• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Letak Wilayah

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu Kabupaten yang berada di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Serdang Bedagai terletak pada posisi 03°01’57” LU -3°40’48”LU dan 98°45’00”BT-99°18’36”BT dengan ketinggian berkisar 0-500 meter di atas permukaan laut.

Kabupaten Serdang Bedagai memiliki area seluas 1.900,22 Km2 yang

terdiri dari 17 Kecamatan dan 243 Desa/Kelurahan Definitif. Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah timur dengan Kabupaten Batu Bara dan Kabupaten Simalungun, serta sebelah barat dengan Kabupaten Deli Serdang

(BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).

Iklim

Kabupaten Serdang Bedagai memilki iklim tropis dimana kondisi iklimnya hampir sama dengan Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk. Pengamatan Stasiun Sampali menunjukkan rata-rata kelembapan udara per bulan sekitar 84%, curah hujan berkisar antara 15 sampai dengan 438 mm perbulan dengan periodik tertinggi pada bulan Oktober 2008, hari hujan per bulan berkisar 5-23 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan September dan November 2008. Rata-rata kecepatan angin berkisar 1,4 m/dt dengan tingkat penguapan sekitar 3,8 temperatur is 23,9°C. maksimum 31,3°C (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).

Penduduk

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan Kabupaten baru yang merupakan hasil pemekaran dari wilayah Kabupaten Deli Serdang. Jumlah penduduk Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2008 berjumlah penduduk laki-laki 316.745 jiwa dan perempuan 313.983 jiwa. Jumlah rumah tangga mencapai 149.702 RT dan rata-rata penduduk per rumah tangga sebanyak 4 orang.

Kepadatan pnduduk Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2008 adalah sebesar 332 jiwa/km2. Kepadatan penduduk terbesar adalah dikecamatan

Perbaungan yaitu sebesar 905 jiwa/km, sedangkan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah adalah kecamatan Kotarih 111 jiwa/km2 dan kecamatan

Bintang Bayu 134 jiwa/km2.

Ditinjau dari segi persebaran penduduk, jumlah penduduk terbesar adalah di kecamatan perbaungan yaitu sebesar 101.052 jiwa atau sebesar 16,02 % dari seluruh penduduk Kabupaten Serdang Bedagai. Jumlah penduduk terendah ada di Kecamatan Kotarih yaitu sebesar 8.649 jiwa.

Dilihat dari segi umur, persentase penduduk usia 0-14 tahun sebesar 27,21 persen, 15-59 tahun sebesar 67,06 persen, dan 60 tahun keatas sebesar 5,73 persen yang berarti jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan usia non produktif dengan rasio beban ketergantungan sebesar 49,12 artinya setiap 100 orang penduduk usia produktif menanggung 49 orang penduduk usia non produktif (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).

Tenaga Kerja

Jumlah penduduk Kabupaten Serdang Bedagai yang merupakan angkatan kerja sebanyak 292.112 orang, terdiri dari 271.879 orang berstatus bekerja dan

20.233 orang yang menganggur. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) sebesar 63,62 persen dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 6,93 persen (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).

Administrasi

Wilayah administrasi Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 17 kecamatan dan 237 desa dan 6 kelurahan. Kecamatan yang paling banyak jumlah desa/kelurahan adalah kecamatan yang paling sedikit jumlah desa/kelurahannya adalah kecamatan Bandar Khalipah sebanyak 5 desa/kelurahan. Kabupaten Serdang Bedagai didiami oleh penduduk dari beragam etnis/suku bangsa, agama dan budaya. Suku-suku tersebut antara lain Karo, Melayu, Tapanuli, Simalungun, Jawa dan lain-lain (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).

