• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan BPRS dan Rasio Keuangan BPRS di Indonesia

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagai bagian dari industri perbankan syariah di Indonesia memiliki keunggulan dibandingkan lembaga perbankan lainnya yaitu kemampuannya dalam memberikan pelayanan dengan jangkauan yang lebih luas kepada masyarakat. Hingga Januari 2016, terdapat 163 BPRS dan 449 kantor cabang BPRS (Statistik Perbankan Syariah). Kinerja pembiayaan BPRS dapat dilihat dari rasio keuangannya. Pada penelitian ini rasio keuangan yang digunakan adalah CAR, FDR, BOPO, NPF, dan ROA.

Tabel 3 Rasio keuangan BPRS

No Rasio Tahun 2011 2012 2013 2014 2015 1. CAR 23.49 25.16 22.08 22.77 21.47 2. FDR 127.71 120.96 120.93 124.24 120.06 3. BOPO 76.31 80.02 80.75 87.79 88.09 4. NPF 6.11 6.15 6.50 7.89 8.20 5. ROA 2.67 2.64 2.79 2.26 2.20

15 Tabel 3 menunjukkan nilai CAR pada BPRS di Indonesia mengalami penurunan, dari tahun 2011 sebesar 23.49% hingga mencapai 21.47% pada tahun 2015. Nilai FDR pada BPRS di Indonesia memiliki perkembangan yang relatif menurun, dimana nilai FDR pada tahun 2011 adalah sebesar 127.71% yang kemudian mengalami penurunan hingga mencapai 120.06% pada tahun 2015, namun besaran FDR tersebut masih menunjukkan permintaan likuiditas BPRS yang cukup tinggi. Nilai ROA yang menunjukkan tingkat keuntungan yang dimiliki BPRS memiliki perkembangan yang fluktuatif dan cenderung menurun dari tahun 2011 sebesar 2.67% hingga pada tahun 2015 yang sebesar 2.20%. NPF yang merupakan rasio pembiayaan bermasalah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Nilai NPF pada tahun 2011 sebesar 6.11%, kemudian nilai NPF semakin meningkat hingga mencapai nilai 8.20% pada tahun 2015. Nilai BOPO pada tahun 2011-2015 cenderung stabil pada tingkat 70-80%, namun pada tahun 2015 rasio BOPO meningkat hingga mencapai nilai 88.09%.

Gambaran Umum Pembiayaan Bagi Hasil pada BPRS di Indonesia Hingga saat ini, pembiayaan pada BPRS masih didominasi oleh pembiayaan dengan akad Murabahah yang didasarkan pada skema jual beli (dapat dilihat pada Gambar 4) yaitu sebesar 86%. Porsi pembiayaan Murabahah yang tinggi tersebut memunculkan kesan dimasyarakat bahwa pembiayaan melalui bank syariah tidak ada bedanya dengan kredit melalui bank konvensional. Hal tersebut tidak mencerminkan core business perbankan syariah yang sesungguhnya berbasis pada sektor riil. Pembiayaan bagi hasil seharusnya merupakan pembiayaan utama perbankan syariah karena pembiayaan bagi hasil merupakan pembiayaan yang membedakan antara sistem perbankan syariah dengan perbankan konvensional (Kamillia 2016).

Sumber: Statistik Perbankan Syariah, April 2014.

Gambar 4 Porsi pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, dan Murabahah Hasil Uji Stasioneritas

Langkah pertama untuk mengestimasi model VECM yaitu dengan menguji apakah semua variabel sudah stasioner dengan menggunakan uji Augmented

Dickey-Fuller (ADF) test. Uji stasioneritas dilakukan pada tingkat level sampai dengan first difference dengan menggunakan asumsi Schwartz Information Criteria (SIC). Data yang tidak stasioner pada level, kemudian diuji pada first difference.

3% 11%

86%

16

Data dapat dikatakan stasioner atau tidak memiliki akar unit apabila nilai ADF statistik lebih kecil daripada nilai kritisnya. Nilai kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5%. Data juga dapat dikatakan stasioner apabila nilai probabilitasnya kurang dari taraf nyata 5%. Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa semua variabel stasioner pada first difference.

