• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1 Penentuan Fase Post Mortem Ikan

Penentuan fase post mortem ikan dilakukan untuk mengetahui dan mengenali kondisi tingkat kesegaran ikan pada beberapa fase post mortem melalui metode penilaian sensori, yaitu secara organoleptik sehingga dapat diketahui kondisi kesegaran ikan setelah ikan dimatikan. Metode organoleptik merupakan cara yang paling murah dan mudah untuk mengetahui tingkat kemunduran mutu ikan dengan bantuan panca indera manusia. Penetapan kemunduran mutu ikan secara organoleptik ini dilakukan menggunakan score sheet yang telah ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dengan SNI 01-2346-2006 (BSN 2006). Pengamatan secara organoleptik ini meliputi beberapa parameter, seperti keadaan mata, insang, lendir permukaan badan, daging, bau, dan tekstur.

Pengamatan terhadap kondisi post mortem ikan bandeng P (tidak dipuasakan, suhu ruang), Q (dipuasakan, suhu ruang), R (tidak dipuasakan, suhu

chilling), dan S (dipuasakan, suhu chilling) menghasilkan empat titik untuk

dilakukan analisis pola kemunduran mutu ikan. Pada ikan P dan Q kondisi pre

rigor (sesaat setelah ikan dimatikan) terjadi pada 0 jam penyimpanan, rigor mortis

pada jam ke-10 penyimpanan, post rigor pada jam ke-15 penyimpanan, dan fase busuk terjadi pada jam ke-19 penyimpanan. Pada ikan bandeng R dan S kondisi

pre rigor (sesaat setelah ikan dimatikan) terjadi pada 0 jam penyimpanan, rigor mortis pada jam ke-84 penyimpanan, post rigor pada jam ke-300 penyimpanan,

dan fase busuk terjadi pada jam ke-540 penyimpanan.

Perubahan pre rigor merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar di bawah permukaan kulit. Lendir-lendir yang terlepas tersebut membentuk lapisan bening yang tebal disekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami ikan yang sedang sekarat terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang terlepas dan menyelimuti tubuh

dapat banyak hingga mencapai 1-2,5 % dari berat tubuhnya (Murniyati dan Sunarman 2000). Pada penelitian ini ikan bandeng P dan Q

mengalami fase pre rigor sekitar 10 jam yang dapat dilihat dari rentang waktu antara fase pre rigor dan rigor mortis. Ikan bandeng R dan S mengalami fase

pre rigor sekitar 84 jam yang dapat dilihat dari rentang waktu antara fase pre rigor dan rigor mortis.

Rigor mortis terjadi pada saat siklus kontraksi-relaksasi antara miosin dan

aktin didalam miofibril terhenti dan terbentuknya aktomiosin yang permanen (Eskin 1990). Pada penelitian ini ikan bandeng P dan Q mengalami fase rigor

mortis sekitar 5 jam yang dapat dilihat dari rentang waktu antara fase rigor mortis

dan post rigor. Pada ikan bandeng R dan S mengalami fase rigor mortis sekitar 216 jam (9 hari) yang dapat dilihat dari rentang waktu antara fase rigor mortis dan post rigor. Menurut Dwiari et al. (2008) fase ini ditandai oleh mengejangnya tubuh ikan setelah mati. Kekejangan ini disebabkan karena alat alat yang terdapat dalam tubuh ikan berkontraksi akibat adanya reaksi kimia yang dipengaruhi atau dikendalikan oleh enzim.

