BAB IV PERBANDINGAN HASIL SIMULASI NUMERIS
B. Hasil Metode Beda Hingga Grid Selang-Seling
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA
8 BAB II
TEORI PERSAMAAN DIFERENSIAL
Pada bab ini akan dibahas klasifikasi persamaan diferensial, aturan rantai, integral, penurunan numeris, nilai dan vektor eigen, persamaan diferensial hiperbolik, karakteristik persamaan akustik, bentuk umum hukum kekekalan, domain dependen dan range influence untuk persamaan hiperbolik, kondisi CFL, serta matriks Jacobian. Penjabaran dalan bab ini akan menjadi landasan teori bagi Bab III dan Bab IV.
A. Klasifikasi Persamaan Diferensial
Suatu persamaan menyatakan relasi kesetimbangan antara dua hal. Persamaan diferensial adalah suatu persamaan menyatakan hubungan suatu fungsi terhadap turunan-turunannya. Klasifikasi persamaan diferensial bisa didasarkan pada banyaknya variabel bebas yang terlibat, orde persamaan diferensial, dan berdasarkan sifat linear/nonlinear.
1. Klasifikasi berdasarkan variabel bebas yang terlibat
Fungsi bisa mempunyai satu variabel bebas atau lebih. Jika fungsi hanya mempunyai satu variabel bebas, maka persamaan diferensial tersebut disebut persamaan diferensial biasa. Jika fungsi mempunyai lebih dari satu variabel bebas, maka persamaan diferensial tersebut disebut persamaan diferensial parsial.
Contoh 2.1
Contoh persamaan diferensial biasa (Ross, 1989)
š2š¦
šš„2+ š„š¦ (šš¦ šš„)
2
= 0.
Persamaan di atas merupakan contoh persamaan diferensial biasa. Terlihat bahwa variabel š„ adalah variabel bebas tunggal dan š¦ adalah variabel tidak bebas.
Contoh 2.2
Contoh persamaan diferensial parsial šš£ šš +
šš£ šš” = š£.
Persamaan di atas merupakan contoh dari persamaan diferensial parsial. Terlihat bahwa variabel š dan š” adalah variabel bebas dan š£ adalah variabel tidak bebas.
2. Klasifikasi berdasarkan orde persamaan diferensial
Orde persamaan diferensial adalah tingkat tertinggi dari turunan fungsi yang terlibat dalam persamaan diferensial. Persamaan diferensial biasa contoh 2.1 mempunyai orde dua, sebab turunan tertinggi dari fungsi yang terlibat adalah turunan kedua. Persamaan diferensial parsial contoh 2.2 mempunyai orde satu.
3. Klasifikasi berdasarkan sifat linear/nonlinear
Persamaan diferensial dapat terbagi menjadi dua, yaitu linear dan nonlinear. Persamaan diferensial biasa linear orde š dengan variabel tak bebas š¦ dan variabel bebas š„ adalah persamaan diferensial yang dapat dinyatakan dalam bentuk: š0(š„)š šš¦ šš„š + š1(š„)š šā1š¦ šš„šā1+ ⯠+ ššā1(š„)šš¦ šš„+ šš(š„)š¦ = š(š„),
dimana š0 tidak sama dengan nol. Jadi, linear disini adalah linear terhadap variable tak bebas dan turunan-turunannya. Persamaan diferensial di atas linear, sebab tidak ada perkalian antara fungsi š¦ dan š¦ atau š¦ dengan turunannya, dan tidak ada fungsi transendental dari š¦ atau turunannya.
Contoh 2.3
Persamaan diferensial biasa berikut keduanya linear š2š¦ šš„2+ 5šš¦ šš„+ 6š¦ = 0, š4š¦ šš„4+ š„2š 3š¦ šš„3+ š„3šš¦ šš„ = š„š š„.
Persamaan diferensial biasa nonlinear adalah persamaan diferensial biasa yang tak linear.
Contoh 2.4
š2š¦ šš„2+ 5šš¦ šš„+ 6š¦ 2 = 0, š2š¦ šš„2+ 5 (šš¦ šš„) 3 + 6š¦ = 0, š2š¦ šš„2+ 5š¦šš¦ šš„+ 6š¦ = 0. B. Aturan Rantai
Aturan rantai merupakan cara yang digunakan untuk mendiferensialkan suatu fungsi komposisi.
