• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Kota Bogor

Secara geografis, Kota Bogor terletak diantara 106 derajat 43’30”BT-106 derajat 51’00”BT dan 30’30” LS-6 derajat 41’00”LS. Kota Bogor memiliki ketinggian rata-rata minimal 190 meter dan maksimal 350 meter diatas permukaan laut. Jarak Kota Bogor dengan ibukota Jakarta kurang lebih 60 km.

Kota Bogor mempunyai luas wilayah 118.50 km2. Di Kota Bogor mengalir beberapa sungai yang permukaan airnya jauh di bawah permukaan tanah, yaitu sungai Ciliwung, Cisadane, Cipakancilan, Cidepit, Ciparigi dan Cibalok. Dengan kondisi sungai seperti ini, Kota Bogor relatif aman dari bahaya banjir walaupun memiliki banyak aliran sungai.

1. Selatan : berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor

2. Timur : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor

3. Utara : berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja, Kecamatan Bojonggede, dan Kecamatan Kemang Kabupaten Bogor

4. Barat : berbatasan dengan Kecamatan Kemang dan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor

Secara topografis, kemiringan tanah di Kota Bogor berkisar antara 0-15% dan hanya sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15-30%. Jenis tanah di hampir seluruh wilayah adalah lotosil coklat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dengan tekstur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi.

18

Dengan ketinggian antara 190-330 m diatas permukaan laut, suhu di Kota Bogor relatif sejuk, didukung frekuensi curah hujan cukup tinggi. Pada tahun 2010 curah hujan tertinggi pada bulan Februari (806.4 mm) dan terendah pada bulan Desember (276.8 mm). Jumlah rata-rata hujan di Kota Bogor selama tahun 2010 adalah 21 hari per bulan.

Kondisi Usaha PKL Makanan

Usaha PKL Makanan yang menjadi objek penelitian adalah usaha makanan dan minuman. Jenis makanan yang menjadi objek penelitian antara lain mi ayam, ketoprak, soto mi, bubur ayam, doclang, bakso maupun makanan siap saji seperti warung nasi, warung sunda dan warung masakan padang. Jenis minuman yang menjadi objek penelitian antara lain jus buah, es doger dan minuman siap minum. Individu yang menjadi responden tersebar di beberapa lokasi di Kota Bogor.Distribusi sampel responden dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.

Tabel 6Distribusi Sampel Responden PKL

Lokasi Jumlah Responden (orang) Persentase (%) Legal

1.Jalan Binamarga 2 4

2.Gang Selot 4 8

3.Jalan Papandayan 3 6

4.Jalan Cidangiang Bawah 6 12

5.Jalan Sukasari 3 4 8

6. Jalan Bangbarung Raya 1 2

7. Jalan Batu Tulis 1 2

Ilegal

1.Jalan Cidangiang 2 4

2.Jalan Dewi Sartika 4 8

3.Jalan KH. Abdullah bin Nuh

5 10 4.Persimpangan Jalan Otto

Iskandardinata – Jalan Suryakencana 4 8 5.Jalan Veteran 5 10 6.Gang Aut 5 10 7.Jalan Dr Semeru 2 4

8.Jalan Sholeh Iskandar 3 6

TOTAL 51 100

Lokasi legal merupakan lokasi yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh Dinas UMKM Kota Bogor sebagai area yang diperbolehkan. Berdasarkan Surat

19

Keputusan (SK) Walikota Bogor Nomor 511.23.45-63 Tahun 2010 tentang penunjukkan lokasi pembinaan dan penataan usaha Pedagang Kaki Lima (PKL), ditetapkan beberapa lokasi yang diperbolehkan untuk berdagang (lihat Lampiran 6). Setiap pedagang yang menempati lokasi tersebut mendapatkan ijin tertulis dari Walikota Bogor c.q. Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor dan wajib membayar Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah, Retribusi Pelayanan Persampahan dan khusus untuk usaha PKL yang berjualan makanan dan minuman wajib membayar pajak restoran.

