• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bagian ini akan dipaparkan hasil yang diperoleh melalui analisis dan simulasi numerik. Sebagian besar hasil penelitian ini diperoleh dari kontribusi dataset SPL. Oleh karena itu dilakukan pendeskripsian data yaitu berupa ekstraksi dan eksplorasi data sebelum dianalisis menggunakan metode EOF. Selain itu diberikan pula algoritme pereduksian data menggunakan metode EOF berbasis EVP. Selanjutnya, ditentukan nilai kesalahan dengan teknik error norm matriks untuk melihat kualitas dari hasil reduksi.

Ekstraksi dan Eksplorasi Data SPL

Pada proses ekstraksi data SPL diawali dengan pendeskripsian data yang tersedia berupa data digital NetCDF menjadi suatu matriks data X.

Data digital ini akan dibentuk dalam sebuah matriks dua dimensi. Langkah-langkah ekstraksi data SPL secara khusus dijelaskan pada algortime di bawah ini.

Algoritme 1 Ekstraksi data SPL

1. Penentuan domain wilayah Indonesia yaitu didasarkan pada koordinat

6 LU11LS dan 95BT141BT.

2. Pemotongan data SPL (ERSST V3B) dari format NetCDF ke dalam grid matriks berukuran 18089 menjadi 2613. Jumlah pixel semula dari 16020 menjadi 338 pixel.

3. Penentuan domain rentang waktu yaitu selama 600 bulan. 4. Reshaping data yang sudah dibatasi berdasarkan poin 1, 2 dan 3. 5. Masking darat laut untuk memisahkan unsur daratan dan lautan. 6. Penyusunan matriks data (X) berdasarkan poin-poin di atas.

Dapat dilihat pada poin ke lima dalam Algortime 1 di atas, yaitu dilakukan masking darat laut yang merupakan bentuk pemisahan unsur daratan dan lautan, karena dalam data SPL (ERSST V3B) ini komponen yang akan dihitung hanya unsur lautan. Dalam hal ini, unsur lautan didefinisikan oleh angka berupa satuan suhu sedangkan unsur daratan didefinisikan oleh NaN (not a number). Unsur daratan ini akan dikembalikan pada persamaan baru setelah seluruh proses perhitungan dan analisis selesai yang selanjutnya digunakan untuk melihat pola dominan secara spasial.

Eksplorasi data diawali dengan menyajikan pola data yang tersedia dalam bentuk visual berdasarkan grid data global dengan koordinat 180BB-180BT dan

90 LU-90LS. Ukuran grid data dengan koordinat tersebut yaitu 19080pixel. Sebagai contoh pada Gambar 5 ditunjukkan ilustrasi visual data SPL secara global pada bulan Desember tahun 2012.

Selanjutnya data dipangkas atau dipotong berdasarkan wilayah yang akan

digunakan dalam penelitian. Proses pemotongan data dilakukan pada koordinat

11 LU-11 LS dan 95BT-141 BT didasarkan pada letak geografis Indonesia yang berada pada koordinat 6LU-11 LS dan 95BT-141 BT.

17

Gambar 5. Data Global SPL

Pemotongan data ini disesuaikan dengan melebihi titik koordinat yang sebenarnya karena variabel yang akan dianalisis adalah unsur lautan. Oleh karena itu dilakukan masking darat laut secara signifikan untuk mempermudah perhitungan.

Gambar 6. Data SPL Indonesia

Dengan demikian, diperolah ukuran grid data setelah proses pemotongan yaitu 2613 dengan jumlah pixel sebanyak 338. Hal ini berarti data SPL untuk satu bulan setelah dipangkas dan di-reshape telah tersusun dalam suatu matriks data X berukuran3381, sehingga data SPL selama 600 bulan dapat disusun

dalam matriks data X berukuran 338600. Pada Gambar 6 ditunjukkan ilustrasi

visual data SPL untuk wilayah Indonesia pada bulan dan tahun yang sama seperti pada Gambar 5.

Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF)

Metode EOF ini bertujuan untuk menentukan suatu set variabel baru yang dapat mengungkapkan sebagian besar varians dari data yang diamati melalui penyusunan kombinasi linear dari variabel asal (Hannachi 2004). Berdasarkan hal

18

tersebut analisis EOF pada data SPL di wilayah Indonesia akan dilakukan dengan tahapan algoritme di bawah ini.