1. Aturan Rantai Kasus I (Leithold, 1986)
Misalkan š¦ fungsi dalam š¢, didefinisikan oleh persamaan š¦ = š(š¢), š·š¢š¦ ada dan š¢ fungsi dalam š„ didefinisikan oleh persamaan š¢ = š(š„) dengan š·š„š¢ ada, maka š¦ merupakan fungsi dalam š„, š·š„š¦ ada dan memenuhi:
š·š„š¦ = š·š¢š¦ ā š·š„š¢ atau šš¦ šš„= šš¦ šš¢ā šš¢ šš„. Contoh 2.5
Carilah šš¦ šš¢ā dari persamaan š¦ = 4š„4 ā 6 dan š„ = š¢2+ 4
Penyelesaian:
šš¦
šš„ = 16š„
3 dan šš„ šš¢= 2š¢
šš¦ šš¢= ( šš¦ šš„) . ( šš„ šš¢) šš¦ šš¢= 16š„ 3ā 2š¢ šš¦ šš¢= 32š„ 3š¢. Karena š„ = š¢2+ 4, diperoleh šš¦ šš¢ = 32(š¢2 + 4)3š¢. 2. Aturan Rantai Kasus II
Berikut ini merupakan aturan rantai untuk fungsi dua variabel dengan masing-masing variabel juga merupakan fungsi dua variabel. Misalkan š¢ fungsi dalam š„ dan š¦, didefinisikan oleh persamaan š¢ = š(š„, š¦), dan š„ = š¹(š, š ), š¦ = šŗ(š, š ) dengan šš„
šš
,
šš„šš
,
šš¦šš
,
dan šš¦šš
semuanya ada. Maka š¢ juga merupakan fungsi dalam š dan š , dan memenuhi:
šš¢ šš = ( šš¢ šš„) ( šš„ šš) + ( šš¢ šš¦) ( šš¦ šš) šš¢ šš = ( šš¢ šš„) ( šš„ šš ) + ( šš¢ šš¦) ( šš¦ šš ). Contoh 2.6
Misalkan š¢ = š„3š¦, dengan š„ = 2š dan š¦ = š 2. Tentukan šš¢ šš ā
Penyelesaian: šš¢ šš = ( šš¢ šš„) ( šš„ šš ) + ( šš¢ šš¦) ( šš¦ šš ) = (3š„2š¦ ā 2) + (š„3ā 2š )
= 6š„2š¦ + 2š„3š = 6(2š )2(š 2) + 2(2š )3š šš¢ šš = 40š 4 C. Integral
Ada dua macam integral, yaitu integral tak tentu dan integral tentu. 1. Integral Tentu
Definisi 2.1
Sebuah fungsi š¹ disebut antiturunan š pada interval š¼ jika š·š„š¹(š„) = š(š„) pada š¼, yakni jika š¹ā²(š„) = š(š„) untuk š„ dalam š¼.
Teorema (Varberg Purcell Rigdon, 2007)
Jika š adalah sebarang bilangan rasional kecuali ā1, maka
ā« š„ššš„ = š„
š+1
š + 1+ š¶. Bukti:
Untuk membuktikan š¹ā²(š„) = š(š„), maka akan dicari turunan untuk ruas kanan
š·š„[š„ š+1 š + 1+ š¶] = 1 š + 1(š + 1)š„š = š„š. Teorema terbukti.
Contoh 2.7 (Anton, 2012)
Fungsi š¹(š„) =1
3š„3 adalah antiturunan dari š(š„) = š„2 pada interval (āā, +ā) karena untuk semua š„ di interval
š¹ā²(š„) = š šš„[ 1 3š„ 3] = š„2 = š(š„). Namun, š¹(š„) =1
3š„3 bukan satu-satunya antiturunan dari š pada interval. Jika ditambahkan sebarang konstan š¶ ke 1
3š„3, maka fungsi šŗ(š„) =1
3š„3+ š¶ juga antiturunan dari š pada interval (āā, +ā), sebab
šŗā²(š„) = š šš„[
1 3š„
3+ š¶] = š„2+ 0 = š(š„).
Pada umumnya setiap antiturunan merupakan suatu yang tunggal, antiturunan lainnya dapat diperoleh dengan menambahkan suatu konstanta untuk antiturunan yang diketahui. Dengan demikian,
1 3š„ 3, 1 3š„ 3+ 2, 1 3š„ 3ā 5, 1 3š„ 3 + ā2 merupakan antiturunan dari š(š„) = š„2.
2. Integral Tentu
Luas Daerah (Martono, 1999)
Pada Gambar 2.1 (a) daerah š· di bidang yang dibatasi grafik fungsi kontinu š, garis š„ = š, garis š„ = š, dan sumbu š„, dengan š(š„) ā„ 0 pada [š, š], ditulis
Dengan menggunakan limit, luas daerah š· dihitung dengan langkah konstruksi sebagai berikut:
1. Selang tertutup [š, š] dibagi menjadi š bagian yang sama panjang, sehingga diperoleh titik pembagian
š = š„0 < š„1 < š„2 < ⯠< š„šā1< š„š < ⯠< š„š = š.
Himpunan titik-titik pembagian š = {š„0, š„1, š„2, ⦠, š„š} dinamakan partisi untuk [š, š]. Selang bagian ke-š dari partisi š adalah [š„šā1, š„š], š = 1, 2, ⦠, š, dan panjang selangnya adalah āš„š = š„šā š„šā1. Panjang partisi š didefinisikan sebagai ||š|| = max
1ā¤šā¤šāš„š.
2. Pilih šš ā [š„šā1, š„š], š = 1, 2, ⦠, š kemudian dibuat persegi panjang dengan ukuran alas = āš„š = š„š ā š„šā1, š = 1, 2, ⦠, š, dan š¦ 0 š„ š š· š š
Gambar 2.1 (a) Ilustrasi kurva fungsi š
š¦
0 š„
š
š·
š š
Gambar 2.1 (b) Ilustrasi partisi kurva fungsi š š„1 šš šš š1 š„š
tinggi = š(šš), šš ā [š„šā1, š„š], š = 1, 2, ⦠, š.
Luas persegi panjang ke-š pada Gambar. 2.1 (b) adalah āšæš = š(šš)āš„š, sehingga luas daerah š· yang dihampiri oleh š buah persegi panjang adalah
Luas š· ā ā š(šš)āš„š
š
š=1
.
3. Nilai eksak luas daerah š· dicapai bila š ā ā. Untuk partisi yang setiap selang bagiannya sama panjang, š ā ā sama artinya dengan ||š|| ā 0, sehingga
Luas š· = lim šāāā š(šš)āš„š = lim ||š||ā0ā š(šš)āš„š š š=1 š š=1 . Definisi 2.2
Integral tentu dari fungsi š pada selang tertutup [š, š], ditulis dengan lambang ā« š(š„)šš„šš , didefinisikan sebagai ā« š(š„)šš„ = lim
||š||ā0āšš=1š(šš)āš„š
š
š .