Tabel 4 Hasil uji stasioneritas data

Variabel ADF-stat t-stat 5% Level Prob* ADF-stat First Difference t-stat 5% Prob*

LNPBH -0.718917 -2.912631 0.8335 -4.996829 -2.912631 0.0001 LNDPK -2.253468 -2.911730 0.1903 -4.851903 -2.912631 0.0002 NPF -1.665288 -2.911730 0.4434 -9.029987 -2.912631 0.0000 FDR -1.992023 -2.917650 0.2894 -7.239093 -2.917650 0.0000 ROA -1.712693 -2.911730 0.4197 -9.755607 -2.912631 0.0000 CAR -3.350143 -2.911730 0.0169 -10.96439 -2.912631 0.0000 BOPO -1.226411 -2.911730 0.6574 -9.834881 -2.912631 0.0000 ERP -1.905830 -2.911730 0.3275 -8.558352 -2.912631 0.0000

Keterangan: Cetak tebal menunjukkan bahwa data tersebut stasioner pada taraf nyata 5%. Hasil Uji Lag Optimum

Penentuan lag optimum berguna untuk menunjukkan berapa lama reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya dan untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sebuah sistem VAR. Pengujian panjang lag optimum dapat dilakukan yaitu menggunakan Akaike Information Criterion (AIC), Schwartz

Criterion (SC), dan Hannan-Quinn (HQ). Pengujian lag optimum dalam penelitian ini menggunakan kriteria SC. Berdasarkan Tabel 5, nilai SC terkecil terdapat pada

lag satu sebesar 2.796393.

Tabel 5 Hasil uji lag optimum

Lag LR FPE AIC SC HQ

0 NA 4.74E-05 12.74514 13.03448 12.85731

1 697.4088 1.71E-10 0.192369 2.796393 1.201944 2 98.86735 1.53E-10 -0.056976 4.861735 1.849997

3 77.17588 1.83E-10 -0.260807 6.972592 2.543567

4 50.33758 4.74E-10 -0.163683 9.384404 3.538090

Keterangan: Cetak tebal menunjukkan lag optimum berdasarkan kriteria. Hasil Uji Stabilitas Sistem VAR

Setelah pengujian lag optimum, uji stabilitas VAR dilakukan untuk menguji kestabilan dari sistem VAR pada lag optimum tersebut. Estimasi VAR dapat dikatakan stabil apabila seluruh roots-nya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan terletak di dalam unit circle-nya (Firdaus 2011). Hasil uji stabilitas VAR dalam penelitian menunjukkan nilai modulus yang berkisar antara 0.167347 sampai 0.981279. Hal ini menunjukkan bahwa model VAR dalam penelitian bersifat stabil, sehingga Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance

17 Hasil Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang terintegrasi pada derajat yang sama terkointegrasi atau tidak. Pada penelitian ini, dimana semua variabel terintegrasi pada derajat I (First Difference), maka dapat dilakukan uji kointegrasi. Kointegrasi menggambarkan hubungan keseimbangan jangka panjang. Uji kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen yaitu membandingkan antara trace statistic dengan critical value yang digunakan (yaitu 5%). Apabila trace statistic lebih besar dari critical value, terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut.

Tabel 6 Hasil Johansen Cointegration Test

Hypothesized No. of CE(s) Eigenvalue Trace Statistic 0.05 Critical Value Prob.** None * 0.701299 240.5976 159.5297 0.0000 At most 1 * 0.616345 171.7238 125.6154 0.0000 At most 2 * 0.500075 117.1171 95.75366 0.0008 At most 3 * 0.384453 77.59907 69.81889 0.0105 At most 4 * 0.338605 49.94015 47.85613 0.0314 At most 5 0.224952 26.37608 29.79707 0.1178 At most 6 0.110847 11.85072 15.49471 0.1642 At most 7 * 0.086454 5.154040 3.841466 0.0232

Keterangan: Tanda bintang menunjukkan adanya kointegrasi.

