• Tidak ada hasil yang ditemukan

6.1. Pengujian Kesesuaian Model

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam skema CEPT-AFTA menggunakan variabel independen GDP per kapita riil negara pengimpor, populasi negara pengimpor, harga biji kakao Indonesia di negara tujuan, harga biji kakao di pasar internasional, ekspor olahan negara pengimpor, nilai tukar riil negara pengimpor, dan variabel dummy CEPT-AFTA. Data yang digunakan merupakan data gabungan (time series dan cross section) dengan series dari tahun 1989-2007. Pengestimasian dilakukan dengan menggunakan analisis panel data dengan metode pooled least square dan fixed effect. Penggunaan metode random effect tidak di uji coba dalam penelitian ini karena jumlah cross section dalam penelitian ini lebih kecil dibandingkan koefisien variabel termasuk intercept.

Untuk dapat mengetahui metode mana yang terbaik diantara pooled least square dan fixed effect, maka akan dilakukan uji Chow atau uji F dengan perhitungan sebagai berikut :

Uji Chow

H0 : Model Pooled OLS (Restricted) H1 : Model Fixed Effect (Unrestricted)

Dimana:

RSSS = Restricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Pooled OLS) URSS = Unrestricted Residual Sum Square (Sum Square Residual Fixed Effect) N = Jumlah data cross section

T = Jumlah data time series K = Jumlah variabel penjelas

= 1,64

Ftabel = F(2, 48) = 3,18

Dari hasil perhitungan uji Chow, diperoleh F hitung lebih kecil daripada F tabel sehingga belum cukup bukti untuk menolak H0. Hal ini berarti model pooled least square merupakan model terbaik untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand dalam skema CEPT-AFTA.

6.2. Pengujian Asumsi Model

Terdapat tiga asumsi dalam analisis regresi yang harus dipenuhi oleh suatu model yaitu heteroskedastisitas, multikolinieritas, autokorelasi. Untuk menguji ada tidaknya gejala heteroskedastisitas digunakan metode General Least Square (GLS). Model persamaan dikatakan bebas masalah heteroskedastisitas jika Sum Square Residual Weighted Statistics lebih kecil dibandingkan dengan Sum Square Residual Unweighted Statistics, seperti yang tampak pada model regresi hasil olahan data mengenai permintaan ekspor biji kakao Indonesia (Tabel 7). Dengan demikian model persamaan permintaan ekspor biji kakao ini terbebas dari masalah heteroskedastisitas.

Metode GLS juga digunakan untuk menghindari adanya masalah multikolinearitas, dilihat dari probabilitas variabel independennya persamaan dapat dinyatakan terbebas dari masalah multikolinearitas.

Untuk mengidentifikasi gejala autokorelasi dalam model persamaan permintaan ekspor biji kakao Indonesia, digunakan uji statistik Durbin Watson (DW). Statistik DW pada model persamaan sebesar 1,452 dengan weighted cross section dan sebesar 1,519 pada unweighted cross section. Kedua nilai tersebut terletak diantara dU dan dl yaitu pada daerah tidak dapat diambil kesimpulan atau ragu-ragu, sehingga tidak dapat ditentukan bahwa persamaan regresi mengandung masalah autokorelasi negatif ataupun positif.

Tabel 7. Hasil Analisis Regresi Model Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia dengan Data Panel Menggunakan Metode Pooled OLS

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -29.08543 20.07180 -1.449069 0.1537 LNGDPj -0.194569 1.019452 -0.190856 0.8494 LNNj 0.607699 0.631813 0.961834 0.3409 LNPEj -1.365411 0.440218 -3.101673 0.0032* LNPW 3.235476 0.827463 3.910113 0.0003* LNERj 1.567431 1.203229 1.302688 0.1988 LNOLHj 2.636398 1.010390 2.609288 0.0120* DUMMY -2.119561 0.974490 -2.175047 0.0345* Weighted Statistics

R-squared 0.968943 Sum squared resid 300.1613

Adjusted R-squared 0.964506 Prob(F-statistic) 0.000000 Durbin-Watson stat 1.452246