D. Penurunan Numeris
Salah satu cara untuk menyelesaikan persamaan diferensial adalah dengan menggunakan metode beda hingga. Metode ini menggunakan pendekatan ekspansi Taylor di titik acuannya. Deret Taylor dapat memberikan nilai hampiran bagi suatu fungsi pada suatu titik, berdasarkan nilai fungsi dan derivatifnya, dipandang deret Taylor pada persamaan (2.1), yaitu:
š(š„š+1) ā š(š„š) + šā²(š„š)ā +š ā²ā²(š„š) 2! ā 2+š ā²ā²ā²(š„š) 3! ā 3+ ⯠+š (š)(š„š) š! ā š + š š, (2.1) dengan š š adalah: š š = š (š+1)(š) (š + 1)! ā š+1, ā = š„š+1ā š„š.
Penurunan numeris pada metode beda hingga dapat diambil salah satu dari tiga pendekatan, yaitu
1. Beda maju Dipandang šā²(š„š) =š(š„š+1) ā š(š„š) š„š+1ā š„š + š(š„š+1ā š„š) (2.2) atau šā²(š„š) =āšš ā + š(ā), (2.3) dengan āšš = š(š„š+1) ā š(š„š).
Persamaan (2.2) dan (2.3) menggunakan data ke-š dan š + 1 untuk menghampiri turunan pertama dari š(š„). Persamaan ini disebut aproksimasi diferensiasi maju dari turunan pertama.
š(š„)
ā
turunan sebenarnya
aproksimasi
š„š š„š+1
2. Beda mundur Dipandang š(š„šā1) = š(š„š) ā šā²(š„š)ā +š ā²ā²(š„š) 2! ā 2ā ⯠(2.4)
Persamaan (2.4) merupakan deret Taylor yang diperluas mundur untuk menghitung nilai sebelumnya menggunakan nilai sekarang. Deret (2.4) dipotong setelah suku turunan pertama, maka diperoleh:
šā²(š„š) āš(š„š) ā š(š„šā1)
ā + š(ā) =
āšš
ā + š(ā), (2.5)
dengan āšš = š(š„š) ā š(š„šā1).
Persamaan (2.5) merupakan aproksimasi diferensiasi beda mundur dari turunan pertama.
3. Beda Pusat
Akan dikurangkan persamaan (2.29) dari deret maju Taylor (2.26), maka: š(š„šā1) ā š(š„š+1) = (š(š„š) ā š(š„š)) ā (šā²(š„š)ā + šā²(š„š)ā) + š ā²ā²(š„š) 2! ā 2ā šā²ā²(š„š) 2! ā 2 āš ā²ā²ā²(š„š) 3! ā 3ā ⯠š(š„) ā turunan sebenarnya aproksimasi š„š š„šā1
Setelah beberapa perhitungan dan operasi aljabar, maka diperoleh š(š„š+1) = š(š„šā1) + 2šā²(š„š)ā +šā²ā²ā²(š„š) 3! ā 3+ ⯠(2.6) šā²(š„š) =š(š„š+1) ā š(š„šā1) 2ā ā šā²ā²ā²(š„š) 6 ā 2 + ⯠(2.7) atau šā²(š„š) =š(š„š+1) ā š(š„šā1) 2ā ā š(ā 2). (2.8)
Persamaan (2.8) merupakan aproksimasi diferensiasi tengah (pusat) dari turunan pertama.
Contoh 2.8
Gunakan aproksimasi beda maju, beda mundur dan beda pusat untuk menghampiri turunan pertama dari:
š(š„) = ā0.1š„4ā 0.15š„3ā 0.5š„2ā 0.25š„ + 1.2 Pada titik š„ = 0.5 dengan ukuran langkah ā = 0.5.
Turunan dari š(š„) dapat dihitung secara langsung, yakni: šā²(š„) = ā0.4š„3ā 0.45š„2ā 1.0š„ ā 0.25, sehingga nilai eksak šā²(0.5) = ā0.9125.
Untuk ā = 0.5, maka: š(š„) 2ā turunan sebenarnya aproksimasi š„š+1 š„šā1
š„šā1 = 0 š(š„šā1) = 1.2
š„š = 0.5 š(š„š) = 0.925
š„š+1 = 1 š(š„š+1) = 0.2
Aproksimasi beda maju dari persamaan (2.27), yaitu: šā²(0.5) =0.2 ā 0.925
0.5 = ā1.45 dengan error relatif sebesar šš”= ā58.9%.
Aproksimasi beda mundur dari persamaan (2.30), yaitu: šā²(0.5) ā0.925 ā 1.2
0.5 = ā0.55 dengan error relatif sebesar šš” = 39.7%.
Aproksimasi beda pusat dari persamaan (2.33), yaitu: šā²(0.5) ā0.2 ā 1.2
1 = ā1
dengan error relatif sebesar šš” = ā9.6%.
Terlihat bahwa aproksimasi beda pusat memberikan hampiran bagi turunan pertama dengan error yang paling kecil, artinya aproksimasi beda pusat ini memberikan penyelesaian yang paling mendekati nilai eksaknya. Teori tentang penurunan numeris ini merujuk dari buku Setiawan (2006)
E. Nilai Eigen dan Vektor Eigen
Bagian ini menjelaskan pengertian nilai eigen dan vektor eigen suatu matriks.
Definisi 2.3 (Leon, 2001)
Misalkan š“ adalah suatu matriks š Ć š. Skalar š disebut sebagai suatu nilai eigen atau nilai karakteristik dari š“ jika terdapat suatu vektor taknol š±, sehingga š“š± = šš±. Vektor š± disebut vektor eigen atau vektor karakteristik dari š.