Lokasi ilegal merupakan lokasi diluar pembinaan dan penataan Pemerintah Daerah Kota Bogor.Para pedagang yang berjualan di lokasi ilegal menggunakan media berupa gerobak, tenda, meja, kursi dan peralatan makan.Hal ini berbeda dengan lokasi legal, dimana lokasi ini memiliki fasilitas kios atau kubik-kubik kayu yang memadai dengan ukuran yang berbeda-beda tiap area.Pada lokasi ilegal sering terjadi penggusuran yang dilakukan oleh petugas Satpol PP setempat dan para pedagang harus mengeluarkan uang untuk menebus kembali barang dagangan yang disita petugas sedangkan lokasi legal tidak terkena penggusuran. Dilihat dari biaya retribusi yang dikenakan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Bogor, untuk lokasi legal besaran biayanya telah ditentukan sesuai ukuran kios sedangkan lokasi ilegal ditetapkan oleh wilayah setempat seperti kelurahan dan oknum tertentu, namun ada juga pedagang yang tidak membayar retribusi. Saat ini seluruh pedagang di lokasi legal belum dipungut pajak restoran dikarenakan belum ada data jelas dan lengkap mengenai omset pedagang sehingga besarnya pajak belum ditentukan.Pajak restoran ini nantinya akan dipungut oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bogor.

Alasan responden bekerja sebagai PKL beranekaragam.Dari 51 orang responden, 12 orang mengaku alasan memilih bekerja sebagai PKL karena usaha lebih menguntungkan dan 11 orang karena menganggur.Dilihat dari pekerjaan sebelum menjadi PKL, sebanyak 8 orang adalah ibu rumahtangga, 7 orang tidak memiliki usaha dan 6 orang karyawan swasta. Pekerjaan awal seperti tidak memiliki usaha dan ibu rumahtangga tidak menghasilkan pendapatan.Oleh sebab itu, pedagang mengaku bekerja sebagai PKL karena usaha lebih menguntungkan.

Selain itu, dilihat dari daerah asal PKL, sebanyak 29 orang mengaku berasal dari luar Kota Bogor sedangkan 21 orang mengaku berasal dari dalam Kota Bogor. Hal ini berkaitan dengan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa keberadaan sektor informal merupakan salahsatu jalan alternatif bagi migran untuk bekerja.Rata-rata pendapatan antara migran dan nonmigran tidak berbeda jauh, untuk pendapatan migran sebesar 181 724 rupiah sedangkan rata-rata pendapatan nonmigran 182 727 rupiah.Para responden nonmigran memiliki pendapatan yang sedikit lebih besar karena pedagang telah mengetahui seluk beluk Kota Bogor dalam memilih lokasi yang banyak dilewati oleh pembeli.

Jika diteliti berdasarkan lokasi yaitu lokasi legal dan ilegal, pedagang yang berusaha di lokasi ilegal memiliki rata-rata pendapatan lebih besar yaitu 185 667 rupiah bila dibandingkan di lokasi legal sebesar 177 143 rupiah.Lokasi ilegal memiliki pendapatan lebih besar karena beberapa lokasi ilegal tidak dipungut biaya-biaya seperti biaya retribusi.Sehingga pendapatan yang diterima pedagang adalah murni hasil penjualan makanan dalam satu hari.

Alasan lain yang dikemukakan oleh responden untuk bekerja sebagai PKL karena ingin merintis usaha lebih besar, modal usaha ringan dan untuk mencukupi

20

kebutuhan hidup masing-masing alasan memiliki 6 orang responden. Para PKL berharap dengan memulai usaha sebagai PKL dapat mengumpulkan modal dari hasil keuntungan sehingga dapat ekspansi usaha.Ada juga yang mengaku alasannya ingin mencari pengalaman karena pekerjaan sebelum menjadi PKL responden ini adalah ibu rumahtangga.