Pendidikan dan Kebudayaan

Upaya untuk meningkatkan partisipasi sekolah dan kualitas pendidikan masyarakat adalah dengan menyediakan sarana fisik pendidikan dengan jumlah guru yang memadai. Pada tahun 2008 terdapat 457 Sekolah Dasar (SD) dengan jumlah murid 77.655 orang dan jumlah guru 4.831 orang. Untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) terdapat 83 sekolah 23.738 murid dan 1.738 orang guru. Sementara itu untuk Sekolah Menengah Umum (SMU) terdapat 38 sekolah, jumlah murid dan guru masing-masing 10.025 orang dan 881 orang. Pada tahun yang sama, SLTA Kejuruan terdapat 28 sekolah, 448 guru dan 5.541 siswa (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).

Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini meliputi wakil masyarakat pesisir, pimpinan organisasi profesi nelayan desa, pelaku usaha, tokoh masyarakat desa, pimpinan desa. Kerusakan hutan mangrove juga bisa disebabkan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Menurut Dephut 2002, parameter sosial ekonomi yang sering digunakan untuk mengkaji kerusakan ekosistem mangrove adalah jumlah penduduk, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove. Oleh karena itu, pendekatan kelembagaan masyarakat juga perlu diperhatikan dalam penanggulangan kerusakan mangrove. Karakteristik responden dapat digolongkan dalam beberapa aspek yaitu umur, mata pencaharian, pendidikan dan pendapatan.

Umur

Kelompok umur responden dalam penelitian ini yang paling banyak adalah antara umur 41-50 tahun yaitu 71 orang dengan proporsi 39,44%, sementara kelompok umur responden yang paling sedikit adalah antara umur 20-30 tahun yaitu 5 orang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

No Kelompok Umur (Tahun) Frekuensi Proporsi (%)

1 20 – 30 5 2,78 2 31 – 40 57 31,67 3 41 – 50 71 39,44 4 51 – 60 38 21,11 5 >60 9 5 Jumlah 180 100

Sumber : Data primer, 2010

Rata-rata umur responden dalam penelitian ini adalah 45 tahun. Hal ini sesuai dengan Mantra (2004) yang menyatakan bahwa usia produktif tenaga kerja berada dalam kelas umur 15-64 tahun dapat disimpulkan bahwa rata-rata

masyarakat yang menjadi responden berada pada usia produktif, semakin produktif usia seseorang maka pemikirannya semakin maju dan kebutuhannya pun akan semakin bertambah sehingga akan selalu tertuju kepada kebutuhan kesejahteraan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bengen (2001) yang menyatakan bahwa kerusakan hutan mangrove dikarenakan adanya fakta bahwa sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Terkadang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari masyarakat sering melupakan kelestarian hutan mangrove itu sendiri.

Mata Pencaharian

Jenis mata pencaharian responden yang lebih dominan adalah sebagai petani yaitu 52,2% mengingat bahwa sumbangan yang terbesar dari pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Serdang Bedagai ini adalah diperoleh dari sektor pertanian sebesar 47,45 %. Selain itu responden juga bermata pencaharian karyawan/buruh (15,56%), Pedagang (12,22%), Perangkat Desa (7,78%), Nelayan (9,44%) dan PNS (2,78%). Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian

No. Jenis Mata Pencaharian Frekuensi Proporsi (%)

1 Petani 94 52,22 2 Pedagang 22 12,22 3 Karyawan/Buruh 28 15,56 4 Perangkat Desa 14 7,78 5 Nelayan 17 9,44 6 PNS 5 2,78 Jumlah 180 100

Sumber : Data primer, 2010

Responden dalam penelitian ini lebih memilih untuk bertani karena melihat kondisi hutan mangrove pada saat sekarang sangat memprihatinkan sehingga tidak banyak responden yang memilih untuk menjadi nelayan, sehingga semakin baik mata pencaharian seseorang maka kemungkinan untuk

memanfaatkan hutan mangrove akan semakin sedikit. Akan tetapi apabila jenis pekerjaan yang selalu berhubungan dengan hutan maka kemungkinan untuk merusak hutan juga akan semakin besar karena frekuensi untuk berinteraksi dengan hutan lebih banyak.