Contoh 2.9 Misalkan š“ = (4 ā2 1 1 ) dan š± = ( 2 1) dapat dilihat bahwa
š“š± = (4 ā2 1 1 ) ( 2 1) = ( 6 3) = 3 ( 2 1) = 3š±
dengan demikian š = 3 adalah nilai eigen dari š“ dan š± = (2,1)š merupakan vektor eigen dari š. Sebarang kelipatan taknol dari š± akan menjadi vektor eigen, karena
š“(š¼š±) = š¼š“š± = š¼šš± = š(š¼š±). Jadi, (4,2)š juga vektor eigen milik š = 3.
(4 ā2 1 1 ) ( 4 2) = ( 12 6) = 3 ( 4 2).
Misalkan š“ adalah matriks š Ć š dan š adalah suatu skalar, persamaan š“š± = šš± dapat ditulis dalam bentuk
(š“ ā šš¼)š± = š. (2.9)
det(š“ ā šš¼) = 0
dapat ditentukan sebuah nilai eigen dan vektor eigen dari matriks š“.
Contoh 2.10
Carilah nilai-nilai eigen dan vektor eigen yang bersesuaian dari matriks
š“ = (3 2 3 ā2). Penyelesaian: Persamaan karakteristiknya adalah
|3 ā š 2
3 ā2 ā š| = 0 atau Ī»
2 ā š ā 12 = 0.
Jadi, nilai-nilai eigen dari š“ adalah š1 = 4 dan š2 = ā3. Untuk mencari vektor eigen yang dimiliki oleh š1 = 4, harus ditentukan ruang nol dari š“ ā 4š¼.
š“ ā 4š¼ = (ā1 2 3 ā6).
Dengan menyelesaikan (š“ ā 4š¼)š± = š, dengan š± = (x1, x2)š, akan didapatkan
š± = (2x2, x2)š.
Jadi semua kelipatan taknol dari (2,1)š adalah vektor eigen milik š1 dan {(2,1)š} adalah suatu basis untuk ruang eigen yang bersesuaian dengan š1. Dengan cara yang sama, untuk mendapatkan vektor eigen bagi š2, harus diselesaikan
(š“ + 3š¼)š± = š.
Pada kasus ini {(ā1,3)š} adalah basis untuk š(š“ + 3š¼) dan sembarang kelipatan taknol dari (ā1, 3)š adalah vektor eigen yang bersesuaian š2.
F. Persamaan Diferensial Hiperbolik
Sistem hiperbolik pada persamaan diferensial parsial dapat digunakan untuk memodelkan berbagai macam fenomena yang melibatkan gerakan gelombang. Masalah yang diangkat umumnya tergantung pada waktu, sehingga solusinya tergantung pada waktu serta satu atau lebih variabel spasial. Dalam ruang dimensi satu, sistem orde pertama persamaan diferensial parsial homogen di š„ dan š” memiliki bentuk
šš”(š„, š”) + š“šš„(š„, š”) = 0, (2.10) disini š: ā Ć ā ā āš adalah vektor dengan š komponen yang mewakili fungsi yang tidak diketahui (tekanan, kecepatan, dan lainnya) yang akan ditentukan, dan š“ adalah sebuah matriks konstan yang berukuran š Ć š.
G. Karakteristik Persamaan Akustik Dipandang persamaan akustik
šš”+ šš2š¢š„ = 0, (2.11)
š¢š”+1
ššš„ = 0. (2.12)
Persamaan di atas dapat ditulis ulang dengan memperkenalkan vektor š seperti yang terlihat pada persamaan (2.13)
šš”+ š“šš„ = 0, (2.13)
dengan š = (šš¢) , š“ = ( 0 šš
2
Nilai eigen dan vektor eigen berkorespondensi dengan matriks š“ dilambangkan š1, š2 dan šĢ 1, šĢ 2 masing-masing. Matriks š dan šø adalah matriks eigen didefinisikan pada persamaan (2.14)
š = (šĢ 1 šĢ 2), šø = (š1 0
0 š2). (2.14)
Asumsikan matriks š“ mempunyai dua nilai eigen real berbeda dengan persamaan diagonalisasi dari matriks š“ dapat dilihat pada persamaan (2.15)
š ā1š“š = šø. (2.15)
Menggunakan sifat diagonalisasi, maka persamaan (2.15) dapat ditulis ulang menjadi:
š ā1šš”+ š ā1š“š š ā1šš„ = 0 atau
š ā1šš”+ šøš ā1šš„= 0. Substitusi variabel š ā1š = š = (š1
š2) hasil pada persamaan akhir dipisahkan (2.16)
šš”1 + š1šš„1 = 0
(2.16) šš”2+ š2šš„2 = 0.
Persamaan (2.11) dan (2.12) dalam bentuk (2.12) dengan š = (š š¢),
š“ = ( 0 šš
2
1 šā 0 ). Nilai eigen š1, š2 dan berkorespondensi vektor eigen šĢ
1, šĢ 2 untuk matriks š“ dapat dilihat pada persamaan (2.17)
š1 = š šĢ 1 = (šš 1) (2.17) š2 = āš šĢ 2 = (āšš 1 )
Solusi persamaan adveksi (2.13), ditulis dalam variabel baru š berjalan dengan kecepatan š dan āš. Solusi variabel baru š = (š1
š2) terdiri dari dua gelombang yang sesuai dengan masing-masing komponen š, yaitu š1 berjalan dengan kecepatan š dan š2 berjalan dengan kecepatan āš.
