• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Buah Bakau Merah (Rhizophora stylosa)

Buah bakau yang digunakan pada penelitian ini diperoleh dari Pulau Untung Djawa, Kepulauan Seribu, Jakarta. Buah bakau terdiri dari dua bagian yaitu kelopak dan buah bakau (hipokotil). Buah bakau mempunyai hipokotil lurus, silindris, berwarna merah kecoklatan, dan buahnya dipenuhi bintil-bintil dan bila jatuh tertancap ke dalam lumpur akan tumbuh dan membesar. Daging buah yang sudah dikupas dan dihaluskan dengan blender memiliki tekstur yang halus dan berwarna coklat. Pengukuran morfometrik buah bakau disajikan pada Gambar 2. Lebar

Panjang hipokotil

Panjang total

Buah bakau yang digunakan sebanyak 30 buah. Hasil pengukuran morfometrik buah bakau merah (R. stylosa) disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Pengukuran morfometrik buah bakau merah (R. stylosa)

No Parameter Nilai Nilai (*)

1 Panjang hipokotil 30,51 ± 1,96 (cm) 28,75 cm 2 Panjang total 33,23 ± 1,96 (cm) 30,00 cm 3 Berat hipokotil 24,14 ± 3,67 (gram) - 4 Berat total 31,53 ± 4,07 (gram) - 5 Diameter (lebar) 0,93 ± 0,17 (cm) 0,50 cm

Keterangan: data diperoleh dari 30 sampel buah bakau *Setyawan et al. (2014)

Buah bakau yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah bakau Rhizophora stylosa yang telah matang. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Setyawan et al. (2014) yang menyatakan buah bakau merah (R. stylosa) yang sudah matang memiliki panjang hipokotil 28,75 cm dan panjang total 30 cm. Menurut FAO (2000), buah bakau merah (R. stylosa) yang sudah matang memiliki hipokotil lurus dengan panjang sekitar 20-35 cm dan bisa juga mencapai 54 cm.

Komposisi Kimia Buah Bakau Merah (Rhizophora stylosa)

Informasi mengenai kandungan gizi yang terdapat dalam buah bakau merah (R. stylosa) dapat diketahui melalui analisis proksimat. Hasil analisis proksimat buah bakau segar disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Komposisi kimia buah bakau (R. stylosa) segar Parameter (bb) R. stylosa segar (%) R. mucronata segar*

(%) R. apiculata segar** (%) Kadar air 55,59 ± 0,08 31,96 ± 0,19 54,40 ± 0,52 Kadar abu 1,15 ± 0,03 1,10 ± 0,71 1,35 ± 0,18 Kadar protein 0,35 ± 0,06 2,59 ± 0,01 2,27 ± 0,13 Kadar lemak 1,66 ± 0,02 0,86 ± 0,01 0,14 ± 0 Kadar karbohidrat 41,26 ± 0,08 63,49 ± 0,35 22,15 ± 0

Keterangan: * Purwaningsih et al. (2013) ** Bunyapraphatsara et al. (2002)

Tabel 2 menunjukkan bahwa kadar air dan kadar karbohidrat pada buah bakau merah (R. stylosa) memiliki persentase yang lebih besar jika dibandingkan dengan kadar abu, protein, dan lemak.

Kadar air buah bakau merah (R. stylosa) segar tergolong tinggi, yaitu mencapai 55,59% (basis basah). Persentase kadar air tersebut didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Purwaningsih et al. (2013) dengan komposisi kadar air sebesar 31,96% (basis basah), dan penelitian yang dilakukan oleh Bunyapraphatsara et al. (2002) dengan komposisi kadar air sebesar 54,40% (basis basah). Kadar air pada bahan pangan dapat dipengaruhi oleh habitat atau lingkungan. Menurut FAO (2000), buah bakau memiliki habitat yang dekat dengan wilayah perairan dan umumnya tumbuh di pesisir pantai.

