i
PENYELESAIAN MASALAH PECAHNYA MEMBRAN
DALAM PIPA MENGGUNAKAN METODE BEDA HINGGA
DAN VOLUME HINGGA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Oleh :
Giri Iriani Jaya Ningrum NIM: 123114021
PROGRAM STUDI MATEMATIKA/JURUSAN MATEMATIKA FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii
SOLUTION TO THE MEMBRANE RUPTURE PROBLEM IN
A PIPELINE USING FINITE DIFFERENCE AND FINITE
VOLUME METHODS
Thesis
Presented as a Partial Fulfillment of the Requirement to Obtain the Sarjana Sains Degree
in Mathematics
By :
Giri Iriani Jaya Ningrum Student Number: 123114021
MATHEMATICS STUDY PROGRAM/DEPARTMENT OF MATHEMATICS FACULTY OF SCIENCE AND TECHNOLOGY
SANATA DHARMA UNIVERSITY YOGYAKARTA
v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan atau daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 11 Mei 2016 Penulis,
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
“Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang
menaruh harapannya pada TUHAN.” (Yeremia 17:7)
Karya ini kupersembahkan untuk: Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa menyertaiku, Kedua orang tua tercinta, Sugihartono dan Anastasia Rina Nurdayati,
vii
ABSTRAK
Aliran adalah pergerakan yang biasanya terjadi pada gas atau cairan. Aliran yang berupa gas atau cairan ini disebut aliran fluida. Ada banyak contoh aliran yang terjadi dikehidupan sehari-hari, misalnya aliran udara disekitar sayap pesawat, aliran darah di dalam tubuh manusia, dan lain sebagainya. Skripsi ini akan membahas aliran udara yang terjadi pada pipa satu dimensi, yaitu kondisi pecahnya membran dalam pipa (perpecahan membran dalam pipa).
Sistem yang mengatur masalah akustik ini adalah model matematika yang melibatkan persamaan diferensial parsial, yaitu suatu masalah Riemann dari persamaan akustik. Aliran udara yang terjadi di dalam pipa akan diilustrasikan dan penyelesaian numerisnya akan dicari. Penyelesaian numeris ini meliputi metode beda hingga grid kolokasi, metode beda hingga grid selang-seling, dan metode volume hingga Lax-Friedrichs. Analisis hasil simulasi yaitu untuk membandingkan metode mana yang paling baik dari ketiga metode dan melihat residual dari metode volume hingga Lax-Friedrichs.
Solusi numeris yang menggunakan metode beda hingga grid kolokasi dan metode beda hingga grid selang-seling menghasilkan solusi yang tidak stabil, sedangkan solusi numeris yang menggunakan metode volume hingga Lax-Friedrichs menunjukkan solusi yang stabil dan tidak terdapat osilasi.
Kata kunci : Persamaan diferensial, hukum kekekalan, persamaan akustik, metode beda hingga, metode volume hingga
viii
ABSTRACT
Flow is the movement that normally occurs in a gas or liquid. The gaseous or liquid flow is called the fluid flow. There are many flow examples that happen in daily life, such as the airflow around airplane wings, the blood flow in a human body, and so on. This undergraduate thesis discusses the airflow that occurs in a pipe on one dimension, namely the condition of the membrane rupture in the pipeline.
The system that governs this acoustics problem is the mathematical model involving the partial differential equation, which is a Riemann problem from the acoustics equation. The airflow that occurs in the pipeline is illustrated, and its numerical solution is searched for. This numerical solution is sought using a collocated finite difference method, a staggered finite difference method, and the Lax-Friedrichs finite volume method. The analysis of the simulation results is to compare which method is the best of all three methods and to see the residual of Lax-Friedrichs finite volume method.
The numerical solutions using collocated finite difference method and staggered finite difference method are unstable, whereas the numerical solution using the Lax-Friedrichs finite volume methods is stable and there is no oscillation, as long as the stability criterion is satisfied.
Keywords: Differential equations, conservation laws, acoustics equation, finite difference method, finite volume method.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan rahmat yang diberikan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini dibuat guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Matematika, Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari bahwa proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak pihak yang membantu penulis dalam menghadapi berbagai macam kesulitan dan hambatan selama proses penulisan skripsi. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Sudi Mungkasi, S.Si., M.Math.Sc., Ph.D. selaku dekan Fakultas Sains dan Teknologi, dan juga selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
2. Bapak Hartono, Ph.D selaku Kaprodi Matematika dan Dosen Pembimbing Akademik.
3. Romo Prof. Dr. Frans Susilo, S.J., Ibu M. V. Any Herawati, S.Si., M.Si., Bapak Ir. Aris Dwiatmoko, M.Sc., Bapak Dr. rer. nat. Herry P. Suryawan, S.Si., M.Si., dan Ibu Lusia Krismiyati Budiasih, S.Si., M.Si. selaku dosen-dosen prodi matematika yang telah memberikan banyak pengetahuan kepada penulis selama proses perkuliahan.
4. Bapak/Ibu dosen/karyawan Fakultas Sains dan Teknologi yang telah berdinamika bersama selama penulis berkuliah.
5. Kedua orang tua, kakak, dan mas Ryan yang telah membantu dan mendukung saya selama pengerjaan skripsi.
x
6. Teman-teman Matematika 2012: Lia, Ajeng, Putri, Sila, Anggun, Manda, Happy, Noni, Dewi, Ryan, Budi, Ega, Bobby, Tika, Ferny, Juli, Ilga, Oxi, dan Risma yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, dan memberikan kecerian serta dukungan selama kuliah.
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu dalam proses penulisan skripsi ini.
Semoga segala perhatian, dukungan, bantuan dan cinta yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Tuhan Yesus Kristus. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengha-rapkan kritik dan saran demi penyempurnaan skripsi ini. Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi referensi belajar yang baik.
Yogyakarta, 11 Mei 2016 Penulis,
xi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN
AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Giri Iriani Jaya Ningrum
Nomor Mahasiswa : 123114021
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
PENYELESAIAN MASALAH PECAHNYA MEMBRAN
DALAM PIPA MENGGUNAKAN METODE BEDA HINGGA
DAN VOLUME HINGGA
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencatumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 11 Mei 2016
Yang menyatakan
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ...iii
HALAMAN PENGESAHAN ...iv
HALAMAN KEASLIAN KARYA ...v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...vi
ABSTRAK ...vii
ABSTRACT ...viii
KATA PENGANTAR ...ix
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...xi
DAFTAR ISI ...xii
BAB I PENDAHULUAN ...1 A. Latar Belakang ...1 B. Rumusan Masalah ...3 C. Batasan Masalah ...4 D. Tujuan Penulisan ...4 E. Metode Penulisan ...5 F. Manfaat Penulisan ...5 G. Sistematika Penulisan ...5
xiii
BAB II TEORI PERSAMAAN DIFERENSIAL ...
A. Klasifikasi Persamaan Diferensial ...8
B. Aturan Rantai ...11
C. Integral ...13
D. Penurunan Numeris ...16
E. Nilai Eigen dan Vektor Eigen ...20
F. Persamaan Diferensial Hiperbolik ...23
G. Karakteristik Persamaan Akustik ...23
H. Bentuk Umum Hukum Kekekalan ...25
I. Domain Dependen dan Range Influence untuk Persamaan Hiperbolik ...28
J. Kondisi CFL ...29
K. Matriks Jacobian ...32
BAB III PERSAMAAN AKUSTIK DAN METODE NUMERISNYA ... A. Hukum Kekekalan ...34
B. Hukum Kekekalan dan Persamaan Diferensial ...36
C. Persamaan Adveksi ...40
D. Persamaan Nonlinear dalam Dinamika Fluida ...44
E. Akustik Linear ...48
F. Gelombang Suara ...52
G. Persamaan Gelombang Orde Kedua ...54
H. Masalah Pecahnya Membran dalam Pipa ...55
xiv
J. Metode Volume Hingga Lax-Friedrichs...63 K. Residual Lokal Lemah ...74 BAB IV PERBANDINGAN HASIL SIMULASI NUMERIS ...
A. Hasil Metode Beda Hingga Grid Kolokasi ...76 B. Hasil Metode Beda Hingga Grid Selang-Seling ...79 C. Hasil Metode Volume Hingga Lax-Friedrichs ...80 BAB V PENUTUP ...
A. Kesimpulan ...84 B. Saran ...84 DAFTAR PUSTAKA ...86 LAMPIRAN ...
1 BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dibahas latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan, metode, manfaat dan sistematika penulisan.
A. Latar Belakang Masalah
Aliran adalah pergerakan yang biasanya terjadi pada gas atau cairan, yang menggambarkan bagaimana gas atau cairan itu berperilaku dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Aliran yang berupa gas atau cairan ini biasanya disebut aliran fluida. Fluida diartikan sebagai zat alir. Ada banyak contoh aliran fluida dalam kehidupan sehari-hari, misalnya aliran udara di sekitar sayap pesawat, aliran darah di dalam tubuh manusia, tumpahan minyak di laut, dan lain sebagainya.
Aliran dapat bersifat tunak atau tidak tunak. Jika semua sifat aliran tidak bergantung pada waktu, maka alirannya disebut tunak, artinya jika arus tidak berubah dari waktu ke waktu. Contoh aliran tunak, misalnya udara yang mengalir melalui pipa dengan laju yang konstan. Sebaliknya, jika semua sifat aliran bergantung pada waktu, maka alirannya disebut tidak tunak. Contoh aliran tidak tunak, misalnya banjir. Skripsi ini akan difokuskan pada aliran udara yang terjadi pada pipa pada saat membran yang berada di tengah pipa pecah.
Pada skripsi ini, akan dilihat gerakan kecepatan dan tekanan pada sistem pipa. Akan dicari pula solusi yang tepat untuk masalah pecahnya membran dalam
sistem pipa ini, dan akan dilihat solusi mana yang akan menghasilkan osilasi paling sedikit.
Pada skripsi ini akan dibahas aliran udara yang mengalir dari pipa sebelah kiri membran menuju pipa sebelah kanan membran. Masalah ini adalah suatu masalah Riemann. Persamaan yang mengatur masalah ini adalah persamaan akustik linear. Sistem yang mengatur masalah akustik ini menggunakan model matematika yang melibatkan persamaan diferensial parsial, yaitu:
𝜕𝑝(𝑥, 𝑡) 𝜕𝑡 + 𝜌𝑐² 𝜕𝑢(𝑥, 𝑡) 𝜕𝑥 = 0, (1.1) 𝜕𝑢(𝑥, 𝑡) 𝜕𝑡 + 1 𝜌 𝜕𝑝(𝑥, 𝑡) 𝜕𝑥 = 0, (1.2)
dengan p adalah tekanan fluida, u adalah kecepatan fluida, ⍴ massa jenis fluida, c adalah kecepatan perambatan gelombang tekanan pada fluida, t adalah variabel waktu dan x adalah variabel ruang dimensi satu di saluran pada pipa. Ilustrasi aliran udara dalam pipa ditunjukkan pada Gambar 1.