Algoritme 2 Analisis metode EOF berbasis EVP

1. Ekstraksi matriks data R berukuran mn menjadi suatu matriks data X. 2. Pembentukan matriks kovarians .

3. Penentuan nilai eigen dan vektor eigen yang bersesuaian dari matriks kovarians  dengan persamaan karakteristik I 0.

4. Penentuan mode Um(t) dengan t 1,2,...,m berdasarkan persamaan (17). 5. Penentuan proporsi varians dari m EOF berdasarkan persamaan (18). 6. Analisis data secara spasial dan temporal.

7. Perhitungan error norm matriks.

Perlu diperhatikan bahwa pada poin 5 dalam Algoritme 2 di atas yaitu menentukan varians dari nilai eigen dan memilih komponen utama atau persamaan EOF baru yang dapat mewakili variasi dari matriks data X. Dalam penelitian ini banyaknya komponen utama yang diambil akan dilihat dari banyaknya persentase varians kumulatif. Jolliffe (2002) memaparkan beberapa aturan dalam menentukan banyaknya komponen utama pertama diantaranya yang mempunyai proporsi varians kumulatif lebih dari 80%.

Tabel 1. Varians dari EOF dan persentase total varians

EOF Nilai Eigen Persentase Varians

Individual Kumulatif 1 308.454 51.409 51,409 2 160.363 26.727 78,136 3 67.132 11.188 89,325 4 29.226 4.871 94,196 5 10,086 1,681 95,877 6 4,890 0,815 96,692 7 4,406 0,734 97,426 8 3,935 0,656 98,082 9 2,047 0,341 98,423 10 1,634 0,272 98,696 ... ... ... ... 600 -2.002 -3.336 100

Tabel 1 menunjukkan nilai eigen, varians dan total varians dari setiap komponen utama yang diperoleh dengan melakukan analisis EOF menggunakan EVP terhadap data SPL. Dalam hal ini diambil empat komponen utama terbesar dari 600 komponen utama yang diinisialkan dengan EOF pertama yaitu EOF1, EOF kedua yaitu EOF2, EOF ketiga yaitu EOF3 dan EOF keempat yaitu EOF4. Total varians dengan empat EOF tersebut sebesar 94.2%, angka ini lebih dari cukup untuk memuat informasi dari seluruh data SPL yang dianalisis pada wilayah Indonesia. Secara analogi aturan pengambilan banyaknya EOF bisa lebih dari empat EOF dengan total varians yang lebih besar sehingga diperoleh

19 kontribusi untuk data SPL semakin besar. Namun, dapat dilihat bahwa pada EOF5 dan seterusnya selisih nilai persentase variansnya relatif kecil dibandingkan empat EOF pertama. Oleh karena itu, yang menjadi alasan lain dalam pengambilan banyaknya EOF ini adalah dilihat dari efektifitas dan efisien hasil EOF tersebut. Dilihat dari efektifitasnya, jika diambil lebih banyak EOF sebagai contoh 10 EOF, maka total varians yang dihasilkan sebesar 98.7% akan tetapi cukup memakan memori yang sangat besar. Adapun dilihat dari efisiensinya, jika diambil lebih banyak EOF, maka dapat menghabiskan waktu yang cukup lama. Dengan demikian, kapasitas memori dan waktu yang lama tersebut tidak sebanding dengan hasil yang memperlihatkan angka varians yang sangat kecil untuk pengambilan EOF lebih dari empat skor EOF. Hal ini berarti, selain aturan yang diterapkan oleh Jolliffe (2002) yaitu berdasarkan total varians, efektifitas dan efisiensi dari setiap EOF dijadikan pertimbangan dalam pengambilan banyaknya EOF untuk mewakili variabilitas dari data SPL.