Dari pemaparan kondisi usaha PKL yang diteliti, terbukti bahwa seseorang yang bekerja menjadi PKL merupakan para migran sebanyak 29 orang yang datang dari luar kota untuk mencari pekerjaan. Hal ini dikarenakan pendapatan di perkotaan lebih besar dari di pedesaan.Selain itu ada alasan menurunnya kesempatan kerja di perdesaan baik akibat penyempitan lahan pertanian maupun akibat perkembangan teknologi pertanian yang mengurangi ketergantungan pada manusia.Sektor informal seperti PKL mampu menyerap pengangguran perkotaan yang dibuktikan dari alasan responden sebanyak 11 orang menjadi PKL adalah karena menganggur.

Karakteristik Responden PKL Makanan di Kota Bogor

Karakteristik responden yang diteliti dalam penelitian secara ringkas dapat terlihat dari Tabel 7.Variabel yang dijelaskan dalam tabel adalah modal, usia, pendidikan, lama jam kerja, pengalaman, retribusi, pelatihan dan lokasi.

Modal memiliki peranan yang penting dalam memulai usaha. Modal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berupa peralatan makan, tenda dan gerobak. Modal yang digunakan oleh responden paling banyak berada pada rentang 1 juta rupiah hingga 5 juta rupiah dengan persentase 47%. Hal ini sesuai dengan penelitian Mubarok (2012) yang menemukan bahwa berdasarkan tipologi yang diteliti mayoritas responden membutuhkan modal1 juta rupiah hingga 5 juta rupiah dengan persentase 40.83%. Namun, modal untuk menjadi PKL tidak selalu kecil, 14 orang responden mengaku membutuhkan modal 5 juta rupiah hingga 25 juta rupiah. Angka ini cukup mengejutkan untuk profesi PKL, dimana dengan modal yang besar belum tentu diikuti pendapatan yang besar.

Usia responden terbanyak berada pada rentang 31-45 tahun, dimana usia ini merupakan usia produktif. Persentase pada rentang ini sebesar 49%. Hal ini sesuai dengan penelitian Mubarok (2012) yang menemukan bahwa pada rentang usia 31-45 tahun memiliki responden sebesar 47.50%. Penelitian Pratiwi (2013) yang meneliti pedagang di Stasiun Bogor juga menemukan bahwa pedagang yang berada pada usia 31-45 tahun memiliki persentase 39%. Namun, diluar usia produktif sebanyak 11 orang responden yang berusia 46-73 tahun masih bekerja sebagai PKL. Seharusnya pada usia tersebut, mereka telah menikmati hasil bekerja pada usia produktif.

Pendidikan yang berhasil ditamatkan oleh responden paling banyak berada pada tingkat SD dengan persentase 39%. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Pratiwi (2013) yang menemukan bahwa pendidikan pedagang di Stasiun Bogor yang berhasil ditamatkan paling banyak berada pada tingkat SMA dengan presentase 47%. Namun sesuai dengan penelitian Mubarok (2012) bahwa sebanyak 67 orang atau 55.83%. Hal yang mengejutkan adalah sebanyak 3 orang responden mengaku berpendidikan Perguruan Tinggi (PT). Artinya, tidak selalu yang menjadi PKL adalah seseorang yang berpendidikan rendah.

21

Lama jam kerja per hari responden berada pada rentang 8.5-11 jam per hari. Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian Pratiwi (2013) yang menemukan bahwa pedagang bekerja paling banyak dalam rentang 10-15 jam per hari sedangkan Mubarok (2012) menemukan jam operasi terbanyak berada pada rentang 5-10 jam. Lama jam kerja per hari yang tidak sesuai dengan sektor formal ini belum tentu memiliki pendapatan yang sama dengan sektor formal tersebut. Para PKL harus bekerja ekstra untuk mememiliki pendapatan yang lebih besar apalagi 11 orang responden mengaku berjualan pada rentang 12-24 jam.

