• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Faktor-faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN

DAN PERUBAHAN KESESUAIAN PERUNTUKAN

EKOSISTEM MANGROVE DI WILAYAH PESISIR

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

WAHYUNI SIMBOLON 061201026

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN

DAN PERUBAHAN KESESUAIAN PERUNTUKAN

EKOSISTEM MANGROVE DI WILAYAH PESISIR

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

SKRIPSI

Oleh :

WAHYUNI SIMBOLON 061201026

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KERUSAKAN

DAN PERUBAHAN KESESUAIAN PERUNTUKAN

EKOSISTEM MANGROVE DI WILAYAH PESISIR

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

SKRIPSI

Oleh :

WAHYUNI SIMBOLON 061201026/MANAJEMEN HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

Judul Penelitian : Analisis Faktor-faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai

Nama Mahasiswa : Wahyuni Simbolon

NIM : 061201026

Departemen : Kehutanan

Program Studi : Manajemen Hutan

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Agus Purwoko S.Hut, M.Si Pindi Patana S.Hut, M.Sc

Ketua Anggota

Mengetahui

Dr. Ir Edi Batara Mulya Siregar SP, MP

(5)

ABSTRACT

WAHYUNI SIMBOLON: Analysis of Factors Causes Damage And Conformity Appropriation Changes of Mangrove Ecosystems in Coastal Serdang Bedagai. Supervised by AGUS PURWOKO and PINDI PATANA.

Indonesia is a country with vast coastal areas. Ease access to coastal areas tends to increase the rate of utilization of coastal areas in the future, both in terms of economic resources and space utilization that effect and changes the suitability of mangrove ecosystem in many coastal areas. This research was conducted in March-April 2010 including coastal areas in same district Serdang Bedagai. The analysis used multiple linear regression and determination of model validation using by F test and t test through in-depth interview with key persons approach method.

The results showed that the factors cause damage was the lack of security activities and changes in of the suitability of coastal mangrove ecosystem in Serdang Bedagai is the presence of aquaculture activities and the presence of non governmental organization.

(6)

ABSTRAK

WAHYUNI SIMBOLON : Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai. Dibimbing oleh AGUS PURWOKO dan PINDI PATANA.

Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas. Kemudahan akses terhadap kawasan pesisir cenderung meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun mendatang, baik dalam hal pemanfaatan sumber daya ekonomi maupun pemanfaatan ruang yang menyebabkan terjadinya kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove diberbagai wilayah pesisir. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2010 di kecamatan-kecamatan yang termasuk wilayah pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai. Analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda dan penentuan validasi model dilakukan dengan uji F dan uji t melalui metode wawancara mendalam dengan pendekatan key person method.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab kerusakan adalah adanya kegiatan pengamanan sedangkan faktor-faktor penyebab perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove di wilayah pesisir kabupaten serdang bedagai adalah adanya kegiatan pertambakan dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padangsidimpuan pada tanggal 01 Juni 1989 dari

ayah Drs. Pamusuk Simbolon dan ibu Dewi Harahap. Penulis merupakan puteri

keempat dari empat bersaudara.

Tahun 2006 penulis lulus dari MAN 1 Padangsidimpuan dan pada tahun

yang sama masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Pemanduan Minat dan

Prestasi (PMP-USU). Penulis memilih program studi Manajemen Hutan

Departemen Kehutanan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai anggota Himpunan

Mahasiswa silva, sebagai asisten praktikum di Laboratorium Ilmu Ukur Kayu dan

Praktikum Ekologi Hutan. Selain itu juga aktif dalam organisasi Baitul asyjar

/Badan Kenadziran Musholla (BKM).

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di KPH Bandung

Selatan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten dari tanggal 2 Januari sampai

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat

dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian

Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai.

Pada kesempatan ini penulis menghaturkan pernyataan terima kasih

sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis yang telah membesarkan,

memelihara dan mendidik penulis selama ini. Penulis menyampaikan ucapan

terima kasih kepada Bapak Agus Purwoko S.Hut, M.Si dan Bapak Pindi Patana

S.Hut, M.Sc selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah

membimbing dan memberikan berbagai masukan berharga kepada penulis dari

mulai menetapkan judul, melakukan penelitian, sampai pada ujian akhir.

Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf

pengajar dan pegawai di Program Studi Manajemen Hutan Departemen

Kehutanan, serta semua rekan mahasiswa yang tak dapat disebutkan satu per satu

di sini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga

skripsi ini bermanfaat.

Medan, September 2010

(9)

DAFTAR ISI

Pengertian dan Ciri-ciri Hutan Mangrove ... 4

Manfaat Hutan Mangrove ... 5

Gambaran Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 8

Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 12

(10)

Hal.

Karakteristik Responden ... 21

Umur ... 21

Mata Pencaharian ... 22

Pendidikan ... 23

Pendapatan ... 25

Analisis Regresi Linier Berganda ... 25

Uji Hipótesis ... 27

Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 28

Tingkat Perubahan Kesesuaian Peruntukkan Ekosistem Mangrove ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 34

Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

(11)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Kriteria Interpretasi Skor ... 16

2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 21

3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian ... 23

4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 24

5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 25

6. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove (Y1) ... 28

(12)

LAMPIRAN

No. Hal.

1. Peta Lokasi Penelitian ... 40

2. Kuisioner Penelitian ... 41

3. Data Primer Penelitian ... 43

4. Output SPSS metode Enter (Y1) ... 50

5. Output SPSS metode Enter (Y2) ... 53

(13)

ABSTRACT

WAHYUNI SIMBOLON: Analysis of Factors Causes Damage And Conformity Appropriation Changes of Mangrove Ecosystems in Coastal Serdang Bedagai. Supervised by AGUS PURWOKO and PINDI PATANA.

Indonesia is a country with vast coastal areas. Ease access to coastal areas tends to increase the rate of utilization of coastal areas in the future, both in terms of economic resources and space utilization that effect and changes the suitability of mangrove ecosystem in many coastal areas. This research was conducted in March-April 2010 including coastal areas in same district Serdang Bedagai. The analysis used multiple linear regression and determination of model validation using by F test and t test through in-depth interview with key persons approach method.

The results showed that the factors cause damage was the lack of security activities and changes in of the suitability of coastal mangrove ecosystem in Serdang Bedagai is the presence of aquaculture activities and the presence of non governmental organization.

(14)

ABSTRAK

WAHYUNI SIMBOLON : Analisis Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan dan Perubahan Kesesuaian Peruntukan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai. Dibimbing oleh AGUS PURWOKO dan PINDI PATANA.

Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas. Kemudahan akses terhadap kawasan pesisir cenderung meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun mendatang, baik dalam hal pemanfaatan sumber daya ekonomi maupun pemanfaatan ruang yang menyebabkan terjadinya kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove diberbagai wilayah pesisir. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2010 di kecamatan-kecamatan yang termasuk wilayah pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai. Analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda dan penentuan validasi model dilakukan dengan uji F dan uji t melalui metode wawancara mendalam dengan pendekatan key person method.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor penyebab kerusakan adalah adanya kegiatan pengamanan sedangkan faktor-faktor penyebab perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove di wilayah pesisir kabupaten serdang bedagai adalah adanya kegiatan pertambakan dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai

sepanjang 81.000 km. Selain menempati wilayah yang sangat luas, kawasan

pesisir yang terdiri dari berbagai ekosistem pendukung seperti ekosistem hutan

mangrove, terumbu karang, padang lamun dan lahan basah tersebut memiliki

keanekaragaman hayati dan berbagai sumberdaya alam seperti ikan, dan

bahan-bahan tambang yang bernilai tinggi. Kemudahan akses terhadap kawasan pesisir

cenderung meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun

mendatang, baik dalam hal pemanfaatan sumberdaya ekonomi maupun

pemanfaatan ruang. Selain itu, hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah fakta

yang menunjukkan bahwa tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia bermukim

di kawasan pesisir (DKP, 2002).