Tabel 2. Nilai komponen utama hasil analisis EOF

Grid EOF1 EOF2 EOF3 EOF4 EOF5 EOF6 ... EOF600

1 25.354 -36.459 2.966 11.157 -4.398 4.207 ... 0.000 2 23.442 -36.504 0.760 11.994 -4.629 2.900 ... 0.000 3 22.277 -36.221 -1.442 11.996 -4.507 1.711 ... 0.000 4 22.160 -35.400 -3.763 11.484 -4.098 0.828 ... 0.000 5 22.949 -33.926 -5.878 10.676 -3.570 0.262 ... 0.000 6 24.031 -32.155 -7.153 9.242 -2.966 -0.074 ... 0.000 7 25.147 -30.136 -7.313 7.149 -2.162 -0.097 ... 0.000 8 26.325 -27.627 -6.751 4.876 -1.263 0.208 ... 0.000 9 27.545 -23.739 -6.151 2.840 -0.500 0.850 ... 0.000 10 28.728 -18.811 -5.252 0.851 0.128 1.804 ... 0.000 ... ... ... ... ... ... ... ... ... 302 -13.418 -7.220 19.397 10.232 0.595 3.513 ... 0.000

Pada Tabel 2 memperlihatkan hasil analisis EOF berbasis EVP terhadap data SPL. Hasil analisis ini adalah skor komponen utama yang berupa data bertipe numerik. Skor komponen utama ini adalah berupa nilai yang memberikan kontribusi negatif dan positif. Skor yang bernilai negatif memberikan kontribusi yang kecil dan memiliki pengaruh negatif terhadap data SPL sebagai data asli atau data yang diamati. Begitu pula sebaliknya skor bernilai positif berarti memberikan kontribusi besar dan pengaruh positif terhadap data asli. Hasil yang diperlihatkan di atas hanya sebagian kecil dari seluruh skornya karena ukuran matriks komponen utama yang diperoleh sama dengan ukuran matriks data awal.

Tabel 3 memberikan informasi nilai komponen utama atau skor EOF yang sama dengan yang tertera pada Tabel 2, namun dengan urutan grid yang berbeda dan telah dikembalikan unsur NaN yang sebelumnya dihilangkan pada matriks data X. Dikembalikannya unsur NaN ini untuk memvisualisasikan skor EOF secara spasial, sehingga dapat dilihat pola dominan dari masing-masing skor EOF. Karena yang dipilih adalah empat EOF terbesar maka pola spasial yang dibentuk hanya empat EOF.

20

Tabel 3. Nilai komponen utama hasil analisis EOF dengan unsur NaN

Grid EOF1 EOF2 EOF3 EOF4 EOF5 EOF6 ... EOF600

... ... ... ... ... ... ... ... ...

185 -6.059 14.003 -14.171 7.527 0.088 1.639 ... -1.74E-11

186 -8.076 15.312 -14.070 7.365 -0.266 1.435 ... 3.98E-11

187 NaN NaN NaN NaN NaN NaN ... NaN

188 -16.244 6.212 -8.154 -1.850 -0.141 -0.259 ... 5.54E-11

189 -18.958 -1.907 -3.973 -5.854 0.518 -0.197 ... -5.86E-11

190 -19.928 -4.613 -2.315 -6.408 1.246 -0.172 ... 2.35E-11

191 -19.695 -3.512 -1.998 -5.521 1.804 -0.410 ... 2.67E-11

192 NaN NaN NaN NaN NaN NaN ... NaN

193 -20.647 3.778 -0.870 -2.619 2.105 -0.289 ... -5.25E-11

194 NaN NaN NaN NaN NaN NaN ... NaN

195 NaN NaN NaN NaN NaN NaN ... NaN

196 NaN NaN NaN NaN NaN NaN ... NaN

197 -10.748 10.017 2.133 1.944 0.422 2.296 ... 6.90E-12 198 -10.465 10.275 3.001 2.520 0.416 1.728 ... -6.62E-12 199 -8.263 7.517 4.279 2.090 -0.159 0.088 ... 5.12E-12 200 -6.041 4.762 5.505 0.950 -0.791 -1.696 ... -1.30E-11 ... ... ... ... ... ... ... ... ... 338 -13.418 -7.220 19.397 10.232 0.595 3.513 ... -4.49E-11

Pola spasial tersebut dapat dibentuk setelah di-reshape kembali masing-masing dari skor EOF. Hasil visualisasi ini diinisialkan sebagai mode, yaitu mode EOF pertama atau mode EOF1 dan seterusnya. Hasil visualisasi pola dominan secara spasial ditunjukkan pada Gambar 7 untuk mode EOF1. Mode EOF2 ditunjukkan oleh Gambar 8, mode EOF3 ditunjukkan oleh Gambar 9 dan mode EOF4 diperlihatkan oleh Gambar 10.