Masalah dalam dinamika fluida terlalu rumit untuk dipecahkan secara analitik. Dalam kasus ini, masalah harus diselesaikan dengan metode numerik. Studi ini disebut dinamika fluida numerik atau komputasi. Dinamika fluida komputasi adalah analisis sistem yang melibatkan aliran fluida, perpindahan panas
𝑝kiri= 1
𝑢kanan = 0
𝑝kanan = 0.1
𝑢kiri= 0
Gambar 1. Masalah sistem pipa
dan fenomena terkait seperti reaksi kimia dengan cara simulasi berbasis komputer. Teknik ini sangat kuat dan mencakup berbagai bidang aplikasi industri dan non-industri. Ada banyak metode numerik yang tersedia, seperti metode volume hingga, metode elemen hingga, metode beda hingga, dan lain sebagainya.
Metode beda hingga dikembangkan berdasarkan diskritisasi langsung dari persamaan diferensial yang dipandang. Pada skripsi ini akan dibandingkan metode beda hingga grid kolokasi, metode beda hingga grid selang-seling, dan metode volume hingga Lax-Friedrichs untuk melihat metode mana yang akan menghasilkan simulasi yang paling stabil dan tidak terdapat osilasi. Metode beda hingga grid kolokasi menentukan nilai pendekatan untuk semua variabel p dan u yang tidak diketahui secara bersamaan. Metode beda hingga grid selang-seling menentukan pendekatan variabel p dan u secara selang-seling.
Skripsi ini akan merujuk beberapa buku dan jurnal. Rujukan utama adalah LeVeque (1992, 2002) yang memberikan teori tentang metode numeris grid kolokasi. Selanjutnya, karya Stelling dan Duinmejer (2003) juga akan dipelajari, khususnya tentang metode numeris grid selang seling.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
2. Bagaimana menyelesaikan persamaan aliran udara dalam sistem pipa dengan menggunakan metode beda hingga grid kolokasi?
3. Bagaimana menyelesaikan persamaan aliran udara dalam sistem pipa dengan menggunakan metode beda hingga grid selang-seling?
4. Bagaimana menyelesaikan persamaan aliran udara dalam sistem pipa dengan menggunakan metode volume hingga Lax-Friedrichs?
5. Metode manakah yang akan menghasilkan solusi yang paling stabil dan tidak terdapat osilasi antara metode beda hingga grid kolokasi, metode beda hingga grid selang-seling, dan metode volume hingga Lax-Friedrichs yang dibahas?
C. Batasan Masalah
Agar penulisan mencapai tujuan yang dimaksud, maka perlu ada batasan mengenai permasalahan yang diangkat. Adapun batasan masalahnya adalah permasalahan aliran udara dalam sistem pipa berdimensi satu yang diselesaikan dengan metode beda hingga dan metode volume hingga.
D. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Memodelkan persamaan aliran udara dalam sistem pipa.
2. Menyelesaikan persamaan aliran udara dalam sistem pipa dengan menggunakan metode beda hingga grid kolokasi.
3. Menyelesaikan persamaan aliran udara dalam sistem pipa dengan menggunakan metode beda hingga grid selang-seling.
4. Menyelesaikan persamaan aliran udara dalam sistem pipa dengan menggunakan metode volume hingga Lax-Friedrichs.
5. Akan diperoleh metode yang paling stabil dan tidak terdapat osilasi untuk menyelesaikan masalah Riemann dari persamaan diferensial parsial ini.
E. Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam penulisan skripsi ini adalah studi pustaka dari buku-buku dan jurnal-jurnal serta praktek simulasi numeris.
F. Manfaat Penulisan
Dengan memodelkan aliran udara pada sistem pipa, dapat mensimulasikan kecepatan dan tekanan yang sesuai pada pipa agar tidak terjadi membran pecah.
G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Batasan Masalah D. Tujuan Penulisan
E. Metode Penulisan F. Manfaat Penulisan G. Sistematika Penulisan
BAB II. TEORI PERSAMAAN DIFERENSIAL A. Klasifikasi Persamaan Diferensial B. Aturan Rantai
C. Integral
D. Penurunan Numeris
E. Persamaan Diferensial Hiperbolik F. Karakteristik Persamaan Akustik G. Bentuk Umum Hukum Kekekalan
H. Domain Dependen dan Range Influence untuk Persamaan Hiperbolik I. Kondisi CFL
J. Nilai Eigen dan Vektor Eigen K. Matriks Jacobian
BAB III. PERSAMAAN AKUSTIK DAN METODE NUMERISNYA A. Hukum Kekekalan
B. Hukum Kekekalan dan Persamaan Diferensial C. Persamaan Adveksi
D. Persamaan Nonlinear dalam Dinamika Fluida E. Akustik Linear
F. Gelombang Suara
H. Masalah Pecahnya Membran dalam Pipa I. Metode Beda Hingga
J. Metode Volume Hingga Lax-Friedrichs K. Residual Lokal Lemah
BAB IV. PERBANDINGAN HASIL SIMULASI NUMERIS A. Hasil Metode Beda Hingga Grid Kolokasi
B. Hasil Metode Beda Hingga Grid Selang-Seling C. Hasil Metode Volume Hingga Lax-Friedrichs BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA
8 BAB II
TEORI PERSAMAAN DIFERENSIAL
Pada bab ini akan dibahas klasifikasi persamaan diferensial, aturan rantai, integral, penurunan numeris, nilai dan vektor eigen, persamaan diferensial hiperbolik, karakteristik persamaan akustik, bentuk umum hukum kekekalan, domain dependen dan range influence untuk persamaan hiperbolik, kondisi CFL, serta matriks Jacobian. Penjabaran dalan bab ini akan menjadi landasan teori bagi Bab III dan Bab IV.
A. Klasifikasi Persamaan Diferensial
Suatu persamaan menyatakan relasi kesetimbangan antara dua hal. Persamaan diferensial adalah suatu persamaan menyatakan hubungan suatu fungsi terhadap turunan-turunannya. Klasifikasi persamaan diferensial bisa didasarkan pada banyaknya variabel bebas yang terlibat, orde persamaan diferensial, dan berdasarkan sifat linear/nonlinear.
1. Klasifikasi berdasarkan variabel bebas yang terlibat
Fungsi bisa mempunyai satu variabel bebas atau lebih. Jika fungsi hanya mempunyai satu variabel bebas, maka persamaan diferensial tersebut disebut persamaan diferensial biasa. Jika fungsi mempunyai lebih dari satu variabel bebas, maka persamaan diferensial tersebut disebut persamaan diferensial parsial.
Contoh 2.1
Contoh persamaan diferensial biasa (Ross, 1989)
𝑑2𝑦 𝑑𝑥2+ 𝑥𝑦 ( 𝑑𝑦 𝑑𝑥) 2 = 0.
Persamaan di atas merupakan contoh persamaan diferensial biasa. Terlihat bahwa variabel 𝑥 adalah variabel bebas tunggal dan 𝑦 adalah variabel tidak bebas.
Contoh 2.2
Contoh persamaan diferensial parsial 𝜕𝑣 𝜕𝑠+
𝜕𝑣 𝜕𝑡 = 𝑣.
Persamaan di atas merupakan contoh dari persamaan diferensial parsial. Terlihat bahwa variabel 𝑠 dan 𝑡 adalah variabel bebas dan 𝑣 adalah variabel tidak bebas.
2. Klasifikasi berdasarkan orde persamaan diferensial
Orde persamaan diferensial adalah tingkat tertinggi dari turunan fungsi yang terlibat dalam persamaan diferensial. Persamaan diferensial biasa contoh 2.1 mempunyai orde dua, sebab turunan tertinggi dari fungsi yang terlibat adalah turunan kedua. Persamaan diferensial parsial contoh 2.2 mempunyai orde satu.
3. Klasifikasi berdasarkan sifat linear/nonlinear
Persamaan diferensial dapat terbagi menjadi dua, yaitu linear dan nonlinear. Persamaan diferensial biasa linear orde 𝑛 dengan variabel tak bebas 𝑦 dan variabel bebas 𝑥 adalah persamaan diferensial yang dapat dinyatakan dalam bentuk: 𝑎0(𝑥) 𝑑𝑛𝑦 𝑑𝑥𝑛 + 𝑎1(𝑥) 𝑑𝑛−1𝑦 𝑑𝑥𝑛−1+ ⋯ + 𝑎𝑛−1(𝑥) 𝑑𝑦 𝑑𝑥+ 𝑎𝑛(𝑥)𝑦 = 𝑏(𝑥),
dimana 𝑎0 tidak sama dengan nol. Jadi, linear disini adalah linear terhadap
variable tak bebas dan turunan-turunannya. Persamaan diferensial di atas linear, sebab tidak ada perkalian antara fungsi 𝑦 dan 𝑦 atau 𝑦 dengan turunannya, dan tidak ada fungsi transendental dari 𝑦 atau turunannya.
Contoh 2.3
Persamaan diferensial biasa berikut keduanya linear 𝑑2𝑦 𝑑𝑥2+ 5 𝑑𝑦 𝑑𝑥+ 6𝑦 = 0, 𝑑4𝑦 𝑑𝑥4+ 𝑥 2𝑑3𝑦 𝑑𝑥3+ 𝑥 3𝑑𝑦 𝑑𝑥 = 𝑥𝑒 𝑥.
Persamaan diferensial biasa nonlinear adalah persamaan diferensial biasa yang tak linear.
Contoh 2.4
𝑑2𝑦 𝑑𝑥2+ 5 𝑑𝑦 𝑑𝑥+ 6𝑦 2 = 0, 𝑑2𝑦 𝑑𝑥2+ 5 ( 𝑑𝑦 𝑑𝑥) 3 + 6𝑦 = 0, 𝑑2𝑦 𝑑𝑥2+ 5𝑦 𝑑𝑦 𝑑𝑥+ 6𝑦 = 0. B. Aturan Rantai
Aturan rantai merupakan cara yang digunakan untuk mendiferensialkan suatu fungsi komposisi.