Pendidikan

Tingkat pendidikan di Kabupaten Serdang Bedagai ini cukup baik, dapat dilihat pada Tabel 4. bahwa tingkat pendidikan yang paling banyak adalah SLTA/SMU/SMK yaitu 37.22% sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi kemampuannya dalam menyerap informasi.

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Frekuensi Proporsi (%)

1 SD/SR 48 26,67

2 SLTP/SMP 57 31,67

3 SLTA/SMU/SMK 67 37,22

4 Perguruan Tinggi (D1, D2, D3, Akademi, Sarjana Muda, Sarjana)

8 4,44

Jumlah 180 100

Sumber : Data primer, 2010

Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur kualitas sumberdaya manusia. Menurut Cline dan Harnian (1976)

dalam Musyafar (2005) pendidikan merupakan faktor yang penting pengaruhnya

terhadap perubahan sikap dan perilaku dalam masyarakat untuk dapat mengerti tentang pentingnya manfaat dan fungsi hutan mangrove. Oleh karena itu, orang yang lebih tinggi tingkat pendidikannya diharapkan berjiwa lebih kritis, lebih obyektif, dan lebih inovatif dalam menilai manfaat dan dampak negatif ekosistem mangrove terhadap lingkungan dan masyarakat di wilayah pesisir.

Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa tingkat pendidikan di Kabupaten Serdang Bedagai ini cukup baik, hal ini dilihat dari responden yang berada pada daerah yang merupakan daerah akses untuk menuju ke wilayah pesisir sedangkan responden yang berada di wilayah pesisir itu sendiri tingkat pendidikannya masih rendah hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti biaya pendidikan yang tinggi dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Disamping itu, lokasi sekolah yang jauh dari tempat tinggal merupakan salah satu alasan bagi masyarakat untuk memilih tidak bersekolah. Sekolah yang ada di wilayah pesisir hanya sampai pada tingkat SD bagi masyarakat yang ingin melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi harus ke luar daerah tersebut sedangkan masyarakat yang berada pada daerah yang merupakan akses menuju wilayah pesisir ini tingkat pendidikannya lebih baik. Dikarenakan lokasi sekolah yang tidak jauh dan memiliki mata pencaharian yang cukup untuk kesejahteraan hidupnya.

Responden yang berada pada wilayah pesisir kebanyakan bekerja sebagai nelayan karena dari penghasilan yang tidak menentu dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari serta pemahaman masyarakat yang lebih mengutamakan bekerja dari pada sekolah sehingga besar kemungkinan dilihat dari tingkat pendidikan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian hutan masih kurang.

Pendapatan

Berdasarkan Tabel 5. Tingkat pendapatan responden lebih banyak antara Rp.1.000.000 – Rp. 1.999.000 adalah 76 orang, karena dilihat dari mata pencaharian responden lebih banyak sebagai petani dan rata-rata penghasilan antara Rp.1.000.000 – Rp. 1.999.000 yaitu 42,22%. Perbedaan pendapatan yang

diterima responden dilokasi penelitian pada dasarnya ditentukan oleh perbedaan jumlah dan jenis aktivitas yang dilakukan responden. Responden yang memiliki pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan cenderung mempunyai pendapatan lebih tinggi.

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan

No. Tingkat Pendapatan (Rp) Frekuensi Proporsi (%)

1 <Rp 1.000.000 64 35,56 2 Rp. 1.000.000 – Rp. 1.999.000 76 42,22 3 Rp. 2.000.000 – Rp. 2.999.000 22 12,22 4 Rp. 3.000.000 – Rp. 3.999.000 8 4,44 5 > Rp. 4.000.000 10 5,56 Jumlah 180 100

Sumber : Data primer, 2010

Pendapatan responden yang berada di wilayah pesisir sebagian merupakan hasil dari pemanfaatan ekosistem mangrove, dan ada juga responden yang menambah pendapatannya dari sumber lain selain dari pekerjaan pokok yaitu pekerjaan sampingan lainnya. Dilihat dari pendapatan masyarakat pesisir yang rendah sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari masyarakat memanfaatkan hasil hutan mangrove akan tetapi demi kesejahteraan hidupnya masyarakat sering melupakan kelesatarian hutan mangrove tersebut.

