• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Bogor Tengah berjarak 2 km dari pusat pemerintahan kota, merupakan wilayah perbukitan bergelombang dengan ketinggian bervariasi antara 150 s.d. 350 m diatas permukaan laut dan dialiri oleh dua sungai besar yakni Sungai Ciliwung ditengah kota dan Sungai Cisadane sebagai batas wilayah dengan Kecamatan Bogor Barat. Luas kecamatan Bogor Tengah secara keseluruhan adalah 8.13 km2, dengan kelurahan terluas yaitu Kelurahan Paledang yaitu 1.78 km2. Penggunaan lahan di Kecamatan Bogor Tengah sebagian besar

10

yaitu perumahan/permukiman seluas 524.24 Ha, bangunan umum (kantor dan pertokoan) seluas 15.61 Ha, pemakaman 2.95 Ha, untuk lahan pertanian 0.45 Ha dan lain lain. Jumlah penduduk di kecamatan Kota Bogor Tengah berdasarkan data BPS tahun 2010 sebesar 101398 jiwa dan 25738 rumah tangga. Dari total penduduk kecamatan Kota Bogor Tengah tersebut terdapat 51296 jiwa penduduk laki-laki dan 50102 jiwa penduduk perempuan dengan rasio jenis kelamin sebesar 102. Ini berarti bahwa penduduk laki-laki lebih banyak dari penduduk perempuan, atau dengan kata lain setiap 102 penduduk laki-laki terdapat 100 penduduk perempuan.

Jika dilihat dari penyebaran penduduk, kelurahan Tegallega mempunyai jumlah penduduk terbesar di kecamatan Kota Bogor Tengah yaitu sebesar 18.35% dengan kepadatan penduduk 15127 jiwa/km2, urutan kedua adalah kelurahan Paledang yaitu sebesar 11.36% dengan kepadatan penduduk 6472 jiwa/km2. Sedangkan jumlah penduduk terendah adalah kelurahan Pabaton yaitu sebesar 2.97% dengan kepadatan penduduk 4773 jiwa/km2.

Kelurahan Paledang memiliki luas areal 178 Ha dengan jumlah RT sebanyak 58 RT dan jumlah RW sebanyak 13 RW. Letak kondisi geografis Kelurahan Paledang berada + 700 M di atas permukaan laut dengan curah hujan rata-rata per tahun 3000 – 4000 Mm dan keadaan suhu rata-rata 30 oC. Bagian utara dibatasi Kelurahan Pabaton, bagian selatan dibatasi Kelurahan Gudang, bagian barat dibatasi Kelurahan Panaragan dan bagian timur dibatasi Kelurahan Babakan. Jumlah penduduk pada tahun 2012 menunjukkan bahwa terdapat 10143 jiwa dengan 2736 KK terdapat di Kelurahan Paledang. Sebanyak 5183 penduduk berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 4960 berjenis kelamin perempuan.

Gambar 2 Peta Kecamatan Bogor Tengah

Indeks kepadatan penduduk adalah suatu indeks yang menyatakan kualitas lingkungan suatu berdasarkan kepadatan penduduknya. Kepadatan penduduk menjadi salah satu penentu kualitas lingkungan karena tingginya aktivitas sosial-ekonomi penduduk ibukota provinsi akan menekan lingkungan hidup, baik lingkungan lahan/tanah, air maupun udara. Semakin padat penduduk maka tekanan terhadap lingkungan akan semakin besar yang akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Untuk kepadatan penduduk yang kurang dari atau

sama dengan 96 jiwa per hektar diberi nilai indeks 100. Nilai indeks berkisar dari 0—100. Nilai 100 menunjukkan bahwa kepadatan penduduk di kota tersebut merupakan kepadatan yang ideal (BPS 2013). Apabila dibandingkan kriteria BPS, baik Kecamatan Bogor Tengah maupun Kelurahan Paledang memiliki indeks kepadatan penduduk yang cukup besar. Kepadatan penduduk di lokasi tersebut memiliki nilai yang lebih besar dari 96 jiwa/hektar. Pada Kecamatan Bogor Tengah kepadatannya sebesar 193 jiwa/hektar dan kepadatan Kelurahan Paledang adalah 151 jiwa/hektar.

