• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determinasi tanaman bertujuan untuk menghindari kesalahan dalam penelitian dan memastikan bahwa tanaman yang digunakan adalah sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.). Determinasi dilakukan dengan melihat ciri-ciri tanaman yang digunakan dalam penelitian ini. Determinasi ini dilakukan di Laboratorium Sistematika Tumbuhan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan

9

dalam penelitian ini merupakan tanaman sirih merah (Piper crocatum Ruiz & Pav.) seperti yang tercantum dalam surat keterangan (Lampiran 1).

Sirih merah yang dipanen dipisahkan antara salur dan daunnya, ditimbang, lalu dilakukan sortasi basah untuk memisahkan dari kotoran dan bahan asing, selanjutnya ditimbang kembali. Daun sirih merah kemudian dicuci dengan air mengalir lalu dipotong-potong dan dikeringkan. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air pada daun sirih merah dan dilakukan hingga daun sirih merah mudah hancur saat diremas. Selanjutnya simplisia kering diserbuk dan diayak. Hasil penyerbukan simplisia yang didapatkan adalah 236 gram.

Penetapan kadar air yang dilakukan mengacu pada Farmakope Herbal (2011) yaitu dengan destilasi toluena. Serbuk simplisia daun sirih merah yang ditimbang adalah 10,2294 gram dan volume air yang didapatkan adalah 0,5 ml sehingga kadar air serbuk simplisia daun sirih merah yang didapatkan yaitu 4,8879%. Hal ini berarti bahwa serbuk simplisia yang digunakan sudah memenuhi h ≤ .

Metode yang dilakukan untuk pembuatan ekstrak kloroform daun sirih merah adalah maserasi. Pada metode maserasi, serbuk simplisia akan kontak dengan pelarut, dan dengan bantuan pengadukan maka senyawa aktif simplisia akan larut dan berpindah ke pelarut. Daun sirih merah mengandung senyawa thermolabile seperti flavonoid dan minyak atsiri sehingga metode maserasi dipilih untuk porses ekstraksi karena metode ini sederhana dan tidak membutuhkan pemanasan sehingga cocok untuk senyawa thermolabile (Pandey, 2014). Hasil maserasi kemudian disaring menggunakan corong buchner dan dengan bantuan vakum. Hasil penyaringan kemudian diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 60°C untuk menguapkan pelarut pada ekstrak. Setelah didapatkan ekstrak kental kemudian dilakukan bobot tetap untuk memastikan bahwa pelarut yang digunakan sudah tidak ada lagi didalam ekstrak. Bobot tetap diperoleh apabila perbedaan dua kali penimbangan selama 1jam berturut-turut tidak melebihi 0,5mg (Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2011). Bobot ekstrak

10

kloroform yang didapatkan adalah 19,3952 gram dan rendemen yang didapatkan adalah 9,6902 %.

Ekstrak klorofom daun sirih merah difraksinasi lebih lanjut dengan metode Vacuum Liquid Chromatography (VLC). Fraksinasi dilakukan dengan metode VLC karena metode ini dapat digunakan untuk fraksinasi dengan jumlah ekstrak dalam skala besar dan dalam waktu yang singkat. Pertama-tama Sintered Glass Buchner dan Erlenmeyer serta vakum yang digunakan untuk fraksinasi disiapkan dan dipasang. Kertas saring dimasukkan ke dalam kolom sesuai diameter kolom. Sillica Gel GF254 dimasukkan ke dalam kolom sedikit demi sedikit sambil di vakum sebagai fase diam. Bobot Silica Gel GF254 yang digunakan sebagai fase diam adalah sebanyak ± 4 kali bobot esktrak yang didapat. Kemudian Sillica Gel GF254 disiapkan lagi sebanyak ± 2 kali bobot esktrak dan dicampurkan dengan ekstrak kering menggunakan mortir dan stamper sambil diaduk perlahan hingga didapatkan campuran homogen dan kering (free flowing). Serbuk ekstrak free flowing dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam sintered glass Buchner diatas fase diam sambil divakum. Dua lembar kertas saring sebesar diameter kolom dimasukkan diatas serbuk ekstrak free flowing. Sebanyak 200ml pelarut dituangkan secara perlahan-lahan pada permukaan kertas saring melalui dinding sambil divakum. Pelarut yang digunakan berturut-turut metanol (fraksi a), metanol - kloroform (7:3) (fraksi b), metanol - kloroform (5:5) (fraksi c), metanol - kloroform (3:7) (fraksi d), dan kloroform (fraksi e). Hasil fraksinasi ditampung dalam cawan porselen. Fraksi yang didapat kemudian dianalisis menggunakan KLT dengan fase diam silika gel GF254, fase gerak metanol : kloroform dengan perbandingan 9:1, dan deteksi UV 365 nm. Fase gerak metanol : kloroform dengan perbandingan 9:1 yang digunakan untuk metode KLT ini dipilih setelah sebelumnya dilakukan optimasi fase gerak. Fraksi yang memiliki profil KLT yang mirip akan digabungkan menjadi satu fraksi. Berdasarkan kemiripan profil KLT, dilihat dari warna, bercak, posisi, dan bentuknya, fraksi tersebut digabungkan menjadi tiga fraksi yaitu fraksi 1 yang terdiri dari fraksi a; fraksi 2 yang terdiri dari fraksi b, fraksi c, dan fraksi d; serta fraksi 3 yang terdiri dari fraksi e. Fraksi

