ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN
DAN PERUBAHAN KESESUAIAN PERUNTUKAN
EKOSISTEM MANGROVE DI WILAYAH PESISIR
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
WAHYUNI SIMBOLON 061201026
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN
DAN PERUBAHAN KESESUAIAN PERUNTUKAN
EKOSISTEM MANGROVE DI WILAYAH PESISIR
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
SKRIPSI
Oleh :
WAHYUNI SIMBOLON 061201026
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN
DAN PERUBAHAN KESESUAIAN PERUNTUKAN
EKOSISTEM MANGROVE DI WILAYAH PESISIR
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
SKRIPSI
Oleh :
WAHYUNI SIMBOLON 061201026/MANAJEMEN HUTAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Penelitian : Analisis Faktor-faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai
Nama Mahasiswa : Wahyuni Simbolon
NIM : 061201026
Departemen : Kehutanan
Program Studi : Manajemen Hutan
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Agus Purwoko S.Hut, M.Si Pindi Patana S.Hut, M.Sc
Ketua Anggota
Mengetahui
Dr. Ir Edi Batara Mulya Siregar SP, MP
ABSTRACT
WAHYUNI SIMBOLON: Analysis of Factors Causes Damage And Conformity Appropriation Changes of Mangrove Ecosystems in Coastal Serdang Bedagai. Supervised by AGUS PURWOKO and PINDI PATANA.
Indonesia is a country with vast coastal areas. Ease access to coastal areas tends to increase the rate of utilization of coastal areas in the future, both in terms of economic resources and space utilization that effect and changes the suitability of mangrove ecosystem in many coastal areas. This research was conducted in March-April 2010 including coastal areas in same district Serdang Bedagai. The analysis used multiple linear regression and determination of model validation using by F test and t test through in-depth interview with key persons approach method.
The results showed that the factors cause damage was the lack of security activities and changes in of the suitability of coastal mangrove ecosystem in Serdang Bedagai is the presence of aquaculture activities and the presence of non governmental organization.
ABSTRAK
WAHYUNI SIMBOLON : Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai. Dibimbing oleh AGUS PURWOKO dan PINDI PATANA.
Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas. Kemudahan akses terhadap kawasan pesisir cenderung meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun mendatang, baik dalam hal pemanfaatan sumber daya ekonomi maupun pemanfaatan ruang yang menyebabkan terjadinya kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove diberbagai wilayah pesisir. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2010 di kecamatan-kecamatan yang termasuk wilayah pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai. Analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda dan penentuan validasi model dilakukan dengan uji F dan uji t melalui metode wawancara mendalam dengan pendekatan key person method.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab kerusakan adalah adanya kegiatan pengamanan sedangkan faktor-faktor penyebab perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove di wilayah pesisir kabupaten serdang bedagai adalah adanya kegiatan pertambakan dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Padangsidimpuan pada tanggal 01 Juni 1989 dari
ayah Drs. Pamusuk Simbolon dan ibu Dewi Harahap. Penulis merupakan puteri
keempat dari empat bersaudara.
Tahun 2006 penulis lulus dari MAN 1 Padangsidimpuan dan pada tahun
yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Pemanduan Minat dan
Prestasi (PMP-USU). Penulis memilih program studi Manajemen Hutan
Departemen Kehutanan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan
Mahasiswa silva, sebagai asisten praktikum di Laboratorium Ilmu Ukur Kayu dan
Praktikum Ekologi Hutan. Selain itu juga aktif dalam organisasi Baitul asyjar
/Badan Kenadziran Musholla (BKM).
Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di KPH Bandung
Selatan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten dari tanggal 2 Januari sampai
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian
Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai.
Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih
sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan,
memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan
terima kasih kepada Bapak Agus Purwoko S.Hut, M.Si dan Bapak Pindi Patana
S.Hut, M.Sc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah
membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari
mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir.
Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf
pengajar dan pegawai di Program Studi Manajemen Hutan Departemen
Kehutanan, serta semua rekan mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu
di sini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga
skripsi ini bermanfaat.
Medan, September 2010
DAFTAR ISI
Pengertian dan Ciri-ciri Hutan Mangrove ... 4Manfaat Hutan Mangrove ... 5
Gambaran Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 8
Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 12
Hal.
Karakteristik Responden ... 21
Umur ... 21
Mata Pencaharian ... 22
Pendidikan ... 23
Pendapatan ... 25
Analisis Regresi Linier Berganda ... 25
Uji Hipótesis ... 27
Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 28
Tingkat Perubahan Kesesuaian Peruntukkan Ekosistem Mangrove ... 30
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 34
Saran ... 34
DAFTAR PUSTAKA ... 35
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Kriteria Interpretasi Skor ... 16
2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 21
3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian ... 23
4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 24
5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 25
6. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove (Y1) ... 28
LAMPIRAN
No. Hal.
1. Peta Lokasi Penelitian ... 40
2. Kuisioner Penelitian ... 41
3. Data Primer Penelitian ... 43
4. Output SPSS metode Enter (Y1) ... 50
5. Output SPSS metode Enter (Y2) ... 53
ABSTRACT
WAHYUNI SIMBOLON: Analysis of Factors Causes Damage And Conformity Appropriation Changes of Mangrove Ecosystems in Coastal Serdang Bedagai. Supervised by AGUS PURWOKO and PINDI PATANA.
Indonesia is a country with vast coastal areas. Ease access to coastal areas tends to increase the rate of utilization of coastal areas in the future, both in terms of economic resources and space utilization that effect and changes the suitability of mangrove ecosystem in many coastal areas. This research was conducted in March-April 2010 including coastal areas in same district Serdang Bedagai. The analysis used multiple linear regression and determination of model validation using by F test and t test through in-depth interview with key persons approach method.
The results showed that the factors cause damage was the lack of security activities and changes in of the suitability of coastal mangrove ecosystem in Serdang Bedagai is the presence of aquaculture activities and the presence of non governmental organization.
ABSTRAK
WAHYUNI SIMBOLON : Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai. Dibimbing oleh AGUS PURWOKO dan PINDI PATANA.
Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas. Kemudahan akses terhadap kawasan pesisir cenderung meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun mendatang, baik dalam hal pemanfaatan sumber daya ekonomi maupun pemanfaatan ruang yang menyebabkan terjadinya kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove diberbagai wilayah pesisir. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2010 di kecamatan-kecamatan yang termasuk wilayah pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai. Analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda dan penentuan validasi model dilakukan dengan uji F dan uji t melalui metode wawancara mendalam dengan pendekatan key person method.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab kerusakan adalah adanya kegiatan pengamanan sedangkan faktor-faktor penyebab perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove di wilayah pesisir kabupaten serdang bedagai adalah adanya kegiatan pertambakan dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,
karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai
sepanjang 81.000 km. Selain menempati wilayah yang sangat luas, kawasan
pesisir yang terdiri dari berbagai ekosistem pendukung seperti ekosistem hutan
mangrove, terumbu karang, padang lamun dan lahan basah tersebut memiliki
keanekaragaman hayati dan berbagai sumberdaya alam seperti ikan, dan
bahan-bahan tambang yang bernilai tinggi. Kemudahan akses terhadap kawasan pesisir
cenderung meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun
mendatang, baik dalam hal pemanfaatan sumberdaya ekonomi maupun
pemanfaatan ruang. Selain itu, hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah fakta
yang menunjukkan bahwa tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia bermukim
di kawasan pesisir (DKP, 2002).