Kadar abu buah bakau merah (R. stylosa) segar, yaitu 1,15% (basis basah). Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Purwaningsih et al. (2013) dengan komposisi kadar abu sebesar 1,10% (basis basah), dan penelitian yang dilakukan oleh Bunyapraphatsara et al. (2002) dengan komposisi kadar abu sebesar 1,35% (basis basah). Handayani et al. (2004), menyatakan tinggi rendahnya nilai kadar abu pada tumbuhan bergantung pada cara penyerapan hara mineralnya dan kondisi lingkungan perairan laut yang mengandung berbagai mineral dengan konsentrasi tinggi.

Kadar protein buah bakau merah (R. stylosa) segar tergolong rendah, yaitu 0,35% (basis basah). Hasil pengukuran ini cukup berbeda jauh dengan kadar protein yang telah diuji oleh Purwaningsih et al. (2013) dengan komposisi kadar protein sebesar 2,59% (basis basah), dan penelitian Bunyapraphatsara et al. (2002) dengan komposisi kadar protein sebesar 2,27% (basis basah).

Handayani (2006), menyatakan bahwa kadar protein suatu tanaman tergantung pada jenis tanaman dan periode musim tumbuh. Menurut Bunyapraphatsara et al. (2002), total protein kasar dalam tumbuhan memiliki jumlah kurang dari 4%. Hasil penelitian Bunyapraphatsara et al. (2002), juga menyebutkan bahwa kadar protein kasar untuk buah R. apiculata sebesar 2,27% (basis basah) dan buah Bruguiera gymnorrhiza sebesar 1,93% (basis basah).

Buah bakau merah (R. stylosa) segar mengandung lemak yang rendah yaitu sebesar 1,66% (basis basah). Nilai ini cukup berbeda jauh dengan hasil pengujian kadar lemak yang dilakukan oleh Purwaningsih et al. (2013) dengan komposisi

kadar lemak sebesar 0,86% (basis basah), dan penelitian yang dilakukan oleh Bunyapraphatsara et al. (2002) dengan komposisi kadar lemak sebesar 0,14% (basis basah).

Handayani et al. (2004), menyatakan bahwa hampir semua tumbuhan memiliki kadar lemak yang rendah. Rendahnya kadar lemak pada tumbuhan disebabkan bentuk penyimpanan cadangan makanan pada tumbuhan dalam bentuk karbohidrat terutama polisakarida. Hal ini menyebabkan lemak nabati umumnya mempunyai persentase yang rendah.

Kadar karbohidrat by difference buah bakau merah (R. stylosa) segar sebesar 41,26% (basis basah). Nilai ini cukup berbeda jauh dengan hasil penelitian Purwaningsih et al. (2013) dengan komposisi kadar karbohidrat by difference sebesar 63,49% (basis basah), dan penelitian yang dilakukan oleh Bunyapraphatsara et al. (2002) yaitu sebesar 22,15% (basis basah). Menurut Bunyapraphatsara et al. (2002), tumbuhan mangrove memiliki kandungan serat pangan yang tinggi, yaitu berkisar dari 4,78% hingga 29,25%.

Ekstrak Buah Bakau Merah (Rhizophora stylosa)

Ekstrasi buah bakau merah (R. stylosa) menggunakan metode maserasi dengan tiga pelarut yang berbeda yaitu metanol, etil asetat, dan n-heksana. Hasil ekstraksi dari buah bakau memiliki warna yang berbeda–beda. Ekstrak metanol memiliki warna hijau kehitaman, etil asetat berwarna hijau tua, dan n-heksana berwarna hijau lebih terang. Perbedaan tersebut tidak hanya dilihat dari warna sampel, akan tetapi dari sisi jumlah rendemen. Nilai rendemen ekstrak dari masing-masing pelarut disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Rendemen ekstrak buah bakau (R. stylosa)

Jenis Pelarut Rendemen (%)

