• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Kondisi Umum PPP Labuan, Banten

Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan terletak di wilayah kabupaten Pandeglang yang berada pada bagian Barat Daya Provinsi Banten. Secara astronomis Kabupaten Pandeglang terletak antara 6o21’-7o 10’ dan 104o 48’ -106o 11’ dengan atas administrasinya se elah Utara er atasan dengan

Kabupaten Serang, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lebak, sebelah Selatan dengan Samudera Hindia, dan sebelah Barat dengan Selat Sunda. Posisi tersebut menunjukkan bahwa Kabupaten Pandeglang memiliki potensi perikanan cukup besar karena kemudahan akses ke beberapa perairan.

Perairan Selat Sunda merupakan pertemuan antara perairan Samudera Hindia dan Laut Jawa. Perairan Selat Sunda dipengaruhi oleh angin musim tenggara dan musim barat laut. Angin musim barat laut terjadi selama bulan Desember-Februari, dan pada bulan Maret-Mei menampilkan periode transisi dari angin musim barat laut ke angin musim tenggara. Angin musim tenggara terjadi antara bulan Juni-Agustus dan pada bulan September-November adalah peralihan antara musim tenggara ke angin musim barat laut. Selama musim peralihan, angin bertiup kencang ke arah timur yang menyebabkan hujan besar. Selama musim barat umumnya gelombang cukup besar, yaitu sekitar 0,5 m sampai 1,5 m bahkan bisa mencapai 1,5-2 m pada bulan Desember dan Januari. Sedangkan untuk musim timur ketinggian gelombang biasanya antara 0,5-1 m, dan bisa kurang dari 0,5 m pada bulan April, Mei, dan Juni. Sifat pasang surut di perairan Pandeglang adalah mixed semi diurnal (campuran ke arah ganda), yaitu mengalami dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari. Berdasarkan data kedalaman survei lapang dan informasi data kedalaman perairan dari peta (LPI) daerah Labuan, diperoleh informasi bahwa kedalaman perairan Labuan berkisar antara 0-70 m (Amri 2002).

14

Komposisi Hasil Tangkapan di PPP Labuan

Beberapa jenis ikan yang banyak tertangkap dengan menggunakan cantrang berdasarkan data TPI Labuan tahun 2013 disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa komposisi tangkapan ikan kuniran merupakan tangkapan terbesar yang didaratkan di PPP Labuan dengan persentase sebesar 25%. Komposisi hasil tangkapan terendah adalah ikan bawal sebesar 3%. Pada komposisi ikan lainnya yang tertera pada Gambar 2 merupakan gabungan dari beberapa jenis ikan dengan tangkapan yang kecil jumlahnya, yaitu cumi, ikan sebelah, ikan pari, ikan tenggiri, dan ikan kerapu.

Gambar 2 Komposisi hasil tangkapan cantrang di PPP Labuan tahun 2013 Sumber: TPI 1 PPP Labuan Tahun 2013

Ikan Kuniran (Upeneus spp.)

Ikan kuniran (Upeneus spp.) termasuk ke dalam jenis ikan demersal dan memiliki ciri tubuh yang relatif memanjang, dua sirip punggung (dorsal) yang terpisah, dan terdapat sepasang sungut yang memanjang pada dagu yang digunakan untuk mendeteksi makanan. Sungut tersebut juga digunakan oleh ikan kuniran jantan untuk menarik perhatian ikan kuniran betina. Selama sungut tidak digunakan, ikan kuniran akan menyelipkan dengan rapat sungut tersebut di bawah dagunya. Ikan kuniran memiliki ukuran maksimum sebesar 60 cm, tetapi sebagian besar dari jenis ikan kuniran berukuran lebih kecil. Kebiasaan makanan ikan kuniran adalah 59,49% jenis udang, 14,51% ikan-ikan kecil, dan 13,51% moluska (Allen 1997).