1. Aturan Rantai Kasus I (Leithold, 1986)
Misalkan 𝑦 fungsi dalam 𝑢, didefinisikan oleh persamaan 𝑦 = 𝑓(𝑢), 𝐷𝑢𝑦 ada dan 𝑢 fungsi dalam 𝑥 didefinisikan oleh persamaan 𝑢 = 𝑔(𝑥) dengan 𝐷𝑥𝑢 ada, maka 𝑦 merupakan fungsi dalam 𝑥, 𝐷𝑥𝑦 ada dan memenuhi:
𝐷𝑥𝑦 = 𝐷𝑢𝑦 ∙ 𝐷𝑥𝑢 atau 𝑑𝑦 𝑑𝑥= 𝑑𝑦 𝑑𝑢∙ 𝑑𝑢 𝑑𝑥. Contoh 2.5
Carilah 𝑑𝑦 𝑑𝑢⁄ dari persamaan 𝑦 = 4𝑥4 − 6 dan 𝑥 = 𝑢2+ 4
Penyelesaian:
𝑑𝑦
𝑑𝑥 = 16𝑥
3 dan 𝑑𝑥
𝑑𝑦 𝑑𝑢= ( 𝑑𝑦 𝑑𝑥) . ( 𝑑𝑥 𝑑𝑢) 𝑑𝑦 𝑑𝑢= 16𝑥 3∙ 2𝑢 𝑑𝑦 𝑑𝑢= 32𝑥 3𝑢. Karena 𝑥 = 𝑢2+ 4, diperoleh 𝑑𝑦 𝑑𝑢 = 32(𝑢 2 + 4)3𝑢.
2. Aturan Rantai Kasus II
Berikut ini merupakan aturan rantai untuk fungsi dua variabel dengan masing-masing variabel juga merupakan fungsi dua variabel. Misalkan 𝑢 fungsi dalam 𝑥 dan 𝑦, didefinisikan oleh persamaan 𝑢 = 𝑓(𝑥, 𝑦), dan 𝑥 = 𝐹(𝑟, 𝑠), 𝑦 = 𝐺(𝑟, 𝑠) dengan 𝜕𝑥 𝜕𝑟
,
𝜕𝑥 𝜕𝑠,
𝜕𝑦 𝜕𝑟,
dan 𝜕𝑦𝜕𝑠
semuanya ada. Maka 𝑢 juga merupakan
fungsi dalam 𝑟 dan 𝑠, dan memenuhi: 𝜕𝑢 𝜕𝑟 = ( 𝜕𝑢 𝜕𝑥) ( 𝜕𝑥 𝜕𝑟) + ( 𝜕𝑢 𝜕𝑦) ( 𝜕𝑦 𝜕𝑟) 𝜕𝑢 𝜕𝑠 = ( 𝜕𝑢 𝜕𝑥) ( 𝜕𝑥 𝜕𝑠) + ( 𝜕𝑢 𝜕𝑦) ( 𝜕𝑦 𝜕𝑠). Contoh 2.6
Misalkan 𝑢 = 𝑥3𝑦, dengan 𝑥 = 2𝑠 dan 𝑦 = 𝑠2. Tentukan 𝑑𝑢 𝑑𝑠⁄
Penyelesaian: 𝑑𝑢 𝑑𝑠 = ( 𝜕𝑢 𝜕𝑥) ( 𝑑𝑥 𝑑𝑠) + ( 𝜕𝑢 𝜕𝑦) ( 𝑑𝑦 𝑑𝑠) = (3𝑥2𝑦 ∙ 2) + (𝑥3∙ 2𝑠)
= 6𝑥2𝑦 + 2𝑥3𝑠 = 6(2𝑠)2(𝑠2) + 2(2𝑠)3𝑠 𝑑𝑢 𝑑𝑠 = 40𝑠 4 C. Integral
Ada dua macam integral, yaitu integral tak tentu dan integral tentu. 1. Integral Tentu
Definisi 2.1
Sebuah fungsi 𝐹 disebut antiturunan 𝑓 pada interval 𝐼 jika 𝐷𝑥𝐹(𝑥) = 𝑓(𝑥) pada 𝐼,
yakni jika 𝐹′(𝑥) = 𝑓(𝑥) untuk 𝑥 dalam 𝐼.
Teorema (Varberg Purcell Rigdon, 2007)
Jika 𝑟 adalah sebarang bilangan rasional kecuali −1, maka
∫ 𝑥𝑟𝑑𝑥 = 𝑥
𝑟+1
𝑟 + 1+ 𝐶. Bukti:
Untuk membuktikan 𝐹′(𝑥) = 𝑓(𝑥), maka akan dicari turunan untuk ruas kanan
𝐷𝑥[ 𝑥𝑟+1 𝑟 + 1+ 𝐶] = 1 𝑟 + 1(𝑟 + 1)𝑥 𝑟 = 𝑥𝑟. Teorema terbukti.
Contoh 2.7 (Anton, 2012)
Fungsi 𝐹(𝑥) =1
3𝑥
3 adalah antiturunan dari 𝑓(𝑥) = 𝑥2 pada interval (−∞, +∞)
karena untuk semua 𝑥 di interval
𝐹′(𝑥) = 𝑑 𝑑𝑥[ 1 3𝑥 3] = 𝑥2 = 𝑓(𝑥). Namun, 𝐹(𝑥) =1 3𝑥
3 bukan satu-satunya antiturunan dari 𝑓 pada interval. Jika
ditambahkan sebarang konstan 𝐶 ke 1
3𝑥
3, maka fungsi 𝐺(𝑥) =1 3𝑥
3+ 𝐶 juga
antiturunan dari 𝑓 pada interval (−∞, +∞), sebab
𝐺′(𝑥) = 𝑑 𝑑𝑥[
1 3𝑥
3+ 𝐶] = 𝑥2+ 0 = 𝑓(𝑥).
Pada umumnya setiap antiturunan merupakan suatu yang tunggal, antiturunan lainnya dapat diperoleh dengan menambahkan suatu konstanta untuk antiturunan yang diketahui. Dengan demikian,
1 3𝑥 3, 1 3𝑥 3+ 2, 1 3𝑥 3− 5, 1 3𝑥 3 + √2
merupakan antiturunan dari 𝑓(𝑥) = 𝑥2.
2. Integral Tentu
Luas Daerah (Martono, 1999)
Pada Gambar 2.1 (a) daerah 𝐷 di bidang yang dibatasi grafik fungsi kontinu 𝑓, garis 𝑥 = 𝑎, garis 𝑥 = 𝑏, dan sumbu 𝑥, dengan 𝑓(𝑥) ≥ 0 pada [𝑎, 𝑏], ditulis
Dengan menggunakan limit, luas daerah 𝐷 dihitung dengan langkah konstruksi sebagai berikut:
1. Selang tertutup [𝑎, 𝑏] dibagi menjadi 𝑛 bagian yang sama panjang, sehingga diperoleh titik pembagian
𝑎 = 𝑥0 < 𝑥1 < 𝑥2 < ⋯ < 𝑥𝑖−1< 𝑥𝑖 < ⋯ < 𝑥𝑛 = 𝑏.
Himpunan titik-titik pembagian 𝑃 = {𝑥0, 𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛} dinamakan partisi untuk
[𝑎, 𝑏]. Selang bagian ke-𝑖 dari partisi 𝑃 adalah [𝑥𝑖−1, 𝑥𝑖], 𝑖 = 1, 2, … , 𝑛, dan panjang selangnya adalah ∆𝑥𝑖 = 𝑥𝑖− 𝑥𝑖−1. Panjang partisi 𝑃 didefinisikan sebagai ||𝑃|| = max
1≤𝑖≤𝑛∆𝑥𝑖.
2. Pilih 𝑐𝑖 ∈ [𝑥𝑖−1, 𝑥𝑖], 𝑖 = 1, 2, … , 𝑛 kemudian dibuat persegi panjang dengan ukuran alas = ∆𝑥𝑖 = 𝑥𝑖 − 𝑥𝑖−1, 𝑖 = 1, 2, … , 𝑛, dan 𝑦 0 𝑥 𝑓 𝐷 𝑎 𝑏
Gambar 2.1 (a) Ilustrasi kurva fungsi 𝑓
𝑦
0 𝑥
𝑓
𝐷
𝑎 𝑏
Gambar 2.1 (b) Ilustrasi partisi kurva fungsi 𝑓 𝑥1 𝑐𝑛 𝑐𝑖 𝑐1 𝑥𝑖
tinggi = 𝑓(𝑐𝑖), 𝑐𝑖 ∈ [𝑥𝑖−1, 𝑥𝑖], 𝑖 = 1, 2, … , 𝑛.
Luas persegi panjang ke-𝑖 pada Gambar. 2.1 (b) adalah ∆𝐿𝑖 = 𝑓(𝑐𝑖)∆𝑥𝑖, sehingga luas daerah 𝐷 yang dihampiri oleh 𝑛 buah persegi panjang adalah
Luas 𝐷 ≈ ∑ 𝑓(𝑐𝑖)∆𝑥𝑖 𝑛
𝑖=1
.
3. Nilai eksak luas daerah 𝐷 dicapai bila 𝑛 → ∞. Untuk partisi yang setiap selang bagiannya sama panjang, 𝑛 → ∞ sama artinya dengan ||𝑃|| → 0, sehingga
Luas 𝐷 = lim 𝑛→∞∑ 𝑓(𝑐𝑖)∆𝑥𝑖 = lim||𝑃||→0∑ 𝑓(𝑐𝑖)∆𝑥𝑖 𝑛 𝑖=1 𝑛 𝑖=1 . Definisi 2.2
Integral tentu dari fungsi 𝑓 pada selang tertutup [𝑎, 𝑏], ditulis dengan lambang ∫ 𝑓(𝑥)𝑑𝑥𝑎𝑏 , didefinisikan sebagai ∫ 𝑓(𝑥)𝑑𝑥 = lim
||𝑃||→0∑ 𝑓(𝑐𝑖)∆𝑥𝑖 𝑛 𝑖=1 𝑏 𝑎 . D. Penurunan Numeris
Salah satu cara untuk menyelesaikan persamaan diferensial adalah dengan menggunakan metode beda hingga. Metode ini menggunakan pendekatan ekspansi Taylor di titik acuannya. Deret Taylor dapat memberikan nilai hampiran bagi suatu fungsi pada suatu titik, berdasarkan nilai fungsi dan derivatifnya, dipandang deret Taylor pada persamaan (2.1), yaitu:
𝑓(𝑥𝑖+1) ≈ 𝑓(𝑥𝑖) + 𝑓′(𝑥𝑖)ℎ + 𝑓′′(𝑥𝑖) 2! ℎ 2+𝑓 ′′′(𝑥 𝑖) 3! ℎ 3+ ⋯ +𝑓 (𝑛)(𝑥 𝑖) 𝑛! ℎ 𝑛 + 𝑅𝑛, (2.1) dengan 𝑅𝑛 adalah: 𝑅𝑛 = 𝑓 (𝑛+1)(𝜉) (𝑛 + 1)! ℎ 𝑛+1, ℎ = 𝑥 𝑖+1− 𝑥𝑖.