Kawasan pantai timur Sumatera Utara telah terjadi berbagai bentuk
kerusakan ekosistem hutan mangrove. Kerusakan yang terjadi berupa penebangan
liar, perambahan, pengambilan biota laut yang tidak terkendali, perburuan liar,
pencemaran sungai dan konversi menjadi pemukiman. Hal ini dilaporkan oleh
Dinas Kelautan dan Perikanan (2006). Penebangan hutan mangrove secara
besar-besaran untuk dikonversikan menjadi usaha pertambakan dapat menyebabkan
terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan dan udang di sekitarnya. Berkurangnya
ikan dan udang di daerah ini berarti mengurangi pendapatan nelayan-nelayan kecil
yang biasanya beroperasi di sekitar pantai, penyudu udang, pencari kepiting dan
menyebabkan sebagian nelayan beralih profesi sebagai penebang kayu di hutan
mangrove, atau setidaknya menebang kayu tersebut menjadi aktivitas alternatif
pada saat musim tidak melaut. Rusak atau hilangnya hutan mangrove
mengakibatkan pula abrasi pantai yang dapat menyapu pemukiman penduduk dan
pada akhirnya justru akan menghancurkan usaha pertambakan itu sendiri di
kemudian hari. Selain itu dengan hilangnya mangrove, intrusi air laut akan
semakin mudah meluas ke arah daratan dan menyebabkan sumur-sumur air tawar
tidak lagi dapat dimanfaatkan.
Kerusakan ekosistem mangrove juga terjadi pada kawasan pesisir
Kabupaten Serdang Bedagai. Potensi ekosistem mangrove di daerah ini yang
cukup besar memberikan peluang yang besar pula terhadap terciptanya berbagai
bentuk pemanfaatan secara ekonomi. Bentuk-bentuk pemanfaatan secara ekonomi
tersebut misalnya usaha pertambakan, pertanian, perindustrian, pemukiman,
pariwisata, pertambangan dan penangkapan ikan. Fakta ini merupakan kondisi
umum di kawasan pesisir Sumatera Utara. Salah satu indikatornya sebagaimana
yang dilaporkan oleh Lindawati (2007) yang menyebutkan bahwa sekitar 85 %
kondisi tempat tinggal keluarga nelayan pada umumnya belum memadai, dimana
ukuran rumah sempit (rata-rata 35m2), lantai rumah 67% masih beralaskan papan,
dinding rumah umumnya dari sisa olahan kayu dan dari bambu, atap rumah
umumnya masih dari rumbia dan sedikit yang menggunakan seng (15%). Oleh
karena itu perlu adanya analisis mengenai faktor-faktor yang menyebabkan
kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove yang terjadi
di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai untuk mencegah dan mengatasi
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini diuraikan sebagai berikut :
1. Menganalisis faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove di
Kabupaten Serdang Bedagai.
2. Menganalisis faktor-faktor penyebab perubahan kesesuaian peruntukan
ekosistem mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu
faktor-faktor intensitas pengamanan, penebangan kayu bakau, kegiatan
pertambakan, kegiatan perkebunan dan pertanian, pemanfaatan hasil hutan non
kayu, intensitas penyuluhan atau sosialisasi, kedekatan dengan industri
pengolahan kayu bakau, keberadaan kelompok swadaya masyarakat, keberadaan
lembaga swadaya masyarakat, tingkat pemahaman masyarakat terhadap
lingkungan berpengaruh terhadap kerusakan dan kesesuaian peruntukan ekosistem
mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan luaran baik bagi
para stakeholder pengelolaan ekosistem mangrove dan pengembangan wilayah
pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai maupun bagi kalangan akademisi dan dunia
ilmu pengetahuan dengan diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi
kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan lahan mangrove yang terjadi di
kawasan pesisir sebagai data yang sangat berguna bagi upaya untuk mencegah
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Ciri-Ciri Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000).
Selanjutnya menurut Nybakken (1988), kata mangrove berasal dari perpaduan
antara bahasa portugis, Mangue dan bahasa Inggris, Grove. Pengertian mangrove
adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas
komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas
atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuhan pada tanah
galian.
Hutan mangrove sering disebut hutan bakau, hutan pasang surut dan hutan
payau. Istilah hutan bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu
tumbuhan yang terdapat pada hutan mangrove yaitu jenis Rhizophora spp, oleh
karena itu hutan mangrove lebih dikenal dan telah ditetapkan sebagai mangrove
forest. Hutan mangrove umumnya banyak terdapat di daerah pesisir, seperti
pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang
surut air laut dan tumbuh optimal di wilayah pantai yang memiliki muara sungai
besar serta estuaria dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur
(Dahuri et al, 1996).
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya
2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas
sosia-budaya yang sangat penting, misalnya menjaga menjaga stabilitas pantai dari
abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu
bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan,
ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia,
termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan
mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan,
sebab-sebab alam seperti badai atau tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove
mendapat perhatian luas mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi
ekosistem ini. Restorasi dapat menaikkan nilai sumberdaya hayati mangrove,
memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga
biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2006).
Manfaat Hutan Mangrove
Wilayah pesisir terdiri dari berbagai tipe ekosistem yang satu sama lainnya
saling berkait dan saling memiliki ketergantungan. Salah satu bentuk ekosistem
dan merupakan ekosistem terestrial yang utama di wilayah pesisir adalah
ekosistem mangrove. Salah satu karakteristik hutan dan sumberdaya alam lainnya
menurut Suparmoko (1989) adalah bahwa hutan mempunyai banyak manfaat
(multilple use). Hal ini disebabkan karena selain sebagai produsen kayu, hutan
juga mempunyai berbagai fungsi penting lainnya. Sehingga, dalam pengambilan
keputusan mengenai macam penggunaan dan pengelolaan hutan perlu
diperhatikan bahwa tidak semua lahan cocok untuk semua bentuk pemanfaatan.
Berdasarkan bentuk dan wujudnya, manfaat hutan dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu : manfaat tangibel dan manfaat intangibel. Manfaat
intangibel antara lain : pengaturan tata air, rekreasi, pendidikan dan lain-lain.
Secara teoritis menurut Davies, Claridge dan Nararita (1995) hutan mangrove
memiliki fungsi-fungsi dan manfaat sebagai berikut :
1. Habitat satwa langka. Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa
endemik seperti Bekantan (Nasalis larvatus) yang endemik di Kalimantan,
Beruk Mentawai (Macacapagensis) yang endemik di Kepulauan Mentawai
dan Tuntong (Batagur baska) yang endemik di Sumatera. Lebih dari 100 jenis
burung hidup di sini, dan daratan lumpur yang luas yang berbatasan dengan
hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burung pantai migran,
termasuk jenis burung langka blekok Asia (Limnodromus semipalmatus).
2. Pelindung terhadap bencana alam.Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam.
3. Pengendapan lumpur. Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses
pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan
penghilangan racun dan unsur hara dari air, karena bahan-bahan tersebut
seringkali terikat pada partikel lumpur.
4. Penambat unsur hara. Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran
air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi
pengendapan unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk
pencucian dari areal pertanian.
5. Penambat racun. Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam
keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi
molekul partikel tanah liat. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau
6. Sumber Alam dalam Kawasan (In-Situ) dan Luar Kawasan (Ex-Situ). Hasil
alam in-situ mencakup semua fauna, flora dan hasil pertambangan atau
mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan.
Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk yang dihasilkan oleh
proses-proses alamiah di hutan mangrove dan berpindah ke tempat lain yang
kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber
makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah
luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.
7. Transportasi. Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air
merupakan cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.
8. Sumber plasma nutfah. Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar
manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untuk
memelihara populasi hidupan liar itu sendiri.
9. Rekreasi dan Pariwisata. Hutan mangrove memiliki potensi nilai estetika, baik
dari faktor alamnya maupun dari hidupan yang ada di dalamnya.
10.Sarana pendidikan dan penelitian. Upaya pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan
penelitian dan pendidikan.