Fase post rigor terjadi setelah terjadinya fase rigor mortis. Fase ini ditandai dengan melemasnya daging ikan kembali. Lembeknya daging ikan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat sehingga terjadi pemecahan daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Dwiari et al. 2008). Pada umumnya proses ini berlangsung singkat karena bakteri segera berkembang dan hanya dapat ditunda dengan menurunkan suhu. Pada tahap ini peran bakteri dalam kerusakan ikan mulai tampak menonjol setelah dihasilkan senyawa-senyawa sederhana hasil autolisis yang berfungsi sebagai media pertumbuhannya. Pertumbuhan bakteri yang luar biasa cepat ini menyebabkan proses kerusakan ikan juga berlangsung semakin cepat. Insang akan menjadi kecoklatan, lendir semakin kental dan tebal, daging lembek, dan jika ditekan sulit pulih kembali bekasnya, bau semakin amis, dan menjadi busuk (Yunizal dan Wibowo 1998).

4.2 Kemunduran Mutu Ikan

Penentuan pola kemunduran mutu ikan bertujuan untuk mengetahui pola dan perbedaan pola kemunduran mutu antara ikan P, Q, R, dan S berdasarkan analisis tingkat kesegaran ikan pada setiap tahap post mortem. Pengamatan terhadap sampel ikan P, Q, R, dan S dilakukan berdasarkan waktu yang diperoleh dari hasil penentuan fase post mortem secara subjektif, yaitu uji organoleptik dan secara objektif, yaitu uji pH, TPC, dan TVB dengan mengambil sampel dari

W a k tu P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ( J a m ) 0 5 1 0 1 5 2 0 R at a-ra ta N ila i O rg an ol ep tik D ag in g Ik an B an de ng 0 2 4 6 8 1 0 W a k tu P e n y im p a n a n S u h u C h illin g ( J a m ) 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 P ( T id a k D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ) Q ( D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ) R ( T id a k D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u C h illin g ) S ( D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u C h illin g )

bagian daging ikan bandeng. Pengujian secara objektif pada sampel P, Q, R, dan S dilakukan pada 4 titik, yaitu pada fase pre rigor, rigor mortis, post rigor dan busuk.

4.2.1 Nilai organoleptik

Penilaian mutu secara organoleptik merupakan cara pengujian mutu yang dilakukan hanya mempergunakan panca indera. Cara ini sangat sederhana dan cepat dikerjakan, tetapi tingkat ketelitiannya tergantung dari kepekaan penguji (Dwiari et al. 2008).

Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng utuh P, Q, R, dan S disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Rata-rata nilai organoleptik ikan bandeng utuh P, Q, R, dan S Berdasarkan Gambar 3 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik ikan bandeng P, Q, R, dan S menunjukkan nilai organoleptik yang semakin menurun dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Pada umumnya semakin tinggi nilai organoleptik menunjukkan semakin segar keadaan ikannya. Pada fase rigor

mortis ikan bandeng R memiliki nilai organoleptik yang lebih rendah

dibandingkan dengan ikan bandeng S. Menurut Ridwansyah (2002) kemunduran mutu ikan dapat dipengaruhi oleh kondisi lapar/kenyang. Secara umum dapat

dikatakan bahwa antara ikan P, Q, R dan S tidak menunjukkan nilai organoleptik yang mencolok. Perbedaan yang sangat terlihat adalah pada kecepatan proses kemunduran mutu ikan dimana dari fase pre rigor hingga busuk ikan yang disimpan pada suhu ruang (ikan P dan Q) lebih cepat mengalami kemunduran mutu daripada ikan yang disimpan pada suhu chilling. Penyimpanan ikan pada suhu chilling merupakan salah satu cara untuk mengurangi laju kemunduran mutu ikan karena dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan aktivitas enzim (Clucas dan Sutcliffe 1981).

Pada kondisi pre rigor baik ikan bandeng P, Q, R, dan S menunjukkan nilai organoleptik 9. Hal ini menggambarkan bahwa ikan bandeng dalam kondisi sangat segar. Ikan yang masih segar berarti belum mengalami perubahan-perubahan biokimiawi, mikrobiologi, maupun fisikawi yang dapat menyebabkan kerusakan berat pada daging ikan (Irawan 1995). Ikan bandeng segar ini mempunyai ciri-ciri mata yang cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang merah cemerlang, tanpa lendir atau lapisan lendir jernih, transparan, mengkilat cerah, serta belum ada perubahan warna. Sayatan dagingnya sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang belakang, dan memiliki dinding perut daging utuh. Bau ikan sangat segar sesuai dengan jenis. Teksturnya padat, elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang.