Analisis Regresi Linier Berganda

Menyatakan hubungan antara tingkat kerusakan ekosistem mangrove (Y1) dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove (Y2) dengan intensitas pengamanan (X1), penebangan kayu bakau (X2), kegiatan pertambakan (X3), kegiatan perkebunan dan pertanian (X4), pemanfaatan hasil hutan non kayu (X5), intensitas penyuluhan atau sosialisasi (X6), kedekatan dengan industri pengolahan kayu bakau (X7), keberadaan kelompok swadaya masyarakat (X8), keberadaan lembaga swadaya masyarakat (X9), tingkat pemahaman masyarakat terhadap

lingkungan (X10) dilakukan analisis regresi linier berganda dengan metode enter yaitu merupakan suatu metode dalam pembentukan taksiran model regresi dimana semua variabel bebas dilibatkan dalam pembentukan persamaan regresinya. Dalam satuan persamaan linier berganda, diperoleh persamaan hubungan dari variabel terikat dan variabel bebas adalah sebagai berikut :

Y1 = 4.604 + 0.310 X1 + 0.059 X2 - 0.097 X3 - 0.042 X4 – 0.080 X5 + 0.189 X6 - 0.429 X7 – 0.261 X8 – 0.051 X9 + 0.015 X10...(1)

Y2 = -1.583 + 0.300 X1 + 0.253 X2 + 0.482 X3 + 0.113 X4 - 0.133 X5 + 0.213 X6 + 0.115 X7 - 0.094 X8 + 0.667 X9 – 0.139 X10...(2)

Persamaan (1) di atas tampak nilai konstanta sebesar 4.604, secara matematis nilai konstanta ini menyatakan bahwa pada saat variabel X bernilai nol (0), maka tingkat kerusakan (Y1) memiliki nilai 4.604. Nilai b1 = 0.310, b2 = 0.059, b6 = 0.189, b10= 0.015 untuk variabel x1, x2, x6, x10 yang bertanda positif berarti memiliki hubungan yang searah artinya bahwa setiap vatiabel naik sebesar 100% akan meningkatkan 31%, 5.9 %, 18.9%, 1.5%. Nilai b3 = 0.097, b4 = -0.042, b5 = -0.080, b7 = -0.429, b8 = -0.261 , b9 = -0.051 untuk variabel x1, x5, x8, b9 yang bertanda negatif berarti memiliki hubungan yang tidak searah sedangkan persamaan (2) tampak nilai konstanta sebesar -1.583, secara matematis nilai konstanta ini menyatakan bahwa pada saat variabel X bernilai nol (0), maka tingkat perubahan kesesuaian peruntukan (Y2) memiliki nilai -1.583. Nilai b1 = 0,300, b2 = 0.253, b3 = 0.482, b4 = 0.113, b6 =0.213, b7 =0.115, b9 = 0.667, untuk variabel x1, x2, x3, x4, x6, x7, x9, yang bertanda positif berarti memiliki hubungan yang searah artinya bahwa setiap vatiabel naik sebesar 100% akan meningkatkan 30%, 25.3 %, 48.2%, 11.3%, 21.3%, 11.5%, 66.7% nilai b5 =

-0.113, b8 = -0.094, b10 = -0.139 untuk variabel x5, x8, x10 yang bertanda negatif berarti memiliki hubungan yang tidak searah. Untuk lebih jelasnya hasil perhitungan dapat dilihat pada lampiran 4 dan 5.

Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 4 dan 5), diperoleh R pada Y1 adalah 0.505 berarti (50.5%) dan Y2 adalah 0.417 berarti (41.7%) hubungan antara variabel X terhadap Y1 dan Y2 cukup erat. Karena semakin besar R berarti hubungan semakin erat. R Square untuk Y1 adalah 0.211 dan Y2 adalah 0.174 berarti faktor-faktor Y1 hanya dapat dijelaskan 21.1% dan Y2 yaitu 17.4% sedangkan sisanya oleh faktor-faktor lain yang tidak di teliti oleh penelitian ini yaitu 78.9 % dan 82.6%.