11.Memelihara proses-proses dan sistem alami. Hutan mangrove sangat tinggi
peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi,
geomorfologi atau geologi di dalamnya.
12.Penyerapan karbon. Proses fotosintesis mengubah karbon anorganik (dari
CO2) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian
atmosfer sebagai CO2. Akan tetapi hutan mangrove justru mengandung
sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan
mangrove lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan sebagai
sumber karbon.
13.Memelihara iklim mikro. Evapotranspirasi dari hutan mampu menjaga
kelembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim
mikro terjaga.
14.Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam. Keberadaan hutan mangrove
dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi berkembangnya
kondisi asam.
Gambaran Kerusakan Ekosistem Mangrove
Dasawarsa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove
secara drastis. Ironinya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti
mengenai luasan hutan mangrove, baik yang kondisinya baik, rusak maupun telah
berubah bentang lahannya, karena umumnya hutan mangrove tidak memiliki
boundary yang jelas. Estimasi kehilangan hutan selama tahun 1985 s.d. tahun
1997 untuk pulau Sumatera sebesar 3.391.400 ha atau sebesar 61 %. Contoh kasus
lokal di kawasan Hutan Mangrove Kabupaten Langkat dan Deli Serdang
(termasuk Serdang Bedagai) yang diteliti dilaporkan oleh Purwoko dan Onziral
(2002) yang menyatakan bahwa berdasarkan kondisi ekosistem yang dijumpai
tersebut, kawasan mangrove tersebut sudah tidak memungkinkan lagi bagi
vegetasi dan satwa untuk berlindung dan beregenerasi secara alami.
Gambaran kerusakan ekosistem pesisir juga bisa dilihat dari kemerosotan
pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain, yang berakibat langsung pada
menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Kasus-kasus adanya
keluhan penurunan hasil tangkapan oleh nelayan menurut laporan Ramli dan
Purwoko (2005) terjadi di beberapa tempat seperti di Pantai Cermin, Pantai Labu,
Sei Canggang, Pantai Pandan dan Sei Berombang.
Di Kabupaten Serdang Bedagai, hutan mangrove umumnya memiliki
tingkat keterbukaan wilayah yang tinggi dan relatif dekat dengan sentra-sentra
kegiatan perekonomian masyarakat. Kondisi ini membuat hutan mangrove di
Kabupaten Serdang Bedagai memiliki interaksi sosio-ekosistem yang tinggi.
Menurut Purwoko & Onrizal (2002), interaksi yang tinggi antara masyarakat
dengan kawasan hutan biasanya membawa dampak yang cukup serius terhadap
ekosistem kawasan maupun terhadap fungsi dan keunikannya. Dari satu sisi, hal
ini mengindikasikan bahwa keterlibatan sektor kehutanan dalam perekonomian
dan kontribusinya terhadap perekonomian rakyat sudah cukup intensif. Namun di
sisi yang lain, dampak degradasi ekosistem mangrovenya terhadap perekonomian
wilayah pesisir secara keseluruhan jauh lebih serius. Padahal kelestarian
ekosistem mangrove mutlak harus tetap dipelihara sebagai satu-satunya cara
untuk mempertahankan peran, fungsi serta keseimbangan ekosistem kehidupan di
sekitar kawasan pesisir.
Terkait dengan faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove,
Kusmana (2003) menambahkan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan
mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang
memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan.
budidaya perikanan (tambak), pertanian (sawah, perkebunan), jalan raya, industri,
produksi garam dan pemukiman, pertambangan dan penggalian pasir.
Bengen (2001) menjelaskan bahwa kerusakan di atas dikarenakan adanya
fakta bahwa sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan
mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi
lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun
penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan
memang pada dasarnya hutan mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain
sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan
penghasil bibit. Akan tetapi, dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya
ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang
berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan
mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir
umumnya. Oleh karena itu, Bengen (2001) menyarankan agar isu sosial ekonomi
mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan
mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan
industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di
sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.
Selain oleh faktor-faktor fisik lingkungan, kerusakan hutan mangrove juga
bisa disebabkan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Menurut Dephut
(2002), parameter sosial ekonomi yang sering digunakan untuk mengkaji
kerusakan ekosistem mangrove adalah jumlah penduduk, tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan, dan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove. Oleh karena itu,
penanggulangan kerusakan ekositem mangrove. Dahuri (2001) menjelaskan ahwa
keberadaan kelompok swadaya masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat
sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Demikian
juga dengan Wantasen (2002), menyatakan bahwa adanya kelembagaan
pengelolaan yang melibatkan semua elemen stakeholder biasa mencegah
terjadinya kerusakan mangrove. Studi kasus pada pengelolaan Cagar Alam
Mutiara Hijau di Teluk Bintuni juga menyimpulkan bahwa peranan Lembaga
Swadaya Masyarakat merupakan salah satu stakeholder penting dalam
pengelolaan kawasan hutan (Sihite, 2005).
Ekosistem mangrove memiliki berbagai potensi manfaat baik langsung
maupun tidak langsung. Hutan mangrove juga merupakan sumber bahan baku
berbagai jenis industri dan habitat berbagai jenis fauna (Zaitunah, 2005). Namun
kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kerusakan hutan mangrove yang
cukup memprihatinkan. Kerusakan tersebut terutama disebabkan oleh adanya
kegiatan di lingkungan mangrove, seperti perubahan hutan mangrove menjadi
penggunaan lain (tambak, pemukiman, dan lain-lain), pencemaran lingkungan
(minyak, sampah, dan lain-lain), atau kegiatan lain tanpa memperhatikan
kelestariannya. Savitri dan Khazali (1999) menjelaskan, penebangan hutan
mangrove secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi usaha pertambakan
dapat menyebabkan terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan dan udang di
sekitarnya. Berkurangnya ikan dan udang di daerah ini berarti mengurangi
pendapatan nelayan-nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar pantai,
penyudu udang, pencari kepiting dan penjala ikan. Secara khusus Pasaribu (2004)
dilatarbelakangi oleh faktor-faktor tingkat pendapatan masyarakat yang relatif
rendah, penebangan liar (illegal logging), pembukaan tambak udang secara liar,
persepsi yang keliru tentang mangrove dan lemahnya penegakan hukum.
Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove
Potensi manfaat ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari kawasan
tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies maupun
tingkat ekosistem apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi yang
dibangun antara ekosistem dengan masyarakat sekitar kawasan tidak mengalami
perubahan. Ditambah lagi dengan fenomena bahwa sampai dengan saat ini belum
terbentuk sistem pengelolaan kawasan mangrove yang efektif dan efisien di Pantai
Timur Sumatera Utara dengan berbasis pada potensi kawasan yang ada.
Fenomena di atas secara langsung menimbulkan akibat berupa sumber daya alam
akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga ke tingkat yang sulit
dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat, tingkat
kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan antara kriminal dan
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam
wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai. Ruang lingkup wilayah penelitian ini
meliputi seluruh wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai
yang berada di kawasan pesisir, yaitu Kecamatan Pantai Cermin, Kecamatan
Teluk Mengkudu, Kecamatan Perbaungan, Kecamatan Tanjung Beringin dan
Kecamatan Bandar Khalipah. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-April
2010.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah lembar kuisioner sebagai bahan wawancara
terhadap masyarakat desa di wilayah pesisir sedangkan alat yang digunakan
adalah kamera untuk dokumentasi, alat tulis untuk mencatat data dilapangan, Soft
Ware Statistic Package for Social Science (SPSS) versi 16.0 dan perangkat
komputer untuk mengolah data.