Pada fase rigor mortis ikan bandeng memiliki nilai organoleptik sekitar 6-8 dengan ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata, pupil agak keabu-abuan, kornea agak keruh. Insangnya berwarna merah agak kusam tanpa lendir. Lapisan lendir mulai agak keruh, warna agak putih, kurang transparan. Sayatan daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dinding perut daging utuh, dan baunya netral. Tekstur agak padat, agak elastis bila ditekan dengan jari, serta sulit menyobek daging dari tulang belakang.

Fase post rigor ikan bandeng dengan nilai organoleptik sekitar 6-5. Nilai organoleptik 6-5 ini merupakan ambang batas antara kondisi ikan baik dan jelek. Adapun ciri-cirinya adalah bola mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan, kornea agak keruh. Mulai adanya perubahan warna, merah kecoklatan, sedikit lendir. Lapisan lendir mulai keruh, warna putih agak kusam, kurang transparan.

Sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, serta dinding perutnya lunak. Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam. Tekstur agak lunak, kurang elastis bila ditekan dengan jari, serta agak mudah menyobek daging dari tulang belakang.

Fase busuk ikan bandeng ditandai dengan nilai organoleptik antara 1-3. Pada nilai organoleptik ini ikan bandeng sudah tidak dapat diterima oleh konsumen lagi, karena sudah dibawah nilai ambang batas untuk dikonsumsi. Ikan ini memiliki ciri-ciri bola mata sangat cekung, kornea agak kuning. Insang berwarna merah coklat ada sedikit putih. Lendir tebal menggumpal, warna putih kuning. Sayatan daging kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, dinding perut lunak. Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan busuk. Teksturnya lunak, bekas jari terlihat bila ditekan, serta mudah menyobek daging dari tulang belakang.

Menurut Ridwansyah (2002) ikan cepat mengalami pembusukan disebabkan beberapa kelemahan, seperti :

(1) Tubuh ikan mempunyai kadar air yang tinggi (80 %) dan pH tubuh mendekati netral, sehingga merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri pembusuk maupun mikroorganisme lain.

(2) Daging ikan mengandung sedikit sekali tenunan pengikat (tendon), sehingga sangat mudah dicerna oleh enzim autolisis. Hasil pencernaan ini menyebabkan daging menjadi sangat lunak sehingga merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan mikroorganisme.

(3) Daging ikan banyak mengandung asam lemak tidak jenuh yang sifatnya sangat mudah mengalami proses oksidasi. Oleh karena itu sering timbul bau tengik pada tubuh ikan, terutama pada hasil olahan maupun awetan yang disimpan tanpa menggunakan antioksidan. Rata-rata nilai organoleptik daging ikan bandeng disajikan pada Gambar 4.

Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa nilai organoleptik daging ikan bandeng P, Q, R, dan S mengalami penurunan dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Pada fase pre rigor ikan bandeng P, Q, R, dan S memiliki nilai organoleptik 9 yang menunjukkan bahwa sayatan daging sangat cemerlang,

W a k tu P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ( J a m ) 0 5 1 0 1 5 2 0 R at a-ra ta N ila i O rg an ol ep tik D ag in g Ik an B an de ng 0 2 4 6 8 1 0 W a k tu P e n y im p a n a n S u h u C h illin g ( J a m ) 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 P ( T id a k D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ) Q ( D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ) R ( T id a k D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u C h illin g ) S ( D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u C h illin g )

spesifik jenis, tidak ada perubahan sepanjang tulang belakang, serta memiliki dinding perut daging utuh.