Penurunan numeris pada metode beda hingga dapat diambil salah satu dari tiga pendekatan, yaitu
1. Beda maju Dipandang 𝑓′(𝑥 𝑖) = 𝑓(𝑥𝑖+1) − 𝑓(𝑥𝑖) 𝑥𝑖+1− 𝑥𝑖 + 𝑂(𝑥𝑖+1− 𝑥𝑖) (2.2) atau 𝑓′(𝑥 𝑖) = ∆𝑓𝑖 ℎ + 𝑂(ℎ), (2.3) dengan ∆𝑓𝑖 = 𝑓(𝑥𝑖+1) − 𝑓(𝑥𝑖).
Persamaan (2.2) dan (2.3) menggunakan data ke-𝑖 dan 𝑖 + 1 untuk menghampiri turunan pertama dari 𝑓(𝑥). Persamaan ini disebut aproksimasi diferensiasi maju dari turunan pertama.
𝑓(𝑥)
ℎ
turunan sebenarnya
aproksimasi
𝑥𝑖 𝑥𝑖+1
2. Beda mundur Dipandang 𝑓(𝑥𝑖−1) = 𝑓(𝑥𝑖) − 𝑓′(𝑥𝑖)ℎ + 𝑓′′(𝑥𝑖) 2! ℎ 2− ⋯ (2.4)
Persamaan (2.4) merupakan deret Taylor yang diperluas mundur untuk menghitung nilai sebelumnya menggunakan nilai sekarang. Deret (2.4) dipotong setelah suku turunan pertama, maka diperoleh:
𝑓′(𝑥𝑖) ≈ 𝑓(𝑥𝑖) − 𝑓(𝑥𝑖−1) ℎ + 𝑂(ℎ) = ∇𝑓𝑖 ℎ + 𝑂(ℎ), (2.5) dengan ∇𝑓𝑖 = 𝑓(𝑥𝑖) − 𝑓(𝑥𝑖−1).
Persamaan (2.5) merupakan aproksimasi diferensiasi beda mundur dari turunan pertama.
3. Beda Pusat
Akan dikurangkan persamaan (2.29) dari deret maju Taylor (2.26), maka: 𝑓(𝑥𝑖−1) − 𝑓(𝑥𝑖+1) = (𝑓(𝑥𝑖) − 𝑓(𝑥𝑖)) − (𝑓′(𝑥 𝑖)ℎ + 𝑓′(𝑥𝑖)ℎ) + 𝑓′′(𝑥 𝑖) 2! ℎ 2− 𝑓′′(𝑥𝑖) 2! ℎ 2 −𝑓′′′(𝑥𝑖) 3! ℎ 3− ⋯ 𝑓(𝑥) ℎ turunan sebenarnya aproksimasi 𝑥𝑖 𝑥𝑖−1
Setelah beberapa perhitungan dan operasi aljabar, maka diperoleh 𝑓(𝑥𝑖+1) = 𝑓(𝑥𝑖−1) + 2𝑓′(𝑥𝑖)ℎ + 𝑓′′′(𝑥𝑖) 3! ℎ 3+ ⋯ (2.6) 𝑓′(𝑥𝑖) = 𝑓(𝑥𝑖+1) − 𝑓(𝑥𝑖−1) 2ℎ − 𝑓′′′(𝑥𝑖) 6 ℎ 2 + ⋯ (2.7) atau 𝑓′(𝑥𝑖) =𝑓(𝑥𝑖+1) − 𝑓(𝑥𝑖−1) 2ℎ − 𝑂(ℎ 2). (2.8)
Persamaan (2.8) merupakan aproksimasi diferensiasi tengah (pusat) dari turunan pertama.
Contoh 2.8
Gunakan aproksimasi beda maju, beda mundur dan beda pusat untuk menghampiri turunan pertama dari:
𝑓(𝑥) = −0.1𝑥4− 0.15𝑥3− 0.5𝑥2− 0.25𝑥 + 1.2 Pada titik 𝑥 = 0.5 dengan ukuran langkah ℎ = 0.5.
Turunan dari 𝑓(𝑥) dapat dihitung secara langsung, yakni: 𝑓′(𝑥) = −0.4𝑥3− 0.45𝑥2− 1.0𝑥 − 0.25,
sehingga nilai eksak 𝑓′(0.5) = −0.9125. Untuk ℎ = 0.5, maka: 𝑓(𝑥) 2ℎ turunan sebenarnya aproksimasi 𝑥𝑖+1 𝑥𝑖−1
𝑥𝑖−1 = 0 𝑓(𝑥𝑖−1) = 1.2
𝑥𝑖 = 0.5 𝑓(𝑥𝑖) = 0.925
𝑥𝑖+1 = 1 𝑓(𝑥𝑖+1) = 0.2
Aproksimasi beda maju dari persamaan (2.27), yaitu: 𝑓′(0.5) =0.2 − 0.925
0.5 = −1.45 dengan error relatif sebesar 𝜀𝑡= −58.9%.
Aproksimasi beda mundur dari persamaan (2.30), yaitu: 𝑓′(0.5) ≈0.925 − 1.2
0.5 = −0.55 dengan error relatif sebesar 𝜀𝑡 = 39.7%.
Aproksimasi beda pusat dari persamaan (2.33), yaitu: 𝑓′(0.5) ≈0.2 − 1.2
1 = −1
dengan error relatif sebesar 𝜀𝑡 = −9.6%.
Terlihat bahwa aproksimasi beda pusat memberikan hampiran bagi turunan pertama dengan error yang paling kecil, artinya aproksimasi beda pusat ini memberikan penyelesaian yang paling mendekati nilai eksaknya. Teori tentang penurunan numeris ini merujuk dari buku Setiawan (2006)
E. Nilai Eigen dan Vektor Eigen
Bagian ini menjelaskan pengertian nilai eigen dan vektor eigen suatu matriks.
Definisi 2.3 (Leon, 2001)
Misalkan 𝐴 adalah suatu matriks 𝑛 × 𝑛. Skalar 𝜆 disebut sebagai suatu nilai eigen atau nilai karakteristik dari 𝐴 jika terdapat suatu vektor taknol 𝐱, sehingga 𝐴𝐱 = 𝜆𝐱. Vektor 𝐱 disebut vektor eigen atau vektor karakteristik dari 𝜆.
Contoh 2.9 Misalkan 𝐴 = (4 −2 1 1 ) dan 𝐱 = ( 2 1) dapat dilihat bahwa
𝐴𝐱 = (4 −2 1 1 ) ( 2 1) = ( 6 3) = 3 ( 2 1) = 3𝐱
dengan demikian 𝜆 = 3 adalah nilai eigen dari 𝐴 dan 𝐱 = (2,1)𝑇 merupakan
vektor eigen dari 𝜆. Sebarang kelipatan taknol dari 𝐱 akan menjadi vektor eigen, karena
𝐴(𝛼𝐱) = 𝛼𝐴𝐱 = 𝛼𝜆𝐱 = 𝜆(𝛼𝐱). Jadi, (4,2)𝑇 juga vektor eigen milik 𝜆 = 3.
(4 −2 1 1 ) ( 4 2) = ( 12 6) = 3 ( 4 2).
Misalkan 𝐴 adalah matriks 𝑛 × 𝑛 dan 𝜆 adalah suatu skalar, persamaan 𝐴𝐱 = 𝜆𝐱 dapat ditulis dalam bentuk
(𝐴 − 𝜆𝐼)𝐱 = 𝟎. (2.9)
det(𝐴 − 𝜆𝐼) = 0
dapat ditentukan sebuah nilai eigen dan vektor eigen dari matriks 𝐴.
Contoh 2.10
Carilah nilai-nilai eigen dan vektor eigen yang bersesuaian dari matriks
𝐴 = (3 2 3 −2). Penyelesaian: Persamaan karakteristiknya adalah
|3 − 𝜆 2
3 −2 − 𝜆| = 0 atau λ
2 − 𝜆 − 12 = 0.
Jadi, nilai-nilai eigen dari 𝐴 adalah 𝜆1 = 4 dan 𝜆2 = −3. Untuk mencari vektor eigen yang dimiliki oleh 𝜆1 = 4, harus ditentukan ruang nol dari 𝐴 − 4𝐼.
𝐴 − 4𝐼 = (−1 2 3 −6).
Dengan menyelesaikan (𝐴 − 4𝐼)𝐱 = 𝟎, dengan 𝐱 = (x1, x2)𝑇, akan didapatkan
𝐱 = (2x2, x2)𝑇.
Jadi semua kelipatan taknol dari (2,1)𝑇 adalah vektor eigen milik 𝜆1 dan {(2,1)𝑇}
adalah suatu basis untuk ruang eigen yang bersesuaian dengan 𝜆1. Dengan cara yang sama, untuk mendapatkan vektor eigen bagi 𝜆2, harus diselesaikan
(𝐴 + 3𝐼)𝐱 = 𝟎.
Pada kasus ini {(−1,3)𝑇} adalah basis untuk 𝑁(𝐴 + 3𝐼) dan sembarang kelipatan taknol dari (−1, 3)𝑇 adalah vektor eigen yang bersesuaian 𝜆
F. Persamaan Diferensial Hiperbolik
Sistem hiperbolik pada persamaan diferensial parsial dapat digunakan untuk memodelkan berbagai macam fenomena yang melibatkan gerakan gelombang. Masalah yang diangkat umumnya tergantung pada waktu, sehingga solusinya tergantung pada waktu serta satu atau lebih variabel spasial. Dalam ruang dimensi satu, sistem orde pertama persamaan diferensial parsial homogen di 𝑥 dan 𝑡 memiliki bentuk
𝑞𝑡(𝑥, 𝑡) + 𝐴𝑞𝑥(𝑥, 𝑡) = 0, (2.10) disini 𝑞: ℝ × ℝ → ℝ𝑚 adalah vektor dengan 𝑚 komponen yang mewakili fungsi yang tidak diketahui (tekanan, kecepatan, dan lainnya) yang akan ditentukan, dan 𝐴 adalah sebuah matriks konstan yang berukuran 𝑚 × 𝑚.