Kawasan pantai timur Sumatera Utara telah terjadi berbagai bentuk

kerusakan ekosistem hutan mangrove. Kerusakan yang terjadi berupa penebangan

liar, perambahan, pengambilan biota laut yang tidak terkendali, perburuan liar,

pencemaran sungai dan konversi menjadi pemukiman. Hal ini dilaporkan oleh

Dinas Kelautan dan Perikanan (2006). Penebangan hutan mangrove secara

besar-besaran untuk dikonversikan menjadi usaha pertambakan dapat menyebabkan

terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan dan udang di sekitarnya. Berkurangnya

ikan dan udang di daerah ini berarti mengurangi pendapatan nelayan-nelayan kecil

yang biasanya beroperasi di sekitar pantai, penyudu udang, pencari kepiting dan

(16)

menyebabkan sebagian nelayan beralih profesi sebagai penebang kayu di hutan

mangrove, atau setidaknya menebang kayu tersebut menjadi aktivitas alternatif

pada saat musim tidak melaut. Rusak atau hilangnya hutan mangrove

mengakibatkan pula abrasi pantai yang dapat menyapu pemukiman penduduk dan

pada akhirnya justru akan menghancurkan usaha pertambakan itu sendiri di

kemudian hari. Selain itu dengan hilangnya mangrove, intrusi air laut akan

semakin mudah meluas ke arah daratan dan menyebabkan sumur-sumur air tawar

tidak lagi dapat dimanfaatkan.

Kerusakan ekosistem mangrove juga terjadi pada kawasan pesisir

Kabupaten Serdang Bedagai. Potensi ekosistem mangrove di daerah ini yang

cukup besar memberikan peluang yang besar pula terhadap terciptanya berbagai

bentuk pemanfaatan secara ekonomi. Bentuk-bentuk pemanfaatan secara ekonomi

tersebut misalnya usaha pertambakan, pertanian, perindustrian, pemukiman,

pariwisata, pertambangan dan penangkapan ikan. Fakta ini merupakan kondisi

umum di kawasan pesisir Sumatera Utara. Salah satu indikatornya sebagaimana

yang dilaporkan oleh Lindawati (2007) yang menyebutkan bahwa sekitar 85 %

kondisi tempat tinggal keluarga nelayan pada umumnya belum memadai, dimana

ukuran rumah sempit (rata-rata 35m2), lantai rumah 67% masih beralaskan papan,

dinding rumah umumnya dari sisa olahan kayu dan dari bambu, atap rumah

umumnya masih dari rumbia dan sedikit yang menggunakan seng (15%). Oleh

karena itu perlu adanya analisis mengenai faktor-faktor yang menyebabkan

kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove yang terjadi

di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai untuk mencegah dan mengatasi

(17)

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini diuraikan sebagai berikut :

1. Menganalisis faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove di

Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Menganalisis faktor-faktor penyebab perubahan kesesuaian peruntukan

ekosistem mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan hipotesis penelitian yaitu

faktor-faktor intensitas pengamanan, penebangan kayu bakau, kegiatan

pertambakan, kegiatan perkebunan dan pertanian, pemanfaatan hasil hutan non

kayu, intensitas penyuluhan atau sosialisasi, kedekatan dengan industri

pengolahan kayu bakau, keberadaan kelompok swadaya masyarakat, keberadaan

lembaga swadaya masyarakat, tingkat pemahaman masyarakat terhadap

lingkungan berpengaruh terhadap kerusakan dan kesesuaian peruntukan ekosistem

mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan luaran baik bagi

para stakeholder pengelolaan ekosistem mangrove dan pengembangan wilayah

pesisir di Kabupaten Serdang Bedagai maupun bagi kalangan akademisi dan dunia

ilmu pengetahuan dengan diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi

kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan lahan mangrove yang terjadi di

kawasan pesisir sebagai data yang sangat berguna bagi upaya untuk mencegah

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian dan Ciri-Ciri Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang

didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan

berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000).

Selanjutnya menurut Nybakken (1988), kata mangrove berasal dari perpaduan

antara bahasa portugis, Mangue dan bahasa Inggris, Grove. Pengertian mangrove

adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas

komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas

atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuhan pada tanah

galian.

Hutan mangrove sering disebut hutan bakau, hutan pasang surut dan hutan

payau. Istilah hutan bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu

tumbuhan yang terdapat pada hutan mangrove yaitu jenis Rhizophora spp, oleh

karena itu hutan mangrove lebih dikenal dan telah ditetapkan sebagai mangrove

forest. Hutan mangrove umumnya banyak terdapat di daerah pesisir, seperti

pantai-pantai yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang

surut air laut dan tumbuh optimal di wilayah pantai yang memiliki muara sungai

besar serta estuaria dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur

(Dahuri et al, 1996).

Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka, karena luasnya hanya

2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas

(19)

sosia-budaya yang sangat penting, misalnya menjaga menjaga stabilitas pantai dari

abrasi, sumber ikan, udang dan keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu

bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi konservasi, pendidikan,

ekoturisme dan identitas budaya. Tingkat kerusakan ekosistem mangrove dunia,

termasuk Indonesia sangat cepat akibat pembukaan tambak, penebangan hutan

mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan sedimentasi, pertambangan,

sebab-sebab alam seperti badai atau tsunami, dan lain-lain. Restorasi mangrove

mendapat perhatian luas mengingat tingginya nilai sosial-ekonomi dan ekologi

ekosistem ini. Restorasi dapat menaikkan nilai sumberdaya hayati mangrove,

memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga

biodiversitas, produksi perikanan, dan lain-lain (Setyawan, 2006).

Manfaat Hutan Mangrove

Wilayah pesisir terdiri dari berbagai tipe ekosistem yang satu sama lainnya

saling berkait dan saling memiliki ketergantungan. Salah satu bentuk ekosistem

dan merupakan ekosistem terestrial yang utama di wilayah pesisir adalah

ekosistem mangrove. Salah satu karakteristik hutan dan sumberdaya alam lainnya

menurut Suparmoko (1989) adalah bahwa hutan mempunyai banyak manfaat

(multilple use). Hal ini disebabkan karena selain sebagai produsen kayu, hutan

juga mempunyai berbagai fungsi penting lainnya. Sehingga, dalam pengambilan

keputusan mengenai macam penggunaan dan pengelolaan hutan perlu

diperhatikan bahwa tidak semua lahan cocok untuk semua bentuk pemanfaatan.

Berdasarkan bentuk dan wujudnya, manfaat hutan dapat dibedakan

menjadi dua macam, yaitu : manfaat tangibel dan manfaat intangibel. Manfaat

(20)

intangibel antara lain : pengaturan tata air, rekreasi, pendidikan dan lain-lain.

Secara teoritis menurut Davies, Claridge dan Nararita (1995) hutan mangrove

memiliki fungsi-fungsi dan manfaat sebagai berikut :

1. Habitat satwa langka. Hutan bakau sering menjadi habitat jenis-jenis satwa

endemik seperti Bekantan (Nasalis larvatus) yang endemik di Kalimantan,

Beruk Mentawai (Macacapagensis) yang endemik di Kepulauan Mentawai

dan Tuntong (Batagur baska) yang endemik di Sumatera. Lebih dari 100 jenis

burung hidup di sini, dan daratan lumpur yang luas yang berbatasan dengan

hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burung pantai migran,

termasuk jenis burung langka blekok Asia (Limnodromus semipalmatus).

2. Pelindung terhadap bencana alam.Vegetasi hutan bakau dapat melindungi bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai atau angin yang bermuatan garam.

3. Pengendapan lumpur. Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses

pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan

penghilangan racun dan unsur hara dari air, karena bahan-bahan tersebut

seringkali terikat pada partikel lumpur.

4. Penambat unsur hara. Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran

air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi

pengendapan unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk

pencucian dari areal pertanian.

5. Penambat racun. Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam

keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi

molekul partikel tanah liat. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau

(21)

6. Sumber Alam dalam Kawasan (In-Situ) dan Luar Kawasan (Ex-Situ). Hasil

alam in-situ mencakup semua fauna, flora dan hasil pertambangan atau

mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan.

Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk yang dihasilkan oleh

proses-proses alamiah di hutan mangrove dan berpindah ke tempat lain yang

kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi sumber

makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti menambah

luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.

7. Transportasi. Pada beberapa hutan mangrove, transportasi melalui air

merupakan cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.