Tabel 7Karakteristik responden PKL makanan di Kota Bogor

Variabel Jumlah responden (orang) Persentase responden (%) Modal (rupiah) < 1000000 13 25 1 000 000 – 5000000 24 47 6 000000 – 10000000 10 20 11 000000 – 25000000 4 8 Usia (tahun) 15 – 30 15 29 31 – 45 25 49 46 – 73 11 22 Pendidikan SD 20 39 SMP 11 22 SMA 17 33 PT 3 6 LJK (jam) 1 – 8 17 33 8.5 – 11 23 45 12 – 24 11 22 Pengalaman (tahun) < 1 3 6 1 – 10 27 53 11 – 20 13 25 21 – 50 8 16 Retribusi (rupiah) Tidak Bayar 19 37 500 – 3000 26 51 4 000 – 7000 6 12 Pelatihan Pernah 17 33 Tidak Pernah 34 67

22

Lokasi

Legal 21 41

Ilegal 30 59

Pengalaman kerja responden paling banyak berada pada rentang 1-10 tahun dengan presentase 53%. Hal ini sesuai dengan penelitian Pratiwi (2013) dan Mubarok (2012) yang menemukan bahwa pengalaman bekerja pedagang paling banyak berada rentang 1-10 tahun dengan persentase masing-masing 58% dan 57%. Artinya responden yang bekerja sebagai PKL merupakan orang-orang baru yang mencoba untuk memiliki pendapatan dan mencukupi kebutuhan hidup.

Pungutan yang diambil dari responden berupa retribusi jasa usaha mengenai kebersihan. Besaran retribusi berbeda-beda dari lokasi yang diteliti. Lokasi legal dipungut biaya retribusi oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) sedangkan lokasi ilegal dipungut biaya retribusi oleh kelurahan atau oknum-oknum tertentu. Responden mengaku membayar retribusi harian paling banyak berada pada rentang 500 rupiah hingga 3 000 rupiah per hari sebanyak 26 orang sedangkan yang membayar 3 000 rupiah hingga 7 000 rupiah per hari sebanyak 6 orang. Namun masih ada saja yang tidak membayar retribusi, yaitu sebanyak 19 orang.

Pelatihan yang diperoleh responden berupa kebersihan makanan dan penyajian makanan yang diberikan oleh dinas terkait. Sebanyak 67% mengaku belum pernah menerima pelatihan sedangkan sisanya 33% mengaku pernah menerima pelatihan. Pemberian pelatihan ini hanya terbatas untuk lokasi legal yang merupakan lokasi pembinaan dan penataan Pemerintah Daerah Kota Bogor dengan Dinas UMKM Kota Bogor.

Kategori lokasi dalam penelitian ini terbagi menjadi lokasi legal dan ilegal, dimana lokasi legal merupakan lokasi binaan dari Dinas UMKM Kota Bogor. Objek yang diteliti untuk lokasi legal sebesar 41% sedangkan 59% lokasi ilegal.

Analisis Regresi Linier Berganda

Faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan PKL di analisis dengan menggunakan regresi linier berganda dengan bantuan Microsoft Excel 2007 dan

software Minitab 14. Dari Tabel 8, diperoleh R2 sebesar 98.7% artinya keragaman yang mampu dijelaskan dalam model sebesar 98.7% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Hasil uji-t atau uji model secara parsial menunjukkan bahwa nilai probabilitas yang diperoleh lebih kecil dari alpha

0,05% artinya model sudah mampu menjelaskan keragaman pendapatan.

Berdasarkan uji asumsi klasik dengan melakukan uji kenormalan, multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi maka diperoleh hasil berikut:

1. Nilai p-value pada uji Kolgorov-smirnov> 0.150 masih lebih besar dari alpha

0.05 maka terima H0, artinya asumsi residual menyebar normal terpenuhi. 2. Uji Klein melihat nilai Pearson correlation antar peubah bebas X dalam

model masih lebih kecil dari R2 regresi sebesar 0.98 maka terima H0, artinya data tidak mengalami multikolinearitas.