H. Bentuk Umum Hukum Kekekalan
Dalam ruang dimensi satu, metode volume hingga didasarkan pada membagi domain spasial ke dalam interval (grid sel) dan mengaproksimasi integral š untuk masing-masing volume grid sel tersebut. Dalam setiap langkah waktu, nilai-nilai integral tersebut diperbaharui dengan melakukan pendekatan terhadap fluks di titik akhir interval.
Misal sel ke-š dinotasikan dengan š¶š = (š„šā1 2ā , š„š+1 2ā ), yang ditunjukkan pada Gambar 2.3. Nilai ššš akan mengaproksimasi dengan nilai rata-rata sepanjang interval ke-š pada waktu š”š:
ššš ā 1 āš„ā« š(š„, š”š)šš„ š„š+1 2ā š„šā1 2ā ā” 1 āš„ā« š(š„, š”š)šš„, š¶š (2.18)
dengan āš„ = š„š+1 2ā ā š„šā1 2ā adalah panjang sel.
Jika š(š„, š”) adalah sebuah fungsi halus, maka integral (2.18) sesuai dengan nilai dari š pada titik tengah dari interval ke š(āš„2).
Dipandang hukum kekekalan š šš” ā« š(š„, š”)šš„ š„2 š„1 = š¹1(š”) ā š¹2(š”).
Bentuk integral dari hukum kekekalan di atas memberikan š
šš”ā« š(š„, š”)š¶
š
šš„ = š (š(š„šā1 2ā , š”)) ā š (š(š„š+1 2ā , š”)). (2.19)
Dapat digunakan bentuk ini untuk membangun suatu algoritma. Diberikan ššš, rata-rata sel pada waktu š”š, akan mengaproksimasi ššš+1, rata-rata sel pada waktu selanjutnya š”š+1 dengan panjang langkah waktu āš” = š”š+1ā š”š. Integralkan (2.19) pada waktu š”š sampai š”š+1 diperoleh
ā« š(š„, š”š+1)šš„ ā ā« š(š„, š”š)šš„ = ā« š(š( š”š+1 š”š š¶š š¶š š„šā1 2ā ,š”))šš” ā ā« š (š(š„š+1 2ā ,š”)) šš” š”š+1 š”š .
Persamaan di atas dibagi dengan āš„, maka diperoleh
š”š+1 š”š ššš+1 š¹šā1 2š ā ššā1š ššš šš+1š š¹š+1 2š ā
Gambar 2.3. Ilustrasi metode volume hingga untuk memperbaharui rata-rata sel ššš oleh fluks pada tepi sel, pada ruang š„ ā š”.
1 āš„ā« š(š„, š”š+1)šš„ = 1 āš„ā« š(š„, š”š)šš„ š¶š š¶š ā 1 āš„[ā« š (š(š„š+1 2ā ,š”)) šš” š”š+1 š”š ā ā« š (š(š„šā1 2ā ,š”)) šš” š”š+1 š”š ]. (2.20)
Hal ini memberitahu bahwa rata-rata dari š (2.18) harus diperbaharui dalam satu langkah waktu. Secara umum, tidak bisa ditentukan secara langsung integral waktu pada sisi kanan (2.20), karena š(š„šĀ±1 2ā , š”) bervariasi terhadap waktu sepanjang setiap tepi sel dan tidak ada solusi eksaknya, tetapi ini menunjukkan bahwa harus dipelajari metode numerik dalam bentuk
ššš+1 = šššā Īš”
Īš„(š¹š+1 2ā
š ā š¹šā1 2š ā ), (2.21)
dengan š¹šā1 2š ā adalah aproksimasi rata-rata fluks sepanjang š„ = š„šā1 2ā :
š¹šā1 2š ā ā 1
āš„ā« š (š(š„šā1 2ā , š”)) šš”.
š”š+1 š”š
Jika mengaproksimasi rata-rata fluks berdasarkan pada nilai šš, maka diperoleh metode yang sepenuhnya diskret.
Misalkan š¹šā1 2š ā dapat dihasilkan dengan hanya bergantung pada nilai ššā1š dan ššš, rata-rata sel pada kedua sisi dari interface ini. Maka
š¹šā1 2š ā = Óŗ(ššā1š , ššš), dengan Óŗ adalah suatu fungsi fluks. Metode (2.21) menjadi
ššš+1 = šššā āš”
Metode tertentu yang diperoleh tergantung pada pemilihan rumus Óŗ, tetapi secara umum metode ini merupakan metode eksplisit stensil tiga titik, yang berarti bahwa nilai ššš+1 akan bergantung pada tiga nilai ššā1š , ššš, dan šš+1š pada level waktu sebelumnya. Metode (2.22) dapat dilihat sebagai aproksimasi beda hingga untuk hukum kekekalan šš”+ š(š)š„= 0, yang memberikan
ššš+1ā ššš
āš” +
š¹š+1 2š ā ā š¹šā1 2š ā
āš„ = 0. (2.23)
I. Domain Dependen dan Range Influence untuk Persamaan Hiperbolik Domain dependen pada titik (š, š) didefinisikan sebagai berikut:
š(š, š) = {š ā ššš: š = 1,2, ⦠, š},
dengan (š, š) adalah titik yang ditetapkan pada ruang-waktu dan šš adalah kecepatan gelombang, ilustrasi domain dependen dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Sekarang fokus pada titik tunggal š„0 pada waktu š” = 0. Pilihan data pada saat ini hanya akan mempengaruhi sinar karakteristik š„0+ ššš” untuk š = 1, 2, ⦠, š.
(š, š)
(a) š ā š3š š ā š2š š ā š1š
š„0+ š1š” š„0+ š2š” š„0+ š3š”
š„0 (b)
Gambar 2.4. Sistem hiperbolik khusus tiga persamaan dengan š1 < 0 < š2 < š3, (a) menunjukkan domain dependen dari titik (š, š), dan (b) menunjukkan range influence titik š„0.