21

Gambar 8. Pola Spasial mode EOF2

Skor yang bernilai negatif pada mode EOF1 menunjukkan bahwa perairan tersebut memiliki variabilitas SPL yang berbanding terbalik dengan SPL yang bernilai positif. Pada mode ini hasil analisis memperlihatkan perbedaan variabilitas SPL yang mencolok di bagian utara dan selatan Indonesia. Perairan utara Indonesia memiliki variabilitas bernilai -20 sampai dengan 5, namun terlihat pada perairan selatan Indonesia atau sepanjang samudra Hindia memiliki variabilitas bernilai 20 sampai dengan 40.

Mode EOF2 pada Gambar 8 menunjukkan perairan Indonesia didominasi oleh variabilitas positif yang bernilai 2 sampai dengan 20. Namun, terlihat skor minoritasnya terdapat pada selat Sunda berkisar antara -40 sampai dengan -20.

Gambar 9. Pola Spasial mode EOF3

Mode EOF3 pada Gambar 9 menunjukkan bagian barat perairan Indonesia memiliki skor negatif yaitu -15 sampai dengan 0 dan pada bagian timur memiliki skor positif yaitu dari 5 sampai dengan 20.

Mode EOF4 pada Gambar 10 memiliki variabilitas negatif hampir seluruh wilayah Indonesia dengan skor dominan bernilai -10 sampai dengan -2 dan skor positif di samudra Pasifik dan samudra Hindia bernilai 2 sampai dengan 10.

Berdasarkan empat varians tersebut menggambarkan laut Indonesia selama 600 bulan atau setara 50 tahun dapat dilihat dengan empat mode EOF terbesar. Secara berturut-turut varians pada mode EOF1 menunjukkan pola dominan yang mewakili seluruh data, varians yang tidak tersimpan pada mode EOF1 tersimpan

22

pada mode EOF2 dan seterusnya, sehingga terlihat variansnya semakin lama akan semakin kecil.

Gambar 10. Pola Spasial mode EOF4

EOF1 dengan varians terbesar menunjukkan siklus tahunan yang diperlihatkan oleh setiap titik puncaknya. Hal ini berarti dalam kurun waktu 50 tahun laut Indonesia digambarkan secara jelas oleh mode EOF1 sebesar 51.4% dan sisanya digambarkan oleh mode EOF2, EOF3 dan EOF4. Grafik temporal untuk empat mode EOF tersebut ditunjukkan pada Gambar 11 dan Gambar 12.

Gambar 11. Grafik temporal (time series) mode EOF1 dan EOF2

Grafik temporal yang diperoleh dari empat mode di atas secara umum menunjukkan nilai berkisar 0.1. Gambar 11(a) memperlihatkan mode temporal EOF1 dengan varians terbesar. Mode temporal ini memperlihatkan siklus dengan periode tahunan yang dominan berada di setiap titik puncaknya. Dengan demikian, dalam kurun waktu 600 bulan, laut Indonesia digambarkan secara jelas oleh temporal EOF1 sebesar 51.4%. Hal ini diduga pengaruh fenomena musiman yang terjadi setiap tahunnya. Pada mode temporal ini nilai tertinggi berada pada tahun 2003, artinya pada tahun tersebut SPL di Indonesia banyak bervariasi dengan perubahan variansnya cukup besar. Gambar 11(b) menunjukkan mode temporal EOF2 yang mewakili 26.7% dari total varians. Pada mode temporal ini hampir

23 seluruhnya mempunyai nilai positif dengan nilai tertinggi terjadi pada tahun 1993 dan 2005.

Gambar 12. Grafik temporal (time series) mode EOF3 dan EOF4

Gambar 12(a) dan 12(b) menunjukkan mode temporal EOF3 dan EOF4. Mode-mode temporal tersebut secara berturut-turut mewakili 11.2% dan 4.9% dari total varians. Pada mode temporal EOF3 nilai tertinggi berada di tahun 1986, sedangkan pada mode temporal EOF4 menggambarkan siklus dengan periode setengah tahunan dan nilai tertinggi berada pada tahun 1968 dan 2011.