3. Probabilitas yang diperoleh dari uji Gleitser sebesar 0.499 lebih besar dari

23

4. Nilai Durbin-watson sebesar 2.06 artinya tidak ada autokorelasi.

Berdasarkan hasil output maka model regresi linier berganda yang diperoleh adalah:

LnY = 1.85 + 0.000053 MOD - 0.00444 U + 0.0596 PEND + 0.0214 LJK + 0.00935 PENG - 0.102 RET + 1.48 PEL + 0.797 LOK

Tabel 8Faktor-faktor yang memengaruhi pendapatan PKL

Variabel Koefisien Probabilitas

Konstanta 6.375739 0.000* Modal 1.000053 0.000* Usia -0.99557 0.115 Pendidikan 1.061444 0.016* LJK 1.021582 0.000* Pengalaman 1.009391 0.002* Retribusi -0.90292 0.000* Pelatihan 4.396242 0.000* Lokasi 2.219296 0.000* R2 = 98.7

Keterangan: *Nyata pada taraf nyata 5%

Berdasarkan hasil uji statistik, modal awal memiliki pengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata 5% terhadap pendapatan dengan koefisien parameter 1.000. Artinya, setiap kenaikan modal satu satuan maka akan meningkatkan pendapatan sebesar 1 000 rupiah,cateris paribus.Modal diperlukan bagi responden demi kelangsungan usaha.Para responden mengaku kesulitan mendapatkan modal akibat persyaratan yang rumit dan berbelit dari lembaga keuangan. Sementara itu lembaga keuangan tidak ingin memberikan modal kepada pedagang karena khawatir terjadi gagal bayar oleh peminjam. Terkadang para responden menggunakan modal yang berasal dari rentenir dengan bunga tinggi dan ini sangat membebankan pedagang.Modal yang diperlukan oleh responden sebesar 300 ribu rupiah hingga 5 juta rupiah adalah sebanyak 34 orang.

Usia responden berpengaruh negatif dan tidak signifikan pada taraf nyata 5% terhadap pendapatan dengan koefisien parameter -0.99. Artinya, tidak ada hubungan yang memengaruhi antara usia dengan pendapatan.Dalam penelitian iniusia berpengaruh negatif artinya semakin tua usia, semakin menurun tingkat produktifitasnya. Hal ini dikarenakan kemampuan fisik yang semakin menurun untuk tetap bekerja. Berbeda dengan usia produktif yang masih memiliki kemampuan fisik baik dan memiliki motivasi tinggi dalam bekerja. Sehingga dalam usia produktif mampu bekerja lebih giat agar memiliki pendapatan lebih besar. Responden yang memiliki kategori usia produktif adalah sebanyak 40 orang dalam rentang umur 15-45 tahun sedangkan 11 orang sisanya termasuk dalam usia tidak produktif.

Pendidikan berpengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata 5% terhadap pendapatan dengan koefisien parameter 1.06. Artinya, setiap kenaikan pendidikan

24

satu satuan maka akan meningkatkan pendapatan 1061 rupiah. Hal ini tidak sesuai dengan penelitian Pratiwi (2013) yang menemukan bahwa perolehan nilai probabilitas sebesar 0.825 lebih besar dari alpha 5% sehingga pendidikan tidak berpengaruh signifikan. Dalam penelitian ini, pendidikan berpengaruh positif artinya semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pendapatan yang akandiperoleh oleh responden. Tingkat pendidikan yang tinggi memberikan ilmu pengetahuan yang lebih dalam dan luas bagi para pedagang sehingga pedagang memiliki kemampuan memadai untuk berwirausaha.Ilmu pengetahuan yang diperoleh dapat berupa pemasaran produk, peluang usaha dan prospek usaha.Sebanyak 3 orang responden mengaku berpendidikan Perguruan Tinggi, kemungkinan dengan latar belakang pendidikan ini pendapatan yang diperoleh semakin tinggi.Namun pendidikan yang berhasil ditamatkan oleh responden paling banyak adalah Sekolah Dasar yakni 20 orang responden.