Gambar 4. Rata-rata nilai organoleptik daging ikan bandeng P, Q, R dan S Ketika ikan memasuki fase rigor mortis ikan bandeng memiliki nilai organoleptik daging sekitar 7-8. Pada kondisi ini daging sedikit kurang cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, serta memiliki dinding perut daging utuh. Fase post rigor dengan nilai organoleptik daging 5 menunjukkan daging mulai pudar, banyak pemerahan sepanjang tulang belakang, dan dinding perut lunak. Fase busuk ditunjukan dengan nilai organoleptik daging 3. Pada fase busuk daging mulai kusam, warna merah jelas sekali sepanjang tulang belakang, serta dinding perutnya lunak. Secara umum nilai organoleptik daging ikan bandeng P, Q, R, dan S tidak menunjukkan adanya perbedaan. Perbedaan tampak jelas pada kecepatan kemunduran mutu ikan dimana ikan yang disimpan pada suhu ruang lebih cepat mengalami kemunduran mutu daripada ikan yang disimpan pada suhu chilling. Menurut Clucas dan Sutcliffe 1981 ikan dari daerah tropis yang disimpan pada suhu chilling memiliki daya awet antara 11-35 hari tergantung dari jenis ikannya.

Pada penelitian ini ikan bandeng utuh yang disimpan dalam suhu ruang (26-30 0C) yaitu ikan P dan Q memiliki daya awet sekitar 19 jam dan ikan R dan S yang disimpan pada suhu chiling (1 0C) mempunyai daya awet sekitar 540 jam.

Pada kondisi suhu tropik ikan membusuk dalam waktu 12-20 jam tergantung spesies, alat atau cara penangkapan. Pada suhu 15-20 0C ikan dapat disimpan hingga sekitar dua hari, pada suhu 5 0C tahan selama 5-6 hari, sedangkan pada suhu 0 0C dapat mencapai 9-14 hari, tergantung spesies ikan (BPTP 2009). Hal ini membuktikan bahwa daya awet ikan dapat dipertahankan dan diperpanjang dengan menurunkan suhu dan praktek-praktek penanganan yang baik dengan menerapkan rantai dingin. Proses pendinginan hanya mampu menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan menghambat aktivitas mikroorganisme. Aktivitas akan kembali normal jika suhu tubuh ikan kembali naik. Kelebihan pengawetan ikan dengan pendinginan adalah sifat-sifat asli ikan tidak mengalami perubahan tekstur, rasa, dan bau. Efisiensi pengawetan dengan pendinginan sangat tergantung pada tingkat kesegaran ikan sebelum didinginkan. Pendinginan yang dilakukan sebelum rigor mortis berlalu merupakan cara yang paling efektif jika disertai dengan teknik yang benar. Sedangkan pendinginan setelah proses autolisis berlangsung tidak akan banyak membantu (Adawiyah 2007).

4.2.2 Nilai pH

Penentuan nilai pH merupakan salah satu indikator pengukuran tingkat kesegaran mutu ikan. Nilai pH daging ikan ketika masih hidup umumnya mempunyai pH netral dan setelah mati pH turun menjadi sekitar 5,3-5,5 (Eskin 1990). Hasil pengukuran nilai pH daging ikan bandeng P, Q, R, dan S disajikan pada Gambar 5.

Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui bahwa ikan bandeng P dan R pada fase pre-rigor memiliki nilai pH yang sama, yaitu 6,62 sedangkan ikan bandeng Q dan S juga memiliki nilai pH yang sama, yaitu 6,72. Daging ikan bandeng segar mempunyai pH sebesar 6,72 (Siochi 1990 diacu dalam Azanza et al. 2001). Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh protein, asam laktat, asam fosfat, TMAO, dan basa-basa menguap (Junianto 2003).