G. Karakteristik Persamaan Akustik Dipandang persamaan akustik
𝑝𝑡+ 𝜌𝑐2𝑢
𝑥 = 0, (2.11)
𝑢𝑡+
1
𝜌𝑝𝑥 = 0. (2.12)
Persamaan di atas dapat ditulis ulang dengan memperkenalkan vektor 𝑞 seperti yang terlihat pada persamaan (2.13)
𝑞𝑡+ 𝐴𝑞𝑥 = 0, (2.13)
dengan 𝑞 = (𝑝𝑢) , 𝐴 = ( 0 𝜌𝑐
2
Nilai eigen dan vektor eigen berkorespondensi dengan matriks 𝐴 dilambangkan 𝑒1, 𝑒2 dan 𝑟̅1, 𝑟̅2 masing-masing. Matriks 𝑅 dan 𝐸 adalah matriks
eigen didefinisikan pada persamaan (2.14)
𝑅 = (𝑟̅1 𝑟̅2), 𝐸 = (𝑒1 0
0 𝑒2). (2.14)
Asumsikan matriks 𝐴 mempunyai dua nilai eigen real berbeda dengan persamaan diagonalisasi dari matriks 𝐴 dapat dilihat pada persamaan (2.15)
𝑅−1𝐴𝑅 = 𝐸. (2.15)
Menggunakan sifat diagonalisasi, maka persamaan (2.15) dapat ditulis ulang menjadi: 𝑅−1𝑞 𝑡+ 𝑅−1𝐴𝑅𝑅−1𝑞𝑥 = 0 atau 𝑅−1𝑞𝑡+ 𝐸𝑅−1𝑞𝑥= 0. Substitusi variabel 𝑅−1𝑞 = 𝜔 = (𝜔1
𝜔2) hasil pada persamaan akhir dipisahkan (2.16)
𝜔𝑡1 + 𝑒
1𝜔𝑥1 = 0
(2.16) 𝜔𝑡2+ 𝑒2𝜔𝑥2 = 0.
Persamaan (2.11) dan (2.12) dalam bentuk (2.12) dengan 𝑞 = (𝑝 𝑢),
𝐴 = ( 0 𝜌𝑐
2
1 𝜌⁄ 0 ). Nilai eigen 𝑒1, 𝑒2 dan berkorespondensi vektor eigen 𝑟̅
1, 𝑟̅2
𝑒1 = 𝑐 𝑟̅1 = (𝜌𝑐 1) (2.17) 𝑒2 = −𝑐 𝑟̅2 = (−𝜌𝑐 1 )
Solusi persamaan adveksi (2.13), ditulis dalam variabel baru 𝜔 berjalan dengan kecepatan 𝑐 dan −𝑐. Solusi variabel baru 𝜔 = (𝜔1
𝜔2) terdiri dari dua gelombang
yang sesuai dengan masing-masing komponen 𝜔, yaitu 𝜔1 berjalan dengan kecepatan 𝑐 dan 𝜔2 berjalan dengan kecepatan −𝑐.
H. Bentuk Umum Hukum Kekekalan
Dalam ruang dimensi satu, metode volume hingga didasarkan pada membagi domain spasial ke dalam interval (grid sel) dan mengaproksimasi integral 𝑞 untuk masing-masing volume grid sel tersebut. Dalam setiap langkah waktu, nilai-nilai integral tersebut diperbaharui dengan melakukan pendekatan terhadap fluks di titik akhir interval.
Misal sel ke-𝑖 dinotasikan dengan 𝐶𝑖 = (𝑥𝑖−1 2⁄ , 𝑥𝑖+1 2⁄ ), yang
ditunjukkan pada Gambar 2.3. Nilai 𝑄𝑖𝑛 akan mengaproksimasi dengan nilai rata-rata sepanjang interval ke-𝑖 pada waktu 𝑡𝑛:
𝑄𝑖𝑛 ≈ 1 ∆𝑥∫ 𝑞(𝑥, 𝑡𝑛)𝑑𝑥 𝑥𝑖+1 2⁄ 𝑥𝑖−1 2⁄ ≡ 1 ∆𝑥∫ 𝑞(𝑥, 𝑡𝐶 𝑛)𝑑𝑥, 𝑖 (2.18)
dengan ∆𝑥 = 𝑥𝑖+1 2⁄ − 𝑥𝑖−1 2⁄ adalah panjang sel.
Jika 𝑞(𝑥, 𝑡) adalah sebuah fungsi halus, maka integral (2.18) sesuai dengan nilai dari 𝑞 pada titik tengah dari interval ke 𝑂(∆𝑥2).
Dipandang hukum kekekalan 𝑑 𝑑𝑡 ∫ 𝑞(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 𝑥2 𝑥1 = 𝐹1(𝑡) − 𝐹2(𝑡).
Bentuk integral dari hukum kekekalan di atas memberikan 𝑑
𝑑𝑡∫ 𝑞(𝑥, 𝑡)𝐶
𝑖
𝑑𝑥 = 𝑓 (𝑞(𝑥𝑖−1 2⁄ , 𝑡)) − 𝑓 (𝑞(𝑥𝑖+1 2⁄ , 𝑡)). (2.19)
Dapat digunakan bentuk ini untuk membangun suatu algoritma. Diberikan 𝑄𝑖𝑛, rata-rata sel pada waktu 𝑡𝑛, akan mengaproksimasi 𝑄𝑖𝑛+1, rata-rata sel pada waktu
selanjutnya 𝑡𝑛+1 dengan panjang langkah waktu ∆𝑡 = 𝑡𝑛+1− 𝑡𝑛. Integralkan (2.19) pada waktu 𝑡𝑛 sampai 𝑡𝑛+1 diperoleh
∫ 𝑞(𝑥, 𝑡𝑛+1)𝑑𝑥 − ∫ 𝑞(𝑥, 𝑡𝑛)𝑑𝑥 = ∫ 𝑓(𝑞( 𝑡𝑛+1 𝑡𝑛 𝐶𝑖 𝐶𝑖 𝑥𝑖−1 2⁄ ,𝑡))𝑑𝑡 − ∫ 𝑓 (𝑞(𝑥𝑖+1 2⁄ ,𝑡)) 𝑑𝑡 𝑡𝑛+1 𝑡𝑛 .
Persamaan di atas dibagi dengan ∆𝑥, maka diperoleh
𝑡𝑛+1 𝑡𝑛 𝑄𝑖𝑛+1 𝐹𝑖−1 2𝑛 ⁄ 𝑄𝑖−1𝑛 𝑄𝑖𝑛 𝑄𝑖+1𝑛 𝐹𝑖+1 2𝑛 ⁄
Gambar 2.3. Ilustrasi metode volume hingga untuk memperbaharui rata-rata sel 𝑄𝑖𝑛 oleh fluks pada tepi sel, pada ruang 𝑥 − 𝑡.
1 ∆𝑥∫ 𝑞(𝑥, 𝑡𝑛+1)𝑑𝑥 = 1 ∆𝑥∫ 𝑞(𝑥, 𝑡𝐶 𝑛)𝑑𝑥 𝑖 𝐶𝑖 − 1 ∆𝑥[∫ 𝑓 (𝑞(𝑥𝑖+1 2⁄ ,𝑡)) 𝑑𝑡 𝑡𝑛+1 𝑡𝑛 − ∫ 𝑓 (𝑞(𝑥𝑖−1 2⁄ ,𝑡)) 𝑑𝑡 𝑡𝑛+1 𝑡𝑛 ]. (2.20)
Hal ini memberitahu bahwa rata-rata dari 𝑞 (2.18) harus diperbaharui dalam satu langkah waktu. Secara umum, tidak bisa ditentukan secara langsung integral waktu pada sisi kanan (2.20), karena 𝑞(𝑥𝑖±1 2⁄ , 𝑡) bervariasi terhadap waktu
sepanjang setiap tepi sel dan tidak ada solusi eksaknya, tetapi ini menunjukkan bahwa harus dipelajari metode numerik dalam bentuk
𝑄𝑖𝑛+1 = 𝑄𝑖𝑛− Δ𝑡
Δ𝑥(𝐹𝑖+1 2⁄
𝑛 − 𝐹
𝑖−1 2𝑛 ⁄ ), (2.21)
dengan 𝐹𝑖−1 2𝑛 ⁄ adalah aproksimasi rata-rata fluks sepanjang 𝑥 = 𝑥𝑖−1 2⁄ :
𝐹𝑖−1 2𝑛 ⁄ ≈ 1
∆𝑥∫ 𝑓 (𝑞(𝑥𝑖−1 2⁄ , 𝑡)) 𝑑𝑡.
𝑡𝑛+1 𝑡𝑛
Jika mengaproksimasi rata-rata fluks berdasarkan pada nilai 𝑄𝑛, maka diperoleh
metode yang sepenuhnya diskret.
Misalkan 𝐹𝑖−1 2𝑛 ⁄ dapat dihasilkan dengan hanya bergantung pada nilai 𝑄𝑖−1𝑛 dan 𝑄𝑖𝑛, rata-rata sel pada kedua sisi dari interface ini. Maka
𝐹𝑖−1 2𝑛 ⁄ = Ӻ(𝑄𝑖−1𝑛 , 𝑄𝑖𝑛), dengan Ӻ adalah suatu fungsi fluks. Metode (2.21) menjadi
𝑄𝑖𝑛+1 = 𝑄𝑖𝑛− ∆𝑡 ∆𝑥[Ӻ(𝑄𝑖
𝑛, 𝑄
Metode tertentu yang diperoleh tergantung pada pemilihan rumus Ӻ, tetapi secara umum metode ini merupakan metode eksplisit stensil tiga titik, yang berarti bahwa nilai 𝑄𝑖𝑛+1 akan bergantung pada tiga nilai 𝑄𝑖−1𝑛 , 𝑄𝑖𝑛, dan 𝑄𝑖+1𝑛 pada level waktu sebelumnya. Metode (2.22) dapat dilihat sebagai aproksimasi beda hingga untuk hukum kekekalan 𝑞𝑡+ 𝑓(𝑞)𝑥= 0, yang memberikan
𝑄𝑖𝑛+1− 𝑄𝑖𝑛
∆𝑡 +
𝐹𝑖+1 2𝑛 ⁄ − 𝐹𝑖−1 2𝑛 ⁄
∆𝑥 = 0. (2.23)
I. Domain Dependen dan Range Influence untuk Persamaan Hiperbolik Domain dependen pada titik (𝑋, 𝑇) didefinisikan sebagai berikut:
𝒟(𝑋, 𝑇) = {𝑋 − 𝜆𝑝𝑇: 𝑝 = 1,2, … , 𝑚},
dengan (𝑋, 𝑇) adalah titik yang ditetapkan pada ruang-waktu dan 𝜆𝑝 adalah kecepatan gelombang, ilustrasi domain dependen dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Sekarang fokus pada titik tunggal 𝑥0 pada waktu 𝑡 = 0. Pilihan data pada saat ini hanya akan mempengaruhi sinar karakteristik 𝑥0+ 𝜆𝑝𝑡 untuk 𝑝 = 1, 2, … , 𝑚.
(𝑋, 𝑇)
(a) 𝑋 − 𝜆3𝑇 𝑋 − 𝜆2𝑇 𝑋 − 𝜆1𝑇
𝑥0+ 𝜆1𝑡 𝑥0+ 𝜆2𝑡 𝑥0+ 𝜆3𝑡
𝑥0
(b)
Gambar 2.4. Sistem hiperbolik khusus tiga persamaan dengan 𝜆1 < 0 < 𝜆2 < 𝜆3, (a) menunjukkan domain dependen dari titik (𝑋, 𝑇), dan (b) menunjukkan range influence titik 𝑥0.