Populasi dan Sampel
Populasi data dilakukan pada desa-desa di kecamatan-kecamatan yang
terpilih yang memiliki ekosistem mangrove. Unit analisis akan dilakukan dengan
skala desa atau kelurahan. Dalam hal ini, seluruh desa atau kelurahan yang
memenuhi kriteria di atas akan dijadikan sebagai unit sampel penelitian. Dari 5
Kecamatan ada 30 desa yang menjadi sampel dari setiap masing-masing desa
Data yang diperoleh melalui wawancara responden terpilih dan dikoleksi
melalui metode wawancara mendalam/indepth interview (Bungin, 2008).
Responden yang merupakan key person yang direncanakan adalah wakil
masyarakat pesisir, pimpinan organisasi profesi nelayan desa, pelaku usaha, tokoh
masyarakat, pimpinan desa.
Metode Pengambil Data
Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data
sekunder dengan mempergunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:
Data primer
Data primer diperoleh melalui survei lapangan, kuisioner dan wawancara.
Wawancara yang dilakukan di lapangan terbagi dua yaitu wawancara terstruktur
dan wawancara tidak terstruktur, dimana sebelum wawancara terlebih dahulu
dipersiapkan daftar pertanyaan sebagai panduan yang akan dijawab oleh
responden sedangkan wawancara tidak terstruktur, dimana tidak menggunakan
daftar pertanyaan sebagaimana termasuk pada wawancara terstruktur.
Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari berbagai lembaga atau instansi yang terkait
dengan masalah yang diteliti, misalnya kantor statistik, kantor Camat dan Kantor
Desa. Seperti data jumlah penduduk, batas-batas wilayah dan lain sebagainya.
Analisis Data
Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap tingkat kerusakan
ekosistem mangrove antara lain, intensitas pengamanan, penebangan kayu bakau,
intensitas penyuluhan atau sosialisasi, kedekatan dengan industri pengolahan kayu
bakau, keberadaan kelompok swadaya masyarakat, keberadaan lembaga swadaya
masyarakat, tingkat pemahaman masyarakat terhadap lingkungan.
Analisis yang digunakan untuk menguji faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap tingkat kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem
mangrove adalah analisis regresi linier berganda. Regresi linier berganda
merupakan suatu metode analisis statistik yang mempelajari pola hubungan antara
dua atau lebih variabel (Soleh, 2005). Analisis regresi digunakan untuk
mengetahui pengaruh variabel-variabel penduga (Xi) terhadap tingkat kerusakan
ekosistem mangrove (Y1) dan perubahan peruntukkan ekosistem mangrove (Y2).
Model regresi yang digunakan sebagai berikut:
Y1 = a1 + b1.1 X1 + b1.2 X2 + b1.3 X3 + b1.4 X4 + b1.5 X5 + b1.6 X6 + b1.7X7
+ b1.8 X8 + b1.9 X9 + b1.10 X10 + e1
Y2 = a2 + b2.1 X1 + b2.2 X2 + b2.3 X3 + b2.4 X4 + b2.5 X5 + b2.6 X6 + b2.7X7
+ b2.8 X8 + b2.9 X9 + b2.10 X10 + e2
Dimana :
Y1 = Tingkat kerusakan ekosistem mangrove
Y2 = Perubahan kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove
X1 = Intensitas pengamanan
X2 = Penebangan kayu bakau
X3 = Kegiatan pertambakan
X4 = Kegiatan perkebunan dan pertanian
X6 = Intensitas penyuluhan atau sosialisasi
X7 = Kedekatan dengan industri pengolahan kayu bakau
X8 = Keberadaan kelompok swadaya masyarakat
X9 = Keberadaan lembaga swadaya masyarakat
X10 = Tingkat pemahaman masyarakat terhadap lingkungan
a1, a2 = Konstanta
e1, e2 = residual
Menurut Riduwan (2005) skala Likert digunakan untuk mengukur sikap,
pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok tentang kejadian atau gejala
sosial. Kriteria atau indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan
dan perubahan kesesuaian peruntukan di wilayah peisisr Kabupaten Serdang
Bedagai yaitu, sebagai berikut :
Tabel 1. Kriteria Interpretasi Skor
Indikator Tingkat kerusakan Tingkat perubahan kesesuaian peruntukan
0%–9% Sangat tidak rusak Sangat sesuai 20% - 39% Tidak rusak Sesuai
40% -59% Sedang Sedang
60% -79% Rusak Tidak sesuai
≥ 80% Sangat rusak Sangat tidak sesuai
Uji Hipotesis
Penentuan validitas model secara bersama-sama dilakukan dengan uji-F
(dengan membandingkan nilai F-hitung dengan F-tabel). Sedangkan secara parsial
a. Uji t
Uji t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel
bebas secara individual dalam menerangkan variasi variabel terikat. Formula
hipotesis : Ho : b1 = 0, artinya variabel bebas bukan merupakan penjelas yang
signifikan terhadap variabel terikat. Ha : b1 ≠ 0, artinya variabel bebas merupakan
penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat.
Kriteria :
1. Jika t hitung > t tabel maka ada pengaruh signifikan antara variabel X dan
variabel Y
2. Jika t hitung < t tabel maka tidak ada pengaruh signifikan antara variabel
X dan Y
b. Uji F
Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara
bersama-sama terhadap variabel terikat. Rumusan hipotesis yang diuji. Ho : b1.1
= b1.2 = b1.3 = …b1.10 = 0, berarti secara bersama-sama tidak ada pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat. Ha : b1.1 ≠ b1.2 ≠ b1.3 ≠ …b1.10 = 0,
berarti secara bersama-sama ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
Kriteria :
1. Jika F hitung > F tabel maka Ho ditolak
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Letak Wilayah
Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu Kabupaten yang berada
di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Serdang
Bedagai terletak pada posisi 03°01’57” LU -3°40’48”LU dan
98°45’00”BT-99°18’36”BT dengan ketinggian berkisar 0-500 meter di atas permukaan laut.
Kabupaten Serdang Bedagai memiliki area seluas 1.900,22 Km2 yang
terdiri dari 17 Kecamatan dan 243 Desa/Kelurahan Definitif. Wilayah Kabupaten
Serdang Bedagai di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan
dengan Kabupaten Simalungun, sebelah timur dengan Kabupaten Batu Bara dan
Kabupaten Simalungun, serta sebelah barat dengan Kabupaten Deli Serdang
(BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).
Iklim
Kabupaten Serdang Bedagai memilki iklim tropis dimana kondisi iklimnya
hampir sama dengan Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk.
Pengamatan Stasiun Sampali menunjukkan rata-rata kelembapan udara per bulan
sekitar 84%, curah hujan berkisar antara 15 sampai dengan 438 mm perbulan
dengan periodik tertinggi pada bulan Oktober 2008, hari hujan per bulan berkisar
5-23 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan September dan
November 2008. Rata-rata kecepatan angin berkisar 1,4 m/dt dengan tingkat
penguapan sekitar 3,8 temperatur is 23,9°C. maksimum 31,3°C
Penduduk
Kabupaten Serdang Bedagai merupakan Kabupaten baru yang merupakan
hasil pemekaran dari wilayah Kabupaten Deli Serdang. Jumlah penduduk
Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2008 berjumlah penduduk laki-laki
316.745 jiwa dan perempuan 313.983 jiwa. Jumlah rumah tangga mencapai
149.702 RT dan rata-rata penduduk per rumah tangga sebanyak 4 orang.
Kepadatan pnduduk Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2008 adalah
sebesar 332 jiwa/km2. Kepadatan penduduk terbesar adalah dikecamatan
Perbaungan yaitu sebesar 905 jiwa/km, sedangkan kecamatan dengan kepadatan
penduduk terendah adalah kecamatan Kotarih 111 jiwa/km2 dan kecamatan
Bintang Bayu 134 jiwa/km2.