Ikan kuniran (Mullidae) termasuk ke dalam kelompok ikan demersal dan tersebar hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia. Ikan ini hidup di perairan dengan dasar berlumpur, serta tersebar luas di Indo-Pasifik Barat (Peristiwady 2006). Umumnya ikan-ikan demersal jarang sekali mengadakan migrasi ke daerah yang jauh. Hal ini disebabkan oleh ikan demersal mencari makan di dasar perairan sehingga kebanyakan dari mereka hidup pada perairan yang dangkal. Ikan kuniran jarang sekali mengadakan ruaya melewati laut dalam dan cenderung untuk menyusuri tepi pantai (Widodo 1980 dalam Siregar 1990). Ikan demersal

14% 25% 8% 12% 4% 3% 34% Kurisi Kuniran Swanggi Layang Kuwe Bawal lainnya

15 biasanya ditangkap dengan alat tangkap seperti trawl, rawai dasar, jaring insang dasar, jaring klitik/trammel net, dan bubu. Namun, ikan kuniran di PPP Labuan biasanya ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang. Jika upaya penangkapan ditingkatkan, maka mortalitas ikan ini pun akan meningkat. Apabila hal ini berlanjut terus menerus, maka akan terjadi hal yang tidak diinginkan seperti terancamnya kelestarian sumber daya ikan demersal, salah satunya adalah ikan kuniran.

Sebaran Ukuran Panjang

Data sebaran ukuran panjang ikan kuniran di perairan PPP Labuan Banten yang didaratkan selama penelitian disajikan pada Gambar 3. Jumlah ikan yang terkumpul selama 4 bulan dengan pengambilan sebanyak 2 kali pengambilan data perbulannya sebanyak 702 ekor. Panjang total ikan berkisar antara 70 mm-260 mm. Pengambilan contoh pertama dilakukan pada awal bulan Juni 2013 sebanyak 4 ekor, pengambilan contoh kedua pada pertengahan bulan Juni 2013 sebanyak 29 ekor, pengambilan contoh ketiga pada awal bulan Juli sebanyak 118 ekor, pengambilan contoh keempat pada pertengahan bulan Juli 2013 sebanyak 143 ekor, pengambilan contoh kelima pada awal bulan Agustus 2013 sebanyak 64, pengambilan contoh keenam pada pertengahan bulan Agustus 2013 sebanyak 166 ekor, dan pengambilan contoh ketujuh pada awal bulan September sebanyak 178 ekor.

Total N = 702

Gambar 3 Sebaran ukuran panjang ikan kuniran contoh

Parameter Pertumbuhan

Pemisahan kelompok ukuran panjang dilakukan dengan menggunakan paket program FISAT (FAO-ICLRAM Stock Assesment)-NORMSEP dengan selang kelas, nilai minimum, interval kelas dan frekuensi dimasukkan terlebih dahulu. Hasil analisis pemisahan kelompok umur disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan hasil analisis pemisahan kelompok ukuran pada Tabel 2. dapat dilihat bahwa ikan kuniran yang diamati hanya memiliki satu kelompok ukuran panjang pada bulan Juni-Agustus dan lebih dari satu kelompok ukuran panjang pada bulan September.

16

Tabel 2 Nilai tengah panjang total ikan kuniran (Upeneus spp.) yang didaratkan di PPP Labuan Banten.

