• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Bank Umum Syariah di Indonesia Sejarah Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia

Perkembangan industri keuangan syariah secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya hukum formal sebagai landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Pada awalnya, didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non bank dengan konsep bagi hasil atau lebih dikenal dengan Baitul Mal wa Tamwil (BMT) yang ternyata berhasil dengan cukup mengesankan. Setelah itu pemerintah mengeluarkan undang-undang baru yaitu UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. UU tersebut secara implisit telah membuka peluang kegiatan usaha perbankan yang memiliki dasar operasional bagi hasil yang secara rinci dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang Bank

26

Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Akhirnya berdirilah bank syariah pertama di Indonesia dengan nama PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk, (PT. BMI).

Dari tahun 1992-1998 perkembangan perbankan syariah cenderung stagnan, hanya terdapat satu Bank Umum Syariah (BUS) dan 78 Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) yang telah beroperasi. BMI belum mempunyai mitra untuk mengembangkan diri selain beberapa BRPS. Keberadaan BMI pada saat itu pun belum mendapatkan perhatian optimum dalam industri perbankan nasional. Undang-undang yang dikeluarkan pemerintah belum bisa menjadi landasan hukum yang lengkap yang dapat menunjang perkembangan bank syariah.

Pada tahun 1998, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi keberadaan sistem perbankan syariah. Sejak saat itu, industri perbankan syariah berkembang lebih cepat dan signifikan (BI 2013). Hal ini salah satunya ditandai dengan berdirinya Bank Syariah Mandiri pada tahun 1999 yang mendapat modal besar dari Bank Mandiri. Pada saat itu perkembangan BUS memang masih relatif lebih lambat dibanding Unit Usaha Syariah (UUS) dan BPRS yang berkembang sangat cepat. Sampai dengan tahun 2004, jumlah BUS hanya bertambah satu yaitu dengan didirikannya Bank Mega Syariah Indonesia. Namun setelah tahun 2007 BUS berkembang relatif pesat, jumlah BUS mencapai 11 bank dengan jumlah kantor yang melebihi UUS dan BPRS pada akhir tahun 2010. Posisi jumlah jaringan kantor sampai Desember 2013 secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa perkembangan jumlah jaringan kantor bank syariah dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa prospek perkembangan bank syariah di Indonesia cukup baik. Perkembangan jumlah jaringan kantor bank syariah yang lebih cepat salah satunya disebabkan oleh kinerjanya yang cukup baik.

Perkembangan Kinerja Perbankan Syariah

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu perwujudan dari permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif yang memenuhi prinsip-prinsip syariah. Sejak mulai dikembangkan sistem perbankan syariah di Indonesia, dalam kurun waktu 22 tahun total aset industri

Tabel 4 Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Perbankan Syariah

Jenis Bank 2009 2010 2011 2012 2013

Bank Umum Syariah

Jumlah Bank 6 11 11 11 11

Jumlah Kantor 711 1215 1401 1745 1998

Unit Usaha Syariah

Jumlah Bank 25 23 24 24 23

Jumlah Kantor 287 262 336 517 590

Bank Pengkreditan Rakyat Syariah

Jumlah Bank 138 150 155 158 163

Jumlah Kantor 225 286 364 401 402

Total Kantor 1223 1763 2101 2663 2990

27 perbankan syariah telah meningkat sebesar 135 kali lipat dari RP1.79 triliun pada tahun 2000 menjadi Rp242 triliun pada akhir tahun 2013. Market share perbankan syariah pun telah mencapai ±4.8% per Oktober 2013, dengan jumlah rekening di perbankan syariah mencapai ±12 juta rekening atau 9.2% dari total rekening perbankan nasional (Kemenkeu, 2013).