Ditinjau dari segi persebaran penduduk, jumlah penduduk terbesar adalah
di kecamatan perbaungan yaitu sebesar 101.052 jiwa atau sebesar 16,02 % dari
seluruh penduduk Kabupaten Serdang Bedagai. Jumlah penduduk terendah ada di
Kecamatan Kotarih yaitu sebesar 8.649 jiwa.
Dilihat dari segi umur, persentase penduduk usia 0-14 tahun sebesar 27,21
persen, 15-59 tahun sebesar 67,06 persen, dan 60 tahun keatas sebesar 5,73 persen
yang berarti jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan usia non
produktif dengan rasio beban ketergantungan sebesar 49,12 artinya setiap 100
orang penduduk usia produktif menanggung 49 orang penduduk usia non
produktif (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).
Tenaga Kerja
Jumlah penduduk Kabupaten Serdang Bedagai yang merupakan angkatan
20.233 orang yang menganggur. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)
sebesar 63,62 persen dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 6,93
persen (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).
Administrasi
Wilayah administrasi Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 17
kecamatan dan 237 desa dan 6 kelurahan. Kecamatan yang paling banyak jumlah
desa/kelurahan adalah kecamatan yang paling sedikit jumlah desa/kelurahannya
adalah kecamatan Bandar Khalipah sebanyak 5 desa/kelurahan. Kabupaten
Serdang Bedagai didiami oleh penduduk dari beragam etnis/suku bangsa, agama
dan budaya. Suku-suku tersebut antara lain Karo, Melayu, Tapanuli, Simalungun,
Jawa dan lain-lain (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).
Pendidikan dan Kebudayaan
Upaya untuk meningkatkan partisipasi sekolah dan kualitas pendidikan
masyarakat adalah dengan menyediakan sarana fisik pendidikan dengan jumlah
guru yang memadai. Pada tahun 2008 terdapat 457 Sekolah Dasar (SD) dengan
jumlah murid 77.655 orang dan jumlah guru 4.831 orang. Untuk Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) terdapat 83 sekolah 23.738 murid dan 1.738 orang guru.
Sementara itu untuk Sekolah Menengah Umum (SMU) terdapat 38 sekolah,
jumlah murid dan guru masing-masing 10.025 orang dan 881 orang. Pada tahun
yang sama, SLTA Kejuruan terdapat 28 sekolah, 448 guru dan 5.541 siswa
Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini meliputi wakil masyarakat pesisir,
pimpinan organisasi profesi nelayan desa, pelaku usaha, tokoh masyarakat desa,
pimpinan desa. Kerusakan hutan mangrove juga bisa disebabkan faktor sosial
ekonomi masyarakat setempat. Menurut Dephut 2002, parameter sosial ekonomi
yang sering digunakan untuk mengkaji kerusakan ekosistem mangrove adalah
jumlah penduduk, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan persepsi masyarakat
terhadap hutan mangrove. Oleh karena itu, pendekatan kelembagaan masyarakat
juga perlu diperhatikan dalam penanggulangan kerusakan mangrove. Karakteristik
responden dapat digolongkan dalam beberapa aspek yaitu umur, mata
pencaharian, pendidikan dan pendapatan.
Umur
Kelompok umur responden dalam penelitian ini yang paling banyak
adalah antara umur 41-50 tahun yaitu 71 orang dengan proporsi 39,44%,
sementara kelompok umur responden yang paling sedikit adalah antara umur
20-30 tahun yaitu 5 orang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
No Kelompok Umur (Tahun) Frekuensi Proporsi (%)
1 20 – 30 5 2,78
2 31 – 40 57 31,67
3 41 – 50 71 39,44
4 51 – 60 38 21,11
5 >60 9 5
Jumlah 180 100
Sumber : Data primer, 2010
Rata-rata umur responden dalam penelitian ini adalah 45 tahun. Hal ini
sesuai dengan Mantra (2004) yang menyatakan bahwa usia produktif tenaga kerja
masyarakat yang menjadi responden berada pada usia produktif, semakin
produktif usia seseorang maka pemikirannya semakin maju dan kebutuhannya
pun akan semakin bertambah sehingga akan selalu tertuju kepada kebutuhan
kesejahteraan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bengen (2001) yang
menyatakan bahwa kerusakan hutan mangrove dikarenakan adanya fakta bahwa
sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi
ekosistem mangrove. Terkadang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
masyarakat sering melupakan kelestarian hutan mangrove itu sendiri.
Mata Pencaharian
Jenis mata pencaharian responden yang lebih dominan adalah sebagai
petani yaitu 52,2% mengingat bahwa sumbangan yang terbesar dari pertumbuhan
ekonomi di Kabupaten Serdang Bedagai ini adalah diperoleh dari sektor pertanian
sebesar 47,45 %. Selain itu responden juga bermata pencaharian karyawan/buruh
(15,56%), Pedagang (12,22%), Perangkat Desa (7,78%), Nelayan (9,44%) dan
PNS (2,78%). Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian
No. Jenis Mata Pencaharian Frekuensi Proporsi (%)
1 Petani 94 52,22
Sumber : Data primer, 2010
Responden dalam penelitian ini lebih memilih untuk bertani karena
melihat kondisi hutan mangrove pada saat sekarang sangat memprihatinkan
sehingga tidak banyak responden yang memilih untuk menjadi nelayan, sehingga
memanfaatkan hutan mangrove akan semakin sedikit. Akan tetapi apabila jenis
pekerjaan yang selalu berhubungan dengan hutan maka kemungkinan untuk
merusak hutan juga akan semakin besar karena frekuensi untuk berinteraksi
dengan hutan lebih banyak.
Pendidikan
Tingkat pendidikan di Kabupaten Serdang Bedagai ini cukup baik, dapat
dilihat pada Tabel 4. bahwa tingkat pendidikan yang paling banyak adalah
SLTA/SMU/SMK yaitu 37.22% sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
pendidikan seseorang maka semakin tinggi kemampuannya dalam menyerap
informasi.
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Frekuensi Proporsi (%)
1 SD/SR 48 26,67
2 SLTP/SMP 57 31,67
3 SLTA/SMU/SMK 67 37,22
4 Perguruan Tinggi (D1, D2, D3, Akademi, Sarjana Muda, Sarjana)
8 4,44
Jumlah 180 100
Sumber : Data primer, 2010
Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator yang sering digunakan
untuk mengukur kualitas sumberdaya manusia. Menurut Cline dan Harnian (1976)
dalam Musyafar (2005) pendidikan merupakan faktor yang penting pengaruhnya
terhadap perubahan sikap dan perilaku dalam masyarakat untuk dapat mengerti
tentang pentingnya manfaat dan fungsi hutan mangrove. Oleh karena itu, orang
yang lebih tinggi tingkat pendidikannya diharapkan berjiwa lebih kritis, lebih
obyektif, dan lebih inovatif dalam menilai manfaat dan dampak negatif ekosistem
Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa tingkat pendidikan di Kabupaten
Serdang Bedagai ini cukup baik, hal ini dilihat dari responden yang berada pada
daerah yang merupakan daerah akses untuk menuju ke wilayah pesisir sedangkan
responden yang berada di wilayah pesisir itu sendiri tingkat pendidikannya masih
rendah hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti biaya pendidikan yang
tinggi dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Disamping itu, lokasi sekolah yang
jauh dari tempat tinggal merupakan salah satu alasan bagi masyarakat untuk
memilih tidak bersekolah. Sekolah yang ada di wilayah pesisir hanya sampai pada
tingkat SD bagi masyarakat yang ingin melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi
harus ke luar daerah tersebut sedangkan masyarakat yang berada pada daerah
yang merupakan akses menuju wilayah pesisir ini tingkat pendidikannya lebih
baik. Dikarenakan lokasi sekolah yang tidak jauh dan memiliki mata pencaharian
yang cukup untuk kesejahteraan hidupnya.