W a k tu P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ( J a m ) 0 5 1 0 1 5 2 0 R at a-ra ta N ila i p H 0 2 4 6 8 W a k tu P e n y im p a n a n S u h u C h illin g ( J a m ) 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 P ( T id a k D ip u a s a k a n ,P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ) Q ( D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ) R ( T id a k d ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u C h illin g ) S ( D ip u a s a lk a n , P e n y im p a n a n S u h u C h illin g )

Gambar 5. Rata-rata nilai pH ikan bandeng P, Q, R, dan S

Nilai pH akan semakin menurun seiring semakin banyaknya asam laktat yang terbentuk dan penurunan ATP. Pada Akhirnya pH akan semakin asam, yaitu pada fase rigor mortis. Nilai pH dari daging ikan bandeng pada fase rigor mortis berkisar antara 5,76 hingga 5,86. Nilai pH ini terus mengalami kenaikan pada fase post rigor dan busuk karena terjadinya akumulasi basa-basa volatil. Pada fase

post rigor nilai pH daging ikan bandeng berkisar antara 6,79-6,82 dan antara

6,96-7,1 untuk fase busuk. Peningkatan nilai pH tergantung pada lama penyimpanan ikan. Selain itu juga dipengaruhi oleh komposisi garam, kondisi fisiologis, kandungan protein, dan aktivitas enzim (Taskaya et al. 2003).

Nilai pH antara ikan P, Q, R, dan S pada fase yang sama tidak menunjukkan adanya perbedaaan yang mencolok. Ikan yang mengalami full rigor biasanya memiliki nilai pH antara 6,2-6,6 (Partmann 1965). Menurut Bramsnaes dan Hansen 1965 perubahan nilai pH tergantung dari kemampuan buffer daging ikan dan juga asam laktat yang dihasilkan selama ikan mengalami post mortem.

Nilai pH daging ikan bandeng pada penelitian ini mengalami penurunan dari fase pre rigor sampai fase rigor mortis, lalu nilai pH akan meningkat kembali ketika ikan memasuki fase post rigor dan terus meningkat hingga ikan busuk. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05) dapat dikatakan bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan dari masing-masing ikan bandeng P, Q, R, dan S memberikan pengaruh yang tidak berbeda

nyata pada tingkat kepercayaan 95 % terhadap nilai pH (Lampiran 7a). Perbedaan derajat keasaman yang dinyatakan dengan nilai pH pada ikan yang telah mati secara umum disebabkan karena adanya perbedaan kandungan glikogen. Kandungan gikogen ikan dipengaruh oleh aktivitas ikan, nutrisi, suhu, umur ikan, dan habitat ikan (Partmann 1965). Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05 ) pada nilai pH dengan rancangan acak kelompok menunjukkan fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai pH pada tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 7a). Terjadinya penurunan nilai pH pada ikan disebabkan proses aktivitas enzim katepsin dalam menguraikan protein daging ikan. Pada proses enzimatis, protein akan diuraikan menjadi pepton dan asam-asam amino. Selain itu juga, aksi enzimatis tersebut akan menyebabkan perubahan-perubahan dalam komponen-komponen flavor, perubahan warna daging (diskolorisasi) dari warna asli menjadi coklat serta timbulnya akumulasi metabolit (Ilyas 1983).

4.2.3 Nilai TPC

Mikroba aerob yang terdapat di permukaan kulit, insang, dan juga lingkungan disekitarnya merupakan penyebab utama kerusakan ikan. Mikroba memperoleh sumber energi dengan menguraikan protein menjadi pepton, polipeptida, dipeptida, peptida, dan asam amino. Suhu merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan mikroorganisme. Apabila suhu naik maka kecepatan metabolisme naik dan pertumbuhan mikroorganisme dipercepat (Siswanto dan Soedarto 2008). Semakin busuk seekor ikan maka akan semakin besar pula jumlah bakterinya. Dengan menghitung jumlah bakteri yang terdapat pada ikan diharapkan dapat dinilai derajat mutu ikan tersebut. Hasil penghitungan nilai log TPC daging ikan bandeng P, Q, R, dan S disajikan pada Gambar 6.

Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa nilai log TPC daging ikan bandeng P, Q, R, dan S secara umum meningkat seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Pada kondisi pre rigor ikan bandeng memiliki nilai log TPC sekitar 3,66-3,72 CFU/ml. Nilai log TPC ini terus meningkat ketika ikan

memasuki fase rigor mortis yaitu sekitar 4,68-4,97 CFU/ml dan 6,61-6,85 CFU/ml pada fase post rigor. Jumlah bakteri pada daging ikan bandeng

W a k tu P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ( J a m ) 0 5 1 0 1 5 2 0 R at a-ra ta N ila i L og T P C ( C F U /m l) 0 2 4 6 8 1 0 W a k tu P e n y im p a n a n S u h u C h ilin g ( J a m ) 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 P ( T id a k D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ) Q ( D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ) R ( T id a k D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u C h illin g ) S ( D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u C h illin g )

terus bertambah ketika ikan memasuki fase busuk yang diperlihatkan oleh nilai log TPC sekitar 7,29-7,7 CFU/ml.

Gambar 6. Rata-rata nilai log TPC ikan bandeng P, Q, R, dan S

Nilai log TPC daging ikan bandeng fase post-rigor dan busuk sudah

berada di atas batas maksimum jumlah mikroba yang ditetapkan dalam SNI 01-2729-2006, yaitu dengan nilai maksimum 5x105 CFU/ml atau nilai log

TPC sebesar 5,70 CFU/ml. Penelitian yang dilakukan oleh Azanza et al. (2001) melaporkan bahwa nilai TPC ikan bandeng yang disimpan selama 6 jam pada suhu 12 0C antara 2,30-5,78 log CFU/g. Pada penyimpanan selama 3 hari pada

suhu -2 0C ikan bandeng mempunyai jumlah koloni bakteri sebesar 1,7 x 10 CFU/gr (Hidayati 2005).

Pada ikan yang disimpan pada suhu chilling (ikan R dan S) membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai jumlah bakteri yang sama dengan ikan yang disimpan pada suhu ruang (ikan P dan Q) pada setiap tahap kemunduran mutu. Pada kondisi ini suhu mempunyai pengaruh yang besar terhadap jenis dan kecepatan pertumbuhan bakteri pembusuk. Pengaruh suhu pada pertumbuhan bakteri akan tampak jelas pada siklus pertumbuhannya, terutama perpanjangan atau perpendekan masa adaptasi yang tergantung pada tinggi rendahnya suhu. Suhu yang tinggi akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih pendek. Sebaliknya suhu rendah akan menyebabkan fase adaptasi menjadi lebih panjang.

Bagian-bagian tubuh ikan yang sering menjadi terget serangan bakteri adalah seluruh permukaan tubuh, isi perut, dan insang (Dwiari et al. 2008). Penelitian yang dilakukan Azanza et al. (2001) melaporkan bahwa jenis mikroba yang ditemukan pada ikan bandeng adalah Coliform, Staphilococcus, dan

Salmonella spp.

Nilai TPC daging ikan bandeng pada penelitian ini mengalami kenaikan pada tiap fase kemunduran mutu. Nilai log TPC pada ikan P, Q, R, dan S mencapai titik tertinggi pada fase busuk. Berdasarkan hasil uji ragam (ANOVA α=0,05 ) pada analisis TPC dengan rancangan acak kelompok dapat dikatakan bahwa perlakuan kombinasi kondisi ikan sebelum dipanen dan suhu penyimpanan memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap jumlah bakteri pada tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 7b). Menurut Ridwansyah (2002) kemunduran mutu ikan dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam, yaitu jenis kelamin, ukuran, jenis ikan, dan aktivitas enzim serta faktor luar, yaitu kondisi lingkungan, perlakuan fisik dan jumlah jasad renik. Hasil uji ragam (ANOVA α=0,05 ) pada nilai log TPC dengan rancangan acak kelompok menunjukkan bahwa fase kemunduran mutu ikan (pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai TPC pada tingkat kepercayaan 95 % (Lampiran 7b). Menurut Hidayati (2005) berbagai kondisi suhu dan lama penyimpanan memberikan pengaruh terhadap kandungan protein dan total koloni pada ikan bandeng. Jumlah bakteri pada ikan akan terus mengalami peningkatan seiring dengan lamanya penyimpanan. Bakteri ini dapat berasal dari air yang terpolusi dan wadah yang digunakan selama penanganan. Keberadaan bakteri ini dapat merusak kulit dan insang, menimbulkan amonia, bau asam, serta menyebabkan kerusakan pada daging (Clucas dan Sutcliffe 1981).