Metanol 3,45 ± 0,50 Etil Asetat 0,32 ± 0,21 N-heksana 0,14 ± 0,03

Rendemen ekstrak metanol memiliki nilai yang lebih tinggi dari kedua pelarut lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa senyawa–senyawa aktif pada buah bakau R. stylosa cenderung larut pada pelarut metanol. Tingginya nilai rendemen yang dihasilkan dari ekstrak metanol diduga dipengaruhi oleh sifat pelarut metanol yang polar, dimana dapat melarutkan hampir semua komponen bahan aktif. Penelitian lain yang dilakukan oleh Priyanto (2011) menyebutkan bahwa hasil ekstrak metanol buah bakau (R. mucronata) sebesar 10,95%, ekstrak etil asetat sebesar 0,25%, dan ekstrak n-heksana sebesar 0,12%. Perbedaan hasil ekstrak yang didapat diduga karena jenis sampel yang digunakan dari spesies Rhizopora yang berbeda dan perbandingan antara sampel dengan pelarut yang digunakan juga berbeda. Semakin banyak pelarut maka akan menyebabkan penyebaran partikel dalam pelarut semakin cepat, sehingga memperluas kesempatan kontak antara sampel dengan pelarut.

Menurut Bustan et al. (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah rendemen ekstrak bergantung pada jumlah pelarut, suhu ekstraksi, ukuran partikel, jenis pelarut, dan waktu ekstraksi. Parhusip (2006) menyatakan bahwa rendemen

ekstrak merupakan faktor yang sangat penting karena menunjukkan banyaknya senyawa organik yang larut dalam pelarut tersebut sesuai dengan polaritasnya.

Perbedaan nilai rendemen yang dihasilkan ketiga pelarut disebabkan berbedanya sifat kepolaran dari pelarut yang digunakan. Hal ini sesuai dengan penelitian Salamah et al. (2008) yang menyatakan bahwa rendemen ekstrak hasil maserasi dengan pelarut yang berbeda akan menghasilkan presentase rendemen yang berbeda.

Metanol merupakan senyawa yang bersifat polar dan memiliki gugus hidroksil (alkohol). Alkohol dikenal sebagai pelarut serbaguna yang digunakan untuk mengekstraksi habis senyawa aktif. Pelarut metanol mampu mengekstrak golongan senyawa alkaloid, komponen fenolik, tanin, karotenoid, gula, asam amino dan glikosida (Harborne 1987).

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Buah Bakau Merah (Rhizophora stylosa)

Pengujian aktivitas antibakteri ekstrak buah bakau merah (R. stylosa) menggunakan metode difusi sumur agar, dengan bakteri uji yaitu E. coli, S. aureus, P. aeruginosa, dan S. typhimurium. Bakteri-bakteri yang digunakan mewakili bakteri penyebab diare. Bakteri uji yang digunakan memiliki nilai Optical Density pada rentang 0,5-0,8. Jumlah ekstrak yang digunakan untuk pengujian aktivitas antidiare dalam setiap sumurnya yaitu sebesar 0,5 mg, 1 mg, dan 2 mg. Pengujian aktivitas antidiare ekstrak buah bakau merah (R. stylosa) menggunakan kontrol positif dan negatif sebagai pembanding aktivitas antibakteri.

Kontrol positif yang digunakan yaitu kloramfenikol. Kloramfenikol merupakan salah satu antibiotik dengan spektrum luas yang aktif terhadap banyak bakteri dari Gram-positif dan Gram-negatif (Pelczar dan Chan 2008). Kontrol negatif yang digunakan yaitu masing-masing pelarut dari ekstrak yang digunakan. Penggunaan pelarut ini adalah sebagai pembanding untuk melihat pengaruh pelarut pada proses ekstraksi terhadap diameter zona hambat yang dihasilkan ekstrak.