Berdasarkan hasil pengujian kointegrasi pada Tabel 6, dapat dilihat bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini terdapat enam persamaan kointegrasi. Persamaan kointegrasi ini menunjukkan bahwa secara multivariate terdapat persamaan linear jangka panjang yang terdapat di dalam model.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pembiayaan Bagi Hasil

Faktor-faktor yang memengaruhi pembiayaan bagi hasil dilihat dari hasil estimasi VECM. Model VECM memberikan output estimasi utama, yaitu mengetahui hubungan jangka panjang antar variabel. Dalam penelitian ini, penentuan signifikansi variabel berdasarkan taraf nyata sebesar 5%, dan t-tabel 1.96.

Tabel 7 Hasil estimasi VECM jangka panjang JANGKA PANJANG VARIABEL KOEFISIEN LNDPK(-1) 1.115661 NPF(-1) 0.087629 FDR(-1) 0.017407 ROA(-1) 0.125426 CAR(-1) 0.030827 BOPO(-1) 0.002615 ERP(-1) 0.000779 C 7.712374

18

Hasil estimasi VECM pada Tabel 7 menunjukkan pengaruh jangka panjang. Angka yang dicetak tebal menunjukkan variabel-variabel yang signifikan.Variabel yang signifikan memengaruhi pembiayaan bagi hasil (LNPBH) dalam jangka panjang adalah dana pihak ketiga (LNDPK), non performing financing (NPF),

finance to deposit ratio (FDR), return on asset (ROA), capital adequacy ratio (CAR), dan equivalent rate pembiayaan (ERP). Sedangkan variabel yang tidak signifikan berpengaruh terhadap pembiayaan BPRS yakni BOPO.

Dana Pihak Ketiga

Dana pihak ketiga (DPK) berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang positif terhadap pembiayaan bagi hasil. Hasil estimasi VECM menunjukkan ketika terjadi kenaikan sebesar 1% pada DPK, maka akan menaikkan pembiayaan bagi hasil sebesar 1.115661% saat variabel lain dianggap konstan.

Dana pihak ketiga merupakan sumber dana bagi pembiayaan, semakin besar jumlah DPK maka akan meningkatkan jumlah pembiayaan yang diberikan, termasuk pembiayaan bagi hasil. Hal ini berarti dalam jangka panjang perubahan tingkat DPK mampu memengaruhi pembiayaan bagi hasil. Hal ini sesuai dengan penelitian Nugraha (2014), Sukmayasa (2014), Adzimatinur (2014), dan Rahayu (2015) bahwa DPK memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembiayaan.

Non Performing Financing

Non performing financing (NPF) berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang positif terhadap pembiayaan bagi hasil dalam jangka panjang. Hasil estimasi VECM menunjukkan ketika terjadi kenaikan sebesar 1% pada NPF, maka akan menaikkan pembiayaan bagi hasil sebesar 0.087629% saat variabel lain dianggap konstan. Hasil temuan ini tidak sejalan dengan hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara NPF dengan pembiayaan bagi hasil namun sejalan dengan hasil penelitian Nugraha (2014) dan Kamillia (2016).

NPF adalah rasio pembiayaan bermasalah terhadap total pembiayaan dan merupakan salah satu variabel yang menunjukkan kinerja perbankan syariah. Tingkat NPF pada BPRS relatif besar yaitu sebesar 8.20% pada tahun 2015, namun porsi pembiayaan bagi hasil masih rendah yaitu sebesar 14.23% dari total pembiayaan secara keseluruhan. Oleh karena itu, NPF pada pembiayaan bagi hasil dinilai tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap pembiayaan sehingga BPRS tetap fokus dalam menyalurkan pembiayaan secara keseluruhan.