8. Sumber plasma nutfah. Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar

manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untuk

memelihara populasi hidupan liar itu sendiri.

9. Rekreasi dan Pariwisata. Hutan mangrove memiliki potensi nilai estetika, baik

dari faktor alamnya maupun dari hidupan yang ada di dalamnya.

10.Sarana pendidikan dan penelitian. Upaya pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan

penelitian dan pendidikan.

11.Memelihara proses-proses dan sistem alami. Hutan mangrove sangat tinggi

peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi,

geomorfologi atau geologi di dalamnya.

12.Penyerapan karbon. Proses fotosintesis mengubah karbon anorganik (dari

CO2) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian

(22)

atmosfer sebagai CO2. Akan tetapi hutan mangrove justru mengandung

sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan

mangrove lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan sebagai

sumber karbon.

13.Memelihara iklim mikro. Evapotranspirasi dari hutan mampu menjaga

kelembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim

mikro terjaga.

14.Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam. Keberadaan hutan mangrove

dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi berkembangnya

kondisi asam.

Gambaran Kerusakan Ekosistem Mangrove

Dasawarsa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove

secara drastis. Ironinya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti

mengenai luasan hutan mangrove, baik yang kondisinya baik, rusak maupun telah

berubah bentang lahannya, karena umumnya hutan mangrove tidak memiliki

boundary yang jelas. Estimasi kehilangan hutan selama tahun 1985 s.d. tahun

1997 untuk pulau Sumatera sebesar 3.391.400 ha atau sebesar 61 %. Contoh kasus

lokal di kawasan Hutan Mangrove Kabupaten Langkat dan Deli Serdang

(termasuk Serdang Bedagai) yang diteliti dilaporkan oleh Purwoko dan Onziral

(2002) yang menyatakan bahwa berdasarkan kondisi ekosistem yang dijumpai

tersebut, kawasan mangrove tersebut sudah tidak memungkinkan lagi bagi

vegetasi dan satwa untuk berlindung dan beregenerasi secara alami.

Gambaran kerusakan ekosistem pesisir juga bisa dilihat dari kemerosotan

(23)

pantai, ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain, yang berakibat langsung pada

menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Kasus-kasus adanya

keluhan penurunan hasil tangkapan oleh nelayan menurut laporan Ramli dan

Purwoko (2005) terjadi di beberapa tempat seperti di Pantai Cermin, Pantai Labu,

Sei Canggang, Pantai Pandan dan Sei Berombang.

Di Kabupaten Serdang Bedagai, hutan mangrove umumnya memiliki

tingkat keterbukaan wilayah yang tinggi dan relatif dekat dengan sentra-sentra

kegiatan perekonomian masyarakat. Kondisi ini membuat hutan mangrove di

Kabupaten Serdang Bedagai memiliki interaksi sosio-ekosistem yang tinggi.

Menurut Purwoko & Onrizal (2002), interaksi yang tinggi antara masyarakat

dengan kawasan hutan biasanya membawa dampak yang cukup serius terhadap

ekosistem kawasan maupun terhadap fungsi dan keunikannya. Dari satu sisi, hal

ini mengindikasikan bahwa keterlibatan sektor kehutanan dalam perekonomian

dan kontribusinya terhadap perekonomian rakyat sudah cukup intensif. Namun di

sisi yang lain, dampak degradasi ekosistem mangrovenya terhadap perekonomian

wilayah pesisir secara keseluruhan jauh lebih serius. Padahal kelestarian

ekosistem mangrove mutlak harus tetap dipelihara sebagai satu-satunya cara

untuk mempertahankan peran, fungsi serta keseimbangan ekosistem kehidupan di

sekitar kawasan pesisir.

Terkait dengan faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove,

Kusmana (2003) menambahkan ada tiga faktor utama penyebab kerusakan

mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang

memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan.

(24)

budidaya perikanan (tambak), pertanian (sawah, perkebunan), jalan raya, industri,

produksi garam dan pemukiman, pertambangan dan penggalian pasir.

Bengen (2001) menjelaskan bahwa kerusakan di atas dikarenakan adanya

fakta bahwa sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan

mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi

lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun

penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan

memang pada dasarnya hutan mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain

sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan

penghasil bibit. Akan tetapi, dampak ekologis akibat berkurang dan rusaknya

ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai spesies flora dan fauna yang

berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam jangka panjang akan

mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan ekosistem pesisir

umumnya. Oleh karena itu, Bengen (2001) menyarankan agar isu sosial ekonomi

mencakup aspek kebiasaan manusia (terutama masyarakat sekitar hutan

mangrove) dalam memanfaatkan sumberdaya mangrove. Begitu pula kegiatan

industri, tambak, perikanan tangkap, pembuangan limbah, dan sebagainya di

sekitar hutan mangrove harus diidentifikasi dengan baik.

Selain oleh faktor-faktor fisik lingkungan, kerusakan hutan mangrove juga

bisa disebabkan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Menurut Dephut

(2002), parameter sosial ekonomi yang sering digunakan untuk mengkaji

kerusakan ekosistem mangrove adalah jumlah penduduk, tingkat pendidikan, jenis

pekerjaan, dan persepsi masyarakat terhadap hutan mangrove. Oleh karena itu,

(25)

penanggulangan kerusakan ekositem mangrove. Dahuri (2001) menjelaskan ahwa

keberadaan kelompok swadaya masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat

sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Demikian

juga dengan Wantasen (2002), menyatakan bahwa adanya kelembagaan

pengelolaan yang melibatkan semua elemen stakeholder biasa mencegah

terjadinya kerusakan mangrove. Studi kasus pada pengelolaan Cagar Alam

Mutiara Hijau di Teluk Bintuni juga menyimpulkan bahwa peranan Lembaga

Swadaya Masyarakat merupakan salah satu stakeholder penting dalam

pengelolaan kawasan hutan (Sihite, 2005).

Ekosistem mangrove memiliki berbagai potensi manfaat baik langsung

maupun tidak langsung. Hutan mangrove juga merupakan sumber bahan baku

berbagai jenis industri dan habitat berbagai jenis fauna (Zaitunah, 2005). Namun

kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kerusakan hutan mangrove yang

cukup memprihatinkan. Kerusakan tersebut terutama disebabkan oleh adanya

kegiatan di lingkungan mangrove, seperti perubahan hutan mangrove menjadi

penggunaan lain (tambak, pemukiman, dan lain-lain), pencemaran lingkungan

(minyak, sampah, dan lain-lain), atau kegiatan lain tanpa memperhatikan

kelestariannya. Savitri dan Khazali (1999) menjelaskan, penebangan hutan

mangrove secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi usaha pertambakan

dapat menyebabkan terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan dan udang di

sekitarnya. Berkurangnya ikan dan udang di daerah ini berarti mengurangi

pendapatan nelayan-nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar pantai,

penyudu udang, pencari kepiting dan penjala ikan. Secara khusus Pasaribu (2004)

(26)

dilatarbelakangi oleh faktor-faktor tingkat pendapatan masyarakat yang relatif

rendah, penebangan liar (illegal logging), pembukaan tambak udang secara liar,

persepsi yang keliru tentang mangrove dan lemahnya penegakan hukum.

Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove

Potensi manfaat ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari kawasan

tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies maupun

tingkat ekosistem apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi yang

dibangun antara ekosistem dengan masyarakat sekitar kawasan tidak mengalami

perubahan. Ditambah lagi dengan fenomena bahwa sampai dengan saat ini belum

terbentuk sistem pengelolaan kawasan mangrove yang efektif dan efisien di Pantai

Timur Sumatera Utara dengan berbasis pada potensi kawasan yang ada.

Fenomena di atas secara langsung menimbulkan akibat berupa sumber daya alam

akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga ke tingkat yang sulit

dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat, tingkat

kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan antara kriminal dan

(27)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kecamatan-kecamatan yang termasuk dalam

wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai. Ruang lingkup wilayah penelitian ini

meliputi seluruh wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Serdang Bedagai

yang berada di kawasan pesisir, yaitu Kecamatan Pantai Cermin, Kecamatan

Teluk Mengkudu, Kecamatan Perbaungan, Kecamatan Tanjung Beringin dan

Kecamatan Bandar Khalipah. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-April

2010.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah lembar kuisioner sebagai bahan wawancara

terhadap masyarakat desa di wilayah pesisir sedangkan alat yang digunakan

adalah kamera untuk dokumentasi, alat tulis untuk mencatat data dilapangan, Soft

Ware Statistic Package for Social Science (SPSS) versi 16.0 dan perangkat

komputer untuk mengolah data.