Pengujian aktivitas antibakteri dari masing-masing ekstrak kasar buah bakau menghasilkan hubungan antara konsentrasi ekstrak kasar buah bakau yang digunakan dengan diameter zona hambat yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak kasar buah bakau yang digunakan, maka semakin tinggi pula diameter zona hambat yang dihasilkan. Diameter zona hambat tertinggi dihasilkan oleh konsentrasi ekstrak 2 mg pada masing-masing bakteri uji. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Elya et al. (2009) yang menyatakan bahwa konsentrasi ekstrak mempengaruhi kecepatan difusi senyawa antibakteri, semakin besar konsentrasi ekstrak maka akan semakin cepat senyawa antibakteri berdifusi, sehingga semakin besar daya antibakteri dan semakin luas diameter zona hambatan yang terbentuk. Hasil uji antibakteri ekstrak buah bakau merah (Rhizophora stylosa) terhadap bakteri penyebab diare disajikan pada Gambar 3.

Hasil analisis ragam jenis ekstrak (Lampiran 1), memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap diameter zona hambat (p< 0,05). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 2) menunjukkan ekstrak metanol menghasilkan diameter zona hambat yang berbeda nyata dengan diameter zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak etil asetat dan ekstrak n-heksana. Hal ini diduga perbedaan sifat senyawa dari pelarut. Ekstrak metanol merupakan senyawa polar yang mampu menarik hampir semua senyawa-senyawa kimia yang terdapat di dalam buah bakau merah (Rhizophora stylosa). Senyawa-senyawa kimia yang ikut tertarik oleh pelarut metanol diduga berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Penelitian Mouafi et al. (2014) menunjukkan bahwa senyawa-senyawa kimia dari ekstrak daun R. stylosa yang berperan dalam menghambat pertumbuhan bakteri adalah senyawa fenolik, flavonoid, alkaloid, steroid, terpenoid, tanin, dan glikosida.

Hasil uji antibakteri pada Gambar 3 menunjukkan bahwa diameter zona hambat tertinggi terdapat pada ekstrak kasar metanol dengan nilai diameter sebesar 14 mm pada bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pimpliskar et al. (2011), pada kulit batang Rhizophora apiculata yang diekstrak dengan pelarut etanol menghasilkan diameter zona hambat sebesar 20 mm pada bakteri E. coli dan 17 mm pada bakteri S. aureus,dengan konsentrasi ekstrak sebesar 1 mg/mL.

Hasil analisis ragam jenis bakteri (Lampiran 1), memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap diameter zona hambat (p< 0,05). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa hasil diameter zona hambat pada bakteri Staphylococcus aureus berbeda nyata dengan diameter zona hambat yang terdapat pada jenis bakteri E. coli, P. aeruginosa, dan S. typhimurium. Hal ini diduga perbedaan sensitivitas bakteri terhadap senyawa antibakteri. Bakteri S. aureus

Gambar 3 Hasil uji antibakteri ekstrak buah bakau merah (R. stylosa) terhadap bakteri penyebab diare ( ) metanol 0,5 mg/mL, ( ) metanol 1 mg/mL, ( ) metanol 2mg/mL, ( ) etil asetat 0,5 mg/mL, ( ) etil asetat 1 mg/mL, ( ) etil asetat 2 mg/mL, ( ) n-heksana 0,5 mg/mL, ( ) n-heksana 1 mg/mL, ( ) n-heksana 2 mg/mL c c c c c c c c c c c c b b b b b b b b b b b a a a a a a 0 2 4 6 8 10 12 14 16

E coli S aureus P aeruginosa S typhimurium

d ia m et e r zon a h am b a t (m m )

Keterangan: Huruf a, b, c adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap perbedaan jenis ekstrak yang menunjukkan beda nyata (p<0,05)

merupakan bakteri yang termasuk dalam golongan bakteri Gram-positif. Bakteri Gram-positif cenderung lebih sensitif terhadap senyawa antibakteri.

Bakteri Gram-positif memiliki struktur dinding sel yang berlapis tunggal dan relatif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel (Pelczar dan Chan 2010). Tingkat sensitivitas terhadap senyawa antibakteri diduga disebabkan perbedaan komponen pada dinding sel kedua jenis bakteri, seperti jumlah peptidoglikon (adanya reseptor, pori-pori, dan lipid), sifat ikatan silang, dan aktivitas enzim autolitik. Komponen tersebut merupakan faktor yang menentukan penetrasi, pengikatan, dan aktivitas senyawa antimikroba (Jawetz 1998).