Unweighted Statistics

R-squared 0.411806 Sum squared resid 401.8873

Durbin-Watson stat 1.519858 Keterangan : * signifikan pada taraf lima persen

6.3. Pengujian Hipotesis

a. Uji- F

Uji-F statistik digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independennya secara bersama-sama berpengaruh secara nyata terhadap variabel dependennya pada tingkat kepercayaan 95% atau pada taraf nyata ( ) 5%. Nilai probabilitas F statistik harus lebih kecil dari taraf nyatanya sehingga dapat diindikasikan bahwa setidaknya ada satu variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Berdasarkan Tabel 7, nilai probabilitas F statistik pada persamaan regresi untuk variabel dependen permintaan ekspor biji kakao Indonesia memiliki nilai 0,000 yang lebih kecil dari taraf nyatanya (5%) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada setidaknya satu variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap volume permintaan ekspor biji kakao.

b. Uji-t

Uji-t statistik digunakan untuk mengetahui apakah koefisien masing-masing variabel independen secara individu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependennya. Pada persamaan regresi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand ditunjukkan bahwa variabel independen yakni harga biji kakao di pasar internasional, harga biji kakao Indonesia di negara tujuan, dan ekspor olahan negara pengimpor memiliki nilai t hitung mutlak yang lebih besar daripada t tabel. Hal ini berarti bahwa variabel independen tersebut secara individu berpengaruh signifikan terhadap permintaan biji kakao Indonesia.

Pada persamaan regresi untuk variabel perdagangan biji kakao Indonesia ke Malaysia didapatkan nilai Adjusted R-sqsebesar 96,45%. Nilai ini menunjukkan bahwa 96,45 persen perubahan variabel dependen (permintaan biji kakao Indonesia) dapat dijelaskan oleh variabel independen (GDP per kapita riil negara importir, populasi negara importir, harga biji kakao di negara tujuan, harga biji kakao di pasar internasional, nilai tukar riil negara importir, dan ekspor olahan negara importir) serta variabel dummy CEPT-AFTA dalam model persamaan tersebut. Sedangkan sisanya yaitu 3,55 persen dijelaskan oleh faktor lain diluar model.

6.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan Biji Kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand

Berikut akan dibahas variabel-variabel independen yang secara signifikan mempengaruhi volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand.

a. Harga Biji Kakao di Pasar Internasional (lnPW)

Perpotongan antara kurva tawar menawar dari kedua negara akan menghasilkan suatu titik yang melambangkan harga relatif komoditi ekuilibrium yang akan menjadi dasar bagi berlangsungnya perdagangan diantara kedua negara tersebut. Jika yang berlaku adalah harga relatif yang lain maka jumlah impor yang diinginkan tidak akan sama dengan jumlah ekspor yang ditawarkan (Salvatore, 1997).

Berdasarkan hasil analisis regresi data panel, diperoleh koefisien harga biji kakao di pasar internasional yang positif. Nilai koefisiennya sebesar 3,23 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan harga biji kakao di pasar internasional sebesar satu persen, maka volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan

Thailand akan meningkat sebesar 3,23 persen ceteris paribus. Hal ini terjadi karena jika harga yang berlaku di pasar internasional lebih tinggi dengan asumsi bahwa harga biji kakao Indonesia di negara tujuan tetap, maka permintaan terhadap biji kakao Indonesia yang lebih murah akan meningkat.

