• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fraksi Air Buah Makasar

Sampel yang digunakan adalah biji tanaman buah makasar yang berasal dari Jakarta, Indonesia. Pemilihan bagian tanaman berdasarkan penggunaan umum yang telah banyak dilakukan oleh masyarakat luas, yaitu mengkonsumsi bagian bijinya. Bagian tanaman yang telah berbentuk simplisia diekstraksi dengan etanol 95% dan dipartisi lebih lanjut. Fraksi yang digunakan adalah fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar. Etanol 95% digunakan untuk melarutkan metabolit sekunder yang bersifat semipolar. Tujuan dilakukannya fraksinasi yaitu menghilangkan pengotor yang masih terdapat dalam sampel sehingga didapatkan fraksi yang lebih murni bila dibandingkan dengan ekstraksi secara langsung dengan menggunakan pelarut air.

Rendemen fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar yang diperoleh sebesar 3.71%. Bachtiar (2010) dengan menggunakan metode yang sama, menghasilkan rendemen sebesar 4.38%. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan ukuran serbuk simplisia buah makasar. Ukuran serbuk yang lebih kecil akan memperbesar luas permukaan serbuk yang kontak dengan pelarut sehingga rendemen yang dihasilkan akan lebih banyak.

Berdasarkan uji fitokimia yang dilakukan oleh Bachtiar (2010), fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar mengandung alkaloid dan flavonoid, serta tidak mengandung triterpenoid (Bachtiar 2010). NoorShahida et al. (2009) menyatakan bahwa biji buah makasar mengandung senyawa kuasinoid yang merupakan jenis triterpenoid. Triterpenoid merupakan senyawa yang bersifat nonpolar,

sehingga tidak larut dalam pelarut air. Uji fitokimia bertujuan untuk mengetahui adanya senyawa metabolit sekunder yang diharapkan dapat berperan sebagai antihiperglikemia. Alkaloid dan flavonoid merupakan senyawa aktif bahan alam yang telah diteliti memiliki aktivitas hipoglikemia.

Kondisi Hewan Coba

Kondisi hewan coba yang sehat merupakan faktor penting dalam penelitian dan syarat untuk memenuhi asumsi percobaan. Bobot badan dan konsumsi pakan merupakan parameter yang mudah diukur dan diamati untuk memantau kondisi kesehatan hewan coba selama percobaan.

Sebelum melakukan percobaan, seluruh hewan coba harus diadaptasikan untuk menghindari stres selama perlakuan dan penyeragaman cara hidup di lingkungan yang baru. Selama masa adaptasi, dilakukan penimbangan bobot badan hewan coba secara berkala. Hasil penimbangan menunjukkan bahwa rata-rata bobot badan hewan coba pada awal masa adaptasi sebesar 153.92±11.61 g, sedangkan pada akhir adaptasi sebesar 273.67±21.07 g (Gambar 4). Bobot badan hewan coba meningkat sebesar 177.80% dibandingkan pada awal adaptasi (Lampiran 2).

Kenaikan bobot badan selama masa adaptasi dipengaruhi oleh umur tikus yang masih berada dalam masa pertumbuhan dan tingkat konsumsi pakan. Pertambahan bobot badan dapat pula dipengaruhi oleh faktor genetik. Pakan yang digunakan adalah pakan standar PT. Indofeed dengan komposisi yang tidak berbeda jauh dengan normal laboratory diet (Tabel 1) yang memenuhi kebutuhan nutrisi tikus. Kenaikan bobot badan terjadi pada setiap individu tikus, menurut Lu (1991), menunjukkan tikus dalam keadaan sehat, kalorinya tercukupi, dan tidak ada gangguan pertumbuhan. Kondisi tikus yang sehat ini penting karena dapat memperkecil galat percobaan ketika memasuki masa perlakuan.

7

Tabel 1 Komposisi pakan standar tikus

Komposisi PT. Indofeed (%) Normal laboratory diet (%)* Protein kasar 18 21 Lemak 6 5 Serat kasar 6 4 Kadar abu 8 8 Kalsium 0.8 1 Fosfor 1.05 0.6 Ekstrak -nitrogen bebas 53 53

*Sumber: Anila & Vijayalakshmi (2003)

Perlakuan hewan coba dilanjutkan dengan induksi aloksan untuk kelompok KP, KN, BM 0.25, BM 25, dan BM 50, serta induksi NaCl 0.9% untuk kelompok N. Sebelum diinduksi dengan aloksan (hari ke-0), menunjukkan bobot badan yang normal yaitu rata-rata 273.62±20.33 g. Tiga hari setelah induksi aloksan atau sesaat sebelum pencekokan (hari ke-3) sampai hari ke-15 kelompok N cenderung memiliki bobot badan yang stabil, sedangkan kelompok KP, KN, BM 0.25, BM 25, dan BM 50 cenderung mengalami penurunan bobot badan sampai akhir perlakuan. Kelompok N mengalami penurunan bobot badan sebesar 3.67%. Kelompok KP, KN, BM 0.25, BM 25, dan BM 50 mengalami penurunan bobot badan masing-masing sebesar 21.85%, 7.75%, 12.29%, 16.59%, dan 17.48% (Gambar 5 & Lampiran 3).