Responden yang berada pada wilayah pesisir kebanyakan bekerja sebagai
nelayan karena dari penghasilan yang tidak menentu dan hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhannya sehari-hari serta pemahaman masyarakat yang lebih
mengutamakan bekerja dari pada sekolah sehingga besar kemungkinan dilihat dari
tingkat pendidikan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian
hutan masih kurang.
Pendapatan
Berdasarkan Tabel 5. Tingkat pendapatan responden lebih banyak antara
Rp.1.000.000 – Rp. 1.999.000 adalah 76 orang, karena dilihat dari mata
pencaharian responden lebih banyak sebagai petani dan rata-rata penghasilan
diterima responden dilokasi penelitian pada dasarnya ditentukan oleh perbedaan
jumlah dan jenis aktivitas yang dilakukan responden. Responden yang memiliki
pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan cenderung mempunyai pendapatan
lebih tinggi.
Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
No. Tingkat Pendapatan (Rp) Frekuensi Proporsi (%)
1 <Rp 1.000.000 64 35,56
2 Rp. 1.000.000 – Rp. 1.999.000 76 42,22
3 Rp. 2.000.000 – Rp. 2.999.000 22 12,22
4 Rp. 3.000.000 – Rp. 3.999.000 8 4,44
5 > Rp. 4.000.000 10 5,56
Jumlah 180 100
Sumber : Data primer, 2010
Pendapatan responden yang berada di wilayah pesisir sebagian merupakan
hasil dari pemanfaatan ekosistem mangrove, dan ada juga responden yang
menambah pendapatannya dari sumber lain selain dari pekerjaan pokok yaitu
pekerjaan sampingan lainnya. Dilihat dari pendapatan masyarakat pesisir yang
rendah sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari masyarakat
memanfaatkan hasil hutan mangrove akan tetapi demi kesejahteraan hidupnya
masyarakat sering melupakan kelesatarian hutan mangrove tersebut.
Analisis Regresi Linier Berganda
Menyatakan hubungan antara tingkat kerusakan ekosistem mangrove (Y1)
dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove (Y2) dengan intensitas
pengamanan (X1), penebangan kayu bakau (X2), kegiatan pertambakan (X3),
kegiatan perkebunan dan pertanian (X4), pemanfaatan hasil hutan non kayu (X5),
intensitas penyuluhan atau sosialisasi (X6), kedekatan dengan industri pengolahan
kayu bakau (X7), keberadaan kelompok swadaya masyarakat (X8), keberadaan
lingkungan (X10) dilakukan analisis regresi linier berganda dengan metode enter
yaitu merupakan suatu metode dalam pembentukan taksiran model regresi dimana
semua variabel bebas dilibatkan dalam pembentukan persamaan regresinya.
Dalam satuan persamaan linier berganda, diperoleh persamaan hubungan dari
variabel terikat dan variabel bebas adalah sebagai berikut :
Y1 = 4.604 + 0.310 X1 + 0.059 X2 - 0.097 X3 - 0.042 X4 – 0.080 X5 + 0.189 X6
- 0.429 X7 – 0.261 X8 – 0.051 X9 + 0.015 X10...(1)
Y2 = -1.583 + 0.300 X1 + 0.253 X2 + 0.482 X3 + 0.113 X4 - 0.133 X5 + 0.213
X6 + 0.115 X7 - 0.094 X8 + 0.667 X9 – 0.139 X10...(2)
Persamaan (1) di atas tampak nilai konstanta sebesar 4.604, secara
matematis nilai konstanta ini menyatakan bahwa pada saat variabel X bernilai nol
(0), maka tingkat kerusakan (Y1) memiliki nilai 4.604. Nilai b1 = 0.310, b2 =
0.059, b6 = 0.189, b10= 0.015 untuk variabel x1, x2, x6, x10 yang bertanda positif
berarti memiliki hubungan yang searah artinya bahwa setiap vatiabel naik sebesar
100% akan meningkatkan 31%, 5.9 %, 18.9%, 1.5%. Nilai b3 = 0.097, b4 =
-0.042, b5 = -0.080, b7 = -0.429, b8 = -0.261 , b9 = -0.051 untuk variabel x1, x5,
x8, b9 yang bertanda negatif berarti memiliki hubungan yang tidak searah
sedangkan persamaan (2) tampak nilai konstanta sebesar -1.583, secara matematis
nilai konstanta ini menyatakan bahwa pada saat variabel X bernilai nol (0), maka
tingkat perubahan kesesuaian peruntukan (Y2) memiliki nilai -1.583. Nilai b1 =
0,300, b2 = 0.253, b3 = 0.482, b4 = 0.113, b6 =0.213, b7 =0.115, b9 = 0.667,
untuk variabel x1, x2, x3, x4, x6, x7, x9, yang bertanda positif berarti memiliki
hubungan yang searah artinya bahwa setiap vatiabel naik sebesar 100% akan
-0.113, b8 = -0.094, b10 = -0.139 untuk variabel x5, x8, x10 yang bertanda negatif
berarti memiliki hubungan yang tidak searah. Untuk lebih jelasnya hasil
perhitungan dapat dilihat pada lampiran 4 dan 5.
Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 4 dan 5), diperoleh R pada Y1
adalah 0.505 berarti (50.5%) dan Y2 adalah 0.417 berarti (41.7%) hubungan
antara variabel X terhadap Y1 dan Y2 cukup erat. Karena semakin besar R berarti
hubungan semakin erat. R Square untuk Y1 adalah 0.211 dan Y2 adalah 0.174
berarti faktor-faktor Y1 hanya dapat dijelaskan 21.1% dan Y2 yaitu 17.4%
sedangkan sisanya oleh faktor-faktor lain yang tidak di teliti oleh penelitian ini
yaitu 78.9 % dan 82.6%.
Tingkat signifikansi dari variabel bebas (X) terhadap variabel (Y) dapat
dilihat dari angka probabilitas (nilai signifikansi). Jika nilai signifikansi
masing-masing variabel (> 0.05 atau 5 %) maka variabel tersebut tidak signifikan
pengaruhnya. Demikian sebaliknya, jika nilai signifikansi masing-masing variabel
(< 0.05 atau 5 %) maka variabel tersebut dinyatakan signifikan atau nyata
pengaruhnya. Variabel X yang signifikan terhadap Y1 adalah x1 yaitu 0.003.
sedangkan X yang berpengaruh secara signifikan terhadap Y2 adalah x3 dan x9
yaitu 0.000 dan 0.002 sedangkan yang tidak signifikan adalah x1, x2, x4, x5, x6,
x7, x8, x10 karena nilai signifikannya > 0.05 atau 5%.
Uji Hipotesis
Uji t menguji apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak
digunakan statistik t (uji t). Jika t hitung < t tabel, maka Ho diterima atau Ha
ditolak, sedangkan jika t hitung > t tabel, maka Ho ditolak Ha diterima. Jika
(X) berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap variabel terikat Y1 yaitu
x1, nilai t hitung (2.999) > t tabel (1.740). Sedangkan Y2 yaitu x3 dan x9 dari
nilai signifikan 0.000 < 0.05 dan nilai t hitung (4.138) > t tabel (1.740) dan 0.002
< 0.05 dan nilai t hitung (3.117) > t tabel (1.740) maka Ho ditolak dan Ha
diterima.