Sumber: Bank Indonesia, 2013 (diolah)

Gambar 3 Tren total aset perbankan syariah tahun 2008-2013

Aset perbankan syariah setiap tahun secara nominal selalu mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Jumlah aset perbankan syariah yang terdiri atas BUS dan UUS mengalami peningkatan sebesar 31.8% pada Desember 2013. Namun peningkatan ini masih berada dibawah peningkatan aset yang terjadi pada tahun sebelumnya yang mencapai 34%. Peningkatan aset ini tidak lepas dari pengaruh peningkatan DPK dan pembiayaan yang dilakukan perbankan syariah. Posisi perkembangan jumlah DPK dan pembiayaan perbankan syariah dapat dilihat pada Gambar 4.

Sumber: Bank Indonesia, 2013 (diolah)

Gambar 4 Perkembangan jumlah DPK dan pembiayaan perbankan syariah di Indonesia tahun 2009-2013 (Miliar Rp)

Pertumbuhan pembiayaan yang melebihi pertumbuhan dana yang dikumpulkan dari masyarakat dalam dua tahun terakhir ini menunjukkan bahwa perbankan syariah memiliki potensi besar sebagai agen pertumbuhan ekonomi

49,555 66,090 97,519 145,467 195,018 242,276 0 50,000 100,000 150,000 200,000 250,000 300,000 2008 2009 2010 2011 2012 2013 M ilia r Rupi a h Tahun Total Aset 0 20,000 40,000 60,000 80,000 100,000 120,000 140,000 160,000 180,000 200,000 2009 2010 2011 2012 2013 M ilia r Rupi a h Tahun Pembiayaan DPK

28

nasional. Perbankan syariah mampu membuktikan dirinya sebagai sistem perbankan yang mendorong sektor riil, seperti diindikasikan oleh rasio FDR yang rata-ratanya mencapai diatas 100% pada dua tahun terakhir dan pertumbuhan penyaluran pembiayaan yang tumbuh relatif lebih tinggi sebesar 32.2% dari pertumbuhan pembiayaan nasional yang hanya sebesar 23.2% pada tahun 2013.

Indonesia kini menempati posisi kelima yang memiliki potensi dan kondusif dalam pengembangan industri keuangan syariah setelah Iran, Malaysia, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab. Sementara di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menempati peringkat kedua setelah Malaysia, sehingga Malaysia dan Indonesia memiliki peranan penting dalam perkembangan perbankan syariah (Global Islamic Finance Report 2013). Faktor-faktor pendukung yang mendorong peningkatan kinerja industri perbankan syariah ini yaitu pertama, ekspansi jaringan kantor perbankan syariah. Kedua, semakin gencarnya program edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai produk dan layanan perbankan syariah. Ketiga, upaya yang dilakukan dalam peningkatan kualitas layanan perbankan syariah. Keempat, pemerintah yang memberikan kepastian hukum dengan mengesahkan beberapa produk perundangan dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah (Alamsyah 2012).

Gambaran Umum Profitabilitas dan Kinerja Bank Umum Syariah di Indonesia

Memperoleh laba merupakan salah satu tujuan dari didirikannya bank. Laba yang tinggi menunjukkan kinerja operasional dari bank tersebut dapat dikatakan baik. Begitu pula dengan berdirinya bank syariah yang selain mempunyai tujuan untuk memberikan maslahah bagi umat juga untuk menciptakan laba semaksimal mungkin. Dalam perkembangannya, BUS menunjukkan kondisi perolehan laba yang selalu meningkat. Hal ini membuktikan bahwa BUS senantiasa berupaya untuk meningkatkan kinerjanya sehingga masyarakat juga dapat menunjukkan apresiasi yang baik terhadap kinerja BUS.

