pada paparan beberapa taraf kuat medan magnet.

Gambar 17 Perubahan frekuensi ileum pada paparan beberapa taraf kuat medan magnet.

PEMBAHASAN

Pergerakan usus halus yang diamati pada penelitian ini merupakan pergerakan autonomik, baik itu berupa miogenik maupun neurogenik oleh pleksus intrinsik. Usus telah diisolasi sehingga tidak lagi berhubungan dan dipengaruhi oleh sistem saraf ekst ernal simpatik dan parasimpatik.

Pergerakan autonomik ini dapat diketahui dan diukur perubahannya melalui pencatatan amplitudo dan frekuensi kontraksi usus pada miogram. Amplitudo duodenum, jejenum dan ileum yang mengalami paparan medan listrik tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dengan kontrol. Meski demikian, secara Fitted by Eye, terlihat pola perubahan amplitudo duodenum (Gambar 6) cenderung mengalami peningkatan dibanding kontrol. Persentase peningkatan ini mengecil dengan semakin kuatnya medan listrik yang dipaparkan. Pola ini hampir sama dengan pola perubahan amplitudo ileum (Gambar 8). Pola yang mirip juga didapati pada amplitudo kontraksi duodenum yang dipapar medan magnet (Gambar 12) dan ileum (Gambar 14). Mula-mula terjadi peningkatan persentase perubahan amplitudo kontraksi, tapi dengan semakin besarnya medan yang dipaparkan, terjadi penurunan amplitudo kontraksi yang makin besar.

Pola ini diduga berhubungan dengan fenomena hormesis yang seringkali dijumpai pada objek biologi yang terpapar radiasi pengion maupun bahan kimia. Calabrese dan Baldwin (1998) menyatakan bahwa hormesis adalah suatu fenomena yang menunjukkan adanya stimulasi pada objek biologi yang terpapar bahan kimia maupun radiasi dalam dosis rendah dan adanya penghambatan atau perusakan pada dosis yang tinggi. Hormesis biasanya ditunjukkan dengan kurva dosis -respon yang berbentuk kurva-â (Gambar 18).

Gambar 18 Kurva dosis -respon yang menunjukkan hormesis (kurva -â). Pola kenaikan amplitudo kontraksi duodenum dan ileum yang dipapar oleh medan listrik tidak menunjukkan adanya perpotongan dengan garis kontrol, namun

memperlihatkan persentase peningkatan amplitudo yang terus mengecil. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh dosisnya yang mendekati nol sehingga belum terlihat penurunan amplitudo yang signifikan.

Berbeda dengan perubahan amplitudo pada duodenum dan ileum yang diberi perlak uan medan magnet, terjadi peningkatan perubahan amplitudo yang jelas pada dosis pertama (30 Gauss) yang menunjukkan adanya zona hormesis. Pada dosis selanjutnya terlihat penurunan amplitudo kontraksi, sehingga memperlihatkan kurva-â yang jelas.

Pola ini tidak terlihat pada jejenum yang dipapar medan listrik (Gambar 7) karena adanya pola naik pada dua dosis terakhir. Jejenum yang dipapar medan magnet memiliki pola dengan penurunan amplitudo yang semakin besar seiring kuat medan magnet (Gambar 13), namun tidak terlihat adanya daerah hormesis (peningkatan amplitudo) pada dosis rendah (30 Gauss) yang dicobakan.

Frekuensi kontraksi pada duodenum, jejenum, dan ileum yang dipapar medan listrik memperlihatkan adanya peningkatan pada beberapa dosis awal dan penurunan pada dosis yang lebih tinggi. Namun, persentase perubahannya tidak menunjukkan pola yang jelas dan kecil kemungkinan berhubungan dengan hormesis. Sedangkan frekuensi kontraksi duodenum, jejenum, dan ileum yang dipapar medan magnet cenderung mengalami peningkatan seiring meningkatnya kuat medan magnet yang dipaparkan, namun peningkatan ini tidak signifikan.