Himpunan titik-titik ini disebut range influence titik š„0, yang diilustrasikan pada Gambar 2.4 (b).
J. Kondisi CFL
Kondisi CFL merupakan syarat perlu yang harus dipenuhi oleh metode volume hingga atau metode beda hingga jika diinginkan solusi yang stabil dan konvergen ke solusi persamaan diferensial, yaitu ketika grid diperkecil atau āš„ diperkecil.
Dengan metode eksplisit (2.22) nilai ššš+1 hanya bergantung pada tiga nilai ššā1š , ššš, dan šš+1š pada waktu sebelumnya. Misal pengaplikasian metode tersebut untuk persamaan adveksi šš”+ š¢Ģ šš„ = 0 dengan š¢Ģ > 0 sehingga penyelesaian eksaknya hanya didefinisikan pada kecepatan š¢Ģ dan bergerak sejauh š¢Ģ āš” dalam satu langkah waktu. Gambar 2.5 (a) menunjukkan situasi dimana š¢Ģ āš” < āš„, sehingga informasi yang menyebar kurang dari satu grid sel dalam langkah waktu. Dalam hal ini, akan mendefinisikan fluks pada š„šā1 2ā di ššā1š dan ššš saja. Pada Gambar 2.5 (b), sebuah langkah waktu yang besar dengan š¢Ģ āš” > āš„. Pada kasus ini, fluks pada š„šā1 2ā jelas bergantung pada nilai ššā2š , dan menjadi rata-rata sel baru ššš+1. Metode (2.22) akan tidak stabil ketika diaplikasikan untuk langkah waktu yang besar, tidak peduli bagaimana fluks (2.21) harus ditentukan, jika fluks numeris ini hanya bergantung pada ššā1š dan ššš.
Hal ini merupakan akibat dari kondisi CFL, yang dinamai atas Courant, Friedrichs, dan Lewy. Mereka menulis paper pertama mengenai metode beda hingga untuk persamaan diferensial parsial. Mereka menggunakan metode beda hingga sebagai alat analitik untuk membuktikan keberadaan dari solusi eksak persamaan diferensial parsial. Idenya adalah untuk mendefinisikan barisan dari aproksimasi penyelesaian (menggunakan metode beda hingga), membuktikan bahwa mereka konvergen ketika grid diperkecil, dan menunjukkan bahwa limit fungsinya memenuhi persamaan diferensial parsial, memberikan keberadaan dari suatu solusi. Dalam proses membuktikan konvergensi barisan ini, mereka mengakui kondisi stabilitas yang diperlukan untuk setiap metode numeris:
Kondisi CFL: Suatu metode numeris akan konvergen hanya jika domain dependen numerisnya memuat domain dependen sebenarnya dari persamaan diferensial parsial, setidaknya limit āš” dan āš„ menuju ke nol.
š”š+1 š”š ššā1š ššš š„šā1 2ā (a) š”š+1 š”š ššā2š ššš š„šā1 2ā (b) ššā1š
Gambar 2.5. Karakteristik untuk persamaan adveksi, menunjukkan informasi yang mengalir ke dalam sel š¶š selama langkah waktu tunggal. (a) Untuk langkah waktu yang cukup kecil, fluks pada š„šā1 2ā hanya bergantung pada nilai-nilai sel didekatnya, yaitu hanya bergantung pada ššā1š pada kasus ini š¢Ģ > 0. (b) Untuk langkah waktu yang cukup besar, fluks akan bergantung pada nilai-nilai yang lebih jauh.
Domain dependen š(š, š) untuk persamaan diferensial parsial telah didefinisikan pada subbab sebelumnya. Domain dependen numeris dari metode dapat didefinisikan dengan cara yang sama sebagai himpunan titik-titik dimana data awal mungkin dapat mempengaruhi solusi numeris pada titik (š, š). Ilustrasi ini mudah untuk menggambarkan metode beda hingga dimana nilai titik demi titik dari š digunakan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6 untuk metode tiga titik. Pada Gambar 2.6 (a) terlihat bahwa šš2 bergantung pada ššā11 , šš1, šš+11 dan juga pada ššā20 , . . . , šš+20 . Hanya data awal pada interval š ā 2āš„š ⤠š„ ⤠š + 2āš„š dapat mempengaruhi solusi numeris di (š, š) = (š„š, š”2). Jika grid diperkecil dengan faktor kedua dalam ruang dan waktu (āš„š = āš„šā ), 2 tapi selanjutnya akan fokus pada titik (š, š), maka lihat Gambar 2.6 (b) bahwa aproksimasi numeris pada titik tersebut bergantung pada data awal di lebih banyak titik pada interval š ā 4āš„š ⤠š„ ⤠š + 4āš„š. Tapi ini interval yang sama dengan sebelumnya. Jika terus menyempurnakan grid dengan rasio āš” āš„ā ā” š yang tetap, maka domain dependen numeris dari titik (š, š) adalah š ā š šā ⤠š„ ⤠š + š šā . Agar kondisi CFL dipenuhi, domain dependen dari penyelesaian harus berada dalam interval ini. Untuk persamaan adveksi šš”+ š¢Ģ šš„ = 0, misalnya š(š, š) adalah titik tunggal š ā š¢Ģ š, karena š(š, š) = šĢ(š ā š¢Ģ š). Kondisi CFL kemudian mengharuskan
š ā š šā ⤠š ā š¢Ģ š ⤠š + š šā dan karena
š£ ā” |š¢Ģ āš” āš„| ⤠1.