Perolehan laba bank syariah sampai dengan akhir Desember 2013 masih didominasi oleh laba operasional yang sebagian besar ditopang oleh pendapatan dari aset produktif, sama seperti periode-periode sebelumnya. Berdasarkan statistik perbankan syariah, laba tahun berjalan pada tahun 2013 untuk BUS mengalami penurunan sebesar Rp200 milyar sehingga laba pada tahun tersebut hanya mencapai Rp1.6 triliun. Hal ini diduga karena porsi giro dan tabungan menurun dan adanya pembatasan terhadap laju ekspansi pembiayaan yang disalurkan sehingga memberikan dampak terhadap penurunan ROA BUS pada tahun 2013.

Rasio ROA diperoleh dengan membagi pendapatan sebelum pajak dengan rata-rata asetnya. Rasio ini mencerminkan seberapa efisien manajemen bank mengelola asetnya. Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan melalui Bank Indonesia, BUS di Indonesia khususnya yang dijadikan sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak tujuh BUS mengalami tren perkembangan ROA dari kuartal II 2010 hingga kuartal IV 2013.

29

Sumber: Bank Indonesia 2013 (diolah)

Gambar 5 Tren perkembangan Return on Asset (ROA) tujuh BUS di Indonesia Gambar di atas menunjukkan tren ROA yang terus meningkat, namun memasuki kuartal 1 2013 terjadi penurunan ROA yang cukup signifikan sampai Desember 2013. Hal ini diduga karena dinamika perekonomian yang kurang kondusif bagi perkembangan sektor riil khususnya memasuki kuartal 2 pada tahun 2013. Penurunan pertumbuhan sejalan dengan ekonomi global yang melambat dan pasar keuangan global yang bergejolak serta harga komoditas yang masih dalam tren penurunan. Hal ini berdampak terhadap laju pertumbuhan perbankan syariah yang mengalami perlambatan dari tahun sebelumnya.

Pertumbuhan DPK pun tidak lagi mengimbangi pertumbuhan pembiayaan sejak Juni 2012 dikarenakan terjadi persaingan memperebutkan likuiditas. Kenaikan suku bunga pada kuartal 3 tahun 2013 pun tidak dapat segera direspon oleh kenaikan bagi hasil. Begitu pula dengan kondisi credit market yang mengetat seiring kontraksi ekonomi dan moneter di antaranya inflasi hingga mencapai 8.38% dan tekanan eksternal, seperti kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM dan kondisi politik yang berpotensi meningkatkan risiko kredit. Dilihat dari data masing-masing bank yang diteliti dalam penelitian ini, hampir seluruh BUS dalam penelitian ini mengalami penurunan ROA pada kuartal II 2013.

Sumber: Bank Umum Syariah terkait 2013

Gambar 6 Return on Asset (ROA) masing-masing BUS di Indonesia -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 P er sen Periode ROA BUS -14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 P er sen Periode BMI BSM BSMI BRIS BPS BCAS BNIS

30

ROA akan menjadi ukuran yang bernilai bila dilakukan perbandingan profitabilitas suatu bank dengan bank yang lainnya. Gambar 6 memperlihatkan perkembangan ROA masing-masing BUS yang diteliti dalam penelitian ini. Pada kuartal II 2010, ROA pada BNI Syariah dan BPS bernilai negatif. Bahkan BNI Syariah menyentuh nilai -12% hal ini dikarenakan BNI Syariah baru saja melakukan spin off dari UUS menjadi BUS pada periode tersebut. Sedangkan BPS mengalami kerugian laba bersih pada tahun 2010 akibat beban operasional lainnya, dimana pada saat awal pendirian di akhir tahun 2009 BPS belum memiliki aset produktif yang cukup untuk menutupi beban operasional sehingga berimbas pada nilai ROA yang negatif.

Di tahun 2013 setelah kuartal I hampir seluruh BUS mengalami penurunan ROA sehingga rataan ROA nya tidak lebih dari 2% hingga akhir tahun 2013. Inflasi yang tinggi menyebabkan pertumbuhan pembiayaan tidak setinggi tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan menurunnya minat masyarakat untuk berinvestasi dan berproduksi. Selain itu bagi bank, inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi maupun operasional sehingga bank tidak terlalu banyak melakukan kegiatan pembiayaan.