Apabila dibandingkan dengan pemukiman kumuh, meskipun di beberapa tempat dan beberapa kriteria di lokasi menunjukkan adanya indikasi yang hampir sesuai dengan pemukiman kumuh, namun lokasi yang menjadi tempat penelitian tidak sepenuhnya sesuai dengan lingkungan kumuh. Secara umum konsep permukiman kumuh mengandung dua pengertian, yaitu; daerah slums dan daerah

squatter. Daerah slums merupakan daerah-daerah permukiman yang diakui, tetapi karena kemiskinan yang diderita penghuninya sehingga tidak dapat membiayai pembangunan lingkungannya. Sedangkan daerah squatter adalah permukiman kumuh dan miskin yang diperoleh dengan cara melanggar hukum, yaitu dengan cara menempati ruang-ruang publik terbuka yang semestinya tidak diperuntukkan bagi permukiman dan penghunian. Squatter (hunian liar) ini biasanya menjarah ruang-ruang terbuka perkotaan yang berbahaya, karena cenderung dibangun dipinggir kali, dibawah jembatan, taman-taman, pinggiran rel kereta api dan di banyak tempat berbahaya lainnya (Ismail 2000).

Karakteristik Contoh Usia dan Jenis Kelamin

Karakteristik contoh yang diidentifikasi dalam penelitian adalah umur dan jenis kelamin contoh. Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan usia contoh menurut bulan.

Tabel 2 Sebaran contoh menurut usia

Kelompok usia (bulan) n %

24–35 19 29.69

36–47 22 34.38

48–59 23 35.94

Total 64 100

Tabel 2 menjelaskan bahwa persentase jumlah contoh hampir sama besarnya untuk tiap kelompok usia. Selisih jumlah contoh masing-masing kelompok tidak terlalu besar. Namun, jumlah contoh yang terbesar adalah pada kelompok usia 48-59 bulan. Berikut adalah sebaran contoh menurut jenis kelamin.

Tabel 3 Sebaran contoh menurut jenis kelamin

Jenis kelamin n %

Laki-laki 31 48.44

Perempuan 33 51.56

12

Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa sebagian besar (lebih dari separuh) contoh yang digunakan dalam penelitian berjenis kelamin perempuan. Meskipun lebih banyak contoh perempuan, namun selisih jumlahnya tidak terlalu besar.

Status Gizi

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam keadaan normal, dimana kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan akan berkembang mengikuti pertambahan umur (Supariasa et al. 2001). Pada penelitian ini, status gizi contoh ditentukan berdasarkan berat badan menurut usia mengacu pada z-skor. Berikut adalah sebaran contoh menurut status gizi

Tabel 4 Sebaran contoh menurut status gizi

Status Gizi n %

Gizi kurang 13 20.31

Gizi normal 51 79.69

Total 64 100

Rata-rata ± SD -1.09 ± 1.03

Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui bahwa lebih dari separuh contoh tergolong dalam status gizi normal sehingga persentase contoh dengan status gizi normal lebih besar dibandingkan dengan status gizi kurang. Namun karena penelitian ini menggunakan seluruh balita gizi kurang di lokasi penelitian, maka apabila dibandingkan dengan keseluruhan balita yang terdapat di lokasi, persentase balita kurang yang ada di lokasi penelitian adalah sebesar 5.10%. Persentase gizi kurang ini lebih kecil jika dibandingkan dengan dengan persentase status gizi kurang provinsi Jawa Barat sebesar 9.90% (Depkes 2010).

Persentase gizi kurang di lokasi penelitian ini juga memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan penelitian Vinod di Nagpur. Hasil penelitian Vinod tersebut menunjukkan hasil bahwa balita di permukiman yang cenderung kumuh memiliki persentase balita gizi kurang yang lebih tinggi dibandingkan gizi normal (Vinod et al. 2012). Kemudian apabila dilihat berdasarkan sebaran status gizi balita menurut jenis kelamin, maka dijelaskan dalam tabel 5.