Penurunan bobot badan ini dapat disebabkan oleh tingkat stres yang tinggi akibat pencekokan yang dilakukan pada hewan coba dan efek samping yang ditimbulkan dari kerja aloksan. Aloksan merusak sel beta pankreas sehingga menghambat sekresi insulin dan juga diduga berperan dalam penghambatan glukokinase dalam proses metabolisme energi (Szkudelski 2001, Walde et al. 2002). Hal ini dapat mengakibatkan absorpsi glukosa ke dalam jaringan terhambat. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya glikogenolisis ataupun lipolisis untuk mendapatkan energi. Lipolisis dapat menyebabkan hewan coba kehilangan massa tubuhnya.

Gambar 5 Bobot badan tikus selama perlakuan.

Pengaruh Induksi Aloksan terhadap Kadar Glukosa Darah

Induksi hiperglikemia dilakukan dengan menggunakan aloksan dosis 150 mg/kg BB. Injeksi aloksan dilakukan melalui jalur intraperitoneal. Aloksan dilarutkan dengan akuabides pro injection steril. Kandungan pirogen dan materi lain di dalam sampel dan wadah yang tidak steril dapat menyebabkan respon imun di dalam tubuh tikus seperti demam (Robinson 2002).

Hasil pengukuran kadar glukosa darah hewan coba pada hari ke-0 (sesaat sebelum induksi aloksan ataupun NaCl 0.9%) menunjukkan bahwa rata-rata kadar glukosa darah hewan coba 85.96±14.24 mg/dL. Semua hewan coba memiliki kadar glukosa darah yang berada dalam batas normal, yaitu 59-120 mg/dL (Lampiran 4). Kusumawati (2004)

menyatakan bahwa kadar glukosa darah normal pada tikus adalah 50-135 mg/dL. Berdasarkan uji statistik, konsentrasi glukosa darah hewan coba pada semua kelompok tidak berbeda nyata (p>0.05) (Lampiran 5 & 6).

Pada hari ke-3, kadar glukosa darah hewan coba yang diinduksi dengan NaCl 0.9% (kelompok N) tetap normal, terletak di kisaran 65-89 mg/dL. Sebaliknya, kelompok hewan coba yang diinduksi aloksan (kelompok KP, KN, BM 0.25, BM 25, dan BM 50) rata-rata mengalami peningkatan kadar glukosa darah sampai 2.5 kali lipat dari kondisi awal. Hasil induksi aloksan menunjukkan kadar glukosa darah hewan coba berada pada kisaran 71-368 mg/dL. Kelompok KP, KN, BM 0.25, BM 25, dan BM 50 mengalami peningkatan kadar glukosa darah berturut-turut sebesar 190.70%, 175.31%, dan 165.87%, 361.01%, dan 351.18%. Peningkatan kadar glukosa darah kelompok yang diinduksi aloksan berbeda nyata (p<0.05) dengan kondisi glukosa darah awal (hari ke-0). Uji statistik antarkelompok menunjukkan kadar glukosa darah di hari ke-3 berbeda nyata (p<0.05) (Gambar 6). Uji Duncan menunjukkan bahwa kelompok BM 25 dan BM 50 berbeda nyata bila dibandingkan kelompok normal, akan tetapi kelompok KN, BM 0.25, dan KP tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Lampiran 5 & 6). Kadar glukosa darah di hari ke-3 yang berbeda nyata dijadikan sebagai faktor kovarian pada uji ANCOVA.

Peningkatan kadar glukosa dalam darah terkait dengan aksi aloksan sebagai senyawa diabetogenik. Induksi aloksan mengakibatkan perubahan histologi sel-sel β pulau Langerhans. Kerusakan sel β pankreas tersebut mengakibatkan sekresi insulin terganggu.

8

Induksi aloksan dapat pula mengakibatkan gangguan pada sensitivitas insulin perifer. Hiperglikemia dapat pula dihasilkan karena adanya pengeluaran glukosa dari hati yang dimungkinkan oleh stimulasi epinefrin medulla adrenal.