Tanggal Lt SD Jumlah Contoh

(ekor) S.I 3 Juni 2013 131,75 15,75 4 n.a 16 Juni 2013 169,59 9,50 29 n.a 7 Juli 2013 132,00 26,11 118 n.a 21 Juli 2013 96,94 9,88 143 n.a 4 Agustus 2013 121,95 12,22 64 n.a 18 Agustus 2013 107,43 17,67 166 n.a 8 September 2013 110,53 14,66 150 n.a 209,77 15,44 28 6,59 TOTAL 118,18 29,90 702 n.a

Tabel 3 Parameter pertumbuhan berdasarkan model Von Bertalanffy (K, L, dan t0) ikan kuniran (Juni-September 2013)

Parameter Nilai

K (per tahun) 0,0759

L (mm) 264,4710

t0 (tahun) -1,2682

Hasil analisis mengenai parameter pertumbuhan berupa koefisien pertumbuhan (K), panjang asimtotik (L), dan umur teoritik ikan pada saat panjang ikan nol (t0) dapat dilihat pada Tabel 3. Persamaan pertumbuhan Von Bertalanffy yang terbentuk pada ikan kuniran adalah Lt = 264,47(1-exp[-1,27(t+0,08)]). Koefisien pertumbuhan (K) ikan kuniran di PPP Labuan Banten adalah 0,08 per tahun dan L sebesar 264,47 mm. Dari hasil penelitian ikan kuniran di PPP Labuan, Banten, diketahui bahwa untuk mencapai panjang asimtotik (L) , ikan kuniran memerlukan waktu 83 bulan. Beverton and Holt (1956) dalamDeshmukh (2010) mengungkapkan bahwa koefosien pertumbuhan (K) berbanding terbalik terhadap panjang asimtotik (L).

Gambar 4 Kurva pertumbuhan Von Bertalanffy ikan kuniran 0 50 100 150 200 250 300 0 50 100 150 200 L (mm ) t (bulan) Lt = 264,47(1-exp[-1,27(t+0,08)])

17 Kurva pertumbuhan ikan kuniran di perairan PPP Labuan Banten disajikan pada Gambar 4 dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang teoritis ikan (mm) sampai panjang ikan mencapai panjang asimtotik (L). Gambar 4 menunjukkan bahwa ikan kuniran akan mencapai panjang total maksimum secara teoritis sebesar 264,47 mm dalam waktu yang cukup lama, yaitu 83 bulan. Pertumbuhan ikan kuniran yang cukup lama untuk mencapai panjang asimtotik (L) dikarenakan nilai koefisien pertumbuhan (K) yang kecil adalah 0,08 per tahun.

Hubungan Panjang-Bobot

Analisis hubungan panjang-bobot menggunakan data panjang total dan bobot basah ikan contoh untuk melihat pola pertumbuhan individu ikan kuniran di PPP Labuan Banten. Hubungan panjang-bobot ikan kuniran disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan analisis hubungan panjang-bobot dengan jumlah ikan contoh sebanyak 702 ekor, model pertumbuhan ikan kuniran adalah W= 3E-05L2,841, dengan koefisien determinasi sebesar 0,901 (Gambar 5).

Gambar 5 Hubungan panjang-bobot ikan kuniran (Upeneus spp.)

Berdasarkan model pertumbuhan tersebut diperoleh nilai b sebesar 2,841. Hal ini menunjukan bahwa pertumbuhan ikan kuniran bersifat allometrik negatif dengan nilai b<3, yang berarti pertumbuhan panjang pada ikan tersebut lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan bobotnya (Effendie 2002). Penelitian lain pernah dilakukan terhadap ikan kuniran (Upeneus sulphureus) yang dilakukan oleh Syamsiyah (2010), Triana (2011), dan Fadlian (2012) yang diperoleh hasil pola pertumbuhan yang sama dengan penelitian ini, yaitu pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif.

Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Hasil analisis laju mortalitas dan laju eksploitasi disajikan pada Tabel 4. Laju mortalitas total (Z) ikan kuniran sebesar 0,2909 per tahun dengan laju mortalitas alami sebesar 0,1486 per tahun yang lebih besar dibandingkan laju mortalitas penagkapan sebesar 0,1423 per tahun. Laju eksploitasi ikan kuniran sebesar 0,4892 per tahun dan laju mortalitas total sebesar 0,2909 pertahun.