Dari tahun 1991, harga biji kakao Indonesia di pasar Amerika Serikat selalu mendapat potongan otomatis sebesar US$ 250 per ton dan di pasar luar negeri lainnya harga biji kakao Indonesia juga terkena potongan sebesar 10-25 persen dari harga rata- rata biji kakao dunia dan lebih rendah 40 persen dibandingkan harga biji kakao bermutu dari Ghana. Pemotongan harga biji kakao Indonesia ini terjadi karena mutu biji kakao Indonesia yang sangat rendah karena biji kakao Indonesia yang diekspor belum difermentasi dan masih terdapat banyak kandungan non kakao (kotoran) dalam setiap ton biji kakao yang diekspor. Pemotongan harga ini diperkirakan senilai US$ 50-100 juta per tahun, dan pemotongan harga ini bisa lebih besar lagi jika dunia mengalami over supply biji kakao dimana negara-negara importir akan lebih selektif dalam memilih biji kakao bermutu yang akan dibeli.

b. Harga Biji Kakao di Negara Tujuan (lnPEj)

Terjadinya perdagangan internasional pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan harga diantara negara yang melakukan perdagangan sebagai akibat dari perbedaan efisiensi produksi antar negara. Satu negara lebih efisien dalam memproduksi satu komoditi sedangkan negara lainnya lebih efisien dalam memproduksi komoditi lainnya. Masing-masing negara akan melakukan spesialisasi terhadap salah satu komoditi yang mengandung keunggulan komparatif dan mengekspor sebagian outputnya ke negara lain.

Berdasarkan hasil analisis regresi, diperoleh nilai koefisien untuk variabel harga biji kakao di negara tujuan yang negatif. Nilai koefisiennya sebesar -1,36 yang berarti bahwa jika terjadi kenaikan pada harga biji kakao di negara tujuan sebesar satu persen maka akan menurunkan volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia sebesar 1,36 persen, ceteris paribus. Variabel harga biji kakao di negara tujuan ini juga signifikan berpengaruh terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia pada taraf lima persen. Nilai koefisien yang negatif ini menunjukkan bahwa harga biji kakao di negara tujuan merupakan hambatan atau faktor yang mempengaruhi besar kecilnya permintaan biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa secara rata-rata dari tahun 1989- 2007, negara Malaysia merupakan negara pengimpor yang mendapatkan harga biji kakao Indonesia paling murah, sehingga jumlah permintaan ekspor biji kakaonya pun secara rata-rata merupakan yang terbesar dibandingkan Singapura dan Thailand yang menerima harga biji kakao Indonesia lebih besar dari Malaysia.

Tabel 8. Rata-Rata Harga Biji Kakao di Negara Importir dan Jumlah Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia Tahun 1989-2007

No. Negara Harga Biji Kakao

(US$/kg)

Jumlah Permintaan Ekspor Biji Kakao (Kg)

1. Malaysia 1,10 57.513.799

2. Singapura 1,12 45.980.647

3. Thailand 1,18 4.497.587

c. Ekspor Produk Akhir Kakao Negara Importir (lnOLHj)

Dalam suatu sistem ekonomi pasar, jutaan konsumen mengambil keputusan tentang komoditi apa yang akan dibeli dan dalam jumlah berapa, sejumlah perusahaan memproduksi komoditi-komoditi tersebut dan membeli input yang dibutuhkan untuk menghasilkannya (Lipsey, et al. 1995). Salah satu input yang digunakan adalah bahan baku. Bahan baku (misalnya biji kakao) dibutuhkan untuk dapat menghasilkan produk akhir kakao atau olahan (misalnya coklat) yang dapat memberikan nilai penjualan yang lebih tinggi bagi produsen. Sehingga semakin tinggi permintaan jutaan konsumen terhadap coklat, maka kebutuhan dan permintaan akan biji kakao sebagai bahan baku akan semakin tinggi pula.

Berdasarkan hasil analisis regresi data panel, diperoleh koefisien ekspor produk olahan negara importir yang positif. Nilai koefisien variabel ini sebesar 2,63 yang berarti jika terjadi kenaikan dalam ekspor produk olahan negara importir (dalam bentuk coklat) sebesar satu persen, maka permintaan ekspor biji kakao Indonesia di negara importir (Malaysia, Singapura, dan Jepang) akan meningkat 2,63 persen ceteris paribus. Peningkatan permintaan ekspor biji kakao ini terjadi karena ketiga negara importir tersebut bukanlah negara penghasil biji kakao terbesar di dunia, namun merupakan negara pengekspor produk akhir kakao atau olahan dari biji kakao. Karena kurangnya produksi bahan baku biji kakao di negara mereka, maka negara importir ini membutuhkan pasokan biji kakao dari Indonesia untuk tetap dapat mengekspor produk akhir kakao atau olahan dari biji kakao misalnya coklat.