Dari uji ANOVA dapat diketahui pengaruh variabel bebas terhadap
variabel terikat dilakukan dengan penentuan validitas model secara bersama-sama
dilakukan dengan uji-F (dengan membandingkan nilai F-hitung dengan F-tabel).
variabel Y1 diperoleh F hitung sebesar 5.778 dengan tingkat signifikan 0.000.
maka diperoleh F hitung > F tabel yaitu 5.778 > 2.45 atau sig F < 5% (0.000 <
0.05).Variabel Y2 diperoleh F hitung 3.561 dengan tingkat signifikan 0.000 maka
Fhitung > F tabel yaitu 3.561 > 2.45 hal ini menunjukkan bahwa pengaruh
variabel independen secara serempak adalah signifikan terhadap variabel terikat.
Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove (Y1)
Tingkat kerusakan ekosistem mangrove adalah kondisi kerusakan fisik
ekosistem mangrove yang diukur berdasarkan indikator-indikator tertentu yang
digunakan sesuai dengan peringkatnya. Tingkat kerusakan yang terjadi di wilayah
pesisir Kabupaten Serdang Bedagai adalah rusak yaitu 43.33 % selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove (Y1)
Nilai Tingkat kerusakan Indikator Frekuensi Proporsi (%)
1 Sangat tidak rusak 0-19 % - -
2 Tidak Rusak 20-39 % 3 10
3 Sedang 40-59 % 4 13.33
4 Rusak 60-79 % 13 43.33
5 Sangat rusak > 80 % 10 33.33
Jumlah 30 100
Berdasarkan tabel diatas menjelaskan bahwa tingkat kerusakan yang
terjadi adalah rusak dengan indikator 60-79% artinya keadaan formasi hutan
mangrove yang tidak sempurna lagi misalnya bagian luar didominasi Avicennia,
Sonneratia dan Rhizophora , komunitas fauna tidak sempurna dan komunitas
ekologis tidak sempurna misalnya hutan mangrove tidak lagi sebagai penahan
ombak sehingga tidak dapat menjaga garis pantai tetap stabil.
Kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai
disebabkan karena ekosistem pesisir memiliki karakteristik, potensi manfaat,
masalah dan pola pengelolaan yang berbeda. Berdasarkan nilai, manfaat dan
fungsi kawasan pesisir maka dapat dikatakan bahwa kawasan pesisir mempunyai
tingkat produktivitas dan potensi ekonomi yang sangat tinggi. Akibatnya adalah
terjadi konsentrasi aktivitas dan populasi manusia yang cukup tinggi karena
kawasan pesisir dapat dijadikan kegiatan pembangunan dan investasi, sehingga
terjadi tekanan yang merugikan terhadap kawasan pesisir yang tidak
diperhitungkan.
Hasil yang diperoleh berdasarkan analisis regresi linier berganda
menunjukkan bahwa yang berpengaruh atau yang signifikan terhadap tingkat
kerusakan ekosistem mangrove (Y1) di Kabupaten Serdang Bedagai adalah
intensitas pengamanan (X3) yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat maupun
lembaga swadaya. Dari hasil wawancara dengan responden mengatakan bahwa
ada kegiatan pengamanan tetapi dilakukan oleh satu pihak saja yaitu masyarakat
yang peduli terhadap kelestarian hutan itu sendiri dan ada juga dari pihak
pemerintah namun dalam hal pengamanan masih kurang terprogram dan
Pengamanan ekosistem yang kurang terprogram mengakibatkan tingkat
kerusakan semakin bertambah, sehingga terjadi adanya kegiatan pembukaan
tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan
sedimentasi, pertambangan. Hal ini sesuai dengan Setyawan (2006) yang
menyatakan bahwa apabila kegiatan pengamanan ekosistem mangrove dilakukan
oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun lembaga swadaya maka
tingkat kerusakan yang terjadi bisa dihindari. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa pentingnya pengamanan dalam menjaga hutan tersebut agar tetap lestari.
Tingkat Perubahan Kesesuaian Peruntukkan Ekosistem Mangrove (Y2)
Perubahan peruntukan ekosistem mangrove adalah kondisi eksisting
peruntukan ekosistem mangrove yang telah mengalami perubahan dari
peruntukan semula dan tidak sesuai dengan peruntukan sesuai dengan konsep dan
peraturan yang berlaku. Tingkat kesesuaian yang terjadi di kawasan pesisir
Kabupaten Serdang Berdagai adalah 43.33 % dapat dilihat pada Tabel 7. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian yang terjadi adalah sangat tidak sesuai
Tabel 7. Tingkat Perubahan Kesesuaian Peruntukkan Ekosistem Mangrove (Y2) Nilai Tingkat Kesesuaian Indikator Frekuensi Proporsi (100%)
1
Sumber : Data primer, 2010
Berdasarkan tabel diatas menjelaskan bahwa tingkat perubahan kesesuaian
peruntukan yang terjadi adalah sangat tidak sesuai dengan indikator ≥ 8 0 %
Kabupaten Serdang Bedagai mengalami perubahan dari peruntukan semula dan
tidak sesuai dengan peruntukan sesuai dengan konsep dan peraturan yang berlaku.
Perubahan kesesuaian peruntukan juga terjadi di wilayah pesisir
Kabupaten Serdang Bedagai disebabkan karena ekosistem mangrove pada
dasarnya memiliki fungsi ekonomi, melihat potensi ekosistem mangrove di daerah
ini cukup besar sehingga memberikan peluang yang besar juga terhadap
terciptanya berbagai bentuk pemanfaatan secara ekonomi seperti perubahan hutan
mangrove menjadi penggunaan lain (tambak, pemukiman, dan lain-lain),
pencemaran lingkungan (minyak, sampah, dan lain-lain), atau kegiatan lain tanpa
memperhatikan kelestariannya. Savitri dan Khazali (1999) menjelaskan,
penebangan hutan mangrove secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi
usaha pertambakan dapat menyebabkan terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan
dan udang di sekitarnya. Berkurangnya ikan dan udang di daerah ini berarti
mengurangi pendapatan nelayan-nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar
pantai, penyudu udang, pencari kepiting dan penjala ikan. Beragamnya
kepentingan dan pengaruh tersebut terhadap kawasan pesisir mengakibatkan
kawasan pesisir sangat rentan terhadap bentuk pengelolaan yang bersifat merusak
maupun merubah fungsi lahan. Hal ini juga disebabkan karena persepsi yang
keliru tentang mangrove dan lemahnya penegakan hukum.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dengan analisis regresi linier berganda
menunjukkan bahwa perubahan kesesuaian peruntukan dipengaruhi oleh adanya
kegiatan pertambakan dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat. Sesuai
dengan pendapat masyarakat yang merupakan responden dalam penelitian ini
dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan maupun lembaga usaha. Kegiatan
pertambakan yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan hanya dalam jumlah
kecil dengan pola wanamina, akan tetapi ada juga ditemukan tambak dalam
jumlah yang besar dilakukan oleh masyarakat setempat dan lembaga usaha
dengan pola tambak intensif. Hal ini mengakibatkan perubahan kesesuaian
peruntukan yang terjadi di Kabupaten Serdang Bedagai.
Perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem hutan mangrove juga
disebabkan karena menurunnya pendapatan masyarakat pesisir, berkurangnya
kesempatan bekerja, berkurangnya kesempatan berusaha, ketersediaan
mendapatkan bahan baku dan menurunnya aksesibilitas ekonomi masyarakat
terhadap sumber daya mangrove sehingga menyebabkan adanya kegiatan
pertambakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bengen (2001) menjelaskan
bahwa kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan dikarenakan adanya fakta
bahwa sebagian manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
mengintervensi ekosistem mangrove sehingga terjadi alih fungsi lahan seperti
pertambakan, pemukiman, industri dan sebagainya. Hal ini juga sesuai dengan
pernyataan Pasaribu (2004) yang menyatakan bahwa kerusakan ekosistem
mangrove di Provinsi Sumatera Utara dilatarbelakangi oleh faktor-faktor tingkat
pendapatan masyarakat yang relatif rendah, penebangan liar (illegal logging),
pembukaan tambak udang secara liar.