Sumber: Bank Umum Syariah terkait 2013 (diolah)

Gambar 7 Perkembangan pembiayaan masing-masing BUS di Indonesia Gambar 7 menunjukkan bahwa BSM menempati urutan pertama dalam menyalurkan pembiayaan disusul dengan BMI. Sampai akhir tahun 2013, nominal pembiayaan BSM dan BMI di atas Rp40 triliun sedangkan BSMI, BRI Syariah, BPS, BCA Syariah dan BNI Syariah masih berada di bawah Rp20 triliun. Berdasarkan data BI, pembiayaan berdasarkan jenis penggunaannya didominasi oleh pembiayaan konsumsi disusul dengan pembiayaan modal kerja. Nominal pembiayaan untuk konsumsi dan modal kerja hingga akhir Desember 2013 untuk BUS dan UUS mencapai Rp79 triliun Rp72 triliun. Sedangkan pembiayaan investasi hanya mencapai Rp34 triliun.

Pembiayaan untuk seluruh BUS masih didominasi oleh pembiayaan

murabahah dengan pangsa 60% dari total pembiayaan yang diberikan. Hal ini mengindikasikan bahwa bank syariah bermain aman karena risiko yang ditimbulkan dari pembiayaan jual beli relatif lebih rendah. Pembiayaan akan memberikan manfaat bagi bank karena dapat berpengaruh pada peningkatan profitabilitas. Hal ini dapat tercermin pada perolehan laba yang meningkat juga.

0 5000000 10000000 15000000 20000000 25000000 30000000 35000000 40000000 45000000 50000000 J u ta Ru p ia h Periode BMI BSM BSMI BRIS BPS BCAS BNIS

31

Sumber: Bank Umum Syariah terkait 2013

Gambar 8 Perkembangan FDR masing-masing BUS di Indonesia

Sumber dana pembiayaan perbankan selain dari modal sendiri, juga yang utama berasal dari dana pihak ketiga. Pemberian pembiayaan kepada masyarakat dapat diketahui dengan melihat rasio FDR. Selain itu, FDR juga mengindikasikan likuiditas dari suatu bank. Tingginya FDR mengindikasikan bahwa dana yang disalurkan lebih besar daripada dana yang behasil dihimpun. Di sisi lain, FDR yang sangat tinggi mengindikasikan bahwa bank mengalami likuiditas yang cukup ketat. Rasio likuiditas yang tinggi apabila tidak dikelola dengan baik maka akan membahayakan bagi bank tersebut.

Pada kuartal tiga 2010 dan 2011, BPS mengalami peningkatan FDR yang signifikan bahkan di tahun 2011 menyentuh nilai 200%. Namun, FDR yang sangat tinggi tersebut menunjukkan bahwa likuiditas dari bank BPS rendah sehingga ketersediaan dana cadangan untuk menutupi permintaan dari masyarakat yang ingin menarik simpanannya jadi berkurang. Hal ini dapat disebabkan oleh manajemen bank yang belum efektif dalam hal pengelolaan dana dikarenakan BPS yang baru berdiri.

Bank-bank lain selain BPS memiliki rasio FDR yang stabil di kisaran 80%- 100%. FDR dengan kisaran tersebut sudah sesuai dengan ketentuan BI yang menyatakan bahwa bank-bank tersebut dinilai sehat. Rasio tersebut menunjukkan bahwa bank-bank tersebut produktif dan memiliki likuiditas yang dapat digunakan untuk membayar kembali penarikan dana yang dilakukan deposan, sehingga bank tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

Penyaluran pembiayaan harus selalu diawasi dengan pengelolaan manajemen risiko yang ketat. Hal tersebut untuk meminimalisir terjadinya pembiayaan bermasalah. Pembiayaan yang dilakukan secara efektif akan menstabilkan nilai FDR. Jika nilai FDR menurun dapat berakibat pada penurunan jumlah bagi hasil yang diterima oleh deposan maupun oleh BUS itu sendiri. Penurunan jumlah bagi hasil yang diterima BUS akan menyebabkan penurunan pada tingkat laba BUS.