4.2.4 Nilai TVB

Indeks kemunduran mutu hasil perikanan dapat diketahui melalui kandungan TVB. Kandungan basa mudah menguap (TVB) merupakan hasil akhir penguraian protein, sehingga kadar TVB tersebut dapat dipakai sebagai indikator kerusakan ikan (Siswanto dan Soedarto 2008). Berbagai komponen, seperti basa volatil, terakumulasi pada daging sesaat setelah mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi biokimia post mortem dan aktivitas mikroba pada daging. Pada penelitian

W a k tu P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ( J a m ) 0 5 1 0 1 5 2 0 R at a-ra ta N ila i T V B ( m g N /1 00 g ) 0 1 0 2 0 3 0 4 0 5 0 6 0 7 0 8 0 W a k tu P e n y im p a n a n S u h u C h illin G ( J a m ) 0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 P ( T id a k D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ) Q ( D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u R u a n g ) R ( T id a k D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u C h illin g ) S ( D ip u a s a k a n , P e n y im p a n a n S u h u C h illin g )

ini perbandingan nilai TVB pada daging ikan bandeng P, Q, R, dan S dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Rata-rata nilai TVB ikan bandeng P, Q, R dan S

Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui bahwa ikan bandeng P dan R pada fase pre-rigor memiliki nilai TVB yang sama, yaitu 14,28 mg N/100 g dan ikan bandeng Q dan S juga memiliki nilai TVB yang sama, yaitu 11,76 mg N/100 g. Nilai tersebut menunjukkan ikan pada awal penyimpanan masih dalam keadaan sangat segar. Nilai TVB ini akan semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu penyimpanan akibat adanya degradasi oleh enzim dalam tubuh ikan menghasilkan senyawa-senyawa sederhana yang merupakan komponen-komponen penyusun senyawa basa volatil (Yunizal dan Wibowo 1998). Nilai TVB daging ikan bandeng tertinggi dicapai setelah penyimpanan 19 jam penyimpanan suhu ruang sebesar 49 mg N/100 g dan pada penyimpanan suhu

chilling setelah penyimpanan 540 jam (23 hari) sebesar 74,2 mg N/100 g. Nilai

tersebut menujukkan bahwa daging ikan bandeng sudah tidak dapat dikonsumsi (Farber 1965). Menurut Siswanto dan Soedarto (2008) peningkatan kandungan TVB terjadi karena adanya bakteri yang menguraikan protein menjadi TVB.

Kesegaran ikan dapat dibagi menjadi 4 kriteria berdasarkan nilai TVB. Ikan termasuk kriteria sangat segar apabila nilai TVB kurang dari 10 mg N/100 g.

Ikan dengan nilai TVB antara 10-20 mg N/100 g termasuk dalam kriteria segar.

Ikan termasuk kriteria masih bisa dikonsumsi apabila nilai TVB antara 20-30 mg N/100 g dan tidak bisa dikonsumsi apabila nilai TVB lebih dari 30 mg N/100 g (Farber 1965). Berdasarkan batasan tersebut, ikan bandeng yang disimpan pada suhu ruang masih dapat diterima dan layak untuk dikonsumsi

sampai waktu penyimpanan 15 jam dengan nilai TVB antara 23,8-24,36 mg N/100 g dan 300 jam untuk ikan bandeng yang disimpan pada

suhu chilling dengan nilai TVB antara 28-28,4 mg N/100 g.

Nukleotida utama yang berperan dalam mentransfer energi yaitu ATP,

Dokumen terkait