Himpunan titik-titik ini disebut range influence titik 𝑥0, yang diilustrasikan pada Gambar 2.4 (b).
J. Kondisi CFL
Kondisi CFL merupakan syarat perlu yang harus dipenuhi oleh metode volume hingga atau metode beda hingga jika diinginkan solusi yang stabil dan konvergen ke solusi persamaan diferensial, yaitu ketika grid diperkecil atau ∆𝑥 diperkecil.
Dengan metode eksplisit (2.22) nilai 𝑄𝑖𝑛+1 hanya bergantung pada tiga nilai 𝑄𝑖−1𝑛 , 𝑄𝑖𝑛, dan 𝑄𝑖+1𝑛 pada waktu sebelumnya. Misal pengaplikasian metode tersebut untuk persamaan adveksi 𝑞𝑡+ 𝑢̅𝑞𝑥 = 0 dengan 𝑢̅ > 0 sehingga penyelesaian eksaknya hanya didefinisikan pada kecepatan 𝑢̅ dan bergerak sejauh 𝑢̅∆𝑡 dalam satu langkah waktu. Gambar 2.5 (a) menunjukkan situasi dimana 𝑢̅∆𝑡 < ∆𝑥, sehingga informasi yang menyebar kurang dari satu grid sel dalam langkah waktu. Dalam hal ini, akan mendefinisikan fluks pada 𝑥𝑖−1 2⁄ di 𝑄𝑖−1𝑛 dan
𝑄𝑖𝑛 saja. Pada Gambar 2.5 (b), sebuah langkah waktu yang besar dengan 𝑢̅∆𝑡 > ∆𝑥. Pada kasus ini, fluks pada 𝑥𝑖−1 2⁄ jelas bergantung pada nilai 𝑄𝑖−2𝑛 , dan menjadi rata-rata sel baru 𝑄𝑖𝑛+1. Metode (2.22) akan tidak stabil ketika diaplikasikan untuk langkah waktu yang besar, tidak peduli bagaimana fluks (2.21) harus ditentukan, jika fluks numeris ini hanya bergantung pada 𝑄𝑖−1𝑛 dan 𝑄𝑖𝑛.
Hal ini merupakan akibat dari kondisi CFL, yang dinamai atas Courant, Friedrichs, dan Lewy. Mereka menulis paper pertama mengenai metode beda hingga untuk persamaan diferensial parsial. Mereka menggunakan metode beda hingga sebagai alat analitik untuk membuktikan keberadaan dari solusi eksak persamaan diferensial parsial. Idenya adalah untuk mendefinisikan barisan dari aproksimasi penyelesaian (menggunakan metode beda hingga), membuktikan bahwa mereka konvergen ketika grid diperkecil, dan menunjukkan bahwa limit fungsinya memenuhi persamaan diferensial parsial, memberikan keberadaan dari suatu solusi. Dalam proses membuktikan konvergensi barisan ini, mereka mengakui kondisi stabilitas yang diperlukan untuk setiap metode numeris:
Kondisi CFL: Suatu metode numeris akan konvergen hanya jika domain dependen numerisnya memuat domain dependen sebenarnya dari persamaan diferensial parsial, setidaknya limit ∆𝑡 dan ∆𝑥 menuju ke nol.
𝑡𝑛+1 𝑡𝑛 𝑄𝑖−1𝑛 𝑄𝑖𝑛 𝑥𝑖−1 2⁄ (a) 𝑡𝑛+1 𝑡𝑛 𝑄𝑖−2𝑛 𝑄𝑖𝑛 𝑥𝑖−1 2⁄ (b) 𝑄𝑖−1𝑛
Gambar 2.5. Karakteristik untuk persamaan adveksi, menunjukkan informasi yang mengalir ke dalam sel 𝐶𝑖 selama langkah waktu tunggal. (a) Untuk langkah waktu yang cukup kecil, fluks pada 𝑥𝑖−1 2⁄ hanya bergantung pada nilai-nilai sel
didekatnya, yaitu hanya bergantung pada 𝑄𝑖−1𝑛 pada kasus ini 𝑢̅ > 0. (b) Untuk langkah waktu yang cukup besar, fluks akan bergantung pada nilai-nilai yang lebih jauh.
Domain dependen 𝒟(𝑋, 𝑇) untuk persamaan diferensial parsial telah didefinisikan pada subbab sebelumnya. Domain dependen numeris dari metode dapat didefinisikan dengan cara yang sama sebagai himpunan titik-titik dimana data awal mungkin dapat mempengaruhi solusi numeris pada titik (𝑋, 𝑇). Ilustrasi ini mudah untuk menggambarkan metode beda hingga dimana nilai titik demi titik dari 𝑄 digunakan, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.6 untuk metode tiga titik. Pada Gambar 2.6 (a) terlihat bahwa 𝑄𝑖2 bergantung pada 𝑄𝑖−11 , 𝑄𝑖1, 𝑄𝑖+11 dan juga pada 𝑄𝑖−20 , . . . , 𝑄𝑖+20 . Hanya data awal pada interval 𝑋 − 2∆𝑥𝑎 ≤ 𝑥 ≤ 𝑋 + 2∆𝑥𝑎 dapat mempengaruhi solusi numeris di (𝑋, 𝑇) = (𝑥𝑖, 𝑡2).
Jika grid diperkecil dengan faktor kedua dalam ruang dan waktu (∆𝑥𝑏 = ∆𝑥𝑎⁄ ), 2
tapi selanjutnya akan fokus pada titik (𝑋, 𝑇), maka lihat Gambar 2.6 (b) bahwa aproksimasi numeris pada titik tersebut bergantung pada data awal di lebih banyak titik pada interval 𝑋 − 4∆𝑥𝑏 ≤ 𝑥 ≤ 𝑋 + 4∆𝑥𝑏. Tapi ini interval yang sama dengan sebelumnya. Jika terus menyempurnakan grid dengan rasio ∆𝑡 ∆𝑥⁄ ≡ 𝑟 yang tetap, maka domain dependen numeris dari titik (𝑋, 𝑇) adalah 𝑋 − 𝑇 𝑟⁄ ≤ 𝑥 ≤ 𝑋 + 𝑇 𝑟⁄ . Agar kondisi CFL dipenuhi, domain dependen dari penyelesaian harus berada dalam interval ini. Untuk persamaan adveksi 𝑞𝑡+ 𝑢̅𝑞𝑥 = 0, misalnya 𝒟(𝑋, 𝑇) adalah titik tunggal 𝑋 − 𝑢̅𝑇, karena 𝑞(𝑋, 𝑇) = 𝑞̆(𝑋 − 𝑢̅𝑇). Kondisi CFL kemudian mengharuskan
𝑋 − 𝑇 𝑟⁄ ≤ 𝑋 − 𝑢̅𝑇 ≤ 𝑋 + 𝑇 𝑟⁄ dan karena
𝑣 ≡ |𝑢̅∆𝑡 ∆𝑥| ≤ 1.
Rasio 𝑣 di atas disebut bilangan CFL, atau biasanya disebut bilangan Courant. Diingat bahwa 𝑣 ≤ 1 merupakan syarat perlu kestabilan; artinya meskipun syarat ini dipenuhi, syarat ini tidak menjamin suatu kestabilan. Akan tetapi metode numeris yang stabil, pasti memenuhi syarat ini.
K. Matriks Jacobian
Matriks Jacobian 𝐽 dari sistem persamaan (Muqtadiroh, Fatmawati, dan Windarto, 2013) { 𝑦1 = 𝑓1(𝑥1,𝑥2, … , 𝑥𝑛), 𝑦2 = 𝑓2(𝑥1,𝑥2, … , 𝑥𝑛), ⋮ 𝑦𝑛 = 𝑓𝑛(𝑥1,𝑥2, … , 𝑥𝑛), 𝑇 = 𝑡4 𝑡0 𝑋 (b)
Gambar 2.6. (a) Domain dependen numeris dari titik grid ketika menggunakan metode beda hingga eksplisit, dengan jarak ∆𝑥𝑎. (b) Pada grid yang lebih halus jaraknya ∆𝑥𝑏 = 1 2∆𝑥 𝑎. 𝑇 = 𝑡2 𝑡0 𝑋 (a)
adalah 𝐽 = ( 𝜕𝑦1 𝜕𝑥1 … 𝜕𝑦1 𝜕𝑥𝑛 ⋮ ⋱ ⋮ 𝜕𝑦𝑛 𝜕𝑥1 … 𝜕𝑦𝑛 𝜕𝑥𝑛) .
Adapun determinan dari matriks 𝐽 (Yoman, 2014), yaitu
|𝐽| = |𝜕(𝑦1, … , 𝑦𝑛 𝜕(𝑥1, … , 𝑥𝑛|. Contoh 2.11
Dipandang sistem persamaan
𝑦1 = 𝑥1+ 𝑥2 𝑦2 = 𝑥12− 𝑥2.
Sistem tersebut mempunyai matriks Jacobian
𝐽 = ( 1 1 2𝑥1 −1) dengan determinan dari matriks 𝐽 adalah
BAB III
PERSAMAAN AKUSTIK DAN METODE NUMERISNYA
Pada bab ini akan dibahas hukum kekekalan, hukum kekekalan dan persamaan diferensial, persamaan adveksi, persamaan nonlinear dalam dinamika fluida, akustik linear, gelombang suara, persamaan gelombang orde kedua, pecahnya membran dalam pipa, metode beda hingga, metode volume hingga Lax-Friedrichs, serta residual lokal lemah.
A. Hukum Kekekalan
Sebuah sistem linear berbentuk
𝑞𝑡+ 𝐴𝑞𝑥= 0, (3.1)
dikatakan hiperbolik jika 𝑚 × 𝑚 matriks 𝐴 dapat didiagonalisasi dengan nilai eigen real. Contoh paling sederhana dari hukum kekekalan satu dimensi adalah persamaan diferensial parsial
𝑞𝑡(𝑥, 𝑡) + 𝑓(𝑞(𝑥, 𝑡))𝑥 = 0
dengan 𝑓(𝑞) adalah fungsi fluks. Dapat ditulis ulang dalam bentuk kuasilinear
𝑞𝑡+ 𝑓′(𝑞)𝑞𝑥 = 0. (3.2)
Bahkan masalah linear
𝑞𝑡(𝑥, 𝑡) + 𝐴𝑞𝑥(𝑥, 𝑡) = 0 (3.3)
adalah hukum kekekalan dengan fungsi fluks linear 𝑓(𝑞) = 𝐴𝑞. Banyak masalah fisika menimbulkan hukum kekekalan nonlinear dengan 𝑓(𝑞) adalah fungsi nonlinear dari 𝑞, sebuah vektor dari kuantitas kekal.