Populasi dan Sampel

Populasi data dilakukan pada desa-desa di kecamatan-kecamatan yang

terpilih yang memiliki ekosistem mangrove. Unit analisis akan dilakukan dengan

skala desa atau kelurahan. Dalam hal ini, seluruh desa atau kelurahan yang

memenuhi kriteria di atas akan dijadikan sebagai unit sampel penelitian. Dari 5

Kecamatan ada 30 desa yang menjadi sampel dari setiap masing-masing desa

(28)

Data yang diperoleh melalui wawancara responden terpilih dan dikoleksi

melalui metode wawancara mendalam/indepth interview (Bungin, 2008).

Responden yang merupakan key person yang direncanakan adalah wakil

masyarakat pesisir, pimpinan organisasi profesi nelayan desa, pelaku usaha, tokoh

masyarakat, pimpinan desa.

Metode Pengambil Data

Dalam penelitian ini data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data

sekunder dengan mempergunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

Data primer

Data primer diperoleh melalui survei lapangan, kuisioner dan wawancara.

Wawancara yang dilakukan di lapangan terbagi dua yaitu wawancara terstruktur

dan wawancara tidak terstruktur, dimana sebelum wawancara terlebih dahulu

dipersiapkan daftar pertanyaan sebagai panduan yang akan dijawab oleh

responden sedangkan wawancara tidak terstruktur, dimana tidak menggunakan

daftar pertanyaan sebagaimana termasuk pada wawancara terstruktur.

Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari berbagai lembaga atau instansi yang terkait

dengan masalah yang diteliti, misalnya kantor statistik, kantor Camat dan Kantor

Desa. Seperti data jumlah penduduk, batas-batas wilayah dan lain sebagainya.

Analisis Data

Faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap tingkat kerusakan

ekosistem mangrove antara lain, intensitas pengamanan, penebangan kayu bakau,

(29)

intensitas penyuluhan atau sosialisasi, kedekatan dengan industri pengolahan kayu

bakau, keberadaan kelompok swadaya masyarakat, keberadaan lembaga swadaya

masyarakat, tingkat pemahaman masyarakat terhadap lingkungan.

Analisis yang digunakan untuk menguji faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap tingkat kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem

mangrove adalah analisis regresi linier berganda. Regresi linier berganda

merupakan suatu metode analisis statistik yang mempelajari pola hubungan antara

dua atau lebih variabel (Soleh, 2005). Analisis regresi digunakan untuk

mengetahui pengaruh variabel-variabel penduga (Xi) terhadap tingkat kerusakan

ekosistem mangrove (Y1) dan perubahan peruntukkan ekosistem mangrove (Y2).

Model regresi yang digunakan sebagai berikut:

Y1 = a1 + b1.1 X1 + b1.2 X2 + b1.3 X3 + b1.4 X4 + b1.5 X5 + b1.6 X6 + b1.7X7

+ b1.8 X8 + b1.9 X9 + b1.10 X10 + e1

Y2 = a2 + b2.1 X1 + b2.2 X2 + b2.3 X3 + b2.4 X4 + b2.5 X5 + b2.6 X6 + b2.7X7

+ b2.8 X8 + b2.9 X9 + b2.10 X10 + e2

Dimana :

Y1 = Tingkat kerusakan ekosistem mangrove

Y2 = Perubahan kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove

X1 = Intensitas pengamanan

X2 = Penebangan kayu bakau

X3 = Kegiatan pertambakan

X4 = Kegiatan perkebunan dan pertanian

(30)

X6 = Intensitas penyuluhan atau sosialisasi

X7 = Kedekatan dengan industri pengolahan kayu bakau

X8 = Keberadaan kelompok swadaya masyarakat

X9 = Keberadaan lembaga swadaya masyarakat

X10 = Tingkat pemahaman masyarakat terhadap lingkungan

a1, a2 = Konstanta

e1, e2 = residual

Menurut Riduwan (2005) skala Likert digunakan untuk mengukur sikap,

pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok tentang kejadian atau gejala

sosial. Kriteria atau indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan

dan perubahan kesesuaian peruntukan di wilayah peisisr Kabupaten Serdang

Bedagai yaitu, sebagai berikut :

Tabel 1. Kriteria Interpretasi Skor

Indikator Tingkat kerusakan Tingkat perubahan kesesuaian peruntukan

0%–9% Sangat tidak rusak Sangat sesuai 20% - 39% Tidak rusak Sesuai

40% -59% Sedang Sedang

60% -79% Rusak Tidak sesuai

≥ 80% Sangat rusak Sangat tidak sesuai

Uji Hipotesis

Penentuan validitas model secara bersama-sama dilakukan dengan uji-F

(dengan membandingkan nilai F-hitung dengan F-tabel). Sedangkan secara parsial

(31)

a. Uji t

Uji t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel

bebas secara individual dalam menerangkan variasi variabel terikat. Formula

hipotesis : Ho : b1 = 0, artinya variabel bebas bukan merupakan penjelas yang

signifikan terhadap variabel terikat. Ha : b1 ≠ 0, artinya variabel bebas merupakan

penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat.

Kriteria :

1. Jika t hitung > t tabel maka ada pengaruh signifikan antara variabel X dan

variabel Y

2. Jika t hitung < t tabel maka tidak ada pengaruh signifikan antara variabel

X dan Y

b. Uji F

Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara

bersama-sama terhadap variabel terikat. Rumusan hipotesis yang diuji. Ho : b1.1

= b1.2 = b1.3 = …b1.10 = 0, berarti secara bersama-sama tidak ada pengaruh

variabel bebas terhadap variabel terikat. Ha : b1.1 ≠ b1.2 ≠ b1.3 ≠ …b1.10 = 0,

berarti secara bersama-sama ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.

Kriteria :

1. Jika F hitung > F tabel maka Ho ditolak

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Letak Wilayah

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu Kabupaten yang berada

di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Secara geografis Kabupaten Serdang

Bedagai terletak pada posisi 03°01’57” LU -3°40’48”LU dan

98°45’00”BT-99°18’36”BT dengan ketinggian berkisar 0-500 meter di atas permukaan laut.

Kabupaten Serdang Bedagai memiliki area seluas 1.900,22 Km2 yang

terdiri dari 17 Kecamatan dan 243 Desa/Kelurahan Definitif. Wilayah Kabupaten

Serdang Bedagai di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan

dengan Kabupaten Simalungun, sebelah timur dengan Kabupaten Batu Bara dan

Kabupaten Simalungun, serta sebelah barat dengan Kabupaten Deli Serdang

(BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).

Iklim

Kabupaten Serdang Bedagai memilki iklim tropis dimana kondisi iklimnya

hampir sama dengan Kabupaten Deli Serdang sebagai kabupaten induk.

Pengamatan Stasiun Sampali menunjukkan rata-rata kelembapan udara per bulan

sekitar 84%, curah hujan berkisar antara 15 sampai dengan 438 mm perbulan

dengan periodik tertinggi pada bulan Oktober 2008, hari hujan per bulan berkisar

5-23 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan September dan

November 2008. Rata-rata kecepatan angin berkisar 1,4 m/dt dengan tingkat

penguapan sekitar 3,8 temperatur is 23,9°C. maksimum 31,3°C

(33)

Penduduk

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan Kabupaten baru yang merupakan

hasil pemekaran dari wilayah Kabupaten Deli Serdang. Jumlah penduduk

Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2008 berjumlah penduduk laki-laki

316.745 jiwa dan perempuan 313.983 jiwa. Jumlah rumah tangga mencapai

149.702 RT dan rata-rata penduduk per rumah tangga sebanyak 4 orang.

Kepadatan pnduduk Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2008 adalah

sebesar 332 jiwa/km2. Kepadatan penduduk terbesar adalah dikecamatan

Perbaungan yaitu sebesar 905 jiwa/km, sedangkan kecamatan dengan kepadatan

penduduk terendah adalah kecamatan Kotarih 111 jiwa/km2 dan kecamatan

Bintang Bayu 134 jiwa/km2.