Ikusima et al. (1996) menyatakan bahwa fenomena hormesis berkaitan dengan adanya induksi produksi dan kerja protein tert entu serta merangsang sistem kekebalan. Kemungkinan medan magnet juga memiliki efek yang hampir serupa dengan radiasi pengion dan bahan kimia yang menyebabkan hormesis karena pada duodenum dan ileum yang dipapar medan magnet memiliki pola persentase perubahan yang sama dengan kurva-â yang menunjukkan fenomena hormesis dan persentase penurunan amplitudo yang signifikan pada beberapa taraf kuat medan. Penurunan amplitudo kontraksi ini juga dilaporkan oleh Itegin dan Gunay (1993) yang melakukan percobaan pada tikus dengan kekuatan medan magnet 200 Gauss. Nair (1989) mengemukakan bahwa medan magnet berinteraksi dengan hormon, neurotransmitter, dan hormon pertumbuhan. Adanya stimulasi yang terjadi pada dosis rendah dalam fenomena hormesis menjelaskan peran medan

elektromagnetik dalam membantu penyembuhan patah tulang, dengan meningkatkan proliferasi kondrosit (Pezzetti

et al. 1999).

Perubahan amplitudo kontraksi pada bagian usus yang mengalami paparan medan magnet ini diduga akibat perubahan kanal dan konsentras i ion baik pada pleksus intrinsik, otot polos, maupun pada Intestitial Cells of Cajal (ICC) yang diketahui sebagai pacemaker dalam proses kontraksi gastrointestinal (Torihashi et al. 2002). Itegin dan Gunay (1993) menyatakan bahwa medan magnet mempengaruhi konduktansi kanal ion, perubahan konformasi, dan pergerakannya, selain itu, medan magnet menyebabkan peningkatan konsentrasi ion K+ intraselular dan penurunan konsentrasi ion Na+ intraselular yang menyebabkan penurunan membran potensial sehingga terjadi penurunan amplitudo kontraksi.

Efek ini berkaitan dengan adanya modulasi dan polarisasi aliran ion (Nair 1989) khususnya ion Ca2+ yang memiliki peranan penting dalam kontraksi spontan otot polos (Gambar 19) penyusun duodenum, jejenum, dan ileum (Grasa 2004) maupun peranannya dalam kontraksi spontan dan ritmis ICC (Torihashi et al. 2002).

Gambar 19 Peran Ca2+ dalam kontraksi otot polos (Fox 2002).

Nair (1989) menyebutkan bahwa medan elektromagnetik menyebabkan perubahan aliran Ca2+ melalui kanal ion sel. Penurunan amplitudo kontraksi pada bagian usus yang dipapar medan magnet kemungkinan diakibatkan oleh penurunan konsentrasi Ca2+ intrasel, perubahan kanal ion dan penurunan

kemampuannya mentransport ion akibat perubahan permukaan membran sel yang dilaporkan Chionna et al. (2003) pada paparan 6 mT atau 60 Gauss.

Sejumlah mekanisme interaksi biofisika telah diajukan untuk dapat menjelaskan bagaimana medan listrik dan magnet berfrekuensi rendah dapat mempengaruhi jaringan hidup (living tissue) dan mengakibatkan efek biologis yang signifikan. Mekanisme-mekanisme tersebut adalah resonansi ion cyclotron (alat pemercepat partikel), resonansi parametrik, serta efek langsung partikel magnetik pada sel-sel otak (Fathony 2004). Namun, hasil yang pasti dari paparan medan listrik dan magnet secara umum belum dapat disimpulkan.

Fathony (2004) menyebutkan bahwa secara garis besar, energi total yang diserap dan distribusinya di dalam tubuh manusia tergantung frekuensi dan panjang gelombang medan elektromagnetik, p ola risasi medan EMF, konfigurasi (seperti jarak) antar a badan dan sumber radiasi EMF, keadaan paparan radiasi, seperti adanya benda lain di sekitar sumber radiasi, dan sifat -sifat elektrik (listrik) tubuh (konstan dielektrik dan konduktivitas). Hal ini sangat tergantung pada kadar air di dalam tubuh. Radiasi akan lebih banyak diserap pada media dengan konstan dielektrik yang tinggi, seperti otak, otot, dan jaringan lainnya dengan kadar air yang tinggi.

Dokumen terkait