Rasio š£ di atas disebut bilangan CFL, atau biasanya disebut bilangan Courant. Diingat bahwa š£ ⤠1 merupakan syarat perlu kestabilan; artinya meskipun syarat ini dipenuhi, syarat ini tidak menjamin suatu kestabilan. Akan tetapi metode numeris yang stabil, pasti memenuhi syarat ini.
K. Matriks Jacobian
Matriks Jacobian š½ dari sistem persamaan (Muqtadiroh, Fatmawati, dan Windarto, 2013) { š¦1 = š1(š„1,š„2, ⦠, š„š), š¦2 = š2(š„1,š„2, ⦠, š„š), ā® š¦š = šš(š„1,š„2, ⦠, š„š), š = š”4 š”0 š (b)
Gambar 2.6. (a) Domain dependen numeris dari titik grid ketika menggunakan metode beda hingga eksplisit, dengan jarak āš„š. (b) Pada grid yang lebih halus jaraknya āš„š = 1 2āš„š. š = š”2 š”0 š (a)
adalah š½ = ( šš¦1 šš„1 ⦠šš¦1 šš„š ā® ā± ā® šš¦š šš„1 ā¦ šš¦š šš„š) .
Adapun determinan dari matriks š½ (Yoman, 2014), yaitu
|š½| = |š(š¦1, ⦠, š¦š š(š„1, ⦠, š„š|. Contoh 2.11
Dipandang sistem persamaan
š¦1 = š„1+ š„2 š¦2 = š„12ā š„2. Sistem tersebut mempunyai matriks Jacobian
š½ = ( 1 1 2š„1 ā1) dengan determinan dari matriks š½ adalah
BAB III
PERSAMAAN AKUSTIK DAN METODE NUMERISNYA
Pada bab ini akan dibahas hukum kekekalan, hukum kekekalan dan persamaan diferensial, persamaan adveksi, persamaan nonlinear dalam dinamika fluida, akustik linear, gelombang suara, persamaan gelombang orde kedua, pecahnya membran dalam pipa, metode beda hingga, metode volume hingga Lax-Friedrichs, serta residual lokal lemah.
A. Hukum Kekekalan
Sebuah sistem linear berbentuk
šš”+ š“šš„= 0, (3.1)
dikatakan hiperbolik jika š Ć š matriks š“ dapat didiagonalisasi dengan nilai eigen real. Contoh paling sederhana dari hukum kekekalan satu dimensi adalah persamaan diferensial parsial
šš”(š„, š”) + š(š(š„, š”))š„ = 0
dengan š(š) adalah fungsi fluks. Dapat ditulis ulang dalam bentuk kuasilinear
šš”+ šā²(š)šš„ = 0. (3.2)
Bahkan masalah linear
šš”(š„, š”) + š“šš„(š„, š”) = 0 (3.3)
adalah hukum kekekalan dengan fungsi fluks linear š(š) = š“š. Banyak masalah fisika menimbulkan hukum kekekalan nonlinear dengan š(š) adalah fungsi nonlinear dari š, sebuah vektor dari kuantitas kekal.
Hukum kekekalan biasanya muncul paling alami dari hukum-hukum fisika dalam bentuk integral, yang menyatakan bahwa untuk setiap dua titik š„1 dan š„2,
š
šš”ā« š(š„, š”)šš„ = š(š(š„1, š”)) ā š(š(š„2, š”)).
š„2 š„1
(3.4) Setiap komponen dari š mengukur massa jenis beberapa kuantitas kekal, dan persamaan (3.4) hanya menyatakan bahwa massa total kuantitas ini diantara dua titik dapat berubah hanya karena fluks melewati titik akhir.
Sebuah alat mendasar dalam pengembangan metode volume hingga adalah masalah Riemann, yang merupakan persamaan hiperbolik bersama-sama dengan data awal khusus. Data yang sesepenggal konstan dengan lompatan diskontinuitas di beberapa titik, misalkan š„ = 0
š(š„, 0) = {šš jika š„ < 0,
šš jika š„ > 0. (3.5) Jika ššā1 dan šš merupakan rata-rata sel di dua sel grid berdekatan pada grid volume hingga, maka dengan memecahkan masalah Riemann dengan šš= ššā1 dan šš = šš, akan diperoleh informasi yang dapat digunakan untuk menghitung fluks numeris dan memperbarui rata-rata sel selama langkah waktu. Untuk sistem hiperbolik linear, masalah Riemann mudah diselesaikan dengan nilai eigen dan vektor eigen matriks š“.
B. Hukum Kekekalan dan Persamaan Diferensial
Untuk melihat bagaimana hukum kekekalan timbul dari prinsip-prinsip fisika, akan dimulai dengan mempertimbangkan masalah dinamika fluida, dimana gas atau cairan mengalir melalui pipa satu dimensi dengan kecepatan yang dikenal š¢(š„, š”), yang diasumsikan bervariasi hanya atas jarak š„ sepanjang pipa dan waktu š”. Biasanya masalah dinamika fluida harus menentukan gerak cairan, yaitu fungsi kecepatan š¢(š„, š”) sebagai bagian dari solusi, tapi akan diasumsikan ini sudah diketahui dan hanya model konsentrasi atau kepadatan beberapa zat kimia dalam cairan ini. Misalkan š(š„, š”) merupakan konsentrasi pelacak, fungsi ini yang akan ditentukan.
Secara umum, konsentrasi harus diukur dalam satuan massa per satuan volume, misalnya gram per meter kubik, tetapi dalam mempelajari pipa satu dimensi dengan variasi hanya di š„, dianggap š yang diukur dalam satuan berat per satuan panjang, misalnya gram per meter. Kepadatan ini dapat diperoleh dengan mengalikan kepadatan tiga dimensi dengan luas penampang pipa (satuan meter persegi). Kemudian
ā« š(š„, š”)šš„
š„2 š„1
(3.6) merupakan massa total pelacak di bagian pipa antara š„1 dan š„2 pada waktu š”, dan memiliki satuan massa.