0 50 100 150 200 250 P er sen Periode BMI BSM BSMI BRIS BPS BCAS BNIS

32

Sumber: Bank Umum Syariah terkait 2013

Gambar 9 Perkembangan NOM masing-masing BUS di Indonesia

NOM mengindikasikan kemampuan bank dalam menghasilkan pendapatan operasional bersih terhadap rata-rata aktiva. NOM yang meningkat akan meningkatkan perolehan laba bank. Gambar di atas menunjukkan bahwa BSMI memiliki besaran NOM paling tinggi diantara BUS lainnya. BSMI sempat mencapai nilai 16.13% pada Maret 2011. Namun setelah itu, nilai NOM BSMI berangsur-angsur mengalami penurunan. Penurunan ini diduga akibat persaingan bisnis UMKM terutama di segmen usaha mikro yang cukup ketat sehingga laba operasional dan laba bersih mengalami penurunan dari masing-masing Rp253 miliar dan Rp184 miliar menjadi Rp186 miliar dan 149 miliar

BNI Syariah menunjukkan kinerja yang cukup baik dengan terus mengalami kenaikan meski sempat mengalami penurunan pada September 2009 dan Desember 2012. Hal ini mengindikasikan bahwa BNI Syariah yang baru berdiri pada awal tahun 2009 dapat bersaing dengan BUS lainnya yang sudah lebih dulu berdiri. Secara keseluruhan, bank-bank tersebut telah mencapai nilai NOM lebih dari 6% sebagaimana ditentukan BI namun tidak pada BMI yang nilai NOM-nya berada di bawah 6%. Hal ini dikarenakan BMI sangat rentan terhadap risiko pasar akibat perubahan kondisi pasar. Di tahun 2013, rata-rata NOM ketujuh bank mengalami penurunan dikarenakan kondisi perekonomian yang kurang kondusif. Hal ini berimbas pada penurunan ROA ketujuh bank.

Sumber: Bank Umum Syariah terkait 2013

Gambar 10 Perkembangan CAR masing-masing BUS di Indonesia. 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 P er sen Periode BMI BSM BSMI BRIS BPS BCAS BNIS 0 20 40 60 80 100 120 Periode Per sen BMI BSM BSMI BRIS BPS BCAS BNIS

33 Bank syariah sebagai alternatif untuk berinvestasi bagi masyarakat harus mampu memberikan risiko yang lebih kecil daripada risiko yang diberikan bank konvensional. Untuk meminimalkan risiko maka harus dilakukan manajemen dana dengan baik, diantaranya dengan memperhatikan kecukupan modal yang ditunjukkan dengan CAR. BPS pada kuartal 2 tahun 2010 sempat menyentuh nilai CAR hingga 105.53%. Tingginya rasio modal tersebut dikarenakan modal digunakan untuk menutupi risiko sebesar Rp141 miliar. Kemudian BCA Syariah sempat memiliki nilai CAR sebesar 92.23%. Hal ini dikarenakan BCA Syariah baru berdiri pada awal tahun 2010 sehingga modalnya yang besar digunakan untuk memiliki keleluasaan dalam melakukan pengembangan bisnis.

Berdasarkan gambar 10, nilai CAR BNI Syariah tidak setinggi BPS dan BCA Syariah meskipun BNI Syariah merupakan BUS yang terakhir berdiri diantara ketujuh bank tersebut. Hal ini dikarenakan sebelum BNI Syariah melakukan spin off menjadi BUS, BNI Syariah telah menjadi UUS sehingga tidak terlalu banyak modal disetor pada BNI Syariah. Nilai CAR untuk ke tujuh BUS berada di atas 8%, sesuai dengan batas minimal yang ditentukan oleh BI.Namun rata-rata CAR ketujuh bank tersebut mengalami penurunan di tahun 2013. Dengan modal yang menurun, bank tidak dapat leluasa melakukan pengembangan bisnis sehingga memberikan kontribusi yang kurang baik bagi profitabilitas.