Ditinjau dari segi persebaran penduduk, jumlah penduduk terbesar adalah

di kecamatan perbaungan yaitu sebesar 101.052 jiwa atau sebesar 16,02 % dari

seluruh penduduk Kabupaten Serdang Bedagai. Jumlah penduduk terendah ada di

Kecamatan Kotarih yaitu sebesar 8.649 jiwa.

Dilihat dari segi umur, persentase penduduk usia 0-14 tahun sebesar 27,21

persen, 15-59 tahun sebesar 67,06 persen, dan 60 tahun keatas sebesar 5,73 persen

yang berarti jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibandingkan usia non

produktif dengan rasio beban ketergantungan sebesar 49,12 artinya setiap 100

orang penduduk usia produktif menanggung 49 orang penduduk usia non

produktif (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).

Tenaga Kerja

Jumlah penduduk Kabupaten Serdang Bedagai yang merupakan angkatan

(34)

20.233 orang yang menganggur. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)

sebesar 63,62 persen dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 6,93

persen (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).

Administrasi

Wilayah administrasi Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 17

kecamatan dan 237 desa dan 6 kelurahan. Kecamatan yang paling banyak jumlah

desa/kelurahan adalah kecamatan yang paling sedikit jumlah desa/kelurahannya

adalah kecamatan Bandar Khalipah sebanyak 5 desa/kelurahan. Kabupaten

Serdang Bedagai didiami oleh penduduk dari beragam etnis/suku bangsa, agama

dan budaya. Suku-suku tersebut antara lain Karo, Melayu, Tapanuli, Simalungun,

Jawa dan lain-lain (BPS Kabupaten Serdang Bedagai, 2009).

Pendidikan dan Kebudayaan

Upaya untuk meningkatkan partisipasi sekolah dan kualitas pendidikan

masyarakat adalah dengan menyediakan sarana fisik pendidikan dengan jumlah

guru yang memadai. Pada tahun 2008 terdapat 457 Sekolah Dasar (SD) dengan

jumlah murid 77.655 orang dan jumlah guru 4.831 orang. Untuk Sekolah Lanjutan

Tingkat Pertama (SLTP) terdapat 83 sekolah 23.738 murid dan 1.738 orang guru.

Sementara itu untuk Sekolah Menengah Umum (SMU) terdapat 38 sekolah,

jumlah murid dan guru masing-masing 10.025 orang dan 881 orang. Pada tahun

yang sama, SLTA Kejuruan terdapat 28 sekolah, 448 guru dan 5.541 siswa

(35)

Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini meliputi wakil masyarakat pesisir,

pimpinan organisasi profesi nelayan desa, pelaku usaha, tokoh masyarakat desa,

pimpinan desa. Kerusakan hutan mangrove juga bisa disebabkan faktor sosial

ekonomi masyarakat setempat. Menurut Dephut 2002, parameter sosial ekonomi

yang sering digunakan untuk mengkaji kerusakan ekosistem mangrove adalah

jumlah penduduk, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan persepsi masyarakat

terhadap hutan mangrove. Oleh karena itu, pendekatan kelembagaan masyarakat

juga perlu diperhatikan dalam penanggulangan kerusakan mangrove. Karakteristik

responden dapat digolongkan dalam beberapa aspek yaitu umur, mata

pencaharian, pendidikan dan pendapatan.

Umur

Kelompok umur responden dalam penelitian ini yang paling banyak

adalah antara umur 41-50 tahun yaitu 71 orang dengan proporsi 39,44%,

sementara kelompok umur responden yang paling sedikit adalah antara umur

20-30 tahun yaitu 5 orang selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur

No Kelompok Umur (Tahun) Frekuensi Proporsi (%)

1 20 – 30 5 2,78

2 31 – 40 57 31,67

3 41 – 50 71 39,44

4 51 – 60 38 21,11

5 >60 9 5

Jumlah 180 100

Sumber : Data primer, 2010

Rata-rata umur responden dalam penelitian ini adalah 45 tahun. Hal ini

sesuai dengan Mantra (2004) yang menyatakan bahwa usia produktif tenaga kerja

(36)

masyarakat yang menjadi responden berada pada usia produktif, semakin

produktif usia seseorang maka pemikirannya semakin maju dan kebutuhannya

pun akan semakin bertambah sehingga akan selalu tertuju kepada kebutuhan

kesejahteraan hidupnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bengen (2001) yang

menyatakan bahwa kerusakan hutan mangrove dikarenakan adanya fakta bahwa

sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi

ekosistem mangrove. Terkadang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari

masyarakat sering melupakan kelestarian hutan mangrove itu sendiri.

Mata Pencaharian

Jenis mata pencaharian responden yang lebih dominan adalah sebagai

petani yaitu 52,2% mengingat bahwa sumbangan yang terbesar dari pertumbuhan

ekonomi di Kabupaten Serdang Bedagai ini adalah diperoleh dari sektor pertanian

sebesar 47,45 %. Selain itu responden juga bermata pencaharian karyawan/buruh

(15,56%), Pedagang (12,22%), Perangkat Desa (7,78%), Nelayan (9,44%) dan

PNS (2,78%). Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian

No. Jenis Mata Pencaharian Frekuensi Proporsi (%)

1 Petani 94 52,22

Sumber : Data primer, 2010

Responden dalam penelitian ini lebih memilih untuk bertani karena

melihat kondisi hutan mangrove pada saat sekarang sangat memprihatinkan

sehingga tidak banyak responden yang memilih untuk menjadi nelayan, sehingga

(37)

memanfaatkan hutan mangrove akan semakin sedikit. Akan tetapi apabila jenis

pekerjaan yang selalu berhubungan dengan hutan maka kemungkinan untuk

merusak hutan juga akan semakin besar karena frekuensi untuk berinteraksi

dengan hutan lebih banyak.

Pendidikan

Tingkat pendidikan di Kabupaten Serdang Bedagai ini cukup baik, dapat

dilihat pada Tabel 4. bahwa tingkat pendidikan yang paling banyak adalah

SLTA/SMU/SMK yaitu 37.22% sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi

pendidikan seseorang maka semakin tinggi kemampuannya dalam menyerap

informasi.

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Frekuensi Proporsi (%)

1 SD/SR 48 26,67

2 SLTP/SMP 57 31,67

3 SLTA/SMU/SMK 67 37,22

4 Perguruan Tinggi (D1, D2, D3, Akademi, Sarjana Muda, Sarjana)

8 4,44

Jumlah 180 100

Sumber : Data primer, 2010

Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator yang sering digunakan

untuk mengukur kualitas sumberdaya manusia. Menurut Cline dan Harnian (1976)

dalam Musyafar (2005) pendidikan merupakan faktor yang penting pengaruhnya

terhadap perubahan sikap dan perilaku dalam masyarakat untuk dapat mengerti

tentang pentingnya manfaat dan fungsi hutan mangrove. Oleh karena itu, orang

yang lebih tinggi tingkat pendidikannya diharapkan berjiwa lebih kritis, lebih

obyektif, dan lebih inovatif dalam menilai manfaat dan dampak negatif ekosistem

(38)

Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa tingkat pendidikan di Kabupaten

Serdang Bedagai ini cukup baik, hal ini dilihat dari responden yang berada pada

daerah yang merupakan daerah akses untuk menuju ke wilayah pesisir sedangkan

responden yang berada di wilayah pesisir itu sendiri tingkat pendidikannya masih

rendah hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti biaya pendidikan yang

tinggi dan tidak terjangkau oleh masyarakat. Disamping itu, lokasi sekolah yang

jauh dari tempat tinggal merupakan salah satu alasan bagi masyarakat untuk

memilih tidak bersekolah. Sekolah yang ada di wilayah pesisir hanya sampai pada

tingkat SD bagi masyarakat yang ingin melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi

harus ke luar daerah tersebut sedangkan masyarakat yang berada pada daerah

yang merupakan akses menuju wilayah pesisir ini tingkat pendidikannya lebih

baik. Dikarenakan lokasi sekolah yang tidak jauh dan memiliki mata pencaharian

yang cukup untuk kesejahteraan hidupnya.