Tabel 5 Sebaran contoh menurut jenis kelamin dan status gizi

Jenis kelamin Gizi kurang Gizi normal

n % n %

Laki-laki 7 53.85 24 47.06

Perempuan 6 46.15 27 52.94

Total 13 100 51 100

Contoh yang tergolong dalam status gizi kurang lebih banyak pada contoh yang berjenis kelamin laki-laki (53.85%) dibandingkan dengan perempuan. Hasil

ini sesuai dengan penelitian Sab’atmaja yang menghitung prevalensi gizi kurang di provinsi Papua, Aceh, Lampung dan Yogyakarta menunjukkan bahwa masalah gizi yang dialami anak Indonesia lebih banyak terjadi pada laki-laki. Masalah gizi pada balita laki-laki akan mempengaruhi daya saing kualitas sumber daya manusia dimasa akan datang, terlebih bila masalah gizi yang sifatnya kronis dan

akut (Sab’atmaja et al. 2010).

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Pradhan di Nepal yang menunjukkan hasil sebaliknya, yaitu balita perempuan mempunyai persentase lebih besar dalam masalah gizi baik pada masalah gizi yang berupa underweight, stunting maupun wasting (Pradhan et al. 2006). Menurut Suhardjo (1985) menyatakan kemungkinan gizi kurang pada balita perempuan lebih tinggi disebabkan karena adanya pola sosial kebudayaan berupa pembagian makan dalam keluarga yang lebih mengutamakan laki-laki dibandingkan perempuan.

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Contoh Usia

Kelompok usia menurut Papalia dan Old (1998) dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu remaja (usia kurang dari 20 tahun), dewasa awal (usia 20-40 tahun), dewasa madya (usia 41–65 tahun) dan dewasa akhir (usia lebih dari 65 tahun).

Masa dewasa awal merupakan waktu untuk membentuk kemandirian pribadi dan ekonomi. Masa dewasa pertengahan merupakan masa dimana bertambahnya kepedulian terhadap badan sendiri dan meningkatnya refleksi tentang arti hidup. Masa dewasa akhir merupakan masa penyesuaian terhadap menurunnya kekuatan dan kesehatan, serta masa pensiun dan berkurangnya pendapatan (Santrock 1996).

Berdasarkan kelompok usia tersebut, usia ayah dan ibu contoh dikategorikan kemudian dibedakan berdasarkan status gizi contoh. Berikut adalah sebaran kelompok usia orang tua contoh menurut status gizi contoh.

Tabel 6 Sebaran contoh menurut kelompok usia orang tua dan status gizi

Ayah Ibu

Kelompok usia

Gizi kurang Gizi normal

Gizi kurang Gizi normal n % n % n % n % Remaja (< 20 tahun) 0 0 0 0 0 0 0 0

Dewasa awal (20–40 tahun) 8 61.54 29 60.42 12 92.31 45 88.24 Dewasa madya (41–65 tahun) 5 38.46 17 35.42 1 7.69 6 11.76 Dewasa akhir (> 65 tahun) 0 0 2 4.17 0 0 0 0

Total 13 100 48 100 13 100 51 100

Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa pada kelompok gizi kurang sebagian besar usia ayah maupun ibu tergolong dalam kelompok usia dewasa awal, dan sebagian kecil lainnya tergolong dalam kelompok usia dewasa madya. Begitu pula dengan kelompok contoh gizi normal, sebagian besar ayah dan ibu contoh tergolong dalam kelompok usia dewasa awal. Namun terdapat perbedaan

14

antara jumlah total antara ayah dan ibu, hal tersebut disebabkan adanya beberapa contoh yang tidak memiliki ayah. Contoh yang tidak memiliki ayah tersebut disebabkan karena terjadinya perceraian sehingga ayah contoh tersebut tidak dicantumkan dalam data.

Berikut adalah rata-rata usia orang tua contoh yang dibagi berdasarkan kelompok status gizi contoh.