Sumber: Bank Umum Syariah terkait 2013

Gambar 11 Perkembangan market share masing-masing BUS di Indonesia Pangsa pasar merupakan indikator dalam menentukan tingkat kekuatan pasar suatu perusahaan. Dari gambar di atas diperoleh keterangan bahwa BSM dan BMI memiliki pangsa pasar DPK yang paling tinggi di antara BUS lainnya.

Market share BSM dan BMI masing-masing melebihi 120% dan 60%. Hal ini menandakan bahwa BSM dan BMI menguasai pangsa pasar DPK perbankan syariah di Indonesia. Lima BUS lainnya memiliki market share yang tidak lebih dari 40%.

Gap market share yang tinggi antar bank syariah berpotensi untuk menimbulkan berbagai perilaku persaingan usaha yang tidak sehat dan akan terjadi persaingan monopoli. Dikhawatirkan dengan market share yang terlalu tinggi pada beberapa BUS, bank tersebut tidak lagi mematuhi landasan normatif untuk bersaing secara syariah.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 P er sen Periode BMI BSM BSMI BRIS BPS BCAS BNIS

34

Tahapan Pemilihan Pendekatan Model Terbaik

Estimasi model untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi profitabilitas Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia yang menggunakan analisis data panel, dapat dilakukan melalui tiga pendekatan estimasi model yaitu

Pooled Least Square (PLS), Fixed Effects Model (FEM) dan Random Effects Model (REM).

Tahap pertama, dilakukan estimasi model regresi data panel faktor-faktor yang memengaruhi profitabilitas BUS di Indonesia dengan pendekatan PLS. Pendekatan ini menghasilkan estimasi model dengan nilai R2 sebesar 0.780196. Dengan melihat nilai Prob (F-statistic) sebesar 0.000000 yang lebih kecil dibandingkan taraf nyata α sebesar 5%, ini berarti model PLS menyatakan bahwa secara keseluruhan minimal ada satu variabel yang secara signifikan memengaruhi profitabilitas BUS dengan tingkat kepercayaan 95%.

Selanjutnya, estimasi model regresi data panel faktor-faktor yang memengaruhi profitabilitas BUS di Indonesia dilakukan dengan metode FEM menghasilkan estimasi model dengan R2 sebesar 0.944402. Secara sekilas estimasi model dengan pendekatan FEM menunjukkan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan PLS, namun Chow Test harus dilakukan untuk memilih pendekatan model terbaik antara PLS dan FEM. Hasil Chow Test menunjukkan nilai F-statistik yang signifikan yaitu P-value 0.0000 < α 5%, sehingga cukup bukti untuk tolak H0. Hal tersebut menyatakan bahwa pendekatan FEM lebih baik

daripada pendekatan PLS. Sehingga berdasarkan Chow Test dinyatakan bahwa pendekatan terbaik untuk mengestimasi model dalam penelitian ini adalah FEM.

Langkah berikutnya adalah mengestimasi model regresi data panel faktor- faktor yang memengaruhi profitabilitas BUS di Indonesia melalui pendekatan REM. Dengan metode REM menghasilkan estimasi model dengan R2 sebesar 0.336122. Dilihat dari perbandingan antara metode FEM dengan REM, pendekatan FEM menunjukkan hasil yang lebih baik dari pendekatan REM. Meskipun demikian, Hausman Test tetap harus dilakukan untuk memilih pendekatan terbaik. Hasil Hausman Test menunjukkan nilai statistik dengan

probability 0.0003 lebih kecil dari nilai α (0.05). Hal tersebut membuktikan bahwa pendekatan FEM lebih baik daripada pendekatan REM, sehingga berdasarkan Chow Test dan Hausman Test dinyatakan bahwa pendekatan terbaik untuk mengestimasi model pada penelitian ini adalah FEM.