Pengaruh Pemberian Perlakuan terhadap Kadar Glukosa Darah

Setelah diinduksi aloksan, mulai dari hari ke-3 tiap kelompok diberi perlakuan yang berbeda. Kelompok N dan KN dicekok dengan akuades, kelompok KP dicekok dengan glibenklamid dosis 0.25 mg/kg BB, serta kelompok BM 0.25, BM 25 dan BM 50 dicekok dengan fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar dosis 0.25 mg/kg BB, 25 mg/kg BB, dan 50 mg/kg BB.

Pengukuran kadar glukosa darah di hari ke- 7 (tujuh hari setelah induksi dan empat hari setelah perlakuan) menunjukkan hasil yang beragam (Gambar 6 & Lampiran 5). Kelompok N yang dicekok akuades mengalami sedikit peningkatan kadar glukosa darah, sedangkan kelima kelompok lainnya mengalami penurunan kadar glukosa darah. Peningkatan kadar glukosa darah pada kelompok N mungkin disebabkan oleh tingkat stres akibat pencekokan. Namun demikian, kadar glukosa darah kelompok N masih dalam rentang kadar glukosa darah normal. Pada hari ke tujuh kelompok KP, BM 0.25, BM 25, dan BM 50 dapat menurunkan kadar glukosa darah hewan coba. Kelompok KP dan BM 0.25 mengalami penurunan kadar glukosa darah hingga mencapai normal, akan tetapi pada kelompok BM 25 dan BM 50 belum mencapai kadar glukosa darah normal.

Berdasarkan data yang diperoleh, ternyata kelompok KN juga mengalami penurunan kadar glukosa darah sebesar 13.20%. Penurunan konsentrasi glukosa darah pada kelompok KN mungkin terjadi karena perbedaan kondisi fisik dan fisiologi hewan coba. Hewan coba pada kelompok ini mungkin lebih resisten terhadap serangan aloksan sehingga setelah empat hari pencekokan dengan akuades konsentrasi glukosa darahnya menurun walaupun tanpa diberi obat penurun kadar glukosa darah. Analisis statistik menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05) walaupun terjadi penurunan atau kenaikan glukosa darah.

Di hari ke-11 (11 hari setelah induksi dan 8 hari setelah perlakuan), kelompok KP dan BM 0.25 kembali mengalami kenaikan glukosa darah, akan tetapi kelompok N, KN, BM 25 dan BM 50 mengalami penurunan konsentrasi

glukosa darah bila dibandingkan dengan hari ke-7 (Gambar 6 Lampiran 5). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar glukosa darah antarkelompok di hari ke-11 tidak berbeda nyata (p>0.05) (Lampiran 6).

Kelompok BM 50 mengalami penurunan kadar glukosa darah sampai rentang kadar glukosa darah normal. Berbeda dengan kelompok BM 50, walaupun mengalami penurunan, kadar glukosa darah kelompok BM 25 belum mencapai kondisi normal. Kelompok KN mengalami penurunan hingga mencapai kadar glukosa darah normal. Penurunan dapat disebabkan individu hewan coba pada kelompok KN lebih resisten terhadap pengaruh aloksan. Faktor lain yang dapat menyebabkan penurunan ini yaitu mulai hilangnya efek diabetogenik yang ditimbulkan oleh aloksan. Efek diabetogenik aloksan biasanya bekerja ± 2 minggu, setelah itu konsentrasi glukosa darah kembali normal (Szkudelski 2010). Lamanya kerja aloksan sebagai agen diabetogenik juga bergantung dari dosis aloksan yang digunakan saat induksi. Dosis yang besar akan menyebabkan kerusakan yang permanen pada sel β pankreas. Selain itu, efek diabetogenik aloksan terlihat menurun karena injeksi aloksan tidak dilakukan terus menerus hingga akhir perlakuan. Sebaiknya hewan coba diinduksi aloksan terus menerus seperti yang dilakukan Lestari (1993), yaitu menginduksi kelinci dengan aloksan dosis 75 mg/kg BB tiap dua hari melalui jalur intravena selama 2 minggu.

Pada hari ke-15 (15 hari setelah induksi dan 12 hari perlakuan), konsentrasi glukosa darah kelompok N kembali mengalami peningkatan tetapi masih dalam kondisi normal bila dibandingkan dengan hari ke-11. Kenaikan kadar glukosa darah juga terjadi pada kelompok KN, BM 25, dan BM 50, sedangkan kelompok KP kembali mengalami penurunan hingga mencapai kadar glukosa darah normal. Hasil kenaikan kadar glukosa darah hewan coba pada kelompok BM 50 masih dalam rentang kadar glukosa darah normal (Gambar 6 & Lampiran 5).

Gambar 6 Kadar glukosa darah tikus selama perlakuan.