W= 3E-05L2,841 R² = 90,1% N=702 0 50 100 150 200 250 0 50 100 150 200 250 300 B obot ( g r) Panjang (mm)

18

Tabel 4 Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan kuniran di PPP Labuan, Banten. Parameter Nilai (per tahun)

Laju Mortalitas Alami (M) 0,1486

Laju Mortalitas Penangkapan (F) 0,1423

Laju Eksploitasi (E) 0,4892

Laju Mortalitas Total (Z) 0,2909

Model Surplus Produksi

Data produksi kegiatan penangkapan ikan kuniran di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan selama 14 tahun terakhir (2001-2013) disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa hasil tangkapan ikan kuniran dan upaya tangkap (effort) dari tahun 2001 hingga 2013 di PPP Labuan berfluktuasi.

Tabel 5 Data hasil tangkapan, effort dan CPUE

TAHUN C (KG) E(TRIP) CPUE

2001 4780,5833 374 12,7823 2002 5888,1714 447 13,1726 2004 11912,0000 797 14,9369 2005 165,1667 146 1,1300 2006 28818,0000 1825 15,7881 2007 1536,0000 79 19,4046 2010 3192,0476 69 46,2616 2011 6866,3000 128 53,6430 2012 13469,0000 153 88,0327 2013 6689,2000 108 61,9370

Gambar 6 Regresi linier antara effort per tahun dengan CPUE (model Schaefer 1954)

Data hasil tangkapan maupun effort tahun 2003, 2008 dan 2009 tidak tercantum pada Tabel 5 dikarenakan kelengkapan data yang diperoleh sangat kurang. Peningkatan jumlah effort yang digunakan oleh nelayan dikhawatirkan dapat membahayakan kelestarian stok ikan kuniran, oleh karena itu, perlu

CPUE = -0,019E + 40,64 R² = 14,0% 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 500 1000 1500 2000 C PU E (K g /t ri p) EFFORT (Trip)

19 dilakukan pendugaan lebih lanjut mengenai jumlah effort optimum dan tangkapan maksimum lestari.

Hasil analisis surplus produksi ikan kuniran menggunakan model Schaefer (1954) dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan Gambar 6 model surplus

produksi haefer 1954) digam arkan dengan persamaan U 40,64−0,019 .

Berdasarkan persamaan tersebut didapatkan nilai a = 40,64 dan b = 0,019 dengan koefisien determinasi (R2) = 14,0%.

Pola Musim Penangkapan Ikan Kuniran

Analisis pola musim penangkapan ikan kuniran tersebut menggunakan metode rata-rata bergerak (moving average) dengan menghitung nilai Indeks Musim Penangkapan (IMP) pada setiap bulannya. Pergerakan nilai IMP ikan kuniran dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Nilai rata-rata indeks musim penangkapan ikan kuniran

Berdasarkan Gambar 7, musim penangkapan terjadi pada bulan Agustus, September, Januari, Februari, April, Mei, dan Juni. Musim biasa (bukan musim penangkapan) terjadi pada bulan Juli, Oktober, November, dan Maret. Untuk musim paceklik terdapat pada bulan Desember.

Model Bioekonomi

Kajian bioekonomi perikanan merupakan kajian terhadap sumber daya alam khususnya sumber daya ikan yang berbasiskan aspek biologi dan aspek ekonomi. Tujuan utama dari kajian bioekonomi perikanan adalah memaksimalkan manfaat ekonomi yang diperoleh dengan memperhatikan kelestarian sumber daya.