Hasil uji antibakteri pada Gambar 3 menunjukkan bahwa diameter zona hambat pada bakteri Staphylococcus aureus pada ekstrak metanol (2 mg/mL) sebesar 14 mm, ekstrak etil asetat (2 mg/mL) sebesar 11 mm, dan ekstrak n-heksana (2 mg/mL) sebesar 12 mm. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pimpliskar et al. (2011), pada daun R. mucronata yang diekstrak dengan pelarut etanol menghasilkan diameter zona hambat sebesar 13 mm pada bakteri S. aureus dengan konsentrasi 1 mg/mL.

Hasil analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan adanya interaksi antara perbedaan jenis ekstrak dan perbedaan jenis bakteri yang memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap diameter zona hambat (p< 0,05). Grafik hasil uji antibakteri pada Gambar 3 menunjukkan bahwa interaksi antara jenis ekstrak metanol dengan bakteri S. aureus menghasilkan diameter zona hambat berturut-turut sebesar 8 mm (0,5 mg/mL), 12,5 mm (1 mg/mL), dan 14 mm (2 mg/ mL).

Bakteri Gram-negatif memiliki lapisan dinding tambahan yaitu membran luar. Membran luar ini tersusun dari kompleks lipopolisakarida (LPS). Dinding sel bakteri Gram-negatif terdiri dari 10% peptidoglikan dan sisanya berupa membran luar. Membran luar ini bersifat toksik bagi hewan. Salmonella, Shigella, dan E.coli memiliki sifat toksisitas pada membran luarnya (Pelczar dan Chan 2008).

Mekanisme penghambatan pertumbuhan bakteri oleh senyawa antibakteri dapat berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat pembentukannya atau mengubahnya setelah selesai terbentuk, perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga menyebabkan keluarnya nutrisi dari dalam sel, perubahan molekul protein dan asam nukleat, penghambatan kerja enzim, dan penghambatan sintesis asam nukleat dan protein. Mekanisme kerja senyawa antibakteri dalam menghambat pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti zat yang terkandung di dalam antibakteri, waktu penyimpanan, suhu lingkungan, dan sifat mikroba (Pelczar dan Chan 2008)

Hasil terbaik pada pengujian aktivitas antibakteri ditunjukkan oleh ekstrak metanol buah bakau merah (R. stylosa). Ekstrak metanol menghasilkan zona hambat terbesar dibandingkan ekstrak lainnya. Ekstrak metanol selanjutnya digunakan untuk analisis penentuan konsentrasi hambat minimum, kromatografi lapis tipis dan bioautografi, dan pengujian fitokimia.

Konsentrasi Hambat Minimum

Konsentrasi hambat minimum merupakan konsentrasi terendah dari antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroba yang telah diinkubasi

semalam (Andrews 2006). Pengamatan terhadap konsentrasi hambat minimum dilakukan tiap satu jam sekali selama 24 jam. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui sifat dari senyawa antimikroba yakni bersifat bakteriosidal atau bakteriostatik.

Nilai KHM diketahui berdasarkan konsentrasi senyawa antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji setelah diinkubasi 24 jam. Pertumbuhan mikroorganisme bersifat subjektif yaitu dilihat dari kekeruhan media cair. Hasil uji Konsentrasi hambat minimum disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji Konsentrasi Hambat Minimum ekstrak buah bakau (R. stylosa)

Konsentrasi ekstrak (mg/mL)

E. coli S. aureus P. aeruginosa S. typhimurium

1 - - - -

0,7 - - - -

0,5 - - + +

0,2 + - + +

0,05 + + + +

Keterangan: (+) : keruh (ada pertumbuhan) (-) : jernih (tidak ada pertumbuhan)