Financing to Deposit Ratio (FDR)

Financing to Deposit Ratio (FDR) berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang positif terhadap pembiayaan bagi hasil. Hasil estimasi VECM menunjukkan ketika terjadi kenaikan sebesar 1% pada FDR, akan menurunkan pembiayaan bagi hasil sebesar 0.017407% saat variabel lain dianggap konstan.

FDR merupakan rasio likuiditas yang membandingkan antara pembiayaan dengan dana pihak ketiga. Apabila FDR mengalami penurunan atau peningkatan, maka akan memengaruhi pembiayaan bagi hasil. Hal ini sejalan dengan penelitian Adzimatinur (2014), Rahayu (2015), dan Kamillia (2016) yang mengatakan bahwa nilai FDR dan ROA menggambarkan tingkat kesehatan dan kinerja yang dihitung dari internal BPRS, semakin tinggi nilainya mengindikasikan kinerja BPRS yang lebih baik.

19

Return on Asset (ROA)

ROA berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang positif terhadap pembiayaan bagi hasil. Hasil estimasi VECM menunjukkan ketika terjadi kenaikan sebesar 1% pada ROA, maka akan menaikkan pembiayaan bagi hasil sebesar 0.125426% saat variabel lain dianggap konstan.

ROA menggambarkan tingkat keuntungan bank. Apabila tingkat keuntungan BPRS mengalami penurunan atau peningkatan maka akan memengaruhi pembiayaan bagi hasil BPRS. Hal ini sesuai dengan penelitian Giannini (2013) dan Rahayu (2015) bahwa ROA memiliki pengaruh terhadap pembiayaan.

Capital Adequacy Ratio (CAR)

CAR berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang positif terhadap pembiayaan bagi hasil dalam jangka panjang, artinya CAR bisa menjelaskan pergerakan pembiayaan bagi hasil dalam jangka panjang. Hasil estimasi VECM menunjukkan ketika terjadi kenaikan sebesar 1% pada CAR, maka akan menaikkan pembiayaan bagi hasil sebesar 0.030827% saat variabel lain dianggap konstan

CAR merupakan rasio untuk mengukur kecukupan modal. CAR berpengaruh signifikan artinya pada jangka pendek maupun jangka panjang kecukupan modal yang dimiliki BPRS akan memengaruhi pembiayaan bagi hasil. Hal ini sejalan dengan penelitian Giannini (2013) dan Rahayu (2015) bahwa CAR berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan.

Equivalent Rate Pembiayaan (ERP)

ERP berpengaruh signifikan dan memiliki hubungan yang positif terhadap pembiayaan bagi hasil. Hasil estimasi VECM menunjukkan ketika terjadi kenaikan sebesar 1% pada ERP, maka akan menaikkan pembiayaan bagi hasil sebesar 0.000779% saat variabel lain dianggap konstan.

ERP merupakan tingkat bagi hasil yaitu imbalan yang akan diperoleh BPRS dari pembiayaan yang diberikan. Sehingga semakin ERP, maka semakin tinggi pula pembiayaan bagi hasil yang disalurkan oleh BPRS karena keuntungan yang diperoleh BPRS pun akan semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Adzimatinur (2014) dan Sukmayasa (2014) yang mengatakan bahwa imbal bagi hasil yang tinggi akan mendorong perbankan syariah untuk lebih banyak menanamkan modal di pembiayaan bagi hasil.

Biaya Operasional per Pendapatan Operasional (BOPO)

BOPO tidak berpengaruh signifikan pada jangka panjang. Hal ini berarti bahwa BPRS akan tetap melakukan penyaluran pembiayaan bagi hasil walaupun BOPO mengalami peningkatan atau penurunan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Adzimatinur (2014) dan Rahayu (2015) yang mengatakan bahwa BOPO tidak berpengaruh signifikan terhadap pembiayaan. Hal ini berarti bahwa inefisiensi BPRS yang salah satunya digambarkan oleh BOPO tidak memengaruhi BPRS dalam menyalurkan pembiayaan bagi hasil.