Laju pertumbuhan intrinsik (r) bernilai 0,8029 artinya pertumbuhan biomassa ikan kuniran secara alami tanpa adanya gangguan sebesar 0,8029 per tahun. Carrying capacity (k) pada perairan PPP Labuan sebesar 107019,3946 per tahun artinya kemampuan atau kapasitas lingkungan perairan untuk menampung biomassa ikan kuniran sebesar 107019,3946 Kg per tahun. Koefisien alat tangkap (q) bernilai sebesar 0,0004, artinya setiap peningkatan upaya penangkapan per trip per tahun akan berpengaruh terhadap aspek biologi ikan kuniran sebesar 0,0004 Kg per tahun. 79,46 143,48 128,08 52,12 59,36 47,28 105,39 106,24 76,29 139,95 116,77 145,59 0 20 40 60 80 100 120 140 160 MUSIM PENANGKAPAN MUSIM BIASA MUSIM PACEKLIK

20

Tabel 6 Nilai parameter biologi dan ekonomi dalam penentuan MEY dan MSY

Parameter Nilai

q (catchability coefficient) 0,0004 k (carrying capacity, per tahun) 107019,3946 r (intrinsic growth rate, per tahun) 0,8029

p (harga, Rp/Kg) 6058,3333

c (biaya, Rp/trip) 82026,79097

Tabel 7 Hasil perhitungan bioekonomi ikan kuniran

Variabel MEY MSY OA Aktual

H (kg) 19096,7048 21480,4999 19087,9182 6689,2000

E (trip) 704,8976 1057,0222 1409,7951 108,0000

TR (Rp) 115694203,2696 130136028,7850 115640970,9121 40525403,3333 TC (Rp) 57820485,4560 86704136,4869 115640970,9121 8858893,4246 Keuntungan (Rp) 57873717,8136 43431892,2981 0,0000 31666509,9087

Dari hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi maka dapat ditentukan hasil analisis parameter bioekonomi diberbagai rezim seperti pada Tabel 7. Nilai

yield (hasil tangkapan), effort, dan keuntungan yang didapat dari ketiga rezim memiliki nilai yang berbeda-beda, sedangkan untuk kondisi aktual merupakan kondisi yang terjadi pada saat ini, yaitu rata-rata data hasil tangkapan dan upaya tangkapan dari tahun 2001-2013.

Gambar 8 Fluktuasi CPUE ikan kuniran di PPP Labuan. Sumber: TPI 1 PPP Labuan (2001-2013)

Analisis CPUE menggambarkan hubungan antara hasil tangkapan (C) dengan upaya penangkapan (E) pada waktu tertentu. Setiap alat tangkap mempunyai kemampuan berbeda dalam menangkap ikan kembung lelaki. CPUE dapat menilai efektivitas suatu alat tangkap sehingga perlu dilakukannya standarisasi alat tangkap. Berdasarkan Gambar 8, nilai CPUE tertinggi terjadi

0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 100,00 2001 2002 2004 2005 2006 2007 2010 2011 2012 2013 C PU E Tahun

21 pada tahun 2012 sebesar 88 kg/trip dan nilai CPUE terendah pada tahun 25 sebesar 1 kg/trip.

Pembahasan Hasil Tangkapan

Sebagian besar penduduk di sekitar PPP Labuan berprofesi sebagai nelayan tradisional yang menggunakan jaring rampus, cantrang, perahu obor, dan beberapa jenis pancing. Ikan kuniran merupakan salah satu komoditas perikanan di PPP Labuan yang dihasilkan oleh alat tangkap cantrang. Beberapa jenis ikan yang banyak tertangkap dengan menggunakan cantrang berdasarkan data TPI Labuan tahun 2013 disajikan pada Gambar 2. Hasil tangkapan di PPP Labuan khususnya TPI 1 lebih didominasi oleh ikan kuniran, kurisi, swanggi, dan layang. Persentase ikan kuniran terdapat pada urutan pertama disebabkan karena ketersediaan stok ikan kuniran di alam jumlahnya masih sangat besar.