Lama jam kerja per hari berpengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata 5% terhadap pendapatan dengan koefisien parameter 1.02. Artinya, setiap kenaikan satu satuan lama jam kerja per hari maka akan menaikkan pendapatan sebesar 1021 rupiah, cateris paribus. Hal ini sesuai dengan penelitian Pratiwi (2013) yang menemukan bahwa pedagang yang bekerja lebih lama cenderung memiliki omset lebih besar. Perubahan satu jam per hari mampu meningkatkan omset sebesar 47700 rupiah, cateris paribus. Lama jam kerja per hari yang dibutuhkan oleh responden tidak menentu setiap hari. Kadang responden harus berjualan lebih lama dari jam kerja normal karena sepi pembeli. Lama jam kerja per hari yang lebih lama belum tentu menambah pendapatan responden. Namun responden tetap berusaha melakukan kegiatan usaha demi bertahan hidup dan memiliki pendapatan. Responden yang bekerja diluar jam kerja normal sebanyak 34 orang dalam rentang 8.5 jam bahkan sampai 24 jam per hari.

Pengalaman kerja selama menjadi PKL berpengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata 5% terhadap pendapatan dengan koefisien parameter 1.009. Artinya, setiap kenaikan satu satuan pengalaman pedagang maka akan meningkatkan pendapatan sebesar 1009 rupiah, cateris paribus.Pengalaman responden yang lebih lama mampu meningkatkan pendapatan karena responden mampu melihat peluang usaha dari komoditi yang di tawarkan. Semakin tinggi permintaan terhadap suatu komoditi maka responden akan semakin banyak menjual barang tersebut.Pengalaman responden yang diteliti sebanyak 30 orang mengaku memiliki pengalaman kurang dari 10 tahun, sedangkan sisanya 21 orang memiliki pengalaman kerja 11 hingga 50 tahun.

Retribusi memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada taraf nyata 5% terhadap pendapatan dengan koefisien parameter -0.902. Artinya, setiap kenaikan satu satuan retribusi akan menurunkan pendapatan sebesar 902 rupiah, cateris paribus. Retribusi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pedagang pada lokasi legal, yang besaran tarifnya telah diatur oleh peraturan daerah.Biaya ini tidak memberatkan pedagang karena Pemda Kota Bogor telah memperhitungkan secara matang besaran yang cocok untuk dipungut kepada PKL.Untuk lokasi ilegal, besaran retribusi berbeda-beda dan tarifnya lebih besar dibandingkan dengan lokasi legal.Hal ini dikarenakan para pedagang di lokasi ilegal harus membayar kepada lebih dari satu orang yang mengaku oknum berwenang setempat.Selain itu, tidak jarang para pedagang di lokasi ilegal terkena penggusuran dan harus membayar denda kepada Satpol PP Kota Bogor.

25

Pelatihan yang diperoleh PKL berpengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata 5% terhadap pendapatan dengan koefisien parameter 4.396. Artinya, beda rata-rata pendapatan antar responden yang tidak menerima pelatihan lebih besar dibandingkan responden yang menerima pelatihan sebesar 4396 rupiah, cateris paribus. Hal ini disebabkan karena responden yang berada pada lokasi legal masih ada yang belum menerima pelatihan.Para pedagang yang berjualan di lokasi legal sudah pasti mendapatkan fasilitas pelatihan ini.Pelatihan dapat menunjang peningkatan pendapatan.

Lokasi berpengaruh positif dan signifikan pada taraf nyata 5% terhadap pendapatan dengan koefisien parameter 2.219. Artinya, beda rata-rata pendapatan antar responden yang berlokasi di lokasi legal lebih besar dibandingkan responden yang berlokasi di lokasi ilegal sebesar 2219 rupiah, cateris paribus. Lokasi legal mampu meningkatkan pendapatan PKL.