Tabel 4 menunjukkan konsentrasi hambat minimum ekstrak metanol buah bakau merah (R. stylosa) memiliki nilai yang bervariasi. Nilai KHM bakteri E. coli adalah 0,5 mg/mL. Bakteri S. aureus memiliki nilai KHM sebesar 0,2 mg/mL, sedangkan untuk bakteri P. aeruginosa dan S. typhimurium memiliki nilai KHM masing-masing sebesar 0,7 mg/mL. Penelitian lain yang dilakukan oleh Pimpliskar et al. (2012), pada kulit batang Rhizophora mucronata yang diekstrak dengan pelarut etanol menghasilkan nilai konsentrasi hambat minimum pada bakteri E. coli, S. aureus, S. typhimurium masing-masing sebesar 0,5 mg/mL, sedangkan pada akar napas Rhizophora mucronata yang diekstrak dengan pelarut etanol menghasilkan nilai KHM sebesar 1 mg/mL pada bakteri P. aeruginosa.

Hasil pengujian KHM mengindikasikan bahwa buah bakau merah (Rhizophora stylosa) mengandung komponen senyawa antibakteri. Pengamatan yang dilakukan setiap jam menunjukkan aktivitas penghambatan berlangsung selama beberapa jam setelah bakteri tumbuh dalam media kontrol. Hasil pengamatan selama 24 jam terhadap konsentrasi hambat minimum disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Konsentrasi Hambat Minimum selama 24 jam pengamatan

Jenis bakteri Konsentrasi (mg/mL)

0,05 0,2 0,5 0,7 1

E. coli 14 jam 10 jam 9 jam 8 jam 7 jam

S. aureus 12 jam 10 jam 9 jam 8 jam 7 jam

P. aeruginosa 16 jam 13 jam 11 jam 9 jam 8 jam

S. typhimurium 18 jam 15 jam 12 jam 9 jam 8 jam

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap konsentrasi hambat minimum, aktivitas penghambatan pada jenis bakteri berbeda berlangsung pada waktu yang berbeda-beda pula. Hasil pengamatan yang dilakukan mengindikasikan bahwa ekstrak metanol buah bakau merah (R. stylosa) dapat

menghambat pertumbuhan bakteri penyebab diare yang bersifat bakteriostatik. Hasil pengujian konsentrasi hambat minimum juga menunjukkan bahwa bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang paling rentan terhadap ekstrak metanol buah bakau merah. Berikut merupakan beberapa nilai konsentrasi hambat miminum antibiotik terhadap bakteri penyebab diare disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Konsentrasi Hambat Minimum antidiare

Jenis bakteri Konsentrasi Hambat Minimum (mg/mL)

Buah R. stylosa Amoxicillin* Metronidazole* Kloramfenikol*

E. coli 0,2 0,25-128 - 0,25-128

S. aureus 0,05 0,03-128 - 2-16

P. aeruginosa 0,7 - - -

S. typhimurium 0,7 - - -

Keterangan: *Andrews 2006

Konsentrasi hambat minimum (KHM) tidak selalu konstan terhadap senyawa antibakteri yang diberikan (Negara 2013). Berdasarkan Tabel 6, jika dibandingkan dengan nilai KHM dari Amoxicillin, Metronidazole, dan Kloramfenikol, ekstrak metanol buah bakau merah (R. stylosa) berpotensi sebagai antibakteri terhadap bakteri penyebab diare. Hal ini dikarenakan nilai konsentrasi hambat minimum untuk ekstrak buah bakau R. stylosa masih berada di rentang nilai KHM dari Amoxicillin, Metronidazole, dan Kloramfenikol. Menurut Tinambunan (2012), antibakteri dikatakan mempunyai aktivitas yang tinggi terhadap mikroba apabila nilai konsentrasi hambat minimumnya rendah tetapi mempunyai daya hambat yang besar.

Menurut Madigan et al. (2006), hal-hal yang mempengaruhi nilai KHM diantaranya yaitu mikroorganisme uji, ukuran inokulum, komposisi media kultur, waktu inkubasi, serta kondisi inkubasi itu sendiri. Kondisi inkubasi yang mempengaruhi, yaitu suhu, aerasi, dan pH.