Hasil tangkapan ikan kuniran di PPP Labuan menunjukkan fluktuasi setiap tahunnya. Berdasarkan Tabel 5, dapat dilihat bahwa hasil tangkapan tertinggi terdapat pada tahun 2006 sebesar 28.818,0000 kg per tahun dan hasil tangkapan terendah terdapat pada tahun 2005 sebesar 165,1667 kg per tahun. Peningkatan dan penurunan hasil tangkapan ikan kuniran disebabkan oleh adanya perubahan musim yang tidak menentu di PPP Labuan itu sendiri. Musim merupakan faktor yang sangat berbengaruh pada aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan. Pada musim penghujan atau musim barat, nelayan pada umumnya tidak pergi melaut. Mereka tidak melakukan aktivitas berlayar karena arah gerak angin yang kurang menguntungkan untuk proses penangkapan ikan, selain itu juga diikuti cuaca yang kurang mendukung dengan turunnya hujan yang biasanya juga disertai badai di tengah laut. Pada musim ini biasanya ikan jarang didaratkan di PPP Labuan. Hal lain yang menyebabkan fluktuasi angka hasil tangkapan ikan di PPP Labuan, yaitu kurangnya kesadaran dari nelayan untuk melaporkan hasil tangkapan mereka ke kantor TPI tempat pendaratan ikan karena ingin mendapatkan keuntungan yang besar sehingga hasil tangkapan nelayan ini tidak tercatat di kantor TPI Labuan.

Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Penurunan terhadap stok disebabkan oleh dua faktor, yaitu karena mortalitas alami dan eksploitasi spesies yang berupa mortalitas penangkapan. Mortalitas penangkapan disebabkan oleh kegiatan penangkapan, sedangkan mortalitas alami disebabkan oleh kematian ikan yang disebabkan oleh berbagai faktor dengan faktor terbesar, yaitu predasi (Fadlian 2012). Parameter-parameter laju mortalitas meliputi laju mortalitas total (Z), laju mortalitas alami (M) dan laju mortalitas penangkapan (F). Perlunya pengkajian parameter-parameter tersebut adalah untuk mengetahui laju eksploitasi dari suatu spesies.

Laju mortalitas alami (M) dapat dihitung dengan menggunakan rumus Pauly. Laju mortalitas total (Z) dapat diketahui dengan regresi berdasarkan data panjang yang dilinierkan. Laju mortalitas penangkapan (F) dapat diketahui dari selisih antara laju mortalitas total dan laju mortalitas alami. Hasil analisis laju mortalitas dan laju eksploitasi disajikan pada Tabel 4. Hal ini menunjukkan bahwa laju kematian ikan kuniran di alam lebih dominan disebabkan oleh mortalitas alami dibandingkan mortalitas penangkapan.

22

Laju eksploitasi ikan kuniran adalah 0,4892, sehingga dapat dinyatakan bahwa stok ikan kuniran di perairan PPP Labuan masih berada di bawah laju eksploitasi optimum. Laju mortalitas penangkapan (E) atau laju eksploitasi optimum menurut Gulland (1971) dalamPauly (1984) sebesar 0,5 (Eoptimum = 0,5).

Model Surplus Produksi

Model surplus produksi merupakan suatu model yang menjelaskan tentang pemanfaatan terhadap sumber daya ikan yang lestari dan berkelanjutan. Model ini mengatur tentang upaya tangkap yang diperbolehkan untuk menangkap sumber daya ikan dengan tidak melebihi batas hasil tangkapan lestari atau Maximum Sustainable Yield (MSY). Model ini dapat diterapkan bila diketahui hasil tangkapan total (catch) berdasarkan spesies dan upaya penangkapan (effort) sehingga diperoleh hasil tangkapan per unit upaya (catch per unit effort/CPUE) dalam beberapa tahun (Sparre dan Venema 1999).