Perhatikan bagian pipa š„1 < š„ < š„2 dan bahwa integral (3.6) berubah terhadap waktu. Misalkan š¹š(š”) menjadi tingkat dimana pelacak mengalir
melewati titik tetap š„š untuk š = 1, 2 (diukur dalam gram per detik). Akan digunakan konvensi yang š¹š(š”) > 0 untuk aliran yang mengalir ke kanan, sedangkan š¹š(š”) < 0 berarti untuk fluks ke kiri, dari |š¹š(š”)| gram per detik. Massa total di bagian [š„1, š„2] berubah hanya karena fluks pada titik akhir, diperoleh
š
šš”ā« š(š„, š”)šš„ = š¹1(š”) ā š¹2(š”).
š„2 š„1
(3.7) Perhatikan bahwa +š¹1(š”) dan āš¹2(š”) keduanya merupakan fluks.
Persamaan (3.7) adalah dasar bentuk integral dari hukum kekekalan. Laju perubahan dari massa total melalui titik akhir ini adalah dasar dari kekekalan. Akan ditentukan fluks fungsi š¹š(š”) terkait dengan š(š„, š”), sehingga akan diperoleh persamaan yang bisa dipecahkan untuk š. Dalam kasus aliran fluida, fluks pada setiap titik š„ pada waktu š” hanya diberikan oleh massa jenis š(š„, š”) dan kecepatan š¢(š„, š”):
fluks pada (š„, š”) = š¢(š„, š”)š(š„, š”). (3.8) Kecepatan disini memberitahukan seberapa cepat partikel bergerak melewati titik š„ (dalam meter per detik), dan massa jenis š menerangkan berapa gram cairan kimia yang terkandung, sehingga produk diukur dalam gram per detik.
Misalnya š¢(š„, š”) adalah fungsi yang diketahui, maka fungsi fluks bisa ditulis sebagai
fluks = š(š, š„, š”) = š¢(š„, š”)š. (3.9)
Secara khusus, jika kecepatan tidak bergantung pada š„ dan š”, sehingga š¢(š„, š”) = š¢Ģ adalah sebuah konstan, maka dapat ditulis
fluks = š(š) = š¢Ģ š. (3.10) Disini, fluks pada setiap titik dan waktu dapat ditentukan langsung dari nilai kuantitas kekal pada titik, dan tidak tergantung sama sekali pada lokasi dalam ruang waktu. Dalam hal ini, persamaan disebut otonom. Persamaan otonom banyak muncul dalam banyak aplikasi dan lebih sederhana untuk menangani persamaan non otonom atau variabel-koefisien. Untuk persamaan otonom fluks š(š) hanya bergantung pada nilai š, maka hukum kekekalan (3.7) ditulis ulang sebagai š šš”ā« š(š„, š”)šš„ = š(š(š„1, š”)) ā š(š(š„2, š”)). š„2 š„1 (3.11) Sisi kanan dari persamaan ini dapat ditulis ulang dengan menggunakan notasi standar dari kalkulus:
š šš”ā« š(š„, š”)šš„ = āš(š(š„, š”)) š„2 š„1 | š„1 š„2 . (3.12)
Asumsikan bahwa š dan š adalah fungsi halus, maka persamaan dapat ditulis ulang menjadi
š šš”ā« š(š„, š”)šš„ = ā ā« š šš„š(š(š„, š”)šš„, š„2 š„1 š„2 š„1 (3.13) dengan beberapa modifikasi lebih lanjut,
ā« [š šš”š(š„, š”) + š šš„š(š(š„, š”))] šš„ = 0. š„2 š„1 (3.14)
Misalnya integral (3.14) harus bernilai nol untuk semua nilai š„1 dan š„2, maka integral harus identik dengan nol. Persamaan diferensial menjadi
š
šš”š(š„, š”) + š
šš„š(š(š„, š”)) = 0. (3.15)
Persamaan (3.15) disebut bentuk diferensial hukum kekekalan, dan bisa ditulis ulang menjadi:
šš”(š„, š”) + š(š(š„, š”))š„ = 0. (3.16) Berikut merupakan contoh dari persamaan diferensial parsial hukum kekekalan:
1. Persamaan adveksi dengan š = š¢ dan š(š) = š. š¢ yaitu: š¢š”+ (šš¢)š„= 0,
dengan š konstan.
Persamaan di atas memodelkan aliran zat dengan kecepatan š. 2. Persamaan akustik linear dengan
šĢ = [š¢š] dan šĢ (šĢ ) = [
š¢0š + š0š¢
1
š0š + š¢0š¢], dengan š¢0, š0, š0 konstan. Persamaan akustik ditulis
šĢ š”+ šĢ (šĢ )š„= 0 atau [šš¢] š”+ [ š¢0š + š0š¢ 1 š0š + š¢0š¢ ] š„ = 0 atau [šš¢] š”+ [ š¢0+ š0 1 š0+ š¢0 ] [šš¢] š„ = 0
Disini š menyatakan tekanan dan š¢ menyatakan kecepatan dalam aliran. 3. Persamaan gelombang air dangkal dengan
šĢ = [ā š¢ā]
2
dan šĢ (šĢ ) = [š¢2ā +š¢ā1
2gā2] = 0, disini ā(š„, š”) menyatakan kedalaman air, š¢(š„, š”) menyatakan kecepatan aliran, dan g adalah percepatan gravitasi bumi.