Fraksi Aktif Ekstrak Buah Bakau Merah (Rhizophora stylosa)

Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah metode kromatografi yang relatif sederhana dan cepat digunakan. Kromatografi merupakan metode yang digunakan untuk memisahkan komponen–komponen aktif yang terdapat di dalam suatu ekstrak. Hasil fraksinasi ekstrak metanol buah bakau merah (R. stylosa) disajikan pada Gambar 4.

Hasil pengujian terhadap fraksi aktif ekstrak metanol ditunjukkan pada Gambar 4, ulangan 1 dengan menggunakan sinar UV λ 254 nm diidentifikasi memiliki 3 bercak dengan nilai Rƒ 0,39, 0,53, dan 0,78 serta dilakukan fraksinasi dengan sinar UV λ 366 nm yang menghasilkan 2 bercak yaitu Rƒ 0,41 dan 0,64. Fraksinasi terhadap metanol ulangan 2 juga diidentifikasi dengan menggunakan sinar UV λ 254 nm dan λ 366 nm. Sinar UV λ 254 nm menghasilkan 3 bercak dengan nilai Rƒ 0,31, 0,64, dan 0,76 sedangkan dengan UV λ 366 nm menghasilkan 2 bercak dengan nilai Rƒ 0,39 dan 0,72.

Perbedaan nilai Rƒ yang dihasilkan dari ekstrak metanol ulangan 1 dan ulangan 2 diduga dipengaruhi oleh cara penotolan ekstrak yang tidak seragam dari masing-masing ulangan. Hayani dan Sukmasari (2005) menyatakan bahwa

pemisahan komponen dengan KLT dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain suhu ruang, kejenuhan uap pereaksi, ketebalan fase diam, dan cara penetesan sampel ekstrak.

Sinar UV 254 nm Sinar UV 366 nm Sinar UV 254 nm Sinar UV 366 nm

Gambar 4Kromatogram ekstrak metanol (eluen kloroform:metanol (6:4)) Hasil KLT dari ekstrak metanol ulangan 1 dan ulangan 2 selanjutnya disemprot dengan pereaksi Dragendorff. Tujuan dari penyemprotan dengan pereaksi Dragendorff adalah untuk mendeteksi kandungan senyawa alkaloid yang terdapat di dalam ekstrak metanol buah bakau merah (Rhizophora stylosa). Profil penyemprotan ekstrak metanol ulangan 1 dan ulangan 2 dengan pereaksi Dragendorff disajikan pada Gambar 5.

Hasil penyemprotan dengan pereaksi Dragendorff pada Gambar 5 menghasilkan warna orange pada Rƒ 0,78, Rƒ 0,64, dan Rƒ 0,53 (ulangan 1), sedangkan ulangan 2 terdapat pada Rƒ 0,72, Rƒ 0,64, dan Rƒ 0,39. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi ekstrak metanol mengandung senyawa golongan alkaloid karena menghasilkan warna orange setelah disemprot pereaksi Dragendorff.

Menurut Marliana et al. (2005), setelah plat disemprot dengan pereaksi Dragendorff akan menunjukkan bercak coklat jingga berlatar kuning. Pereaksi dragendorff mengandung kalium Bismut Iodida yang umummnya dengan basa nitrogen akan membentuk ikatan kovalen dan memunculkan warna kuning muda atau orange. (Ulangan 1) Rƒ3 0,78 Rƒ2 0,64 Rƒ2 0,53 Rƒ1 0,41 Rƒ10,39 (Ulangan 2) Rƒ3 0,76 Rƒ2 0,72 Rƒ2 0,64 Rƒ1 0,39 Rƒ10,31