Berdasarkan Gambar 6 model surplus produksi Schaefer (1954)

digam arkan dengan persamaan U 40,64−0,019 . erbandingan tersebut menunjukan bahwa nilai CPUE mengalami penurunan dengan semakin tingginya upaya penangkapan yang dalam hal ini adalah jumlah trip penangkapan ikan kuniran. Hubungan antara CPUE dan upaya penangkapan (E) menggambarkan produktivitas dari alat tangkap cantrang dalam melakukan penangkapan ikan kuniran yang dicerminkan dalam nilai CPUE. Hubungan yang menunjukkan bahwa semakin tinggi upaya penangkapan yang dilakukan, maka nilai CPUE akan semakin rendah dapat mengindikasikan bahwa terjadinya penangkapan yang berlebihan atau biasa disebut over fishing (Sparre dan Venema 1999).

Pola Musim Penangkapan

Berdasarkan Gambar 7, nilai Indeks Musim Penangkapan (IMP) di sekitar perairan Labuan berkisar antara 47,28%-145,59%. Pergerakan nilai IMP ikan kuniran mengalami fluktuasi. Nilai IMP tertinggi terdapat pada bulan Juni sebesar 145,59% dan terendah pada bulan Desember sebesar 47,28%. Berdasarkan Gambar 7, musim penangkapan ikan kuniran adalah bulan Januari, Februari, April, Mei, Juni, Agustus, dan September dengan nilai IMP yang melebihi 100%. Selain bulan-bulan tersebut diduga bukan merupakan musim penangkapan ikan kuniran karena nilai IMP-nya berada di bawah 100%. Musim paceklik hanya terjadi pada bulan Desember karena nilai IMP-nya berada di bawah 50%.

Apabila dikaitkan dengan musim perairan yang terjadi di Indonesia, musim penangkapan ikan kuniran terjadi pada musim timur (Juni dan Agustus) dan musim peralihan barat ke timur dengan musim puncak terbaik untuk melakukan penangkapan ikan kuniran pada bulan Juni. Hal ini dikarenakan sewaktu musim barat biasanya banyak terjadi hujan, angina, dan arus yang kencang menyebabkan jumlah trip penangkapan yang dilakukan oleh nelayan menjadi menurun, sehingga hasil tangkapan yang didapat pada musim barat biasanya lebih rendah dibandingkan pada musim timur.

Bioekonomi

Kajian bioekonomi juga dikenal dengan pendekatan MEY (Maximum Economic Yield) atau tangkapan lestari secara ekonomi. Pendekatan lainnya

23 adalah Maximum Suistainable Yield (MSY) atau tangkapan lestari maksimum dapat diartikan sebagai tingkat pemanfaatan sumber daya perikanan tanpa merusak kelestarian sumber daya (Sari et al. 2009). Estimasi nilai MSY hanya faktor secara biologi saja yang diperhitungkan, yaitu nilai r (laju intrinsik populasi), q (koefisien kemampuan alat tangkap), dan nilai k (daya dukung perairan). Estimasi nilai MEY adalah nilai p (harga) dan c (biaya).

Berdasarkan Tabel 6, dapat dilihat laju pertumbuhan intrinsik (r) bernilai 0,8029 artinya pertumbuhan biomassa ikan kuniran secara alami tanpa adanya gangguan sebesar 0,8029 per tahun. Carrying capacity (k) pada perairan PPP Labuan sebesar 107019,3946 per tahun artinya kemampuan atau kapasitas lingkungan perairan untuk menampung biomassa ikan kuniran sebesar 107019,3946 Kg per tahun. Koefisien alat tangkap (q) bernilai sebesar 0,0004, artinya setiap peningkatan upaya penangkapan per trip per tahun akan berpengaruh terhadap aspek biologi ikan kuniran sebesar 0,0004 Kg per tahun.