9

Kadar glukosa darah pada tikus kelompok normal terlihat stabil dari awal sampai akhir perlakuan. Hal ini terjadi karena di dalam tubuhnya terjadi pengaturan (homeostasis) yang menjaga agar kadar glukosa darah tetap dalam kisaran normal. Homeostasis kadar glukosa darah dapat dilakukan oleh kerja hormon insulin dan glukagon (Suarsana et al. 2008). Menurut Lehninger (2004) hormon insulin berfungsi untuk menurunkan kadar glukosa darah dengan memacu glikolisis, sintesis glikogen, lemak dan protein, sedangkan hormon glukagon berfungsi meningkatkan kadar glukosa darah dengan memacu proses glikogenolisis dan lipolisis melalui mekanisme cAMP. Glukagon juga memacu glukoneogenesis di dalam hati.

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar glukosa darah antar kelompok di hari ke- 15 tidak berbeda nyata (p>0.05) (Lampiran 6). Hal ini dapat disebabkan oleh tingginya keragaman data. Keragaman data tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor di dalam invididu hewan coba yang tidak bisa diseragamkan, diantaranya faktor metabolik dan hormonal tikus yang tidak dapat diprediksi. Berbagai kondisi individual (ketakutan, kegembiraan, stress, perdarahan, hipoglikemi, hipoksia, dan lain-lain) dapat mempengaruhi konsentrasi glukosa dalam darah. Hormon epinefrin, dalam kondisi stres, disekresikan oleh medula adrenal. Hormon epinefrin memiliki efek yang kuat dalam memacu terjadinya glikogenolisis dalam hati sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam darah.

Presentase aktivitas antihiperglikemia fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar dianalisis dengan membandingkan data kadar glukosa darah hari ke-3 dengan hari ke-15. Berdasarkan presentase yang diperoleh, ketiga dosis fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar mampu menurunkan kadar glukosa darah hewan coba yang diinduksi aloksan (Gambar 7). Presentase penurunan terbesar diberikan oleh fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar dosis 50 mg/kg BB (60.82%). Pengaruh dosis ini lebih besar dibandingkan dengan obat pembanding glibenklamid menurunkan konsentrasi glukosa darah sebesar 45.53%. Fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar dosis 0.25 mg/kg BB memiliki aktivitas penurunan kadar glukosa darah sebesar 37.64%, sedangkan fraksi air dari ekstrak etanol dari buah makasar dosis 25 mg/kg BB sebesar 37.42%. Hewan coba kelompok KN juga mengalami penurunan kadar glukosa darah sebesar 19.01%.

Hasil penelitian aktivitas antihiperglikemia lainnya dengan menggunakan ekstrak etanol dari buah mengkudu dosis 500 dan 1000 mg/kg BB kadar glukosa serum menurun masing- masing sebesar 62,1% dan 74,1% pada mencit yang diinduksi aloksan (Adnyana et al. 2004). Efek antihiperglikemia tersebut lebih besar dibandingkan dengan efek yang diberikan oleh fraksi air dari eksrak etanol buah makasar.

Efek hipoglikemia pada hewan coba di berbagai penelitian dapat disebabkan oleh metabolit sekunder tanaman. Metabolit sekuder tersebut diantaranya flavonoid, alkaloid, saponin, polisakarida, kumarin, dan terpenoid yang mempunyai aktivitas sebagai antidiabetes (Tanko et al. 2007).

Senyawa aktif alkaloid dan flavonoid yang terkandung di dalam buah makasar diduga mempunyai peran dalam menurunkan kadar glukosa darah. Efek dari flavonoid pada sel pankreas yaitu memacu proliferasi dan sekresi insulin telah dilaporkan oleh Sri et al. (2004) sebagai mekanisme yang mereduksi hiperglikemia pada tikus diabetes yang diinduksi streptozosin. Golongan senyawa flavonoid, terutama yang berada dalam bentuk glikosidanya mempunyai gugus-gugus gula. Glikosida flavonoid yang tersebut diduga bertindak sebagai penangkap radikal hidroksil, sehingga dapat mencegah aksi diabetogenik dari aloksan.

Mekanisme yang mungkin terjadi pada aktivitas fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar yaitu adanya senyawa aktif yang terdapat dalam buah makasar yang dapat mengaktifkan reseptor insulin atau mempercepat regenerasi sel beta pankreas yang rusak akibat induksi aloksan sehingga dapat menstimulasi sekresi insulin. Estimasi tentang level insulin yang disekresikan dan reseptor insulin ini perlu dibuktikan untuk mengetahui mekanisme aktivitas antidiabetes yang dimiliki oleh fraksi air dari ekstrak etanol buah makasar.

Gambar 7 Presentase penurunan kadar glukosa darah.

10

Dokumen terkait