Responden yang berada pada wilayah pesisir kebanyakan bekerja sebagai

nelayan karena dari penghasilan yang tidak menentu dan hanya cukup untuk

memenuhi kebutuhannya sehari-hari serta pemahaman masyarakat yang lebih

mengutamakan bekerja dari pada sekolah sehingga besar kemungkinan dilihat dari

tingkat pendidikan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian

hutan masih kurang.

Pendapatan

Berdasarkan Tabel 5. Tingkat pendapatan responden lebih banyak antara

Rp.1.000.000 – Rp. 1.999.000 adalah 76 orang, karena dilihat dari mata

pencaharian responden lebih banyak sebagai petani dan rata-rata penghasilan

(39)

diterima responden dilokasi penelitian pada dasarnya ditentukan oleh perbedaan

jumlah dan jenis aktivitas yang dilakukan responden. Responden yang memiliki

pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan cenderung mempunyai pendapatan

lebih tinggi.

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan

No. Tingkat Pendapatan (Rp) Frekuensi Proporsi (%)

1 <Rp 1.000.000 64 35,56

2 Rp. 1.000.000 – Rp. 1.999.000 76 42,22

3 Rp. 2.000.000 – Rp. 2.999.000 22 12,22

4 Rp. 3.000.000 – Rp. 3.999.000 8 4,44

5 > Rp. 4.000.000 10 5,56

Jumlah 180 100

Sumber : Data primer, 2010

Pendapatan responden yang berada di wilayah pesisir sebagian merupakan

hasil dari pemanfaatan ekosistem mangrove, dan ada juga responden yang

menambah pendapatannya dari sumber lain selain dari pekerjaan pokok yaitu

pekerjaan sampingan lainnya. Dilihat dari pendapatan masyarakat pesisir yang

rendah sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari masyarakat

memanfaatkan hasil hutan mangrove akan tetapi demi kesejahteraan hidupnya

masyarakat sering melupakan kelesatarian hutan mangrove tersebut.

Analisis Regresi Linier Berganda

Menyatakan hubungan antara tingkat kerusakan ekosistem mangrove (Y1)

dan perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove (Y2) dengan intensitas

pengamanan (X1), penebangan kayu bakau (X2), kegiatan pertambakan (X3),

kegiatan perkebunan dan pertanian (X4), pemanfaatan hasil hutan non kayu (X5),

intensitas penyuluhan atau sosialisasi (X6), kedekatan dengan industri pengolahan

kayu bakau (X7), keberadaan kelompok swadaya masyarakat (X8), keberadaan

(40)

lingkungan (X10) dilakukan analisis regresi linier berganda dengan metode enter

yaitu merupakan suatu metode dalam pembentukan taksiran model regresi dimana

semua variabel bebas dilibatkan dalam pembentukan persamaan regresinya.

Dalam satuan persamaan linier berganda, diperoleh persamaan hubungan dari

variabel terikat dan variabel bebas adalah sebagai berikut :

Y1 = 4.604 + 0.310 X1 + 0.059 X2 - 0.097 X3 - 0.042 X4 – 0.080 X5 + 0.189 X6

- 0.429 X7 – 0.261 X8 – 0.051 X9 + 0.015 X10...(1)

Y2 = -1.583 + 0.300 X1 + 0.253 X2 + 0.482 X3 + 0.113 X4 - 0.133 X5 + 0.213

X6 + 0.115 X7 - 0.094 X8 + 0.667 X9 – 0.139 X10...(2)

Persamaan (1) di atas tampak nilai konstanta sebesar 4.604, secara

matematis nilai konstanta ini menyatakan bahwa pada saat variabel X bernilai nol

(0), maka tingkat kerusakan (Y1) memiliki nilai 4.604. Nilai b1 = 0.310, b2 =

0.059, b6 = 0.189, b10= 0.015 untuk variabel x1, x2, x6, x10 yang bertanda positif

berarti memiliki hubungan yang searah artinya bahwa setiap vatiabel naik sebesar

100% akan meningkatkan 31%, 5.9 %, 18.9%, 1.5%. Nilai b3 = 0.097, b4 =

-0.042, b5 = -0.080, b7 = -0.429, b8 = -0.261 , b9 = -0.051 untuk variabel x1, x5,

x8, b9 yang bertanda negatif berarti memiliki hubungan yang tidak searah

sedangkan persamaan (2) tampak nilai konstanta sebesar -1.583, secara matematis

nilai konstanta ini menyatakan bahwa pada saat variabel X bernilai nol (0), maka

tingkat perubahan kesesuaian peruntukan (Y2) memiliki nilai -1.583. Nilai b1 =

0,300, b2 = 0.253, b3 = 0.482, b4 = 0.113, b6 =0.213, b7 =0.115, b9 = 0.667,

untuk variabel x1, x2, x3, x4, x6, x7, x9, yang bertanda positif berarti memiliki

hubungan yang searah artinya bahwa setiap vatiabel naik sebesar 100% akan

(41)

-0.113, b8 = -0.094, b10 = -0.139 untuk variabel x5, x8, x10 yang bertanda negatif

berarti memiliki hubungan yang tidak searah. Untuk lebih jelasnya hasil

perhitungan dapat dilihat pada lampiran 4 dan 5.

Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 4 dan 5), diperoleh R pada Y1

adalah 0.505 berarti (50.5%) dan Y2 adalah 0.417 berarti (41.7%) hubungan

antara variabel X terhadap Y1 dan Y2 cukup erat. Karena semakin besar R berarti

hubungan semakin erat. R Square untuk Y1 adalah 0.211 dan Y2 adalah 0.174

berarti faktor-faktor Y1 hanya dapat dijelaskan 21.1% dan Y2 yaitu 17.4%

sedangkan sisanya oleh faktor-faktor lain yang tidak di teliti oleh penelitian ini

yaitu 78.9 % dan 82.6%.

Tingkat signifikansi dari variabel bebas (X) terhadap variabel (Y) dapat

dilihat dari angka probabilitas (nilai signifikansi). Jika nilai signifikansi

masing-masing variabel (> 0.05 atau 5 %) maka variabel tersebut tidak signifikan

pengaruhnya. Demikian sebaliknya, jika nilai signifikansi masing-masing variabel

(< 0.05 atau 5 %) maka variabel tersebut dinyatakan signifikan atau nyata

pengaruhnya. Variabel X yang signifikan terhadap Y1 adalah x1 yaitu 0.003.

sedangkan X yang berpengaruh secara signifikan terhadap Y2 adalah x3 dan x9

yaitu 0.000 dan 0.002 sedangkan yang tidak signifikan adalah x1, x2, x4, x5, x6,

x7, x8, x10 karena nilai signifikannya > 0.05 atau 5%.

Uji Hipotesis

Uji t menguji apakah hipotesis yang diajukan diterima atau ditolak

digunakan statistik t (uji t). Jika t hitung < t tabel, maka Ho diterima atau Ha

ditolak, sedangkan jika t hitung > t tabel, maka Ho ditolak Ha diterima. Jika

(42)

(X) berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap variabel terikat Y1 yaitu

x1, nilai t hitung (2.999) > t tabel (1.740). Sedangkan Y2 yaitu x3 dan x9 dari

nilai signifikan 0.000 < 0.05 dan nilai t hitung (4.138) > t tabel (1.740) dan 0.002

< 0.05 dan nilai t hitung (3.117) > t tabel (1.740) maka Ho ditolak dan Ha

diterima.

Dari uji ANOVA dapat diketahui pengaruh variabel bebas terhadap

variabel terikat dilakukan dengan penentuan validitas model secara bersama-sama

dilakukan dengan uji-F (dengan membandingkan nilai F-hitung dengan F-tabel).

variabel Y1 diperoleh F hitung sebesar 5.778 dengan tingkat signifikan 0.000.

maka diperoleh F hitung > F tabel yaitu 5.778 > 2.45 atau sig F < 5% (0.000 <

0.05).Variabel Y2 diperoleh F hitung 3.561 dengan tingkat signifikan 0.000 maka

Fhitung > F tabel yaitu 3.561 > 2.45 hal ini menunjukkan bahwa pengaruh

variabel independen secara serempak adalah signifikan terhadap variabel terikat.

Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove (Y1)

Tingkat kerusakan ekosistem mangrove adalah kondisi kerusakan fisik

ekosistem mangrove yang diukur berdasarkan indikator-indikator tertentu yang

digunakan sesuai dengan peringkatnya. Tingkat kerusakan yang terjadi di wilayah

pesisir Kabupaten Serdang Bedagai adalah rusak yaitu 43.33 % selengkapnya

dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove (Y1)

Nilai Tingkat kerusakan Indikator Frekuensi Proporsi (%)

1 Sangat tidak rusak 0-19 % - -

2 Tidak Rusak 20-39 % 3 10

3 Sedang 40-59 % 4 13.33

4 Rusak 60-79 % 13 43.33

5 Sangat rusak > 80 % 10 33.33

Jumlah 30 100

(43)

Berdasarkan tabel diatas menjelaskan bahwa tingkat kerusakan yang

terjadi adalah rusak dengan indikator 60-79% artinya keadaan formasi hutan

mangrove yang tidak sempurna lagi misalnya bagian luar didominasi Avicennia,

Sonneratia dan Rhizophora , komunitas fauna tidak sempurna dan komunitas

ekologis tidak sempurna misalnya hutan mangrove tidak lagi sebagai penahan

ombak sehingga tidak dapat menjaga garis pantai tetap stabil.

Kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai

disebabkan karena ekosistem pesisir memiliki karakteristik, potensi manfaat,

masalah dan pola pengelolaan yang berbeda. Berdasarkan nilai, manfaat dan

fungsi kawasan pesisir maka dapat dikatakan bahwa kawasan pesisir mempunyai

tingkat produktivitas dan potensi ekonomi yang sangat tinggi. Akibatnya adalah

terjadi konsentrasi aktivitas dan populasi manusia yang cukup tinggi karena

kawasan pesisir dapat dijadikan kegiatan pembangunan dan investasi, sehingga

terjadi tekanan yang merugikan terhadap kawasan pesisir yang tidak

diperhitungkan.

Hasil yang diperoleh berdasarkan analisis regresi linier berganda

menunjukkan bahwa yang berpengaruh atau yang signifikan terhadap tingkat

kerusakan ekosistem mangrove (Y1) di Kabupaten Serdang Bedagai adalah

intensitas pengamanan (X3) yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat maupun

lembaga swadaya. Dari hasil wawancara dengan responden mengatakan bahwa

ada kegiatan pengamanan tetapi dilakukan oleh satu pihak saja yaitu masyarakat

yang peduli terhadap kelestarian hutan itu sendiri dan ada juga dari pihak

pemerintah namun dalam hal pengamanan masih kurang terprogram dan

(44)

Pengamanan ekosistem yang kurang terprogram mengakibatkan tingkat

kerusakan semakin bertambah, sehingga terjadi adanya kegiatan pembukaan

tambak, penebangan hutan mangrove, pencemaran lingkungan, reklamasi dan

sedimentasi, pertambangan. Hal ini sesuai dengan Setyawan (2006) yang

menyatakan bahwa apabila kegiatan pengamanan ekosistem mangrove dilakukan

oleh semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun lembaga swadaya maka

tingkat kerusakan yang terjadi bisa dihindari. Oleh karena itu dapat disimpulkan

bahwa pentingnya pengamanan dalam menjaga hutan tersebut agar tetap lestari.

Tingkat Perubahan Kesesuaian Peruntukkan Ekosistem Mangrove (Y2)

Perubahan peruntukan ekosistem mangrove adalah kondisi eksisting

peruntukan ekosistem mangrove yang telah mengalami perubahan dari

peruntukan semula dan tidak sesuai dengan peruntukan sesuai dengan konsep dan

peraturan yang berlaku. Tingkat kesesuaian yang terjadi di kawasan pesisir

Kabupaten Serdang Berdagai adalah 43.33 % dapat dilihat pada Tabel 7. Hal ini

menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian yang terjadi adalah sangat tidak sesuai

Tabel 7. Tingkat Perubahan Kesesuaian Peruntukkan Ekosistem Mangrove (Y2) Nilai Tingkat Kesesuaian Indikator Frekuensi Proporsi (100%)

1

Sumber : Data primer, 2010

Berdasarkan tabel diatas menjelaskan bahwa tingkat perubahan kesesuaian

peruntukan yang terjadi adalah sangat tidak sesuai dengan indikator ≥ 8 0 %

(45)

Kabupaten Serdang Bedagai mengalami perubahan dari peruntukan semula dan

tidak sesuai dengan peruntukan sesuai dengan konsep dan peraturan yang berlaku.

Perubahan kesesuaian peruntukan juga terjadi di wilayah pesisir

Kabupaten Serdang Bedagai disebabkan karena ekosistem mangrove pada

dasarnya memiliki fungsi ekonomi, melihat potensi ekosistem mangrove di daerah

ini cukup besar sehingga memberikan peluang yang besar juga terhadap

terciptanya berbagai bentuk pemanfaatan secara ekonomi seperti perubahan hutan

mangrove menjadi penggunaan lain (tambak, pemukiman, dan lain-lain),

pencemaran lingkungan (minyak, sampah, dan lain-lain), atau kegiatan lain tanpa

memperhatikan kelestariannya. Savitri dan Khazali (1999) menjelaskan,

penebangan hutan mangrove secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi

usaha pertambakan dapat menyebabkan terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan

dan udang di sekitarnya. Berkurangnya ikan dan udang di daerah ini berarti

mengurangi pendapatan nelayan-nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar

pantai, penyudu udang, pencari kepiting dan penjala ikan. Beragamnya

kepentingan dan pengaruh tersebut terhadap kawasan pesisir mengakibatkan

kawasan pesisir sangat rentan terhadap bentuk pengelolaan yang bersifat merusak

maupun merubah fungsi lahan. Hal ini juga disebabkan karena persepsi yang

keliru tentang mangrove dan lemahnya penegakan hukum.

Berdasarkan hasil yang diperoleh dengan analisis regresi linier berganda

menunjukkan bahwa perubahan kesesuaian peruntukan dipengaruhi oleh adanya

kegiatan pertambakan dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat. Sesuai

dengan pendapat masyarakat yang merupakan responden dalam penelitian ini

(46)

dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan maupun lembaga usaha. Kegiatan

pertambakan yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan hanya dalam jumlah

kecil dengan pola wanamina, akan tetapi ada juga ditemukan tambak dalam

jumlah yang besar dilakukan oleh masyarakat setempat dan lembaga usaha

dengan pola tambak intensif. Hal ini mengakibatkan perubahan kesesuaian

peruntukan yang terjadi di Kabupaten Serdang Bedagai.

Perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem hutan mangrove juga

disebabkan karena menurunnya pendapatan masyarakat pesisir, berkurangnya

kesempatan bekerja, berkurangnya kesempatan berusaha, ketersediaan

mendapatkan bahan baku dan menurunnya aksesibilitas ekonomi masyarakat

terhadap sumber daya mangrove sehingga menyebabkan adanya kegiatan

pertambakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bengen (2001) menjelaskan

bahwa kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan dikarenakan adanya fakta

bahwa sebagian manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dengan

mengintervensi ekosistem mangrove sehingga terjadi alih fungsi lahan seperti

pertambakan, pemukiman, industri dan sebagainya. Hal ini juga sesuai dengan

pernyataan Pasaribu (2004) yang menyatakan bahwa kerusakan ekosistem

mangrove di Provinsi Sumatera Utara dilatarbelakangi oleh faktor-faktor tingkat

pendapatan masyarakat yang relatif rendah, penebangan liar (illegal logging),

pembukaan tambak udang secara liar.