Tingkat signifikansi dari variabel bebas (X) terhadap variabel (Y) dapat dilihat dari angka probabilitas (nilai signifikansi). Jika nilai signifikansi masing-masing variabel (> 0.05 atau 5 %) maka variabel tersebut tidak signifikan pengaruhnya. Demikian sebaliknya, jika nilai signifikansi masing-masing variabel (< 0.05 atau 5 %) maka variabel tersebut dinyatakan signifikan atau nyata pengaruhnya. Variabel X yang signifikan terhadap Y1 adalah x1 yaitu 0.003. sedangkan X yang berpengaruh secara signifikan terhadap Y2 adalah x3 dan x9 yaitu 0.000 dan 0.002 sedangkan yang tidak signifikan adalah x1, x2, x4, x5, x6, x7, x8, x10 karena nilai signifikannya > 0.05 atau 5%.

Uji Hipotesis

Uji t menguji apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak digunakan statistik t (uji t). Jika t hitung < t tabel, maka Ho diterima atau Ha ditolak, sedangkan jika t hitung > t tabel, maka Ho ditolak Ha diterima. Jika tingkat signifikan di bawah 0.05 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Variabel bebas

(X) berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap variabel terikat Y1 yaitu x1, nilai t hitung (2.999) > t tabel (1.740). Sedangkan Y2 yaitu x3 dan x9 dari nilai signifikan 0.000 < 0.05 dan nilai t hitung (4.138) > t tabel (1.740) dan 0.002 < 0.05 dan nilai t hitung (3.117) > t tabel (1.740) maka Ho ditolak dan Ha diterima.

Dari uji ANOVA dapat diketahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dilakukan dengan penentuan validitas model secara bersama-sama dilakukan dengan uji-F (dengan membandingkan nilai F-hitung dengan F-tabel). variabel Y1 diperoleh F hitung sebesar 5.778 dengan tingkat signifikan 0.000. maka diperoleh F hitung > F tabel yaitu 5.778 > 2.45 atau sig F < 5% (0.000 < 0.05).Variabel Y2 diperoleh F hitung 3.561 dengan tingkat signifikan 0.000 maka Fhitung > F tabel yaitu 3.561 > 2.45 hal ini menunjukkan bahwa pengaruh variabel independen secara serempak adalah signifikan terhadap variabel terikat.

Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove (Y1)

Tingkat kerusakan ekosistem mangrove adalah kondisi kerusakan fisik ekosistem mangrove yang diukur berdasarkan indikator-indikator tertentu yang digunakan sesuai dengan peringkatnya. Tingkat kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai adalah rusak yaitu 43.33 % selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove (Y1)

Nilai Tingkat kerusakan Indikator Frekuensi Proporsi (%)

1 Sangat tidak rusak 0-19 % - -

2 Tidak Rusak 20-39 % 3 10

3 Sedang 40-59 % 4 13.33

4 Rusak 60-79 % 13 43.33

5 Sangat rusak > 80 % 10 33.33

Jumlah 30 100

Berdasarkan tabel diatas menjelaskan bahwa tingkat kerusakan yang terjadi adalah rusak dengan indikator 60-79% artinya keadaan formasi hutan mangrove yang tidak sempurna lagi misalnya bagian luar didominasi Avicennia,

Sonneratia dan Rhizophora , komunitas fauna tidak sempurna dan komunitas

ekologis tidak sempurna misalnya hutan mangrove tidak lagi sebagai penahan ombak sehingga tidak dapat menjaga garis pantai tetap stabil.

Kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai disebabkan karena ekosistem pesisir memiliki karakteristik, potensi manfaat, masalah dan pola pengelolaan yang berbeda. Berdasarkan nilai, manfaat dan fungsi kawasan pesisir maka dapat dikatakan bahwa kawasan pesisir mempunyai tingkat produktivitas dan potensi ekonomi yang sangat tinggi. Akibatnya adalah terjadi konsentrasi aktivitas dan populasi manusia yang cukup tinggi karena kawasan pesisir dapat dijadikan kegiatan pembangunan dan investasi, sehingga terjadi tekanan yang merugikan terhadap kawasan pesisir yang tidak diperhitungkan.

Hasil yang diperoleh berdasarkan analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa yang berpengaruh atau yang signifikan terhadap tingkat kerusakan ekosistem mangrove (Y1) di Kabupaten Serdang Bedagai adalah intensitas pengamanan (X3) yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat maupun lembaga swadaya. Dari hasil wawancara dengan responden mengatakan bahwa ada kegiatan pengamanan tetapi dilakukan oleh satu pihak saja yaitu masyarakat yang peduli terhadap kelestarian hutan itu sendiri dan ada juga dari pihak pemerintah namun dalam hal pengamanan masih kurang terprogram dan jadwalnya tidak teratur.

Pengamanan ekosistem yang kurang terprogram mengakibatkan tingkat kerusakan semakin bertambah, sehingga terjadi adanya kegiatan pembukaan tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan. Hal ini sesuai dengan Setyawan (2006) yang menyatakan bahwa apabila kegiatan pengamanan ekosistem mangrove dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun lembaga swadaya maka tingkat kerusakan yang terjadi bisa dihindari. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pentingnya pengamanan dalam menjaga hutan tersebut agar tetap lestari.

Tingkat Perubahan Kesesuaian Peruntukkan Ekosistem Mangrove (Y2)

Perubahan peruntukan ekosistem mangrove adalah kondisi eksisting peruntukan ekosistem mangrove yang telah mengalami perubahan dari peruntukan semula dan tidak sesuai dengan peruntukan sesuai dengan konsep dan peraturan yang berlaku. Tingkat kesesuaian yang terjadi di kawasan pesisir Kabupaten Serdang Berdagai adalah 43.33 % dapat dilihat pada Tabel 7. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian yang terjadi adalah sangat tidak sesuai Tabel 7. Tingkat Perubahan Kesesuaian Peruntukkan Ekosistem Mangrove (Y2)

Nilai Tingkat Kesesuaian Indikator Frekuensi Proporsi (100%) 1 2 3 4 5 Sangat sesuai Sesuai Sedang Tidak Sesuai Sangat tidak sesuai

0-19 % 20-39 % 40-59 % 60-79 % > 80 % 5 6 3 3 13 16.67 20 10 10 43.33 Jumlah 30 100

Sumber : Data primer, 2010

Berdasarkan tabel diatas menjelaskan bahwa tingkat perubahan kesesuaian peruntukan yang terjadi adalah sangat tidak sesuai dengan indikator ≥ 8 0 %

Kabupaten Serdang Bedagai mengalami perubahan dari peruntukan semula dan tidak sesuai dengan peruntukan sesuai dengan konsep dan peraturan yang berlaku.