Analisis Error Norm Matriks

Secara umum, pola yang terbentuk dari mode temporal ini menggambarkan siklus dari fenomena yang dijelaskan pada setiap mode EOF dengan informasi kuat lemahnya fenomena tersebut. Mode EOF dengan siklus fenomena yang kuat memberi kontribusi besar terhadap data SPL sebagai unit pengamatan demikian sebaliknya. Namun, untuk melihat kuat dan lemahnya suatu fenomena tersebut dapat diketahui dari seberapa besar nilai hampiran setiap mode terhadap data asli. Besar nilai hampiran ini dapat diketahui dengan menentukan tingkat kesalahan relatif yang disebut sebagai norm error. Dengan demikian, teknik error norm matriks digunakan untuk menentukan nilai kesalahan tersebut. Hasil yang diperoleh nilai norm error hampir mendekati nol, sehingga tingkat kesalahan relatif sangat kecil. Hal ini dapat terjadi jika mode EOF yang diambil lebih banyak.

Misalkan suatu matriks data X merupakan kombinasi linear dari komponen utama dan vektor eigen yaitu

      

  M m T m m t a x y u t s X 1 , , maka

     

T m m T T a t u a t u a t u

X1122   dengan t 1,2,,600. Matriks data X tersebut dibentuk dalam suatu matriks kovarians  sehingga melalui EVP diperoleh aiiai dengan i1,2,,600.

i merupakan nilai eigen dan ai merupakan vektor eigen yang ortogonal, sehingga diperoleh persamaan EOF

 

t a1 X

 

t a2 X

 

t a3 X

 

t am. X

24

perhitungan error norm matriks ditentukan dari matriks data X, misalkan

     

T n n T T a t u a t u a t u

Xˆ1122   dan nm maka nilai error norm

matriks diperoleh dengan meminimumkan ˆ

ˆ

,

2 1 302 1 600 1 2         



i j ij ij X X X X

dengan kesalahan relatif dapat ditentukan melalui . ˆ 2 X X X erel   Hasil

perhitungan error norm matriks dapat di lihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai error norm relatif

Mode

EOF Norm Error

Mode

EOF Norm Error

Mode

EOF Norm Error

1 0.933630522 21 0.13274357 ... ... 2 0.304325156 22 0.132712404 591 0.01463064 3 0.229441753 23 0.125596399 592 0.014495806 4 0.190649709 24 0.125588224 593 0.012999694 5 0.181812922 25 0.12503242 594 0.012553632 6 0.176407976 26 0.124766529 595 0.011944322 7 0.175424693 27 0.123052062 596 0.009606016 8 0.167257855 28 0.121810368 597 0.009346386 9 0.166503989 29 0.120385489 598 0.008067084 10 0.163698224 30 0.120385485 599 0.001720719 ... ... ... ... 600 1.80E-15

Tabel 4 memperlihatkan nilai norm error yang diperoleh dari hasil analisis berdasarkan teknik error norm matriks. Norm error tersebut merupakan suatu hampiran yang menyatakan tingkat kesalahan hasil reduksi (mode EOF) terhadap data SPL sebagai data pengamatan. Dapat dilihat bahwa nilai norm error cukup besar ketika hanya satu mode EOF yang diambil yaitu sebesar 0.93. Hal ini menyatakan bahwa mode EOF1 memiliki tingkat kesalahan 93% dalam menghampiri data asli. Akan tetapi, sangatlah tidak masuk akal dengan tingkat kesalahan tersebut karena mode EOF1 mewakili 51.4% dari data asli. Namun, sangatlah dimungkinkan dengan perolehan angka tersebut karena banyaknya data yang digunakan cukup besar.

Gambar 13 menunjukkan pola hubungan antara tingkat kesalahan dan mode EOF sebagai hasil reduksi. Dapat dilihat dari pola tersebut semakin mengecil menuju nol dengan semakin banyak mode yang digunakan. Tingkat kesalahan yang semakin mendekati nol ini mempunyai arti bahwa penyelesaian hampiran yang dihasilkan semakin mendekati penyelesaian sebenarnya. Pola ini menurun dengan laju yang cepat ketika hanya empat mode yang digunakan. Setelah itu, laju penurunannya melambat seiring dengan semakin banyaknya mode yang digunakan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin banyak mode EOF yang digunakan maka tingkat kesalahannya semakin kecil.

25

Gambar 13. Grafik error norm relatif

Dokumen terkait