Hal yang bersifat kelembagaan juga diduga turut berpengaruh terhadap

tingkat kerusakkan ekosistem mangrove adalah intensitas penyuluhan atau

sosialisasi, keberadaan kelompok swadaya masyarakat yang berbasis masyarakat

(47)

ekosistem mangrove. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden

menyatakan bahwa keberadaan lembaga swadaya masyarakat yang terkait dengan

pengelolaan ekosistem mangrove di wilayah pesisir tersebut tidak ada dan tidak

pernah berperan dalam pengelolaan mangrove dan ada juga yang mengatakan

pernah terdapat 1 lembaga swadaya masyarakat yang berperan sesekali dalam

pengelolaan mangrove. Namun kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa

lembaga swadaya tersebut tidak terprogram dalam pengelolaan mangrove

sehingga terjadi persepsi yang keliru tentang mangrove dan lemahnya penegakan

hukum. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dahuri (2001) menjelaskan bahwa

keberadaan kelompok swadaya masyarakat dan lembaga swadaya/profesi

masyarakat sangat diperlukan dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.

Demikian juga dengan Wantasen (2002) menyatakan bahwa adanya kelembagaan

pengelolaan yang melibatkan semua elemen stakeholder biasa mencegah

terjadinya kerusakan mangrove sehingga di daerah pesisir Kabupaten Serdang

Bedagai ini tingkat kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan sering terjadi

karena kurangnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap aspek lingkungan.

Faktor-faktor yang tidak signifikan terhadap tingkat kerusakan dan

perubahan kesesuaian peruntukan kemungkinan di pengaruhi oleh faktor lain

sesuai dengan pernyataan Kusmana (2003) yaitu faktor penyebab kerusakan

ekosistem mangrove, ada tiga faktor utama penyebab kerusakan mangrove, yaitu

pencemaran, konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan faktor

lingkungan dan penebangan yang berlebihan selain itu mungkin dipengaruhi oleh

perambahan, pengambilan biota laut yang tidak terkendali, reklamasi dan

(48)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat ditarik kesimpulan, yaitu :

1. Faktor-faktor penyebab kerusakan ekosistem mangrove (Y1) di wilayah

pesisir Kabupaten Serdang Berdagai ádalah intensitas pengamanan (X1).

2. Faktor-faktor penyebab perubahan kesesuaian peruntukan ekosistem

mangrove (Y2) di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai adalah adalah

kegiatan pertambakan (X3) dan keberadaan lembaga swadaya masyarakat

(X9).

Saran

Adapun saran dari penelitian ini adalah :

1. Kegiatan pengamanan ekosistem mangrove agar dilakukan oleh semua pihak

secara teratur dan terprogram.

2. Kegiatan pertambakan agar lebih diperhatikan lagi dan diolah dengan baik.

3. Keberadaan lembaga swadaya masyarakat agar berperan aktif dengan program

terpadu dalam pengelolaan ekosistem mangrove.

4. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai analisis mencegah/mengurangi

kerusakan dan perubahan kesesuaian peruntukan lahan di Kabupaten Serdang

(49)

DAFTAR PUSTAKA

Bengen, D.G. 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB. Bogor.

---, 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. Bogor.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai, 2009. Kabupaten Serdang Bedagai dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai. Sei Rampah.

Bungin, M.B. 2008. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

---. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Dahuri, R. 1996. Pengembangan Rencana Pengelolaan Pemanfaatan Berganda Hutan Mangrove di Sumatera. PPLH Institusi Pertanian Bogor. Bogor.

Dahuri R, Rais., J. Ginting, S.P. dan Sitepu, M.J. 1996 dan 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Saptodadi. Jakarta.

Davies, J.G. Claridge dan Natarita, E. 1995. Manfaat Lahan Basah, Potensi Lahan Basah dalam Mendukung dan Memelihara Pembangunan. Ditjend. Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan-Asian Wetland Buereau Indonesia (AWB). Jakarta.

Departemen Kelutan dan Perikanan. 2002. Pedoman Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Ditjend. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil DKP Jakarta.

Dephut. 2002. Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove. Direktorat Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan RI. Jakarta.

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). 2006. Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Sumatera Utara tahun 2005-2010. DPK Sumut. Medan.

(50)

Lindawati, 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peluang Berusaha dan Kegiatan Ekonomi Rumah Tangga Istri Nelayan Pekerja di Kecamatan Medan Belawan. Jurnal Wahana Hijau Vol.3 No.1. Program Doktor Perencanaan Wilayah SPS USU. Medan.

Musyafar, 2005. Analisis Perilaku Masyarakat Pesisir dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi dalam Melestarikan Ekosistem Mangrove di Pesisir Barat Sulawesi Selatan. Dari http//www.depdiknas.go.id/publikasi/balitbang/03_2009/j03_05.pdf (21 Agustus 2010).

Nybakken, J.W., 1988. Biologi Laut : Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta.

Pasaribu, N. 2004. Krisis Hutan Mangrove di Sumatera Utara dan Alternatif Solusinya. Makalah. Program Doktor SPS IPB. Bogor.

Purwoko dan Onrizal, 2002. Identifikasi Potensi Sosial Ekonomi Hutan Mangrove di SM KGLTL. Makalah Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian Dosen Muda dan Kajian Wanita, Ditjend DIKTI. Jakarta.

Ramli dan Purwoko, A. 2005. Peran dan Fungsi Hutan Mangrove dalam Pengelolaan Kawasan Pesisir Terpadu. Makalah pada Lokakarya Antar Sektor dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Kabupaten Deli Serdang. Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Deli Serdang. T. Morawa.

Riduwan, 2005. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Cetakan ke-3. Penerbit Alfabeta. Bandung.

Savitri, L. A. dan Khazali, M. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir. PSKPL-IPB. Bogor.

Setyawan, A.D. dan Winarno, K. 2006. Permasalahan Konservasi Ekosistem Mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah (Conservation problems of mangrove ecosystem in coastal area of Rembang Regency, Central Java). Jurnal Biodiversitas Vol 7 No. 2. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Sihite, J, Lense, O, Surartri, R, Gustiar, C, dan Kosamah, S. 2005. The Nature Conservancy (TNC). Southeast Asia Center for Marine Protected Areas (SEA CMPA). Bali.

(51)

Soleh, A, Z, 2005. Ilmu Statistik Pendekatan Teoritis dan Aplikatif disertai Contoh Penggunaan SPSS. Penerbit : Rekayasa Sains Bandung.

Suparmoko, 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pusat Antar Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Wantasen, A. 2002. Kajian Potensi Sumberdaya Hutan Mangrove di Desa Talise, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Disertasi. Program Doktor SPS Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(52)

Lampiran 1. Kuisioner

A. IDENTITAS RESPONDEN

1. Nama :

2. Umur : tahun

3. Jenis Kelamin : *laki-laki/perempuan 4. Pendidikan Terakhir : a. Tidak tamat SD

7. Asal Kecamatan/Desa : 8. Kelompok Responden :

(*Coret yang tidak perlu)

B. PERTANYAAN PANDUAN (mohon melingkari atau yang Bpk/Ibu anggap benar)

No .

Pertanyaan

1. Menurut Bapak/Ibu, bagaimanakah kegiatan pengamanan ekosistem mangrove di desa Bapak/Ibu?

a. Tidak ada dilakukan sama sekali (tidak oleh pemerintah, masyarakat maupun lembaga swadaya)

b. Ada, namun hanya sesekali dan dilakukan oleh salah satu pihak saja

c. Ada dan dilakukan oleh salah satu pihak, namun kegiatannya belum terprogram dan jadwalnya tidak teratur (hanya jika diperlukan saja)

d. Ada dan dilakukan oleh semua pihak, namun belum terprogram dan jadwalnya tidak teratur (hanya jika diperlukan saja)

e. Ada dan dilakukan oleh semua pihak secara teratur dan terprogram 2. Bagaimana kegiatan penebangan kayu bakau di kawasan hutan mangrove

di desa Bapak/Ibu?

a. Tidak pernah dilakukan penebangan kayu bakau oleh semua pihak. b. Pernah dilakukan penebangan sesekali (frekuensi kecil) oleh

masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan sendiri

Gambar

Tabel 1. Kriteria Interpretasi Skor
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Umur No Kelompok Umur (Tahun) Frekuensi
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian No. Jenis Mata Pencaharian Frekuensi Proporsi (%)
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan  No. Tingkat Pendidikan Frekuensi
+4

Referensi

Dokumen terkait