Implikasi Kebijakan Penanganan PKL

Berdasarkan hasil penelitian, penulis merumuskan implikasi kebijakan penanganan PKL di Kota Bogor.Kebijakan-kebijakan tersebut dapat di intervensi oleh Pemerintah Kota Bogor selaku pihak berwenang. Hal tersebut dijabarkan sebagai berikut:

1. Legalisasi lokasi

Pedagang yang berjualan di lokasi legal atau lokasi binaan Dinas UMKM Kota Bogor memiliki pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan lokasi ilegal.Hal ini terbukti dari hasil analisis regresi berganda.Beda rata-rata pendapatan antar responden yang berlokasi di lokasi legal lebih besar dibandingkan responden yang berlokasi di lokasi ilegal sebesar 2 219 rupiah,

cateris paribus.Peran Dinas UMKM diperlukan untuk sosialisasi cara melegalkan lokasi unit usaha agar pedagang terdaftar sesuai izin Walikota Bogor. Pedagang yang berlokasi di lokasi binaan memiliki kartu identitas pedagang sebagai tanda bahwa pedagang memiliki izin untuk berdagang. Pedagang yang terdaftar memiliki keuntungan tidak akan terkena penggusuran oleh Satpol PP. Saat ini lokasi legal yang telah dibina dan dikelola oleh Dinas UMKM Kota Bogor baru 14 titik lokasi yang tersebar di Kota Bogor. Lokasi tersebut dikhususkan untuk PKL makanan dan tanaman hias.Padahal PKL yang berjualan di Kota Bogor bukan hanya pedagang jenis makanan, ada juga pedagang yang berjualan pakaian jadi dan barang industri (lihat Lampiran 5).

Setelah dilakukan legalisasi unit usaha, para PKL yang berjualan di lokasi ini telah mengalami transformasi usaha dari yang awalnya sektor informal tidak terdaftar menjadi sektor informal yang terdaftar.Para PKL tersebut menjadi salahsatu perhatian Pemerintah Kota Bogor untuk terus mendapatkan pembinaan dan penataan sesuai dengan program telah dicanangkan.Lokasi legal mampu meningkatkan pendapatan seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

26

Pelatihan ini mampu meningkatkan pendapatan pedagang sehingga pelatihan sangat dibutuhkan oleh pedagang. Namun hasil penelitian menemukan bahwa beda rata-rata pendapatan antar responden yang tidak menerima pelatihan lebih besar dibandingkan responden yang menerima pelatihan sebesar 4396 rupiah, cateris paribus. Hal ini disebabkan karena responden yang berada pada lokasi legal masih ada yang belum menerima pelatihan.Pelatihan yang diadakan memiliki intensitas rendah, pedagang di lokasi binaan mengaku menerima pelatihan paling banyak 3 kali dalam setahun.Jumlah pelatihan yang kurang diiringi dengan ketidakmauan pedagang untuk hadir membuat pedagang tidak memiliki pengetahuan yang cukup memadai.Peran dinas-dinas terkait yang menyelenggarakan pelatihan dibutuhkan untuk meningkatkan kedisiplinan pedagang agar turut ikut dalam pelatihan.Pelatihan yang diterima oleh pedagang berupa penyajian makanan, pengadaan air bersih, higienitas makanan, Pemakaian Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang benar dan kiat-kiat pemasaran. Pelatihan dilaksanakan oleh dinas-dinas terkait yang bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kota Bogor seperti Dinas UMKM, Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial.

Setelah PKL menempati lokasi legal, maka pedagang berhak mendapatkan pelatihan.Ini merupakan salahsatu fasilitas gratis yang diterima oleh pedagang dalam rangka meningkatkan pengetahuan pedagang. Dengan adanya pelatihan ini,

Dokumen terkait