Tabel 9. Rata-Rata Ekspor Olahan Negara Importir dan Jumlah Permintaan Ekspor Biji Kakao Indonesia Tahun 1989-2007

No. Negara Ekspor Olahan (Kg)

Jumlah Permintaan Ekspor Biji Kakao (Kg)

1. Singapura 54.171.492 45.980.647

2. Malaysia 13.087.142 57.513.799

3. Thailand 1.580.892 4.497.587

Sumber : comtrade.un.org [29 Juli 2009]

Variabel ekspor produk akhir kakao atau olahan negara importir ini secara signifikan mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia, sehingga ekspor produk akhir kakao atau olahan negara importir ini merupakan pertimbangan bagi negara importir untuk menentukan besar kecilnya permintaan ekspor biji kakao dari Indonesia (Tabel 13).

d. Dummy CEPT-AFTA (DUMMY)

Variabel dummy yang digunakan dalam penelitian ini adalah untuk menunjukkan dua kondisi yang berbeda yakni kondisi sebelum diberlakukannya skema CEPT-AFTA dalam perdagangan antara anggota ASEAN yaitu sebelum tahun 2002 dan kondisi setelah diberlakukannya skema CEPT-AFTA yakni setelah tahun 2002. Berdasarkan hasil analisis regresi, diperoleh hasil koefisien variabel dummy CEPT-AFTA adalah - 2,11 sehingga rata-rata perbedaan permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura dan Thailand sebelum dan sesudah implementasi skema CEPT-AFTA adalah sebesar -2,11 persen.

Pengujian terhadap koefisien dummy CEPT-AFTA ini menunjukkan bahwa permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand sebelum dan sesudah implementasi CEPT-AFTA adalah berbeda nyata. Perbedaan nyata ini diperoleh dari uji t, dimana nilai t statistik yang diperoleh lebih besar dibandingkan t

tabel dengan derajat bebas 56. Selain itu , nilai probability variabel dummy ini juga lebih kecil dari taraf nyata lima persen ( = 0,05) yaitu 0,0345. Dengan demikian, implementasi skema CEPT-AFTA diantara Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand merupakan faktor penting yang menentukan besar kecilnya volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Variabel dummy CEPT-AFTA memiliki pengaruh negatif terhadap volume permintaan ekspor biji kakao di Malaysia, Singapura, dan Thailand karena disebakan oleh produksi dan produktivitas kakao Indonesia yang memang memiliki tren menurun sehingga menyebabkan tren ekspor biji kakao Indonesia juga ikut menurun walaupun telah ada penurunan tarif melalui skema CEPT-AFTA. Penurunan produksi dan produktivitas kakao nasional ini disebabkan karena 80 persen perkebunan kakao nasional dikelola oleh rakyat. Pengelolaan perkebunan kakao oleh rakyat dilakukan secara sederhana dan manual sehingga rata-rata produktivitas tiap tanaman kakao yang dikelola masih rendah. Selain itu juga perluasan areal tanam kakao yang meningkat dari tahun ke tahun belum dapat mengimbangi tanaman tua dan tua renta serta gangguan hama penggerek buah kakao yang sampai saat ini masih menjadi penyebab utama turunya produktivitas tanaman kakao nasional. Selain itu supply response dari petani kakao tidak cepat tanggap terhadap kenaikan harga biji kakao di pasar dunia yang terus berlangsung dari tahun ke tahun. Hal ini juga diduga disebabkan karena tidak adanya teknologi canggih yang digunakan petani kakao nasional dalam memproduksi biji kakao dengan cepat dan baik sehingga petani bisa memanfaatkan kenaikan harga biji kakao dunia dengan memproduksi biji kakao dalam jumlah besar dan mengekspornya ke pasar luar negeri.