Hukum kekekalan biasanya muncul paling alami dari hukum-hukum fisika dalam bentuk integral, yang menyatakan bahwa untuk setiap dua titik 𝑥1 dan 𝑥2,
𝑑
𝑑𝑡∫ 𝑞(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 = 𝑓(𝑞(𝑥1, 𝑡)) − 𝑓(𝑞(𝑥2, 𝑡)).
𝑥2 𝑥1
(3.4) Setiap komponen dari 𝑞 mengukur massa jenis beberapa kuantitas kekal, dan persamaan (3.4) hanya menyatakan bahwa massa total kuantitas ini diantara dua titik dapat berubah hanya karena fluks melewati titik akhir.
Sebuah alat mendasar dalam pengembangan metode volume hingga adalah masalah Riemann, yang merupakan persamaan hiperbolik bersama-sama dengan data awal khusus. Data yang sesepenggal konstan dengan lompatan diskontinuitas di beberapa titik, misalkan 𝑥 = 0
𝑞(𝑥, 0) = {𝑞𝑙 jika 𝑥 < 0,
𝑞𝑟 jika 𝑥 > 0. (3.5)
Jika 𝑄𝑖−1 dan 𝑄𝑖 merupakan rata-rata sel di dua sel grid berdekatan pada grid
volume hingga, maka dengan memecahkan masalah Riemann dengan 𝑞𝑙= 𝑄𝑖−1
dan 𝑞𝑟 = 𝑄𝑖, akan diperoleh informasi yang dapat digunakan untuk menghitung fluks numeris dan memperbarui rata-rata sel selama langkah waktu. Untuk sistem hiperbolik linear, masalah Riemann mudah diselesaikan dengan nilai eigen dan vektor eigen matriks 𝐴.
B. Hukum Kekekalan dan Persamaan Diferensial
Untuk melihat bagaimana hukum kekekalan timbul dari prinsip-prinsip fisika, akan dimulai dengan mempertimbangkan masalah dinamika fluida, dimana gas atau cairan mengalir melalui pipa satu dimensi dengan kecepatan yang dikenal 𝑢(𝑥, 𝑡), yang diasumsikan bervariasi hanya atas jarak 𝑥 sepanjang pipa dan waktu 𝑡. Biasanya masalah dinamika fluida harus menentukan gerak cairan, yaitu fungsi kecepatan 𝑢(𝑥, 𝑡) sebagai bagian dari solusi, tapi akan diasumsikan ini sudah diketahui dan hanya model konsentrasi atau kepadatan beberapa zat kimia dalam cairan ini. Misalkan 𝑞(𝑥, 𝑡) merupakan konsentrasi pelacak, fungsi ini yang akan ditentukan.
Secara umum, konsentrasi harus diukur dalam satuan massa per satuan volume, misalnya gram per meter kubik, tetapi dalam mempelajari pipa satu dimensi dengan variasi hanya di 𝑥, dianggap 𝑞 yang diukur dalam satuan berat per satuan panjang, misalnya gram per meter. Kepadatan ini dapat diperoleh dengan mengalikan kepadatan tiga dimensi dengan luas penampang pipa (satuan meter persegi). Kemudian
∫ 𝑞(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥
𝑥2 𝑥1
(3.6) merupakan massa total pelacak di bagian pipa antara 𝑥1 dan 𝑥2 pada waktu 𝑡, dan memiliki satuan massa.
Perhatikan bagian pipa 𝑥1 < 𝑥 < 𝑥2 dan bahwa integral (3.6) berubah terhadap waktu. Misalkan 𝐹𝑖(𝑡) menjadi tingkat dimana pelacak mengalir
melewati titik tetap 𝑥𝑖 untuk 𝑖 = 1, 2 (diukur dalam gram per detik). Akan digunakan konvensi yang 𝐹𝑖(𝑡) > 0 untuk aliran yang mengalir ke kanan, sedangkan 𝐹𝑖(𝑡) < 0 berarti untuk fluks ke kiri, dari |𝐹𝑖(𝑡)| gram per detik. Massa
total di bagian [𝑥1, 𝑥2] berubah hanya karena fluks pada titik akhir, diperoleh 𝑑
𝑑𝑡∫ 𝑞(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 = 𝐹1(𝑡) − 𝐹2(𝑡).
𝑥2 𝑥1
(3.7) Perhatikan bahwa +𝐹1(𝑡) dan −𝐹2(𝑡) keduanya merupakan fluks.
Persamaan (3.7) adalah dasar bentuk integral dari hukum kekekalan. Laju perubahan dari massa total melalui titik akhir ini adalah dasar dari kekekalan. Akan ditentukan fluks fungsi 𝐹𝑗(𝑡) terkait dengan 𝑞(𝑥, 𝑡), sehingga akan diperoleh persamaan yang bisa dipecahkan untuk 𝑞. Dalam kasus aliran fluida, fluks pada setiap titik 𝑥 pada waktu 𝑡 hanya diberikan oleh massa jenis 𝑞(𝑥, 𝑡) dan kecepatan 𝑢(𝑥, 𝑡):
fluks pada (𝑥, 𝑡) = 𝑢(𝑥, 𝑡)𝑞(𝑥, 𝑡). (3.8) Kecepatan disini memberitahukan seberapa cepat partikel bergerak melewati titik 𝑥 (dalam meter per detik), dan massa jenis 𝑞 menerangkan berapa gram cairan kimia yang terkandung, sehingga produk diukur dalam gram per detik.
Misalnya 𝑢(𝑥, 𝑡) adalah fungsi yang diketahui, maka fungsi fluks bisa ditulis sebagai
fluks = 𝑓(𝑞, 𝑥, 𝑡) = 𝑢(𝑥, 𝑡)𝑞. (3.9)
Secara khusus, jika kecepatan tidak bergantung pada 𝑥 dan 𝑡, sehingga 𝑢(𝑥, 𝑡) = 𝑢̅ adalah sebuah konstan, maka dapat ditulis
fluks = 𝑓(𝑞) = 𝑢̅𝑞. (3.10) Disini, fluks pada setiap titik dan waktu dapat ditentukan langsung dari nilai kuantitas kekal pada titik, dan tidak tergantung sama sekali pada lokasi dalam ruang waktu. Dalam hal ini, persamaan disebut otonom. Persamaan otonom banyak muncul dalam banyak aplikasi dan lebih sederhana untuk menangani persamaan non otonom atau variabel-koefisien. Untuk persamaan otonom fluks 𝑓(𝑞) hanya bergantung pada nilai 𝑞, maka hukum kekekalan (3.7) ditulis ulang sebagai 𝑑 𝑑𝑡∫ 𝑞(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 = 𝑓(𝑞(𝑥1, 𝑡)) − 𝑓(𝑞(𝑥2, 𝑡)). 𝑥2 𝑥1 (3.11) Sisi kanan dari persamaan ini dapat ditulis ulang dengan menggunakan notasi standar dari kalkulus:
𝑑 𝑑𝑡∫ 𝑞(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 = −𝑓(𝑞(𝑥, 𝑡)) 𝑥2 𝑥1 | 𝑥1 𝑥2 . (3.12)
Asumsikan bahwa 𝑞 dan 𝑓 adalah fungsi halus, maka persamaan dapat ditulis ulang menjadi
𝑑 𝑑𝑡∫ 𝑞(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 = − ∫ 𝜕 𝜕𝑥𝑓(𝑞(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥, 𝑥2 𝑥1 𝑥2 𝑥1 (3.13) dengan beberapa modifikasi lebih lanjut,
∫ [𝜕 𝜕𝑡𝑞(𝑥, 𝑡) + 𝜕 𝜕𝑥𝑓(𝑞(𝑥, 𝑡))] 𝑑𝑥 = 0. 𝑥2 𝑥1 (3.14)
Misalnya integral (3.14) harus bernilai nol untuk semua nilai 𝑥1 dan 𝑥2, maka integral harus identik dengan nol. Persamaan diferensial menjadi
𝜕
𝜕𝑡𝑞(𝑥, 𝑡) + 𝜕
𝜕𝑥𝑓(𝑞(𝑥, 𝑡)) = 0. (3.15)
Persamaan (3.15) disebut bentuk diferensial hukum kekekalan, dan bisa ditulis ulang menjadi:
𝑞𝑡(𝑥, 𝑡) + 𝑓(𝑞(𝑥, 𝑡))𝑥 = 0. (3.16) Berikut merupakan contoh dari persamaan diferensial parsial hukum kekekalan:
1. Persamaan adveksi dengan 𝑞 = 𝑢 dan 𝑓(𝑞) = 𝑐. 𝑢 yaitu: 𝑢𝑡+ (𝑐𝑢)𝑥= 0,
dengan 𝑐 konstan.
Persamaan di atas memodelkan aliran zat dengan kecepatan 𝑐. 2. Persamaan akustik linear dengan
𝑞̅ = [𝑢𝑝] dan 𝑓̅(𝑞̅) = [
𝑢0𝑝 + 𝑘0𝑢
1
𝜌0𝑝 + 𝑢0𝑢
], dengan 𝑢0, 𝑘0, 𝜌0 konstan.
Persamaan akustik ditulis
𝑞̅𝑡+ 𝑓̅(𝑞̅)𝑥= 0 atau [𝑝𝑢] 𝑡+ [ 𝑢0𝑝 + 𝑘0𝑢 1 𝜌0 𝑝 + 𝑢0𝑢] 𝑥 = 0 atau [𝑝𝑢] 𝑡+ [ 𝑢0+ 𝑘0 1 𝜌0 + 𝑢0] [ 𝑝 𝑢]𝑥 = 0
Disini 𝑝 menyatakan tekanan dan 𝑢 menyatakan kecepatan dalam aliran. 3. Persamaan gelombang air dangkal dengan
𝑞̅ = [ℎ 𝑢ℎ]
2
dan 𝑓̅(𝑞̅) = [𝑢2ℎ +𝑢ℎ1 2gℎ
2] = 0, disini ℎ(𝑥, 𝑡) menyatakan kedalaman
air, 𝑢(𝑥, 𝑡) menyatakan kecepatan aliran, dan g adalah percepatan gravitasi bumi.
C. Persamaan Adveksi
Untuk fungsi fluks (3.10), hukum kekekalan (3.16) menjadi
𝑞𝑡+ 𝑢̅𝑞𝑥= 0. (3.17)
Persamaan (3.17) disebut persamaan adveksi, misalnya model adveksi dari sebuah pelacak bersama dengan fluida. Pelacak berarti zat yang hadir dalam konsentrasi sangat kecil dalam fluida, sehingga besarnya konsentrasi tidak berpengaruh pada dinamika fluida. Masalah satu dimensi ini konsentrasi atau massa jenis 𝑞 dapat dihitung dalam satuan gram per meter sepanjang pipa, sehingga ∫ 𝑞(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥𝑥𝑥2
1
mengukur total massa (dalam gram) dalam bagian pipa.