11

tersebut kemudian diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 60°C untuk menguapkan pelarut pada fraksi.

(a) UV 254 nm (b) UV 365 nm

Gambar 1. Profil KLT fraksi VLC dari ekstrak kloroform daun sirih merah

Keterangan: a. fraksi dengan fase gerak metanol; b. fraksi dengan fase gerak metanol - kloroform (7:3); c. fraksi dengan fase gerak metanol - kloroform (5:5); d. fraksi dengan fase gerak metanol - kloroform (3:7); e. fraksi dengan fase gerak kloroform

Selanjutnya dilakukan uji aktivitas antibakteri untuk melihat fraksi teraktif dari tiga fraksi yang didapatkan. Fraksi 1 tidak dilanjutkan untuk penelitian ini karena jumlahnya tidak memenuhi untuk pengujian. Masing-masing fraksi diencerkan menggunakan DMSO 100% hingga konsentrasi 250 mg/ml. Pengujian fraksi teraktif dilakukan dengan difusi sumuran. Bakteri yang digunakan dalam penelitian ini adalah Staphylococcus aureus resisten ampicillin. Bakteri Staphylococcus aureus dikatakan resisten terhadap ampicillin apabila z h ≤ 28 dan dikatakan intermediet dan sensitive bila z h ≥29 (CLSI, 2017). Zona hambat yang didapatkan adalah 1 mm sehingga disimpulkan bahwa bakteri uji telah resisten terhadap ampicillin (Gambar 2).

12

Gambar 2. Uji resistensi bakteri Staphyloccous aureus

Kontrol media (Gambar 3a) yang dibuat tampak bening yang menunjukkan bahwa tidak terdapat kontaminasi. Pada kontrol pertumbuhan (Gambar 3b) bakteri tampak keruh merata yang berarti bahwa bakteri Staphylococcus aureus resisten ampicillin dapat tumbuh pada media Nutrient Agar (NA).

(a) (b)

Gambar 3. Kontrol media (a) dan kontrol pertumbuhan (b) Pada setiap petri dibuat 4 sumuran yang masing-masing berisi kontrol positif yaitu ciprofloxacin 50µg/ml, kontrol negatif yaitu DMSO 100%, fraksi 2, dan fraksi 3 dengan konsentrasi masing-masing 250mg/ml. Potensi antibakteri pada metode difusi dilihat berdasarkan pengamatan zona jernih yang terbentuk di sekitar tempat penginokulasian senyawa karena terdifusinya senyawa tersebut (Jawetz, dkk., 2005). Dari hasil pengamatan diketahui bahwa fraksi 2 memiliki aktivitas antibakteri yang lebih besar daripada fraksi 3. Hasil pengamatan menunjukkan juga menunjukkan bahwa DMSO 100% tidak menghambat pertumbuhan bakteri dilihat dari tidak adanya zona hambat yang terbentuk

13

sehingga dapat digunakan sebagai pelarut. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Cahyono (2013) dan Yulianingsih (2012), pelarut DMSO 100% tidak memiliki daya hambat terhadap bakteri, dilihat dari tidak terbentuknya zona hambat disekitar sumuran yang berisi DMSO 100%.