Dari beberapa variabel independen yang dipilih, terdapat tiga variabel yang tidak berpengaruh signifikan terhadap volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Berikut merupakan pembahasan dari variabel- variabel yang tidak berpengaruh signifikan.

a. GDP Per Kapita Riil Negara Importir (lnGDPj)

Gross Domestic Product (GDP) merupakan ringkasan dari aktivitas ekonomi dalam nilai uang tunggal selama periode waktu tertentu. Terdapat dua cara untuk melihat besarnya nilai GDP yakni GDP sebagai pendapatan total dari setiap orang dalam perekonomian dan GDP sebagai pengeluaran total atas output barang dan jasa perekonomian. Dengan demikian GDP mengukur sesuatu yang sangat dipedulikan oleh banyak orang yakni pendapatan dan output barang dan jasa yang mampu mencerminkan permintaan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Dari sudut pandang inilah maka GDP dijadikan sebagai cerminan kinerja ekonomi.

GDP juga merupakan ukuran ekonomi suatu negara. Ukuran ekonomi negara importir akan menentukan jumlah komoditi ekspor yang dapat dijual oleh negara pengekspor. Jika negara importir memiliki GDP yang besar, maka negara tersebut akan memiliki kemampuan yang semakin besar dalam menyerap barang-barang yang diperdagangkan di pasar internasional.

Berdasarkan hasil analisis regresi data panel permintaan ekspor biji kakao Indonesia, ditunjukkan bahwa GDP per kapita riil negara importir tidak signifikan berpengaruh terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia pada taraf lima persen. Hal ini dikarenakan biji kakao bukanlah barang normal atau barang kebutuhan sehari- hari bagi seseorang, sehingga jika terjadi kenaikan pendapatan per individu tidak

otomatis meningkatkan permintaan biji kakao. Biji kakao diperlukan oleh industri atau perusahaan sebagai bahan baku ataupun bahan baku tambahan produk akhir atau olahan dari biji kakao. Dengan demikian GDP per kapita riil negara importir bukanlah suatu pertimbangan untuk dapat meningkatkan permintaan ekspor biji kakao Indonesia.

b. Populasi Negara Importir (lnNj)

Pertambahan populasi negara importir dari sisi permintaan akan memberikan pengaruh yang positif terhadap permintaan produk ekspor. Pertambahan populasi ini akan menyebabkan permintaan domestik bertambah besar dan jika negara tersebut tidak mampu memenuhi seluruh permintaan domestik maka negara tersebut harus mengimpor dari negara lainnya.

Berdasarkan hasil analisis regresi data panel permintaan ekspor biji kakao Indonesia diperoleh koefisien populasi negara importir yang tidak signifikan berpengaruh terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia pada taraf lima persen. Dari hasil regresi tersebut maka populasi bukan merupakan faktor penentu yang mempengaruhi besar kecilnya permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Namun berdasarkan Lipsey (1995) dikatakan bahwa populasi merupakan salah satu faktor yang penting dalam mempengaruhi jumlah komoditas yang dibeli.

c. Nilai Tukar Riil Negara Importir (lnERj)

Nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang-barang diantara dua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana kita bisa memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Nilai tukar riil kadang-kadang

disebut sebagai terms of trade. Jika nilai tukar riil di negara importir tinggi, barang- barang luar negeri relatif lebih murah dan barang-barang domestik relatif lebih mahal, maka penduduk domestik berkeinginan membeli banyak barang impor dan orang-orang asing akan membeli sedikit barang hasil produksi negara tersebut. Sebaliknya jika nilai tukar riil negara importir rendah, barang-barang luar negeri relatif lebih mahal dan barang-barang domestik relatif lebih murah. Maka penduduk domestik hanya akan membeli sedikit barang impor dan orang-orang asing akan membeli banyak hasil produksi negara tersebut (Mankiw, 2003).

Nilai tukar riil yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai tukar negara importir terhadap dollar Amerika Serikat, karena sebagian besar negara menggunakan dan menerima dollar AS sebagai alat pembayaran pada transaksi perdagangan internasional. Hal ini terjadi karena nilai mata uang Amerika Serikat yang relatif stabil dibandingkan mata uang negara lainnya.