Persamaan (3.17) adalah skalar, linear, dengan koefisien konstan dan adalah persamaan diferensial parsial jenis hiperbolik. Sebarang fungsi halus dengan bentuk
𝑞(𝑥, 𝑡) = 𝑞̃(𝑥 − 𝑢̅𝑡) (3.18)
memenuhi persamaan diferensial (3.17), dan pada kenyataannya setiap solusi untuk (3.17) adalah fungsi sebarang berbentuk 𝑞̃. Perhatikan bahwa 𝑞(𝑥, 𝑡) adalah konstan sepanjang sinar garis dalam ruang waktu 𝑥 − 𝑢̅𝑡 = konstan. Misalnya, sepanjang sinar garis 𝑋(𝑡) = 𝑥0+ 𝑢̅𝑡 nilai dari 𝑞(𝑋(𝑡), 𝑡) sama dengan 𝑞̃(𝑥0). Nilai dari 𝑞 dengan kecepatan konstan 𝑢̅, karena fluida pada pipa (dan karena
massa jenis dari pelacak bergerak bersama fluida) yang merupakan adveksi dengan kecepatan konstan. Sinar garis 𝑋(𝑡) disebut karakteristik dari persamaan. Untuk persamaan (3.17), terlihat bahwa sepanjang 𝑋(𝑡) turunan terhadap waktu 𝑞(𝑋(𝑡), 𝑡) adalah
𝑑
𝑑𝑡𝑞(𝑋(𝑡), 𝑡) = 𝑞𝑡(𝑋(𝑡), 𝑡) + 𝑋′(𝑡)𝑞𝑥(𝑋(𝑡), 𝑡) = 𝑞𝑡+ 𝑢̅𝑞𝑥
= 0. (3.19)
dan persamaan (3.17) menghasilkan sebuah solusi trivial dari persamaan diferensial biasa 𝑑
𝑑𝑡𝑄 = 0, dengan 𝑄(𝑡) = 𝑞(𝑋(𝑡), 𝑡). Ini mengarah pada
kesimpulan bahwa 𝑞 adalah konstan sepanjang karakteristik.
Untuk menentukan solusi khusus (3.17), diperlukan informasi lebih lanjut untuk menentukan 𝑞̅ fungsi di (3.18), yaitu kondisi awal dan mungkin kondisi batas untuk persamaan ini. Pertama perhatikan kasus pipa panjang tak terhingga tanpa batas, sehingga (3.17) berlaku untuk −∞ < 𝑥 < ∞. Kemudian untuk menentukan 𝑞(𝑥, 𝑡) untuk semua waktu 𝑡 > 𝑡0 dibutuhkan kondisi awal pada saat 𝑡0, yaitu massa jenis awal distribusi pada waktu tertentu. Misal diketahui
𝑞(𝑥, 𝑡0) = 𝑞̆(𝑥), (3.20)
dengan 𝑞̆ adalah fungsi yang diberikan. Kemudian akan dicari persamaan karakteristik dari persamaan (3.17)
𝑞𝑡+ 𝑢̅𝑞𝑥 = 0, 𝑡 ≥ 𝑡0 & − ∞ < 𝑥 < ∞ Persamaan karakteristiknya:
𝑑𝑡 1 = 𝑑𝑥 𝑢̅ = 𝑑𝑞 0. Dari 𝑑𝑡 1 = 𝑑𝑥 𝑢̅ , ∫ 𝑑𝑡 = ∫1 𝑢̅𝑑𝑥, 𝑡 = 1 𝑢̅𝑥 + 𝑐, kedua ruas dikalikan dengan 𝑢̅, sehingga
𝑢̅𝑡 = 𝑥 + 𝑢̅𝑐,
kedua ruas dijumlahkan dengan 𝑥, lalu dikalikan dengan −1 𝑥 − 𝑢̅𝑡 = −𝑢̅𝑐,
sehingga diperoleh persamaan di bawah ini, dengan 𝑐1 sebarang konstan
𝑥 − 𝑢̅(𝑡 − 𝑡0) = 𝑐1. Dari: 𝑑𝑡 1 = 𝑑𝑞 0, 𝑑𝑞 = 0, kedua ruas diintegralkan, sehingga
𝑞 = 𝑐2.
Solusi umum
𝜙(𝑐1, 𝑐2) = 0
𝜙(𝑥 − 𝑢̅(𝑡 − 𝑡0), 𝑞) = 0
untuk 𝑡 > 𝑡0.
Jika pipa memiliki panjang terbatas 𝑎 < 𝑥 < 𝑏, maka harus ditentukan fungsi waktu dari massa jenis pelacak pada akhir aliran. Misalnya, jika 𝑢̅ > 0 maka harus ditentukan kondisi batas di 𝑥 = 𝑎, misalkan
𝑞(𝑎, 𝑡) = 𝑔0 (𝑡) untuk 𝑡 ≥ 𝑡0 dengan ditambahkan ke kondisi awal
𝑞(𝑥, 𝑡) = 𝑞̆(𝑥) untuk 𝑎 < 𝑥 < 𝑏.
Sehingga solusinya menjadi:
𝑞(𝑥, 𝑡) = {𝑔0(𝑡 − 𝑥 − 𝑎
𝑢̅ ) jika 𝑎 < 𝑥 < 𝑎 + 𝑢̅(𝑡 − 𝑡0), 𝑞̆(𝑥 − 𝑢̅(𝑡 − 𝑡0)) jika 𝑎 + 𝑢̅(𝑡 − 𝑡0) < 𝑥 < 𝑏.
Perhatikan bahwa tidak diperlukan kondisi batas di batas luar aliran 𝑥 = 𝑏 (pada kenyataannya tidak bisa, sebab massa jenis sepenuhnya ditentukan oleh data yang sudah diberikan). Dengan kata lain 𝑢̅ < 0, kemudian mengalir ke kiri diperlukan
𝑎 𝑏 𝑡 ↑ 𝑏 𝑎 𝑡 ↑ (a) (b)
Gambar 3.1. Solusi persamaan adveksi konstan sepanjang karakteristik. Ketika menyelesaikan persamaan ini pada interval [𝑎, 𝑏], diperlukan kondisi batas pada 𝑥 = 𝑎 jika 𝑢̅ > 0 yang ditunjukkan pada gambar (a), atau pada 𝑥 = 𝑏 jika 𝑢̅ < 0 yang ditunjukkan pada gambar (b).
kondisi batas di 𝑥 = 𝑏 bukan di 𝑥 = 𝑎. Akan diambil waktu awal menjadi 𝑡 = 0 untuk menyederhanakan notasi.
D. Persamaan Nonlinear dalam Dinamika Fluida
Dalam model aliran pipa yang dibahas di atas, fungsi 𝑞(𝑥, 𝑡) mewakili massa jenis beberapa pelacak yang dilakukan bersama dengan cairan, tetapi hadir dalam jumlah kecil sehingga distribusi 𝑞 tidak berpengaruh pada kecepatan fluida. Dengan mempertimbangkan massa jenis cairan itu sendiri, gram per meter, misalnya untuk masalah satu dimensi ini. Akan dinotasikan massa jenis fluida oleh simbol standar 𝜌(𝑥, 𝑡). Jika cairan mampat, maka 𝜌(𝑥, 𝑡) adalah konstan dan masalah satu dimensi ini tidak terlalu menarik. Diasumsikan bahwa kecepatan 𝑢̅ adalah konstan, maka massa jenis 𝜌 akan memenuhi persamaan adveksi sama seperti sebelumnya (dengan fluks adalah 𝑢̅𝜌 dan 𝑢̅ adalah konstan)
𝜌𝑡+ 𝑢̅𝜌𝑥 = 0. (3.21)
Sebelumnya diasumsikan massa jenis pelacak 𝑞 tidak berpengaruh pada kecepatan, hal ini tidak lagi terjadi. Sebaliknya, kecepatan 𝑢(𝑥, 𝑡) yang telah diketahui dan akan dihitung bersama dengan 𝜌(𝑥, 𝑡). Fluks massa jenis masih mengambil bentuk (3.8), dan hukum kekekalan 𝜌 memiliki bentuk
𝜌𝑡+ (𝜌𝑢)𝑥 = 0, (3.22)
yang cocok dengan (3.21) hanya jika 𝑢 adalah konstan. Persamaan ini umumnya disebut persamaan kontinuitas dalam dinamika fluida, dan model konservasi massa. Produk 𝜌(𝑥, 𝑡)𝑢(𝑥, 𝑡) memberikan massa jenis momentum, dalam arti
bahwa integral dari 𝜌𝑢 antara dua titik 𝑥1 dan 𝑥2 menghasilkan momentum total dalam interval ini, dan dapat berubah hanya karena fluks momentum melalui titik akhir dari interval. Momentum fluks melewati setiap titik 𝑥 terdiri dari dua bagian. Pertama momentum dibawa melewati titik ini bersama dengan gerakan cairan. Untuk setiap fungsi massa jenis 𝑞 fluks ini memiliki bentuk 𝑞𝑢, untuk momentum 𝑞 = 𝜌𝑢 dikontribusi ke fluks (𝜌𝑢)𝑢 = 𝜌𝑢2. Pada dasarnya ini adalah
fluks adveksi, meskipun dalam kasus dimana kuantitas adveksi adalah kecepatan atau momentum dari cairan itu sendiri, fenomena ini sering disebut sebagai konveksi daripada adveksi.
Selain fluks konvektif makroskopik ini, ada juga momentum fluks mikroskopis karena tekanan dari cairan. Ini masuk ke dalam fluks momentum, yang sekarang menjadi
fluks momentum = 𝜌𝑢2+ 𝑝. Bentuk integral dari hukum kekekalan (3.12) kemudian
𝑑 𝑑𝑡∫ 𝜌(𝑥, 𝑡)𝑢(𝑥, 𝑡)𝑑𝑥 = −[𝜌𝑢 2+ 𝑝] 𝑥1 𝑥2. 𝑥2 𝑥1 (3.23) Diasumsikan 𝜌, 𝑢 dan 𝑝 halus, maka diperoleh persamaan diferensial
(𝜌𝑢)𝑡+ (𝜌𝑢2+ 𝑝)𝑥 = 0, (3.24)
model kekekalan dari momentum. Gabungkan (3.24) dengan persamaan kontinuitas (3.22), maka terdapat dua sistem hukum kekekalan untuk kekekalan massa dan momentum. Ini merupakan sepasang persamaan, karena 𝜌 dan 𝜌𝑢 muncul di keduanya. Kedua persamaan tersebut juga jelas nonlinear, karena