ANALISIS PERENCANAAN PERUNTUKAN DAN
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE UNTUK
PENGEMBANGAN WILAYAH DI KAWASAN PESISIR
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
DISERTASI
Oleh :
Nama
: AGUS PURWOKO
NIM
: 068105001
Program Studi : S3 Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS PERENCANAAN PERUNTUKAN DAN
PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE UNTUK
PENGEMBANGAN WILAYAH DI KAWASAN PESISIR
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
DISERTASI
Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Perencanaan
Wilayah pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara
telah Dipertahankan di Hadapan Panitia Ujian Doktor Terbuka
Pada Hari : Rabu
Tanggal : 21 September 2011
Pukul : 10.00-12.00 WIB
O l e h :
N a m a
: AGUS PURWOKO
HASIL PENELITIAN DISERTASI INI TELAH DIPERBAIKI
DAN DISETUJUI UNTUK UJIAN TERBUKA
TANGGAL 21 SEPTEMBER 2011
Oleh
Promotor :
Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE.
NIP. 196308181988031005
Ko Promotor :
Prof. Dr. Ir. Sumono, MS. Dr. Ir. Tavi Supriana, M.Si.
NIP. 194809281976031003 NIP. 196411021989032001
Mengetahui
Ketua Program Doktor (S3) Perencanaan Wilayah
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE
Telah Diuji pada Ujian Disertasi (Promosi)
Tanggal 21 September 2011
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Ketua : Prof. Dr. Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE.
Anggota
1. Prof. Dr. Ir. Sumono, MS.
2. Dr. Ir. Tavi Supriana, M.Si.
3. Prof. Dr. Ramli, MS.
4. Prof. Erlina, SE., M.Si., Ph.D., Ak.
5. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.
Dengan Surat Keputusan
Rektor Universitas Sumatera Utara
Nomor
: 2449/UN5.1.R/SK/SSA/2011)
Telah Diuji pada Ujian Tertutup
Tanggal 22 Agustus 2011
PANITIA PENGUJI DISERTASI
Ketua : Prof. Dr. Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE.
Anggota
1. Prof. Dr. Ir. Sumono, MS.
2. Dr. Ir. Tavi Supriana, M.Si.
3. Prof. Dr. Ramli, MS.
4. Prof. Erlina, SE., M.Si., Ph.D., Ak.
5. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS.
Dengan Surat Keputusan
Rektor Universitas Sumatera Utara
Nomor
: 2151/UN5.1.R/SK/TPM/2011)
TIM PROMOTOR
Prof. Dr. Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE.
Prof. Dr. Ir. Sumono, MS.
TIM PENGUJI LUAR KOMISI
Prof. Dr. Ramli, MS.
Prof. Erlina, SE., M.Si., Ph.D., Ak.
ABSTRAK
Analisis Perencanaan Peruntukan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Untuk Pengembangan Wilayah di Kawasan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai, Agus Purwoko dengan Promotor Prof. Dr. Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE., Ko-promotor Prof. Dr. Ir. Sumono, MS. dan Dr. Ir. Tavi Supriana, M.Si.
Mangrove merupakan ekosistem utama di kawasan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai. Ekosistem mangrove merupakan salah satu pilar utama pengembangan wilayah di kawasan ini, oleh karena itu perlu dikaji dan direncanakan dengan baik pengelolaan/pemanfaatannya. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk; 1) menganalisis kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi di kawasan pesisir; 2) menganalisis kesesuaian peruntukkan lahan mangrove yang terjadi di kawasan pesisir; 3) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kerusakan dan tingkat kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove; dan 4) menganalisis pengaruh kerusakan dan kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove terhadap pengembangan wilayah di kawasan pesisir; dan 5) mengkaji strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang mendukung pengembangan perekonomian wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum telah terjadi kerusakan ekosistem mangrove pada desa-desa di kawasan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai dengan kategori kerusakan rata-rata antara sedang – rusak (skor 2.4). Adapun tingkat kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove juga berada pada kategori rata-rata antara sedang - tidak sesuai (skor 2.6). Faktor-faktor seperti intensitas pengamanan, penebangan kayu bakau, kegiatan pertambakan, kegiatan perkebunan, pemanfaatan hasil hutan non kayu, intensitas penyuluhan/sosialisasi, kedekatan dengan industri pengolahan kayu bakau, keberadaan kelompok swadaya masyarakat, keberadaan lembaga swadaya masyarakat, tingkat pemahaman masyarakat terhadap lingkungan secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat kerusakan dan kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai. