• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kointegrasi

Analisis kointegrasi berguna dalam melihat hubungan jangka panjang antar variabel. Analisis ini dinilai sangat penting dalam penelitian dan harus didahulukan karena melihat tujuan dari penelitian yang menargetkan hubungan kesetimbangan jangka panjang terhadap penyusun Real Effective Exchange Rate dalam model I. Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat bahwa dengan metode Pedroni nilai ADF dan PP

berada diba ah nilai probabilitas α( persen) sehingga dinyatakan bah a terdapat

relasi jangka panjang pada variabel pembentuk Real Effective Exchange Rate. Tabel 5 Analisis Kointegrasi Pedroni

Statistic Prob. Panel PP-Statistic 0.466 0.0794 Panel ADF-Statistic 1.4 0.0807

Melihat hasil analisis tersebut dapat dijadikan rujukan dalam analisis regresi selanjutnya yang menunjukkan keabsahan jangka panjang. Dengan memasukan nilai koefisien hasil regresi pada Lampiran 9 ke persamaan jangka panjang (persamaan 1) maka akan didapat nilai kesetimbangan REER yang akan dibandingkan dengan nilai aktual pada analisis selanjutnya

Analisis Deviasi Nilai Tukar

Deviasi nilai tukar dapat diartikan sebagai perbedaan antara pertumbuhan nilai tukar kesetimbangan jangka panjang yang merupakan potensi terhitung dari perdagangan dengan posisi aktual nilai tukar yang biasa disebut Real Exchange Rate (RER). Kesetimbangan jangka panjang digambarkan dengan Real Effective Exchange Rate (REER). Penggunaan Real Exchange Rate juga dimaksudkan agar perhitungan terboboti oleh inflasi sehingga menggambarkan keadaan perekonomian negara tersebut. Gambar 2, 4, 5, 6, dan 7 menunjukkan grafik hubungan keduanya pada periode 2000 hingga 2011 di 5 negara ASEAN. Garis biru menunjukkan REER, sedangkan garis merah menunjukakn RER. Dengan garis REER sebagai acuan kesetimbangan maka jika nilai RER dibawah acuan maka nilai tukar yang berlaku dinyatakan undervalue, sebaliknya jika RER diatas acuan maka nilai tukar overvalue.

Deviasi Nilai Tukar Filipina

Sumber:data terolah

Gambar 2 Perbandingan REER dan RER Filipina

Filipina berdasarkan Gambar 2 menunjukkan deviasi rendah pada awalnya hingga pada 2006 menunujukkan peningkatan REER mencapai puncaknya pada 2007 namun tidak diikuti RER yang menurun. Keadaan ini diakibatkan oleh peningkatan perekonomian Filipina pada periode 2007 setelah perubahan rezim orientasi perdagangan yang semula equal balance menjadi export oriented. Pada periode 1997 hingga 2005 impor manufaktur dan teknologi besar besaran menjadi fokus utama, berbeda dengan tahun tahun selanjutnya, dimana kebijakan perdagangan mulai menunjukkan orientasi ekspor khususnya di bidang pertanian dengan pertumbuhan yang signifikan yaitu 434.4 persen pada 2010 hingga 2011 dan rata rata 128 persen pertahun dan barang hasil olahan (barang jadi) sebagai hasil investasi peralatan dan teknologi tahun tahun sebelumnya.

Tabel 5 Trade Balance Filipina 2011 (pertumbuhan antar tahun, dalam persen)

Surplus Defisit Cereals and cereals preparation 434,4 Transport equipment -36,1 Plastics in primary and non-primary form 26,6 Electronic products -25.9 Feeding stuff for

animals (not includin unmilled cereals) 10,6 Telecomunication equipment and electrical machinery -7,9 Mineral fuels, lubricants and related materials

10,5 Iron and steel -3,9

Industrial machinery and equipment

6,2 Sumber : Sensus Filipina, 2011

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200020012002200320042005200620072008200920102011 REER RER

Penurunan nilai RER sejak tahun 2007 diakibatkan penyesuaian dengan mitra dagang terbesar Filipina yaitu Amerika yang pada saat itu sedang mengalami krisis. Kerjasama antara Filipina dan Amerika terkait pasar uang sudah berlangsung dari 1970, hingga sekarang sekitar 40 persen hutang Filipina didapat dari institusi yang dikendalikan Amerika.

Deviasi Nilai Tukar Indonesia

Sumber:data terolah

Gambar 3 perbandingan REER dan RER Indonesia

Fluktuasi yang cukup tinggi terlihat pada gambar deviasi nilai tukar Indonesia. Fluktuasi yang terjadi cenderung dipengaruhi oleh keadaan politik dalam negeri Indonesia. Pasca krisis 1998, pada tahun 2000 hingga 2003 keadaan ekonomi politik masih belum stabil, suhu investasi pun belum memadai dan menarik bagi investor. Setelah tahun 2005, barulah mulai menunjukkan tren jangka panjang yang positif. Periode krisis global 2007 hingga 2010 justru tidak terlalu berdampak negatif pada Indonesia, hal ini disebabkan oleh minimnya perdagangan Indonesia dengan kawasan krisis seperti Amerika dan Eropa. Perdagangan dengan

ka asan Asia sendiri mencapai 7 persen dengan 5 ’an persennya masih dalam

lingkup ASEAN (International Trade Statistic Year Book 2003-2011, data diolah). Tabel 6 Sepuluh besar negara investor Indonesia (dalam USD)

Negara Rata rata FDI pertahun Singapura 173116456 Arab 150034261 Jepang 138493164 Inggris 141955494 Korea Selatan 132722616 Jerman 139814620 0 20 40 60 80 100 120 140 160 200020012002200320042005200620072008200920102011 REER RER

Malaysia 92328776 Amerika Serikat 80787679

China 46164388

Belanda 38085620

Sumber : Indonesian Finance Today, 2012

Tabel 6 juga menunjukkan pada periode 2000-2011 negara investor Indonesia mayoritas bukan negara yang terkena dampak langsung krisis global 2008. Meskipun terdapat Amerika namun posisi investasi yang ditunjukkan dari perolehan Foreign Direct Investment pada tabel diatas menempatkannya pada posisi 8. Singapura meskipun mendapat dampak krisis namun memiliki kemampuan pemulihan yang cepat karena sektor jasa khususnya pariwisata tetap tinggi pada masa krisis. Keberadaan investasi dari Arab, Jepang, Cina dan Korea Selatan sebagai negara dengan perekonomian kuat dijajaran investor Indonesia inilah yang dapat menetralisir keadaan krisis yang diterima negara negara barat seperti Amerika, Inggris, Jerman dan Belanda. Sehingga dampak yang dirasakan tidak terlalu besar (Indonesian Finance Today, 2012).

Deviasi Nilai Tukar Malaysia

Sumber:data terolah

Gambar 4 Perbandingan REER dan RER Malaysia

Berkebalikan dengan keadaan Indonesia, deviasi yang terjadi di Malaysia justru sangat terlihat pada periode krisis global. Stabilitas yang terjadi pada awal periode terganggu pada kisaran waktu 2007. Seperti halnya dengan Filipina yang bermitra dagang terbesar Amerika, Malaysia pun terimbas krisis Amerika dengan melemahnya nilai RER sejak akhir 2006. Nilai REER walupun sempat meningkat tetapi menunjukan tanda tanda krisis pada 2007-2008. Malaysia yang berorientasi pada sektor jasa sulit mengimbangi krisis ini sehingga tren RER cenderung turun.

0 20 40 60 80 100 120 140 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 REER RER

Keadaan ini juga diakibatkan kebijakan ekonomi ras yang ditetapkan pada 2010. Pengutamaan ras melayu membuat investor Cina enggan menanamkan modalnya, namun disisi lain melemahnya ekonomi dunia barat menjadikan Malaysia mendapat limpahan modal khususnya di bidang syariah dari negara-negara Timur Tengah selama masa krisis (Sihono, 2009).

Deviasi Nilai Tukar Singapura

Berdasarkan gambar 5, deviasi nilai tukar Singapura sangat terlihat ketidakstabilannya. Nilai REER yang jatuh pada 2007 hingga turun 23 persen dimungkinkan karena investasi keluar secara tiba tiba sedangkan pada saat itu Singapura sedang menyalurkan mayoritas investasinya ke pengembangan kasino, tata kota dan jalur kereta api bawah tanah. Kekuatan sektor jasa menyelamatkan Singapura dari resesi 2008 (Sihono,2009).

Sumber:data terolah

Gambar 5 Perbandingan REER dan RER Singapura Deviasi Nilai Tukar Thailand

Perekonomian Thailand relatif memiliki tren masing masing pada REER maupun RER. Kemerosotan yang cukup tinggi terjadi pada 2005-2006, saat masa krisis Thailand. Kebijakan menaikan defisit anggaran dengan sengaja dari 2001 hingga 2004 sebesar rata rata 0,8 persen dimaksudkan untuk meningkatkan permintaan dalam negeri akan belanja modal. Modal yang didapat akan digunakan untuk meningkatkan sektor sektor yang menyerap tenaga kerja. Rencana tersebut berhasil, terlihat dari meningkatnya REER, namun keadaan negara yang tidak stabil pada 2005 justru memaksa pemerintah menekan nilai tukar agar investasi yang masuk tetap pada trennya. Deviasi yang semakin tinggi semakin tidak terkendali karena investasi yang masuk dalam manufaktur khususnya justru balik menekan nilai tukar karena dengan rendahnya nilai tukar thailand dapat mempermudah mereka mendapatkan pasar.

0 20 40 60 80 100 120 140 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 RER REER

Sumber:data terolah

Gambar 6 Perbandingan REER dan RER Thailand Tabel 7 Nilai Deviasi

Negara Deviasi (%) Keterangan

Filipina 27.74836449 Undervalue

Indonesia 11.2587252 Undervalue

Malaysia 9.999551376 Undervalue

Singapura 9.030946136 Undervalue

Thailand 15.04604325 Undervalue

Rata rata 14.61672609 Undervalue

Tabel 7 menunjukkan tingkat deviasi antara nilai tukar aktual dengan kesetimbangannya sebagai hasil dari selisih REER dengan RER menunjukkan masih cukup tinggi, rata rata senilai 14,61 persen dari nilai ideal kesetimbanagn jangka panjang. Keadaan undervalue menandakan ada potensi yang hilang dalam penetapan nilai tukar atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa nilai tukar aktual lebih lemah dari potensi nilai tukar yang seharusnya dapat ditetapkan

Deviasi per negara pada Tabel 5 menunjukkan nilai deviasi pada negara maju seperti Singapura dan Malaysia relatif lebih bisa ditekan, ini menggambarkan kestabilan perekonomian negara tersebut. Semakin kecil nilai deviasi maka menunjukkan kemampuan negara tersebut dalam menjaga kestabilan sosial perekonomian negaranya (Kuikeu,2012)

0 20 40 60 80 100 120 140 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 REER RER

Hasil Estimasi dan Evaluasi Model Pemilihan Model

Uji Chow

Uji Chow atau Uji F-statistic merupakan pengujian statistik untuk dasar pemilihan menggunakan model Pooled Least Square atau model Fixed Effect. Dalam pengujian ini dilakukan dengan hipotesis berikut:

Hipotesis dari uji ini yaitu : : Model Pooled Least Square

: Model Fixed Effect

Tabel 8 Uji Chow Model I

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 76.377292 (4,50) 0.0000

Model II

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 22.626478 (4,45) 0.0000

Pengujian dilakukan kepada kedua model untuk mendapatkan metode data panel terbaik. Tabel 8 menunjukkan nilai probability Chow pada kedua model bernilai(0.000) kurang dari α=5% maka tolak H0. Artinya, metode yang digunakan mengikuti Fixed Effect Model.

Dalam analisis ini tidak menggunakan random effect analysis karena jumlah cross section yang digunakan lebih kecil dari variabel sehingga tidak dapat dianalisis dengan random effect.

Nilai estimasi variabel

Berdasarkan hasil pada Tabel 9 dan 10, terlihat bahwa hasil estimasi kedua model masing masing memiliki nilai koefisien determinasi tersesuaikan (adj R2) sebesar 95,67 persen pada model I dan 74,2 persen pada model II. Nilai ini menunjukkan peresentase keragaman yang dapat dijelaskan oleh model.

Nilai probabilitas (F-statistik) pada kedua model adalah 0.000000, dimana

nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata (α) 5 persen. aka dengan tingkat

kepercayaan 95 persen pada model I, dapat disimpulkan bahwa variabel terms of trade, productivity differential, net foreign asset, government spending serta keadaan krisis global secara bersama-sama signifikan memengaruhi kesetimbangan nilai tukar jangka panjang. Sementara dengan taraf nyata 10 persen pada model II variabel deviasi nilai tukar, financial depth, HDI, terms of trade shock, government burden serta keadaan krisis global secara bersama-sama signifikan memengaruhi pertumbuhan perekonomian, sedangkan variabel trade openess tidak berpengaruh signifikan. Variabel trade openess (keterbukaan perekonomian) diduga tidak

signifikan karena konten variabel tersebut yang menjumlahkan nilai ekspor dan impor sehingga peninggkatan variabel trade openess dapat terjadi sekalipun impor negara tersebut tinggi, sedangkan impor yang terlalu tinggi dapat menguras cadangan devisanya.

Tabel 9 Estimasi variabel model I

Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas Ln_TOT -0,310625 -5,260406 0,0000 Ln__PRODDIFF 0,259478 17,52935 0,0000 Ln_NFA -0,190405 -10,25268 0,0000 Ln_GOVSPEND 0,595180 10,73806 0,0000 Dummy krisis 0,06013 5,549942 0,0000 C 2,946598 8,630624 0.0000 Adjusted R-squared 0,956725 Prob (F-statistic) 0,000000 Durbin Watson 1,963249 Jarque-Bera 2,694425

Selanjutnya, hasil uji-t, menunjukkan bahwa keseluruhan variabel secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kesetimbangan nilai tukar jangka panjang dengan tingkat kepercayaan 90 persen. Hasil uji normaliotas dengan ,elihat probabilitas Jarque-bera menunjukkan kedua model memilki probabilitas dibawah 5 persen, maka cukup bukti untuk menerima H0 yang berarti residual error (error term) terdistribusi normal. Nilai statistik Durbin Watson mendekati nilai 2.00 sehingga berada pada area non-autokorelasi yang mengindikasikan tidak terjadi masalah autokorelasi. Pada hasil estimasi juga tidak terlihat adanya indikasi masalah multikolinearitas, dimana nilai korelasi antar variabel bebas tidak ada yang melebihi nilai residual. Maka, hasil uji ekonometrika menunjukkan bahwa hasil estimasi kedua model bersifat BLUE.

Tabel 10 Estimasi variabel model II

Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas

ER_DEVIATION -0,055879 -2,283478 0,0272 FIN_DEPTH 0,036770 2,663455 0,0107 HDI 23,55526 8,683785 0,0000 TOT_SHOCK 0,055279 1,808885 0,0772 GOV_BURD -1,622384 -5,533758 0,0000 INF_RATE -0.313457 5,244474 0,0000 TRADE_OPEN -0,101223 -0,725002 0,4722 Dummy krisis -0,267304 -3,689632 0,0006 C 70,64088 8,557323 0,0000 Adjusted R-squared 0,742011 Prob (F-statistic) 0,000000 Durbin Watson 1,945597 Jarque-Bera 2,58

Analisis Faktor yang Memengaruhi Kesetimbangan Nilai Tukar

Berdasarkan hasil regresi pada model I diperoleh faktor-faktor yang memengaruhi kesetimbangan nilai tukar adalah terms of trade (berpengaruh negatif), net foreign asset (berpengaruh negatif), productivity differential

(berpengaruh positif), government spending (berpengaruh positif) dan krisis global (berpengaruh positif).

Terms of Trade

Terms of trade atau ketentuan perdagangan adalah indeks dari harga ekspor suatu negara relatif terhadap impornya. Jika terms of trade suatu negara kurang dari 100 persen, ada lebih banyak modal keluar (untuk membeli impor) daripada jumlah yang masuk, sebaliknya jika indeks tersebut bernilai lebih besar dari 100 persen berarti negara tersebut mengumpulkan modal (lebih banyak uang yang masuk dari ekspor) (Obsteld dan Rogoff 1996). Terms of trade menjadi patokan perbandingan kuantitas dan kualitas ekspor dan impor.

Terms of trade dapat mewakili fungsi nilai tukar dalam sektor perdagangan.

Terms of trade juga memiliki fungsi keterbukaan. Permasalahan yang muncul khusunya bagi negara negara ASEAN yang sebagian besar adalah negara berkembang adalah komoditi unggulan yang ditawarkan oleh hampir seluruh negara berkembang adalah komoditi primer yang tidak tahan lama seperti pertanian. Sedangkan komoditi yang diimpor oleh negara negara tersebut adalah barang-barang-barang industri yang tahan lama, sehingga dasar tukar negara-negara berkembang terus menerus mengalami penurunan.

Nilai hubungan negatif pada hasil estimasi menunjukkan jika nilai tukar

overvalue (terlalu tinggi) akan menyulitkan ekspor karena negara mitra harus membayar cukup tinggi untuk mendapatkan barang tersebut sementara barang primer memiliki ketahanan yang cukup rendah. Keadaan ini akan berakibat pada gangguan kualitas barang yang tersimpan terlalu lama dan kuantitas ekspor yang berkurang. Pada beberapa kasus seperti komoditi pisang di Thailand pada 2001 justru harus merelakan komoditi tersebut dijual dengan harga rendah untuk memaksakan peningkatan jumlah ekspor (sensus Thailand 2005). Sebaliknya jika nilai tukar undervalue maka negara mitra akan enggan mengekspor ke negara tersebut karena pasar dinilai kurang meyakinkan. Peningkatan indeks terms of trade berdampak pada jumlah uang beredar baik asing maupun dalam negeri, inilah yang sering mengganggu kestabilan nilai tukar khususnya pada keadaan excess

mata uang asing

Perbaikan Terms of Trade dapat terjadi antara lain karena :

 Harga ekspor naik sedangkan harga impor tetap.

 Harga ekspor tetap sedangkan harga impor turun

 Harga ekspor naik dengan proporsi yang lebih besar daripada naiknya harga impor

 Harga Ekspor turun dengan proporsi yang lebih kecil daripada turunya harga impor

Keuntungan yang dimiliki Indonesia dalam perdagangan terlihat pada Gambar 8, dimana saat tren negara lain menunjukkan tren yang menurun seperti Filipina atau fluktuasi tinggi seperti Malaysia, justru Indonesia menunjukkan tren

yang positif. Ini diakibatkan oleh kemampuan Indonesia dalam perdagangan yang didukung oleh berbagai sektor, dari mulai pertanian hingga jasa. Sementara grafik yang ditunjukkan Singapura merupakan tipikal khas indeks terms of trade negara yang mengandalkan sektor jasa, relatif stagnan di kisaran 100 persennya. Sektor jasa yang menjadi andalan Singapura salah satunya adalah pariwisata dan keuangan. Sektor jasa keuangan Singapura tidak terlalu mengalami gangguan karena peraturan pemerintah yang mengatur terkait pengelolaan modal baik dari dalam maupun luar negeri sangat fleksibel dan dijamin, terlebih Singapura menjadi salah satu tujuan utama investasi masyarakat Asia.

Gambar 8 Perkembangan Terms of Trade negara negara ASEAN Produktivitas differensial

Produktivitas menunjukkan tingkat GDP per kapita negara fokus terhadap negara mitra, semakin tinggi nilainya maka kemampuan negara tesebut dalam kegiatan ekonomi semakin kuat dan relatif dapat mendominasi mitranya. Hal inilah yang memicu ketidakstabilan nilai tukar. Pada hasil estimasi menunjukkan hubungan positif senilai 0,259 yang berarti setiap kenaikan 1 satuan moneter produktifitas maka akan menaikkan 0,259 kali kesetimbangan jangka panjang. Kenaikan kesetimbangan produktivitas akan menguatkan perekonomian dan daya saing. Dalam Gambar 9 dapat dilihat bahwa tingkat produktivitas differensial Singapura sangat tinggi, keadaan ini memberikan kemampuan bagi Singapura

untuk mematok nilai tukar yang tinggi. Peningkatan produktifitas differensial memunculkan kecenderungan persaingan monopolistik sebagai dampak dari kemampuan efiktivitas produksi.

Gambar 9 Perbandingan produktifitas differensial 5 negara ASEAN (sumbu vertikal menunjukkan nilai produktifitas, sedangkan horizontal menunjukan tahun periode)

Net Foreign Asset (NFA)

Net Foreign Asset menunjukkan perbandingan aset dalam negeri yang ada diluar negeri dibanding aset luar yang beredar di dalam negeri. Sebagian ahli ada yang menyebut net foreign asset sebagai komponen hutang negara. Aset asing yang berada di suatu negara, akan bernilai positif jika lebih tinggi investasi diluar negeri dibanding investasi yang masuk (dihitung dalam pengembalian modal). Pada dasarnya nilai acuan NFA bukanlah pada tandanya yang positif ataupun negatif, karena tanda negatif (aset luar lebih besar yang beredar di dalam negeri dibanding aset dalam negeri yang ada diluar) sebenarnya juga menunjukkan kredibilitas dan tingkat kepercayaan dunia terhadap perekonomian dan bisnis di dalam negara tersebut. Dalam hasil estimasi NFA (Net Foreign Asset) bernilai negatif memperlihatkan kecenderungan keberadaan hot money yang sangat dipengaruhi nilai tukar. Saat nilai tukar naik maka investasi akan masuk (capital inflow, liabillities). 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand rata rata asean

Gambar 10 Perbandingan NFA negara negara ASEAN (dalam US$) (sumbu vertikal menunjukkan tingkat NFA, sedangkan horizontal menunjukan tahun periode)

Government Spending

Government spending menunjukan perbandingan konsumsi pemerintah terhadap GDP. Konsumsi pemerintah pusat terdiri dari pembelian barang dan jasa, gaji pegawai negeri sipil dan kegiatan pemerintah yang teranggarkan. Komponen dalam konsumsi pemerintah yang umum adalah belanja dan subsidi. Tingkat belanja yang tinggi dapat menyebabkan berkurangnya jumlah uang asing, hal yang sama terjadi juga dalam subsidi yang berkaitan dengan harga internasional.

Konsumsi pemerintah yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan nilai tukar yang fluktuatif. Pada Gambar 11 memperlihatkan transmisi peningkatan pengeluaran pemerintah yang merupakan kebijakan fiskal ekspansioner menggeser kurva IS ke kanan sehingga dalam jangka panjang output akan tetap dan nilai tukar meningkat

Gambar 11 Grafik IS-LM Government Spending -3E+11 -2E+11 -1E+11 0 1E+11 2E+11 3E+11 4E+11 Indonesia Malaysia Filipina Singapura Thailand e0 e1 e LM1 IS0 y IS1

Krisis 2008

Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008 ini bermula dari krisis finansial yang terjadi di Amerika. Gaya hidup konsumtif dan kebiasaan menggantungkan diri pada kartu kredit menyebabkan lembaga keuangan bangkrut karena kekurangan likuiditasnya. Runtuhnya perusahaan perusahaan pemberi kredit berdampak pada jatuhnya Wall Street. Krisis tersebut merambat ke sektor riil dan dan non-keuangan di seluruh dunia. Sementara itu di Eropa juga mengalami kegagalan pasar dan perbankan yang tidak stabil karena terjadi lag nilai mata uang diantara negara anggotanya. Penurunan daya serap pasar itu menyebabkan volume impor negara yang mengalami krisis menurun drastis, sementara negara negara yang terkena krisis adalah negara yang terkenal memilki tingkat konsumerisme tinggi seperti Amerika. Hasil dari keadaan itu adalah menurunnya tingkat impor dinegara negara tersebut, dapat dipastikan juga bahwa negara pengekspor juga mengalami dampak penurunan permintaan terutama yang menjadikan Amerika mitra dagang terbesarnya.

Kejadian krisis 2008 berpengaruh positif dalam pergerakan nilai tukar. Dampak yang ditimbulkan oleh krisis pada dasarnya bersifat sistemik. Krisis yang terjadi awalnya berdampak pada menurunnya arus perdagangan karena kemampuan membeli yang menurun. Penurunan daya beli inilah yang akan meningkatkan nilai tukar tidak terkendali. Dampak krisis juga muncul dari sektor investasi, selain kemampuan penanaman modal dari investor lokal menjadi turun, ketidakstabilan ekonomi ini juga membuat investor asing mencabut modalnya di dalam negeri. Keadaan berkurangnya investasi dan arus perdagangan inilah yang mengimbas pada deviasi nilai tukar.

Analisis Hubungan Deviasi Nilai Tukar dengan Pertumbuhan Ekonomi Variabel financial depth, HDI, terms of trade shock, trade openess dan government burden pada dasarnya merupakan variabel pelengkap dalam analisis ini agar dampak dari deviasi nilai tukar dapat lebih terlihat.Variabel-variabel tersebut merupakan penyusun utama dalam pembangunan perekonomian dan hasil regresi pada tabel 11 sudah menunjukkan koefisien yang sesuai teori. Intepretasi dari hasi analisis tersebut adalah pertumbuhan perekonomian akan meningkat sejalan dengan berkembangnya investasi dengan tingkat penetrasi dan pengembalian yang baik (Financial depth), pembangunan SDM dari segi sosial, ekonomi dan kesehatan (HDI), ekspor bersih (terms of trade). Keadaan meningkatnya inflasi dan belanja pemerintah yang terlalau tinggi (government burden) akan menghambat meningkatnya pertumbuhan ekonomi.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa hubungan deviasi nilai tukar dengan pertumbuhan perekonomian bernilai negatif. Hal ini terjadi karena keadaan lag

antara nilai potensial dengan aktual menyebabkan setiap sektor yang terkait dengan transisi nilai tukar seperti perdagangan internasional dan investasi menjadi kurang maksimal. Khususnya pada keadaan undervalue seperti yang rata rata terjadi pada negara ASEAN maka nilai mata uang masing masing negarea dianggap lemah dan tidak memiliki tingkat pengembalian yang setara. Di luar tingkat produktifitas dan

pembangunan infrastruktur pendukung dan SDM, keadaan deviasi yang tinggi juga menunjukkan ketidakstabilan pasar uang dan sistem penetapan bank sentral pada negara tersebut.

Keadaan deviasi yang berlangsung lama juga akan memunculkan efek domino dengan dimulainya penarikan modal asing karena tingkat pengembalian yang berkurang sehingga produktifitas manufaktur dan perusahaan terbuka akan berkurang. Perdagangan pun akan melemah karena tingkat produksi yang menurun sehingga keadaan perekonomian bisa menjadi lebih buruk. Keadaan inilah yang harus bisa diantisipasi dengan memperhatikan perkembangan setiap induk perekonomian. Kelebihan dari rezim nilai tukar manage floating pada keadaan ini adalah pemerintah setempat dapat mengatur tingkat minimum nilai tukar dengan melihat nilai tukar kesetimbangan jangka panjang.

Hubungan Deviasi Nilai Tukar dengan Pertumbuhan Ekonomi pada Masa Krisis

Lampiran 12 menunjukkan perubahan hasil regresi diakibatkan memperhitungkan keadaan krisis global yang terjadi. Pada tabel tersebut nampak bahwa krisis berpengaruh signfikan dan negatif pada pertumbuhan perekonomian. Terlihat dengan masuknya variabel krisis memperparah dampak negarif deviasi nilai tukar, pada lampiran 2 setiap kenaikan deviasi satu persen akan menurunkan pertumbuhan perekonomian 7.4 persen sedangkan pada lampiran 12 setiap kenaikan satu persen deviasi akan berpengaruh negatif 9.1 persen pada pertumbuhan perekonomian. Keadaan yang sama juga terlihat pada variabel lain,

Dokumen terkait