Gambar 4. Zona hambat fraksi dari ekstrak kloroform daun sirih merah Keterangan gambar: 1. DMSO 100% ; 2. Ciprofloxacin 50µm/ml ; 3. Fraksi 2 konsentrasi 250mg/ml ; 4. Fraksi 3 konsentrasi 250mg/ml Dilakukan 3 kali replikasi pada uji aktivitas antibakteri dengan data sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil uji aktivitas antibakteri Replikasi Kontrol Positif Kontrol

Negatif Fraksi 2 ( 250 mg/ml) Fraksi 3 (250 mg/ml) I 18,5 mm 0 mm 10,5 mm 7,5 mm II 18,5 mm 0 mm 9,5 mm 7,5 mm III 16 mm 0 mm 11 mm 8,5 mm Mean±SD 17, 6667±1, 4434 0±0 10,3333±0,7638 7,8333±0,5774 Setelah diketahui bahwa fraksi 2 adalah fraksi teraktif maka dilanjutkan pengujian selanjutnya. Dilakukan pengujian KHM dan KBM pada fraksi 2 hasil VLC dari ekstrak kloroform daun sirih merah. Penentuan KHM dilakukan menggunakan dilusi cair. Penentuan KHM dilihat berdasarkan pertumbuhan bakteri pada media NB dengan cara membandingkan dengan kontrol media dan kontrol pertumbuhan. Dari hasil pengamatan tidak bisa ditentukan KHM karena

14

masing-masing tabung terlihat keruh akibat penambahan masing-masing variasi konsentrasi fraksi sehingga pengamatan tidak bisa terlihat jelas (Gambar 5).

Gambar 5. Uji KHM fraksi 2 VLC dari ekstrak kloroform daun sirih merah Keterangan: 1. Kontrol media ; 2. Kontrol pertumbuhan ; 3. Fraksi 2 konsentrasi 250mg/ml ; 4. Fraksi 2 konsentrasi 125mg/ml ; 5. Fraksi 2 konsentrasi 62,5mg/ml ; 6. Fraksi 2 konsentrasi 31,25mg/ml ; 7. Fraksi 2 konsentrasi 15,625mg/ml ; 8. Fraksi 2 konsentrasi 7,8125mg/ml ; 9. Fraksi 2 konsentrasi 3,90625mg/ml ; 10. Fraksi 2 konsentrasi 1,953125mg/ml

Kemudian dilanjutkan penentuan nilai KBM dengan cara sub kultur dari media NB ke dalam media NA steril secara streak plate lalu diinkubasi selama 24 jam. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada konsentrasi 250mg/ml dan 125mg/ml tidak menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri sehingga nilai KBM dari fraksi 2 ekstrak kloroform daun sirih merah adalah pada konsenstrasi 125mg/ml (Gambar 6). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Thie (2018), ekstrak kloroform daun sirih merah memiliki nilai KBM 50mg/ml. Hal ini menunjukkan bahwa daya antibakteri pada ekstrak kloroform daun sirih merah lebih baik daripada fraksi dari ekstrak kloroform daun sirih merah. Hal ini bisa dikarenakan adanya aktivitas antibakteri yang sinergi dari beberapa senyawa yang terdapat pada ekstrak.

15

Gambar 6. Uji KBM fraksi 2 VLC dari ekstrak kloroform daun sirih merah

Keterangan: 1. Fraksi 2 konsentrasi 250mg/ml ; 2. Fraksi 2 konsentrasi 125mg/ml ; 3. Fraksi 2 konsentrasi 62,5mg/ml ; 4. Fraksi 2 konsentrasi 31,25mg/ml

Metode bioautografi merupakan metode kombinasi KLT dengan deteksi biologi (Marston, 2011). Metode bioautografi dapat digunakan untuk mendeteksi komponen senyawa aktif pada suatu sampel (Chomnawang, et al, 2009). Pada metode bioautografi kontak, adalah dengan memindahkan senyawa antibakteri melalui proses difusi dari plat KLT ke media agar yang sudah diinokulasikan bakteri (Hamburger and Cordell, 1987). Fraksi yang akan diuji dengan bioautografi kontak ditotolkan pada plat KLT (Gambar 7) kemudian ditempelkan pada permukaan agar yang sudah diinokulasikan bakteri Staphylococcus aureus resisten ampicillin (Gambar 8a).