Tahapan Evaluasi Model Berdasarkan Kriteria Ekonometrika

Tahapan pemilihan pendekatan model terbaik berdasarkan Chow Test dan

Hausman Test menunjukkan bahwa FEM merupakan pendekatan terbaik untuk mengestimasi model penelitian. Langkah berikutnya adalah melakukan pengujian asumsi klasik terhadap model estimasi data panel FEM. Pengujian asumsi klasik harus tetap dilakukan agar model dapat menghasilkan estimator yang memenuhi kriteria Best Linear Unbiased Estimator (BLUE). Pengujian asumsi klasik meliputi uji normalitas, uji multikoliniearitas, uji heteroskedastisitas dan uji autokorelasi.

35 Uji Normalitas

Pengujian normalitas dilakukan dengan Jarque-Bera Test yang terdapat dalam software Eviews 6. Hasil perhitungan dengan menggunakan software Eviews 6 menghasilkan output pada Lampiran 6. Dari hasil tersebut diperoleh nilai p-value sebesar 0.358662. Hal tersebut menandakan bahwa nilai p-value

lebih besar dari taraf nyata α 5%. P-value yang lebih besar dari taraf nyata α 5% menandakan tidak cukup bukti untuk melakukan penolakan terhadap H0, dan

mengindikasikan residual berdistribusi normal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kriteria normalitas model estimasi telah terpenuhi.

Uji Multikolinearitas

Persyaratan kecukupan (sufficient condition) untuk terbebas dari pelanggaran asumsi multikolinearitas ini adalah nilai koefisien antara variabel independen pada model tidak melebihi nilai R2. Hasil perhitungan nilai koefisien korelasi dengan menggunakan software Eviews 6 menghasilkan output pada Lampiran 7. Dengan melihat hasil output tersebut, tidak terdapat nilai koefisien korelasi yang melebihi nilai R2 sebesar 0.94 pada variabel independen dalam model, dengan demikian persyaratan kecukupan telah terpenuhi sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran asumsi multikolinearitas dalam estimasi model penelitian.

Uji Heteroskedastisitas

Pelanggaran asumsi heteroskedastisitas seringkali dicurigai muncul pada model penelitian yang menggunakan data cross section seperti pada penelitian ini. Dengan menggunakan metode GLS Weight Cross-section SUR permasalahan heteroskedastisitas pada model sudah dapat teratasi dan model estimasi dapat dikatakan telah terbebas dari masalah heteroskedastisitas.

Lampiran 2 memperlihatkan nilai Sum Square Resid Weighted Statistics

(99.42193) < Sum Square Resid Unweighted (189.5095). Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pada persamaan terjadi heteroskedastisitas. Namun karena dalam mengestimasi model telah diberikan perlakuan GLS Cross Section SUR maka asumsi adanya pelanggaran asumsi heteroskedastisitas dapat diabaikan.

Uji Autokorelasi

Pengujian untuk mendeteksi permasalahan autokorelasi dapat dilakukan dengan melihat nilai Durbin Watson Statistic pada model dan membandingkannya dengan nilai DW-Tabel. Dari tabel Durbin Watson dengan taraf nyata 5%, n=105, dan k= 6 maka didapatkan nilai batas bawah (DL) sebesar 1.583732 dan batas atas

(DU) sebesar 1.78273. Agar model terbebas dari masalah autokorelasi maka nilai

statistik Durbin Watson harus berada diantara DU < DW < 4-DU atau berada di

antara nilai 1.78273 dan 2.21727. Dari hasil output regresi diperoleh nilai statistik

Dokumen terkait