20

Respon Pembiayaan Bagi Hasil terhadap Guncangan yang Terjadi pada Variabel Internal

Analisis Impulse Response Function (IRF) digunakan untuk melihat sejauh mana suatu variabel terpengaruh dari guncangan, baik yang diakibatkan oleh variabel itu sendiri maupun oleh variabel lainnya. Penelitian ini menganalisis respon pembiayaan bagi hasil BPRS terhadap guncangan variabel DPK, NPF, FDR, ROA, CAR, BOPO, dan ERP. IRF menggunakan standar Cholesky Decomposition dengan jangka waktu 45 bulan ke depan.

Analisis IRF menjelaskan perbandingan respon pembiayaan bagi hasil jika terdapat guncangan pada variabel yang telah disebutkan diatas. Hasil uji IRF menunjukkan bahwa guncangan yang terjadi pada NPF, BOPO, FDR, dan ROA direspon positif oleh pembiayaan bagi hasil. Sementara itu, guncangan yang terjadi pada variabel DPK, CAR, dan ERP direspon negatif oleh pembiayaan bagi hasil.

Guncangan pada variabel dana pihak ketiga (DPK) sebesar satu standar deviasi direspon negatif oleh pembiayaan bagi hasil yang berdampak pada penurunan jumlah pembiayaan bagi hasil pada bulan ke 2. Kemudian guncangan pada DPK direspon negatif oleh pembiayaan bagi hasil pada bulan berikutnya dan mulai kembali stabil dalam jangka panjang pada bulan ke 25, yakni pembiayaan bagi hasil merespon guncangan DPK sebesar 2.04 persen.

Hasil guncangan satu standar deviasi pada variabel tingkat pembiayaan bermasalah (NPF) direspon positif oleh pembiayaan bagi hasil pada bulan ke 2 sampai bulan ke 3 yang berdampak kepada semakin tingginya pembiayaan bermasalah akan meningkatan jumlah pembiayaan bagi hasil. Respon pembiayaan bagi hasil mulai stabil dalam jangka panjang pada bulan ke 23, yakni pembiayaan bagi hasil merespon guncangan NPF sebesar 0.99 persen.

Gambar 5 Impulse Response Function pembiayaan bagi hasil

-.03 -.02 -.01 .00 .01 .02 .03 .04 5 10 15 20 25 30 35 40 45 LNPBH LNDPK NPF FDR ROA CAR BOPO ERP Response of LNPBH to Cholesky One S.D. Innovations

21 Guncangan pada variabel FDR sebesar satu standar deviasi direspon positif yang berdampak pada peningkatan jumlah pembiayaan bagi hasil pada bulan ke 2 sampai bulan 6, kemudian turun kembali dan mulai stabil dalam jangka panjang pada bulan ke 22, yakni pembiayaan bagi hasil merespon guncangan FDR sebesar 2.32%. Hal ini menjelaskan bahwa financial sustainability BPRS semakin baik, yaitu kemampuan program untuk terus melaksanakan kegiatan dan layanannya serta terus beroperasi sebagai lembaga pembangunan keuangan bagi masyarakat kecil di pedesaan semakin baik (Rahayu 2015), sehingga semakin tinggi rasio FDR, dana pihak ketiga yang dihimpun dari masyarakat telah tersalurkan dengan baik.

Hasil guncangan sebesar satu standar deviasi pada ROA direspon positif yang berdampak pada peningkatan jumlah pembiayaan bagi hasil pada bulan ke 2 sampai bulan ke 4. Kemudian turun kembali pada bulan ke 5 dan mulai kembali stabil dalam jangka panjang pada bulan ke 26, yakni pembiayaan bagi hasil merespon guncangan ROA sebesar 0.32 persen. Hal ini menunjukkan bahwa dampak dari meningkatnya tingkat keuntungan yang dimiliki BPRS akan meningkatkan pembiayaan bagi hasil, sehingga mampu menjaga financial sustainability dari BPRS agar terus berjalan melakukan aktivitas pembiayaannya (Rahayu 2015).