(a) UV 254 nm (b) UV 365 nm Gambar 7. Fraksi pada plat KLT untuk uji bioautografi kontak

Hasil bioautografi menunjukkan adanya aktivitas antibakteri pada fraksi 2 dari ekstrak kloroform daun sirih merah (Gambar 8b). Aktivitas antibakteri

16

dapat dilihat dari adanya zona jernih yang terbentuk. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sudirman (2005), didapatkan 3 spot zona jernih yang menandakan adanya aktivitas antibakteri. Tiga spot zona jernih ini dapat dihitung nilai Rf dari masing-masing spot dan dapat dideteksi kemungkinan senyawa yang berperan dalam pembentukan zona hambat ini. Hal ini karena adanya pemisahan antara spot zona jernih yang dihasilkan sehingga dapat dihitung Rf dari spot-spot tersebut lalu dibandingkan dengan kromatogram yang digunakan untuk menentukan senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri melalui Rf yang didapatkan. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Sudirman (2005), yaitu belum dapat ditentukan senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri karena zona jernih yang terbentuk tidak berbentuk spot sehingga tidak bisa dihitung Rf dari senyawa tunggal yang memiliki aktivitas antibakteri. Hal ini dikarenakan fraksi belum mengalami pemisahan dengan baik sehingga belum bisa dideteksi senyawa antibakteri teraktif pada fraksi 2 ekstrak kloroform daun sirih merah. Pada penelitian ini, fraksi yang digunakan untuk uji bioautografi kontak adalah 10 totol fraksi. Salah satu penyebab pemisahan yang kurang baik ini bisa dikarenakan totolan fraksi pada plat KLT yang belum kering sempurna. Hal ini bisa diatasi dengan penggunaan hairdryer untuk pengeringan fraksi pada plat KLT. Untuk menghindari kerusakan senyawa pada fraksi maka penggunaan hairdryer diberi jarak sedikit jauh dari plat KLT. Hal-hal lain yang dapat berpengaruh pada hasil bioautografi kontak adalah loading mass fraksi pada plat KLT dan juga lamanya kontak plat KLT dengan agar.

(a) Penempelan plat KLT pada agar (b) Hasil uji bioautografi kontak Gambar 8. Uji aktivitas antibakteri dengan metode bioautografi kontak

17

Selanjutnya dilakukan uji kualitatif kandungan senyawa flavonoid pada fraksi 2 hasil VLC dari ekstrak klorofrom daun sirih merah, dilakukan 2 uji kualitatif yaitu dengan uji tabung dan uji KLT. Pada penelitian yang dilakukan oleh Thie (2018), pada ekstrak kloroform daun sirih merah tidak terdeteksi adanya senyawa flavonoid. Pada penelitian ini tetap dilakukan uji kualitatif kandungan senyawa flavonoid pada fraksi 2 hasil VLC dari ekstrak kloroform daun sirih merah untuk melihat apakah pada fraksi tersebut terdeteksi adanya senyawa flavonoid. Hal ini dikarenakan kandungan senyawa pada fraksi seharusnya lebih besar daripada yang terdapat pada ekstrak.

(a) Sebelum penambahan reagen (b) sesudah penambahan reagen Gambar 9. Uji kualitatif kandungan senyawa flavonoid dengan uji tabung

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan warna menjadi warna merah setelah dilakukan uji tabung pada fraksi 2 hasil VLC dari ekstrak kloroform daun sirih merah. Hal ini menunjukkan bahwa pada fraksi tersebut tidak terdeteksi adanya senyawa flavonoid. Tidak terdeteksinya senyawa flavonoid ini bisa dikarenakan tidak adanya senyawa flavonoid dalam fraksi ataupun jumlah / kuantitas senyawa flavonoid yang rendah sehingga tidak dapat terdeteksi dengan uji tabung.

Selanjutnya dilakukan uji kualitatif kandungan senyawa flavonoid pada fraksi 2 hasil VLC dari ekstrak kloroform daun sirih merah, dan digunakan kuersetin sebagai marker. Kuersetin adalah aglikon yang sangat tidak larut dalam air dingin, tidak larut dalam air panas, tetapi cukup larut pada alkohol dan lipid

18

(Kelly, 2011). Kloroform merupakan pelarut non polar sehigga kuersetin dipilih sebagai marker karena dapat larut dalam pelarut non polar. Jarak elusi pada KLT yang dilakukan adalah 10 cm.