Berdasarkan hasil analisis regresi panel data, variabel nilai tukar riil negara importir tidak berpengaruh nyata terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Hal ini terjadi karena sejak tahun 1999, kakao merupakan salah satu komoditi yang menjadi subyek kontrak berjangka. Kontrak Berjangka merupakan kontrak yang standar dimana jumlah, mutu, jenis, tempat, dan waktu penyerahannya telah ditetapkan terlebih dahulu. Karena bentuknya yang standar itu, maka hanya dilakukan negosiasi harga komoditi. Performance Kontrak Berjangka sesuai dengan spesifikasi yang tercantum dalam kontrak, dijamin oleh suatu lembaga khusus yaitu Lembaga Kliring Berjangka. Berdasarkan UU No.32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi, perdagangan berjangka adalah segala sesuatu yang

berkaitan dengan jual beli komoditi dengan penyerahan kemudian berdasarkan Kontrak Berjangka dan Opsi atas Kontrak Berjangka. Oleh karena itu importir akan terlindung dari fluktuasi harga komoditi subyek kontrak berjangka sebagai akibat dari fluktuasi nilai tukar karena harga komoditi (kakao) telah disepakati bersama pada suatu tingkat tertentu dengan penerimaan komoditi di masa yang akan datang. Inilah yang diduga menyebabkan nilai tukar riil importir tidak berpengaruh signifikan terhadap volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand.

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

7.1. Kesimpulan

Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand

Harga biji kakao di pasar internasional, harga biji kakao di negara tujuan, volume ekspor produk olahan negara importir berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura, dan Thailand. Harga biji kakao Indonesia di pasar internasional selalu lebih rendah dibandingkan harga rata-rata biji kakao dunia. Hal ini disebabkan karena rendahnya mutu biji kakao Indonesia sehingga harga biji kakao Indonesia selalu mendapat potongan otomatis dipasar Amerika Serikat sebesar US$ 250 per ton biji kakao dan sekitar 15-20 persen potongan di pasar luar negeri lainnya. Sehingga jika terjadi over supply biji kakao di dunia, maka potongan ini akan semakin besar lagi mengingat para importir akan lebih selektif dalam memilih biji kakao.

2. Pengaruh negatif dari CEPT-AFTA terhadap volume permintaan ekspor biji kakao Indonesia dapat diduga karena selama tahun setelah adanya implementasi CEPT- AFTAjustru produksi dan produktivitas tanaman kakao Indonesia semakin menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh semakin luasnya areal baru tanam kakao di Indonesia dan semakin besarnya kontribusi perkebunan rakyat terhadap total perkebunan

kakao nasional. Perluasan areal baru tanam kakao sekalipun belum dapat mengimbangi tanaman tua dan tua renta serta tanaman rusak berat karena hama.Hal- hal inilah yang membuat tren produksi serta ekspor biji kakao nasional menurun, dan oleh karena itu jika diukur dari tahun implementasi CEPT-AFTA masih banyak tanaman kakao yang belum produktif dengan baik.

7.2. Implikasi Kebijakan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan ini, maka penulis memberikan saran bagi kebijkan sebagai berikut:

1. Indonesia sebaiknya mempertimbangkan potensi ekonomi dan non-ekonomi dari negara Malaysia, Singapura, dan Thailand. Seperti ekspor produk olahan coklat negara tersebut yang memiliki pengaruh positif terhadap permintaan ekspor biji kakao Indonesia. Hal tersebut perlu dipantau oleh pemerintah beserta stake holder dalam rangka meningkatkan permintaan ekspor biji kakao nasional di Malaysia, Singapura, dan Thailand.

2. Pemerintah dan stake holder juga perlu memberikan perhatian khusus pada peningkatan mutu serta produktivitas dari komoditi biji kakao dalam usaha menjaga agar harga biji kakao nasional tidak jatuh. Fasilitas yang bisa diberikan

Dokumen terkait