Tabel 7 menunjukkan bahwa hasil tangkapan maksimal pada perairan ditunjukkan dengan nilai MSY sebesar 21480,4999 Kg dengan upaya maksimal 1057,0222 trip. Pada kondisi MEY upaya yang dilakukan lebih rendah sebesar 704,8976 trip dan hasil tangkapan yang lebih rendah sebesar 19096,7048 Kg, namun menghasilkan keuntungan yang lebih besar dibanding MSY. Dari tiga rezim pengelolaan tersebut (MEY, MSY, dan Open Access), kondisi MEY merupakan kondisi pengelolaan yang paling baik jika dilihat dari aspek biologi maupun ekonomi. Dilihat dari sudut pandang biologi, maka total tangkapan MEY tidak melebihi nilai MSY yang menunjukkan tingkat produksi maksimum lestari ikan kuniran, sedangkan jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, maka kondisi MEY merupakan kondisi pengelolaan yang paling baik dan menguntungkan secara ekonomi dikarenakan pada kondisi MEY selisih antara total penerimaan dan biaya yang dikeluarkan untuk eksploitasi sumber daya ikan (keuntungan) lebih besar dibanding pada kondisi MSY.

Pada kondisi open access (OA) upaya yang dilakukan melebihi batas maksimal yaitu sebesar 1409,7951 trip. Kondisi OA merupakan kondisi perairan yang bebas artinya pada kondisi ini kegiatan perikanan memiliki akses masuk dan keluar secara bebas. Upaya penangkapan tidak dibatasi, sehingga kondisi perikanan tidak dapat terkendali. Pada kondisi OA upaya penangkapan lebih besar namun pada kondisi ini hasil tangkapan dan keuntungan yang didapatkan pada kegiatan perikanan lebih kecil daripada MEY dan MSY. Sesuai dengan pernyataan Gordon (1954), effort yang dibutuhkan pada kondisi OAdengan rente ekonomi yang nol jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan pada keuntungan maksimum, yaitu saat kondisi rezim MEY. Gordon (1954) menyebutkan bahwa keseimbangan OA tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Besarnya effort pada rezim OA apabila terus dibiarkan secara berlanjut akan berdampak buruk bagi stok sumber daya di perairan Selat Sunda.

Berdasarkan kondisi aktual, pemanfaatan sumber daya ikan kuniran di perairan Selat Sunda belum mengalami economical overfishing dan biological overfishing. Menurut Widodo dan Suadi (2006), economical overfishing terjadi saat effort kondisi aktual lebih besar dari effort saat kondisi MEY. Effort

penangkapan aktual sebesar 108 trip/tahun masih jauh lebih rendah dari effort

yang diperlukan pada rezim MEY sebesar 705 trip/tahun. Biological overfishing

24

untuk menghasilkan hasil tangkapan MSY (Widodo dan Suadi 2006). Sumber daya ikan kuniran dapat disimpulkan belum mengalami biologic overfishing

karena nilai effort aktual masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan effort pada rezim MSY. Fakta terhadap fluktuasi upaya penangkapan dan hasil tangkapan yang masih meningkat di PPP Labuan mengindikasikan bahwa sumber daya ikan kuniran di Selat Sunda belum overfishing.

Alternatif Pengelolaan Perikanan Kuniran

Berdasarkan informasi mengenai kondisi yang terjadi terhadap sumber daya ikan kuniran di PPP Labuan yang diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan, ikan kuniran belum mengalami economic overfishing dan biological overfishing, maka perlu adanya upaya untuk mengoptimalkan hasil tangkapan atau produksi ikan kuniran tersebut. Pengelolaan sumber daya perikanan (fisheries resource management) tidaklah hanya sekedar proses mengelola sumber daya ikan tetapi sesungguhnya adalah proses mengelola manusia sebagai pengguna, pemanfaat, dan pengelola sumber daya ikan (Nikijuluw 2005).

Menurut Strydom dan Nieuwoudt (1998), pengelolaan perikanan tidak hanya sebatas menyediakan sumber daya secara berkelanjutan tetapi juga mencapai manfaat ekonomi secara efisien. Sesuai dengan pernyataan tersebut, pengelolaan dapat dilakukan dengan menerapkan rezim pengeloaan MEY, yaitu

Dokumen terkait