Hasil guncangan sebesar satu standar deviasi pada variabel CAR direspon negatif yang berdampak pada penurunan jumlah pembiayaan bagi hasil pada bulan ke 2. Respon kemudian negatif pada bulan ke 3 dan mulai kembali stabil dalam jangka panjang pada bulan ke 30, yakni pembiayaan bagi hasil merespon guncangan CAR sebesar 0.18 persen. Hal ini berarti semakin besar pembiayaan bagi hasil yang disalurkan BPRS akan menurunkan modal BPRS itu sendiri.

Hasil guncangan sebesar satu standar deviasi pada variabel BOPO direspon negatif yang berdampak pada penurunan jumlah pembiayaan bagi hasil pada bulan ke 2 sampai bulan ke 3. Kemudian guncangan pada BOPO direspon positif pada bulan ke 4 dan mulai kembali stabil dalam jangka panjang pada bulan ke 29, yakni pembiayaan bagi hasil merespon guncangan BOPO sebesar 0.21 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi beban operasional menandakan semakin tinggi pula resiko dari pembiayaan bagi hasil sebab pembiayaan bagi hasil yang disalurkan untuk masyarakat semakin tinggi.

Guncangan yang terjadi pada variabel ERP sebesar satu standar deviasi direspon negatif yang berdampak pada penurunan jumlah pembiayaan bagi hasil. Respon mulai negatif pada bulan ke 2 dan mulai kembali stabil dalam jangka panjang pada bulan ke 19, yakni pembiayaan bagi hasil merespon guncangan ERP sebesar 0.58 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan ERP akan diikuti oleh menurunnya pembiayaan bagi hasil yang disalurkan oleh BPRS.

Kontribusi Dinamis Variabel Internal terhadap Pembiayaan Bagi Hasil FEVD digunakan untuk menjelaskan kontribusi dari masing-masing variabel terhadap shock yang ditimbulkannya terhadap variabel endogen utama yang diamati. Dengan kata lain, FEVD menjelaskan proporsi variabel lain dalam menjelaskan variabilitas variabel endogen utama penelitian (Firdaus 2011). Gambar 6 menjelaskan variabilitas pembiayaan bagi hasil selama 45 periode. Hasil FEVD terhadap pembiayaan bagi hasil menunjukkan bahwa pada periode pertama, keragaman fluktuasi pembiayaan bagi hasil didominasi oleh guncangan pembiayaan bagi hasil itu sendiri, yakni sebesar seratus persen dan terus berlanjut

22

hingga periode ke enam dengan proporsi yang terus menurun. Keragaman mulai terlihat pada periode kedua, dimana variabel-variabel lain mulai memengaruhi keragaman pembiayaan bagi hasil.

Pada periode kedua menunjukkan bahwa peran pembiayaan bagi hasil masih dominan dalam menjelaskan fluktuasi pembiayaan bagi hasil itu sendiri, yakni sebesar 69.15 persen. Sementara, NPF berada pada urutan kedua sebesar 21.77 persen, DPK sebesar 4.12 persen, BOPO sebesar 2.01 persen, FDR sebesar 1.89 persen, ROA sebesar 0.84 persen, CAR sebesar 0.17 persen, dan ERP sebesar 0.01 persen.

Kemudian pada periode keenam, peranan pembiayaan bagi hasil dalam menjelaskan fluktuasi pembiayaan bagi hasil itu sendiri terus menurun menjadi sebesar 22.71 persen. Sementara itu, peran FDR semakin meningkat pada periode tersebut yakni sebesar 30.07 persen menggeser posisi pembiayaan bagi hasil pada urutan pertama periode sebelumnya, dimana pada periode ini DPK memengaruhi pembiayaan bagi hasil sebesar 27.79 sehingga menempati urutan ketiga. Sedangkan untuk variabel NPF memengaruhi sebesar 14.52 persen, ROA sebesar 2.30 persen, BOPO sebesar 1.09 persen, ERP sebesar 1.33 persen, dan CAR sebesar 0.15 persen. Pada periode berikutnya hingga periode jangka panjang menunjukkan peranan pembiayaan bagi hasil tidak lagi mendominasi dan terus terjadi penurunan peranan pembiayaan bagi hasil dalam menjelaskan fluktuasi pembiayaan bagi hasil itu sendiri dan terdapat peningkatan dari variabel lainnya.