Tabel 7 Rata-rata usia orang tua contoh menurut status gizi Status Gizi Usia (rata-rata ± SD) Ayah Ibu Gizi kurang 38.23 ± 7.29 34.62 ± 5.85 Gizi normal 39.62 ± 9.40 33.41 ± 6.26 Total contoh 39.32 ± 8.96 33.66 ± 6.15

Rata-rata usia ayah pada kelompok gizi normal lebih besar dibandingkan dengan kelompok gizi kurang. Namun sebaliknya, usia ibu pada kelompok gizi kurang lebih besar dibandingkan dengan gizi normal. Akan tetapi berdasarkan rata-rata, baik ayah maupun ibu kedua kelompok contoh berada dalam kelompok usia yang sama yaitu dewasa madya (20-40 tahun). Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.1) pada usia ayah dan ibu kedua kelompok contoh.

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pola konsumsi. Menurut Mufidah (2012), tingkat pendidikan mempengaruhi gaya hidup masyarakat karena karena tinggi rendahnya pendidikan masyarakat akan mempengaruhi terhadap pola perilaku, sikap dan kebutuhan konsumsi mereka. Selain itu, pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang penting dalam tumbuh kembang anak karena dengan pendidikan yang baik, maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan anak (Soetjiningsih 1995). Berikut adalah sebaran pendidikan orang tua contoh.

Tabel 8 Sebaran contoh menurut tingkat pendidikan orang tua dan status gizi

Ayah Ibu

Tingkat pendidikan

Gizi kurang Gizi normal Gizi kurang Gizi normal

n % n % n % n % SD 3 23.08 9 18.75 5 38.46 14 27.45 SMP 2 15.38 9 18.75 3 23.08 11 21.57 SMA 8 61.54 26 54.17 5 38.46 25 49.02 PT 4 8.33 1 1.96 Total 13 100 48 100 13 100 51 100

Pada kelompok contoh gizi kurang, tingkat pendidikan ayah sebagian besar berada pada tingkat sekolah menengah. Sementara pada ibu, perbandingan antara tingkat sekolah dasar dengan sekolah menengah sama besarnya. Pada kelompok contoh gizi normal, sebagian besar ayah dan ibu contoh berada pada

tingkat pendidikan sekolah menengah. Jika dibandingkan antara kedua kelompok contoh, maka dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan ayah maupun ibu contoh pada kelompok gizi normal berada dalam tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok gizi normal.

Pendidikan ayah peranannya erat pada pendapatan (income) yang dihasilkan oleh keluarga. Hasil penelitian Tarigan menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan terhadap pendapatan meskipun ada beberapa keahlian yang tidak memerlukan pendidikan dalam tingkatan tertentu. Namun Tarigan menyatakan bahwa pendidikan tetap mempunya hubungan terhadap pendapatan. Meningkatkan pendapatan adalah salah satu dari sekian banyak fungsi pendidikan (Tarigan 2006).

Pendidikan ibu dan status gizi hubungannya lebih pada pola asuh yang dilakukan ibu. Menurut Saputra (2012), ketika tingkat pendidikan rendah, maka pengetahuan mereka terhadap kesehatan dan gizi menjadi rendah sehingga pola konsumsi gizi untuk anak menjadi tidak baik. Pada penelitian yang dilakukan di Sumatera Barat tersebut menunjukkan orang tua dengan tingkat pendidikan rendah (SD/tidak tamat SD) memiliki risiko yang besar terhadap kualitas gizi anak dengan probabilitas risiko gizi buruk 5.699 kali lebih besar dibandingkan dengan orang tua denganpendidikan yang lebih tinggi, yaitu SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi (Saputra 2012).

Apabila dibandingkan antara tingkat pendidikan ibu dan ayah, maka yang lebih berpengaruh langsung pada status gizi balita adalah tingkat pendidikan ibu karena hal tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap pola asuh ibu pada balita. Berikut ada rata-rata lama pendidikan ayah dan ibu contoh kedua kelompok contoh berdasarkan tahun.

Tabel 9 Rata-rata lama pendidikan orang tua menurut status gizi Status Gizi

Lama pendidikan dalam tahun (rata-rata ± SD)

Ayah Ibu

Gizi kurang 9.90 ± 3.80 8.70 ± 3.10

Gizi normal 10.10 ± 2.60 9.60 ± 3.00

Total contoh 9.94 ± 3.56 9.41 ± 3.03

Berdasarkan Tabel 9, maka dapat dibandingkan lama pendidikan ayah dan ibu kedua kelompok contoh. Baik ayah maupun ibu kelompok contoh gizi normal memiliki nilai lama pendidikan yang lebih besar dibandingkan kelompok contoh gizi kurang. Bahkan nilai kelompok gizi normal nilainya lebih besar dibandingkan rata-rata keseluruhan contoh. Meskipun begitu, hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.1) pada tingkat pendidikan ayah dan ibu kedua kelompok contoh.

Jika dibandingkan dengan penelitian lainnya, tingkat pendidikan di lokasi penelitian cukup baik. Dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Malau (2012) di tepian Teluk Nibung, dimana sebanyak 20% contoh tidak bersekolah. Sebagian besar tingkat pendidikan orang tua contoh di lokasi penelitian juga memenuhi kebijakan nasional wajib belajar 9 tahun. Kecuali pada ibu kelompok balita gizi kurang.

Hasil uji hubungan antara lama pendidikan ibu maupun ayah dengan status gizi contoh menunjukkan hasil bahwa lama pendidikan ibu tidak menunjukkan

16

hubungan yang signifikan (p > 0.05) terhadap status gizi. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Maharashtra, India. Penelitian yang dilakukan Griffith (2004) tersebut menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu terhadap berat badan menurut usia. Griffith dalam penelitian menyatakan bahwa tidak semua lokasi dalam penelitiannya memiliki hubungan yang signifikan pada pendidikan ibu dengan status gizi.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Griffith, hasil penelitian menunjukkan hasil sebaliknya ada pada penelitian Abuya yang dilakukan di daerah kumuh (slum) di Afrika. Hasil penelitian Abuya menunjukkan hasil yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi balita. Abuya, dalam penelitiannya menemukan bahwa tingkat pendidikan ibu menjadi prediktor kuat dalam menentukan status gizi balita (Abuya et al. 2012).

Pendidikan ayah juga tidak memiliki hubungan signifikan (p > 0.05) dengan status gizi. Hal tersebut diduga disebabkan karena pengasuhan contoh secara umum dilakukan oleh ibu sehingga pendidikan ayah tidak berpengaruh pada status gizi balita contoh. Penelitian yang menunjukkan hasil yang sama dilakukan di Medan oleh Yudi (2008).

Pekerjaan

Pekerjaan orang tua yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun sekunder (Soetjiningsih 1995). Berikut adalah sebaran pekerjaan yang dimiliki oleh orang tua contoh.

Tabel 10 Sebaran contoh menurut pekerjaan orang tua dan status gizi Pekerjaan

Ayah Ibu

Gizi normal Gizi kurang Gizi normal Gizi kurang

n % n % n % n %

PNS/ABRI/POLRI 4 8.33 1 7.69 0 0 0 0

Karyawan swasta 13 27.08 2 15.38 3 5.88 1 7.69

Wiraswasta 20 41.67 6 46.15 4 7.84 1 7.69

Buruh 11 22.92 4 30.77 1 1.96 0 0

Ibu rumah tangga 0 0 0 0.00 42 82.35 11 84.62

Lainnya 0 0 0 0 1 1.96 0 0

Total 48 100 13 100 51 100 13 100

Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa sebagian besar pekerjaan ayah contoh adalah wiraswasta, baik pada kelompok gizi normal maupun gizi kurang. Sedangkan pekerjaan ibu didominasi oleh profesi ibu rumah tangga yang juga memiliki pola yang sama di kedua kelompok contoh. Namun pada kelompok gizi normal, lebih banyak ibu yang mempunyai pekerjaan diluar rumah (bukan ibu rumah tangga) dibandingkan dengan kelompok gizi kurang. Pekerjaan lainnya yang dimaksud dalam tabel adalah pekerjaan yang tidak menetap seperti pengemis.