Hal yang bersifat kelembagaan juga diduga turut berpengaruh terhadap
tingkat kerusakkan ekosistem mangrove adalah intensitas penyuluhan atau
sosialisasi, keberadaan kelompok swadaya masyarakat yang berbasis masyarakat
ekosistem mangrove. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden
menyatakan bahwa keberadaan lembaga swadaya masyarakat yang terkait dengan
pengelolaan ekosistem mangrove di wilayah pesisir tersebut tidak ada dan tidak
pernah berperan dalam pengelolaan mangrove dan ada juga yang mengatakan
pernah terdapat 1 lembaga swadaya masyarakat yang berperan sesekali dalam
pengelolaan mangrove. Namun kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa
lembaga swadaya tersebut tidak terprogram dalam pengelolaan mangrove
sehingga terjadi persepsi yang keliru tentang mangrove dan lemahnya penegakan
hukum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dahuri (2001) menjelaskan bahwa
keberadaan kelompok swadaya masyarakat dan lembaga swadaya/profesi
masyarakat sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
Demikian juga dengan Wantasen (2002) menyatakan bahwa adanya kelembagaan
pengelolaan yang melibatkan semua elemen stakeholder biasa mencegah
terjadinya kerusakan mangrove sehingga di daerah pesisir Kabupaten Serdang
Bedagai ini tingkat kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan sering terjadi
karena kurangnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap aspek lingkungan.
Faktor-faktor yang tidak signifikan terhadap tingkat kerusakan dan
perubahan kesesuaian peruntukan kemungkinan di pengaruhi oleh faktor lain
sesuai dengan pernyataan Kusmana (2003) yaitu faktor penyebab kerusakan
ekosistem mangrove, ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu
pencemaran, konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor
lingkungan dan penebangan yang berlebihan selain itu mungkin dipengaruhi oleh
perambahan, pengambilan biota laut yang tidak terkendali, reklamasi dan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan, yaitu :
1. Faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove (Y1) di wilayah
pesisir Kabupaten Serdang Berdagai ádalah intensitas pengamanan (X1).
2. Faktor-faktor penyebab perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem
mangrove (Y2) di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai adalah adalah
kegiatan pertambakan (X3) dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat
(X9).
Saran
Adapun saran dari penelitian ini adalah :
1. Kegiatan pengamanan ekosistem mangrove agar dilakukan oleh semua pihak
secara teratur dan terprogram.
2. Kegiatan pertambakan agar lebih diperhatikan lagi dan diolah dengan baik.
3. Keberadaan lembaga swadaya masyarakat agar berperan aktif dengan program
terpadu dalam pengelolaan ekosistem mangrove.
4. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai analisis mencegah/mengurangi
kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan lahan di Kabupaten Serdang
DAFTAR PUSTAKA
Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB. Bogor.
---, 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. Bogor.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai, 2009. Kabupaten Serdang Bedagai dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai. Sei Rampah.
Bungin, M.B. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
---. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
Dahuri, R. 1996. Pengembangan Rencana Pengelolaan Pemanfaatan Berganda Hutan Mangrove di Sumatera. PPLH Institusi Pertanian Bogor. Bogor.
Dahuri R, Rais., J. Ginting, S.P. dan Sitepu, M.J. 1996 dan 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Saptodadi. Jakarta.
Davies, J.G. Claridge dan Natarita, E. 1995. Manfaat Lahan Basah, Potensi Lahan Basah dalam Mendukung dan Memelihara Pembangunan. Ditjend. Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan-Asian Wetland Buereau Indonesia (AWB). Jakarta.
Departemen Kelutan dan Perikanan. 2002. Pedoman Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Ditjend. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP Jakarta.
Dephut. 2002. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove. Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). 2006. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Sumatera Utara tahun 2005-2010. DPK Sumut. Medan.
Lindawati, 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Berusaha dan Kegiatan Ekonomi Rumah Tangga Istri Nelayan Pekerja di Kecamatan Medan Belawan. Jurnal Wahana Hijau Vol.3 No.1. Program Doktor Perencanaan Wilayah SPS USU. Medan.
Musyafar, 2005. Analisis Perilaku Masyarakat Pesisir dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dalam Melestarikan Ekosistem Mangrove di Pesisir Barat Sulawesi Selatan. Dari http//www.depdiknas.go.id/publikasi/balitbang/03_2009/j03_05.pdf (21 Agustus 2010).
Nybakken, J.W., 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.
Pasaribu, N. 2004. Krisis Hutan Mangrove di Sumatera Utara dan Alternatif Solusinya. Makalah. Program Doktor SPS IPB. Bogor.
Purwoko dan Onrizal, 2002. Identifikasi Potensi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove di SM KGLTL. Makalah Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Dosen Muda dan Kajian Wanita, Ditjend DIKTI. Jakarta.
Ramli dan Purwoko, A. 2005. Peran dan Fungsi Hutan Mangrove dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir Terpadu. Makalah pada Lokakarya Antar Sektor dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Kabupaten Deli Serdang. Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Deli Serdang. T. Morawa.
Riduwan, 2005. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Cetakan ke-3. Penerbit Alfabeta. Bandung.
Savitri, L. A. dan Khazali, M. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir. PSKPL-IPB. Bogor.
Setyawan, A.D. dan Winarno, K. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah (Conservation problems of mangrove ecosystem in coastal area of Rembang Regency, Central Java). Jurnal Biodiversitas Vol 7 No. 2. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Sihite, J, Lense, O, Surartri, R, Gustiar, C, dan Kosamah, S. 2005. The Nature Conservancy (TNC). Southeast Asia Center for Marine Protected Areas (SEA CMPA). Bali.
Soleh, A, Z, 2005. Ilmu Statistik Pendekatan Teoritis dan Aplikatif disertai Contoh Penggunaan SPSS. Penerbit : Rekayasa Sains Bandung.
Suparmoko, 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pusat Antar Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Wantasen, A. 2002. Kajian Potensi Sumberdaya Hutan Mangrove di Desa Talise, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Disertasi. Program Doktor SPS Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1. Kuisioner
A. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nama :
2. Umur : tahun
3. Jenis Kelamin : *laki-laki/perempuan 4. Pendidikan Terakhir : a. Tidak tamat SD
7. Asal Kecamatan/Desa : 8. Kelompok Responden :
(*Coret yang tidak perlu)
B. PERTANYAAN PANDUAN (mohon melingkari atau yang Bpk/Ibu anggap benar)
No .
Pertanyaan
1. Menurut Bapak/Ibu, bagaimanakah kegiatan pengamanan ekosistem mangrove di desa Bapak/Ibu?
a. Tidak ada dilakukan sama sekali (tidak oleh pemerintah, masyarakat maupun lembaga swadaya)
b. Ada, namun hanya sesekali dan dilakukan oleh salah satu pihak saja
c. Ada dan dilakukan oleh salah satu pihak, namun kegiatannya belum terprogram dan jadwalnya tidak teratur (hanya jika diperlukan saja)
d. Ada dan dilakukan oleh semua pihak, namun belum terprogram dan jadwalnya tidak teratur (hanya jika diperlukan saja)
e. Ada dan dilakukan oleh semua pihak secara teratur dan terprogram 2. Bagaimana kegiatan penebangan kayu bakau di kawasan hutan mangrove
di desa Bapak/Ibu?
a. Tidak pernah dilakukan penebangan kayu bakau oleh semua pihak. b. Pernah dilakukan penebangan sesekali (frekuensi kecil) oleh
masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan sendiri