Perubahan kesesuaian peruntukan juga terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai disebabkan karena ekosistem mangrove pada dasarnya memiliki fungsi ekonomi, melihat potensi ekosistem mangrove di daerah ini cukup besar sehingga memberikan peluang yang besar juga terhadap terciptanya berbagai bentuk pemanfaatan secara ekonomi seperti perubahan hutan mangrove menjadi penggunaan lain (tambak, pemukiman, dan lain-lain), pencemaran lingkungan (minyak, sampah, dan lain-lain), atau kegiatan lain tanpa memperhatikan kelestariannya. Savitri dan Khazali (1999) menjelaskan, penebangan hutan mangrove secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi usaha pertambakan dapat menyebabkan terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan dan udang di sekitarnya. Berkurangnya ikan dan udang di daerah ini berarti mengurangi pendapatan nelayan-nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar pantai, penyudu udang, pencari kepiting dan penjala ikan. Beragamnya kepentingan dan pengaruh tersebut terhadap kawasan pesisir mengakibatkan kawasan pesisir sangat rentan terhadap bentuk pengelolaan yang bersifat merusak maupun merubah fungsi lahan. Hal ini juga disebabkan karena persepsi yang keliru tentang mangrove dan lemahnya penegakan hukum.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dengan analisis regresi linier berganda menunjukkan bahwa perubahan kesesuaian peruntukan dipengaruhi oleh adanya kegiatan pertambakan dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat. Sesuai dengan pendapat masyarakat yang merupakan responden dalam penelitian ini menyatakan bahwa kegiatan pertambakan pada tahun-tahun sebelumnya banyak

dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan maupun lembaga usaha. Kegiatan pertambakan yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan hanya dalam jumlah kecil dengan pola wanamina, akan tetapi ada juga ditemukan tambak dalam jumlah yang besar dilakukan oleh masyarakat setempat dan lembaga usaha dengan pola tambak intensif. Hal ini mengakibatkan perubahan kesesuaian peruntukan yang terjadi di Kabupaten Serdang Bedagai.

Perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem hutan mangrove juga disebabkan karena menurunnya pendapatan masyarakat pesisir, berkurangnya kesempatan bekerja, berkurangnya kesempatan berusaha, ketersediaan mendapatkan bahan baku dan menurunnya aksesibilitas ekonomi masyarakat terhadap sumber daya mangrove sehingga menyebabkan adanya kegiatan pertambakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bengen (2001) menjelaskan bahwa kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan dikarenakan adanya fakta bahwa sebagian manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove sehingga terjadi alih fungsi lahan seperti pertambakan, pemukiman, industri dan sebagainya. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Pasaribu (2004) yang menyatakan bahwa kerusakan ekosistem mangrove di Provinsi Sumatera Utara dilatarbelakangi oleh faktor-faktor tingkat pendapatan masyarakat yang relatif rendah, penebangan liar (illegal logging), pembukaan tambak udang secara liar.

Hal yang bersifat kelembagaan juga diduga turut berpengaruh terhadap tingkat kerusakkan ekosistem mangrove adalah intensitas penyuluhan atau sosialisasi, keberadaan kelompok swadaya masyarakat yang berbasis masyarakat pesisir itu sendiri, lembaga swadaya masyarakat yang terkait dengan pengelolaan

ekosistem mangrove. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden menyatakan bahwa keberadaan lembaga swadaya masyarakat yang terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove di wilayah pesisir tersebut tidak ada dan tidak pernah berperan dalam pengelolaan mangrove dan ada juga yang mengatakan pernah terdapat 1 lembaga swadaya masyarakat yang berperan sesekali dalam pengelolaan mangrove. Namun kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa lembaga swadaya tersebut tidak terprogram dalam pengelolaan mangrove sehingga terjadi persepsi yang keliru tentang mangrove dan lemahnya penegakan hukum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dahuri (2001) menjelaskan bahwa keberadaan kelompok swadaya masyarakat dan lembaga swadaya/profesi masyarakat sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Demikian juga dengan Wantasen (2002) menyatakan bahwa adanya kelembagaan pengelolaan yang melibatkan semua elemen stakeholder biasa mencegah terjadinya kerusakan mangrove sehingga di daerah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai ini tingkat kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan sering terjadi karena kurangnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap aspek lingkungan.

Faktor-faktor yang tidak signifikan terhadap tingkat kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan kemungkinan di pengaruhi oleh faktor lain sesuai dengan pernyataan Kusmana (2003) yaitu faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove, ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu pencemaran, konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor lingkungan dan penebangan yang berlebihan selain itu mungkin dipengaruhi oleh perambahan, pengambilan biota laut yang tidak terkendali, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan dan penurunan hasil tangkapan.

Dokumen terkait