Besar Keluarga

Jumlah anggota keluarga biasanya dapat digunakan untuk menggambarkan kesejahteraan suatu keluarga. Besar kecilnya dari suatu jumlah keluarga juga dapat mempengaruhi pola konsumsi yang ada dalam keluarga (Mufidah 2012). Menurut Hurlock (1993), kategori keluarga dibagi menjadi tiga kelompok menurut jumlah anggota keluarganya yaitu keluarga kecil (≤ 4 orang), sedang (5-7

orang) dan besar (≥ 8 orang).

Berikut adalah sebaran ukuran keluarga contoh yang dibagi menurut kelompok status gizi contoh.

Tabel 11 Sebaran contoh menurut besar keluarga dan status gizi Besar Keluarga

Gizi kurang Gizi normal

n % n %

Kecil (≤ 4 orang) 3 23.08 19 37.25

Sedang (5-7 orang) 9 69.23 30 58.82

Besar (≥ 8 orang) 1 7.69 2 3.92

Total 13 100 51 100

Baik pada kelompok contoh status gizi normal maupun kurang, ukuran keluarganya termasuk dalam kategori sedang. Persentase kategori keluarga kecil lebih besar pada kelompok contoh status gizi baik dibandingkan dengan kelompok contoh status gizi kurang. Sebaliknya, persentase keluarga besar lebih tinggi pada kelompok status gizi kurang. Berdasarkan hasil uji beda, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.1) pada besar keluarga kedua kelompok contoh.

Tabel 12 Rata-rata besar keluarga menurut status gizi contoh

Status Gizi Rata-rata besar keluarga

Gizi kurang 5.62 ± 2.40

Gizi normal 5.14 ± 1.30

Total contoh 5.23 ± 1.57

Rata-rata besar keluarga contoh gizi kurang memiliki nilai yang lebih besar baik dibandingkan dengan kelompok gizi normal maupun keseluruhan contoh. Rata-rata besar keluarga contoh memiliki nilai yang cukup besar jika dibandingkan dengan rata-rata ukuran keluarga nasional yaitu 4 orang dan Jawa Barat yaitu sebesar 3.8 orang (BPS 2011).

Hasil uji hubungan antara besar keluarga dengan status gizi menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (p>0.1), serupa dengan penelitian di Kabupaten Tangerang yang menunjukkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan status gizi anak balita. Suhendri (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga tidak mempengaruhi status gizi balita namun akan berpengaruh pada tingkat konsumsi makanan, yaitu jumlah dan distribusi makanan dalam rumah tangga. Sehingga diduga tidak adanya hubungan jumlah anggota rumah tangga terhadap status gizi balita karena adanya kecenderungan hubungan tidak langsung tersebut.

18

Pengeluaran

Pendapatan digunakan untuk membiayai penggunaan barang dan jasa ataupun kebutuhan pokok, dapat berupa makanan maupun bukan makanan. Pembiayaan yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut termasuk dalam pengeluaran keluarga. Pengeluaran, baik makanan maupun bukan makanan dapat menggambarkan bagaimana keluarga contoh dalam mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya. Berikut adalah alokasi pengeluaran keseluruhan contoh terhadap makanan.