Sinar UV 254 nm Sinar UV 366 nm Sinar UV 254 nm Sinar UV 366 nm

Gambar 5Kromatogram ekstrak metanol setelah penyemprotan

(Ulangan 1) Rƒ3 0,78 Rƒ2 0,64 Rƒ2 0,53 Rƒ1 0,41 Rƒ1 0,39 (Ulangan 2) Rƒ3 0,76 Rƒ 2 0,72 Rƒ2 0,64 Rƒ1 0,31 Rƒ1 0,39 Rƒ 0,64 Rƒ 0,41 (S. aureus) Rƒ 0,39 Rƒ 0,64 (E. coli)

Bakteri yang digunakan dalam bioautografi yaitu E. coli dan S. aureus. Kedua bakteri ini digunakan karena sebagai indikator penyebab diare dan memiliki jenis Gram yang berbeda. Profil Bioautografi ekstrak metanol ulangan 1 dan ulangan 2 disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 menunjukkan bahwa ekstrak metanol buah bakau merah (Rhizophora stylosa) memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri E. coli dan S. aureus yang ditunjukkan dengan adanya bercak hambatan pada media agar yang telah diinokulasi dengan bakteri tersebut. Senyawa pada Rƒ 0,64 dan 0,39 pada bakteri E. coli dan senyawa pada Rƒ 0,64 dan 0,41 pada bakteri S. aureus memberikan daerah hambatan pada media agar yang telah diinokulasi suspensi bakteri. Hasil pengujian KLT dan bioautografi mengindikasikan bahwa senyawa antibakteri yang berperan dalam menghambat aktivitas bakteri adalah alkaloid.

Mekanisme penghambatan bakteri oleh senyawa alkaloid diduga dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian pada sel tersebut (Robinson 1995).

Pengujian Fitokimia Ekstrak Buah Bakau (Rhizophora stylosa)

Ekstrak kasar buah bakau yang diperoleh dari proses ekstraksi kemudian digunakan untuk uji aktivitas antibakteri. Berdasarkan hasil uji aktivitas antibakteri yang dilakukan, didapat ekstrak metanol sebagai ekstrak terbaik dari ekstrak lainnya. Ekstrak kasar metanol kemudian diuji kandungan komponen aktifnya menggunakan metode uji fitokimia. Uji ini menunjukkan komponen aktif apa saja yang terlarut pada metanol. Hasil pengujian analisis fitokimia disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar buah bakau (R. stylosa) Uji Jenis Pelarut Standar (warna)

Metanol Alkaloid

a.Dragendorff + Endapan jingga

b. Meyer - Endapan putih kekuningan

c. Wagner + Endapan coklat

Tanin + Biru tua

Saponin + Terbentuk busa

Fenol hidrokuinon + Hijau

Flavonoid + Lapisan amil berwarna kuning Steroid - Tidak ada perubahan warna

Triterpenoid + Lapisanpermukaan berwarna merah kecoklatan

Keterangan: (+) Teridentifikasi (-) Tidak teridentifikasi

Hasil pengujian komponen aktif pada buah bakau ekstrak kasar metanol mengandung komponen aktif berupa senyawa alkaloid, tanin, saponin, fenol hidrokuinon, flavonoid, dan triterpenoid. Hasil yang didapat sesuai dengan hasil penelitian Nurdiani et al. (2012) yang menyatakan bahwa ekstrak kasar metanol

buah R. mucronata mengandung komponen aktif berupa alkaloid, tanin, saponin, fenolik, flavonoid, terpenoid, dan glikosida. Senyawa aktif yang terkandung pada tanaman obat umumnya mengandung berbagai metabolit sekunder seperti fenol, tanin, alkaloid, flavonoid, steroid, dan glikosida dalam jumlah yang cukup. Kelman et al. (2000) menambahkan bahwa senyawa metabolit sekunder berfungsi untuk mencegah infeksi bakteri patogen.

Alkaloid merupakan golongan senyawa sekunder yang bersifat basa dan mengandung satu atau lebih atom hidrogen (Harborne 1987). Hasil pengujian fitokimia menghasilkan nilai positif adanya alkaloid pada ekstrak metanol. Penelitian Nurdiani et al. (2012) menunjukkan bahwa ekstrak metanol buah bakau

Dokumen terkait