(a) UV 254 nm (b) UV 365 nm

Gambar 10. Uji kualitatif kandungan senyawa flavonoid dengan metode KLT Keterangan gambar : 1. Marker kuersetin; 2. Fraksi 2 hasil VLC dari ekstrak kloroform daun sirih merah; a. Senyawa dengan Rf 0,77; b. Senyawa dengan Rf 0,93; c. Senyawa dengan Rf 1; d. Senyawa dengan Rf 0,49; e. Senyawa dengan Rf 0,65

Tabel 2. Nilai Rf dan warna hasil uji KLT Deteksi Bercak yang

didapatkan

Nilai Rf Senyawa Warna

UV 254 nm Marker kuersetin 0,88 hijau kehitaman Bercak a 0,77 Biru

Bercak b 0,93 Biru

Bercak c 1 Hijau kehitaman UV 365 nm Marker kuersetin 0,88 Biru

Bercak c 1 Ungu kemerahan a b c d e c b c (c) Penyemprotan FeCl3

1 2 1 2 1 2

19

Bercak d 0,49 Ungu kemerahan Bercak e 0,65 Ungu kemerahan Penyemprotan

FeCl3

Marker kuersetin 0,88 Hitam Bercak b 0,93 Putih

Bercak c 1 Coklat kehitaman

Fase diam yang digunakan pada KLT ini adalah plat Silica Gel GF254. Plat ini akan menampakkan bercak pada saat disinari UV 254 nm serta plat dan bercak akan tampak gelap saat disinari UV 365 nm. Pada uji KLT didapatkan hasil bahwa fraksi tersebut tidak terdeteksi adanya kuersetin yang merupakan senyawa golongan flavonoid. Hal ini bisa dilihat dari hasil KLT yang menunjukkan bahwa sampel menghasilkan warna bercak serta Rf senyawa yang berbeda dengan marker. Fraksi 2 hasil VLC dari esktrak kloroform daun sirih merah kemungkinan mengandung flavonoid lain selain kuersetin. Hal ini dapat dilihat dari adanya fluorosensi pada UV 254 nm pada kromatogram yang menandakan adanya flavonoid (Wagner and Bladt, 1996) dan berwarna kuning (Skorek et al., 2016). Selain itu, adanya bercak ungu kemerahan pada kromatogram dibawah UV 365 nm menunjukkan adanya klorofil ataupun senyawa lain yang tertutupi oleh klorofil (Wagner and Bladt, 1996). Menurut Harborne (1987), deteksi senyawa fenol dengan penambahan FeCl3 akan menghasilkan warna hijau, merah, coklat, ungu, biru, atau hitam yang kuat. Kromatogram setelah disemprot dengan FeCl3 coklat kehitaman menunjukkan adanya senyawa fenol pada fraksi.

Aktivitas antibakteri yang dihasilkan oleh fraksi VLC dari ekstrak kloroform daun sirih merah selain karena aktivitas antibakteri dari flavonoid diduga juga karena adanya daya antibakteri dari minyak atsiri. Menurut Tiwari (2011), pelarut kloroform dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa flavonoid dan terpenoid. Minyak atsiri merupakah salah satu senyawa golongan terpenoid yang memiliki aktivitas antibakteri.

20

Berdasarkan analisis statistik (lampiran 4), uji Shapiro-Wilk untuk melihat mormalitas data dengan nilai signifikansi <0,05 menunjukkan data tidak terdistribusi secara normal. Uji Levene untuk melihat homogenitas data dengan nilai signifikansi <0,05 menunjukkan distribusi data tidak homogen, sehingga dilanjutkan uji Kruskal-Wallis yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan pada data dengan nilai signifikansi <0,05 selanjutnya dilanjutkan uji Post-Hoc Mann-Whitney. Diameter zona hambat fraksi 2 dan fraksi 3 berbeda bermakna secara statistik terhadap kontrol negatif dan kontrol positif. Adanya perbedaan bermakna dengan kontrol positif dikarenakan diameter zona hambat yang dihasilkan oleh kontrol positif jauh lebih besar daripada zona hambat yang dihasilkan oleh fraksi 2 dan fraksi 3 yaitu 17,6667±1,4434 mm untuk kontrol positif, 10,3333±0,7638 untuk fraksi 2, dan 7,8333±0,5774 untuk fraksi 3. Sedangkan perbedaan bermakna dengan kontrol negatif dikarenakan tidak dihasilkannya zona hambat oleh kontrol negatif. Hasil pengujian statistik juga menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna antara zona hambat yang dihasilkan fraksi 2 dan fraksi 3. Hal ini dikarenakan zona hambat yang dihasilkan oleh kedua fraksi memiliki selisih yang besar. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa fraksi 2 memiliki daya antibakteri yang lebih besar daripada fraksi 3 dengan konsentrasi fraksi 250 mg/ml.

Dokumen terkait