Tabel 13 Rata-rata alokasi pengeluaran perkapita per bulan keseluruhan contoh terhadap makanan

Pengeluaran berdasar jenis

pangan (perkapita per bulan) Total (Rp) %

Makanan pokok 87655 22.49 Lauk hewani 190090 48.77 Lauk nabati 27734 7.12 Sayuran 20293 5.21 Buah 21567 5.53 Lainnya 42416 10.88 Total 389755 100

Berdasarkan Tabel 13, pengeluaran pangan keluarga contoh paling besar ada pada kelompok bahan pangan lauk hewani dan yang terendah adalah sayuran. Hal tersebut menunjukkan bahwa keluarga contoh jauh lebih banyak mengalokasikan pengeluaran untuk lauk hewani dibandingkan sayuran. Hal tesebut bisa disebabkan karena harga pangan hewani yang memiliki harga relatif mahal dibandingkan dengan pangan lainnya. Sama seperti penelitian Purwanitini (2010) di Sragen yang menunjukkan bahwa umumnya pengeluaran lebih besar pada pangan hewani karena harganya yang mahal, meskipun dikonsumsi dalam jumlah yang relatif kecil tetap membuat nilai rata-rata pengeluarannya besar.

Adapun bahan makanan yang termasuk dalam makanan pokok dalam tabel adalah beras, terigu, mie, bihun, roti dan umbi. Pada lauk hewani yang digunakan adalah ikan, daging ayam dan sapi, telur dan susu. Sedangkan lauk nabati adalah tahu, tempe dan oncom. Bahan pangan yang digolongkan sebagai kelompok lainnya adalah minyak, gula, teh, kopi dan bumbu. Selain pengeluaran untuk makanan, ada pula pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan bukan makanan. Berikut adalah rincian pengeluaran bukan makanan.

Tabel 14 Rata-rata alokasi pengeluaran bukan makanan perkapita per bulan keseluruhan contoh

Jenis pengeluaran (perkapita per bulan) Total (Rp) %

Perumahan 78201 33.63 Kesehatan 17459 7.51 Pendidikan 45321 19.49 Tabungan 21566 9.27 Lainnya 70002 30.10 Total 232549 100

Berdasarkan Tabel 14, dapat diketahui bahwa rata-rata alokasi pengeluaran non pangan keluarga contoh yang terbesar adalah untuk perumahan. Aspek yang termasuk dalam perumahan adalah biaya untuk sewa rumah, listrik, air maupun gas. Sedangkan yang termasuk dalam kategori lainnya adalah biaya untuk rokok, arisan dan kredit barang, yang juga memiliki persentase yang cukup besar, terutama untuk rokok. Sementara alokasi pengeluaran terendah adalah untuk kesehatan seperti biaya berobat maupun membeli obat-obatan karena pada umumnya keluarga contoh ditanggung oleh jamsostek ataupun jamkesda. Sebagian lainnya biasa berobat di puskesmas yang biayanya relatif murah.

Pengeluaran perkapita per bulan merupakan gambaran rata-rata pengeluaran yang dilakukan tiap individu dalam keluarga contoh selama satu bulan. Untuk mengetahui alokasi pengeluaran perkapita per bulan, berikut adalah rata-rata pengeluaran perkapita per bulan keluarga contoh.

Tabel 15 Rata-rata pengeluaran perkapita per bulan keluarga contoh menurut status gizi

Rata-rata pengeluaran keluarga (perkapita per bulan)

Gizi kurang Gizi normal

Rp % Rp %

Pengeluaran pangan 267 914 50.54 495 411 68.15 Pengeluaran non pangan 262 192 49.46 231 556 31.85

Pengeluaran total 530 106 100 726 967 100

Berdasarkan Tabel 15, diketahui bahwa rata-rata pengeluaran perkapita perbulan kedua kelompok contoh dialokasikan lebih besar untuk pengeluaran makanan dibandingkan bukan makanan. Namun persentase pengeluaran pangan pada kelompok contoh gizi normal lebih besar dibandingkan dengan kelompok contoh gizi kurang. Apabila dilihat rata-rata pengeluaran kedua kelompok contoh, terlihat bahwa nilainya lebih besar pada kelompok contoh gizi normal dibandingkan dengan gizi kurang. Namun hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada pengeluaran kedua kelompok contoh, baik pengeluaran makanan maupun bukan makanan.Kemudian pengeluaran total perkapita per bulan dikategorikan menjadi kelompok miskin dan tidak miskin, sesuai dengan garis kemiskinan Provinsi Jawa Barat September 2012 yaitu

Dokumen terkait