Kontribusi variabel FDR dari periode ke periode terus mengalami peningkatan dan memberikan kontribusi yang lebih besar dan paling dominan terhadap pembiayaan bagi hasil. Hal tersebut dapat terlihat dari periode keenam hingga periode akhir, FDR memberikan kontribusi yang paling besar dan menggeser posisi pembiayaan bagi hasil dari urutan pertama, yakni sebesar 30.07 persen pada periode keenam dan 38.41 persen pada periode ke-45. Selanjutnya, DPK juga terlihat semakin memengaruhi pembiayaan bagi hasil dengan kontribusi yang terus meningkat terhadap pembiayaan bagi hasil hingga periode ke-45, yakni sebesar 27.79 persen. Sedangkan untuk variabel ROA, CAR, BOPO menunjukkan kontribusi yang terus menurun hingga periode ke-45. Sementara itu, variabel NPF menunjukkan kontribusi yang cenderung menurun hingga periode ke-45, meskipun masih menjadi salah satu variabel yang dominan.dalam memengaruhi pembiayaan bagi hasil, yakni sebesar 8.22 persen. Sedangkan, variabel ERP walaupun memberikan kontribusi yang terus meningkat tiap periode, namun kontribusinya tidak dominan terhadap pembiayaan bagi hasil yakni sebesar 2.38 persen.

Hasil FEVD ini memperlihatkan kontribusi dari setiap variabel yang diteliti terhadap keragaman pembiayaan bagi hasil. Keragaman dalam pembiayaan bagi hasil didominasi oleh pembiayaan bagi hasil itu sendiri, FDR, DPK, dan NPF. Kontribusi pembiayaan bagi hasil dalam menjelaskan fluktuasi pembiayaan bagi hasil itu sendiri semakin lama akan semakin menurun, namun penurunan tersebut akan digantikan oleh peningkatan kontribusi dari variabel lainnya (Damayanti 2016).

23

Gambar 6 Forecasting Error Variance Decomposition pembiayaan bagi hasil

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi pembiayaan bagi hasil secara signifikan dalam jangka panjang adalah variabel DPK, NPF, FDR, ROA, CAR, dan ERP. Variabel yang tidak berpengaruh signifikan pada pembiayaan bagi hasil yaitu BOPO.

2. Hasil uji Impulse Response Function (IRF) menunjukkan bahwa guncangan yang terjadi pada NPF, BOPO, FDR, dan ROA direspon positif oleh pembiayaan bagi hasil. Sementara itu, guncangan yang terjadi pada variabel DPK, CAR, dan ERP direspon negatif oleh pembiayaan bagi hasil pada jangka panjang. 0 20 40 60 80 100 120 5 10 15 20 25 30 35 40 45 LNPBH LNDPK NPF FDR ROA CAR BOPO ERP Variance Decomposition of LNPBH

24

Saran

1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) harus meningkatkan proporsi pembiayaan bagi hasil agar pembiayaan pada sektor riil meningkat karena pembiayaan bagi hasil memiliki peranan penting dalam menggerakan sektor riil, dan core business perbankan syariah adalah berbasis sektor riil.

2. BPRS harus menurunkan NPF. Peningkatan pembiayaan bagi hasil yang dilakukan oleh BPRS harus diikuti dengan upaya BPRS dalam menurunkan NPF.

3. Penelitian ini menganalisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi pembiayaan bagi hasil pada BPRS dari sisi internal perbankan yaitu dari rasio keuangan perbankan syariah serta dana pihak ketiga dan equivalent

rate pembiayaan. Penelitian selanjutnya disarankan menggunakan variabel makroekonomi lainnya agar dapat melihat pengaruh keadaan ekonomi terhadap pembiayaan bagi hasil pada BPRS.

Dokumen terkait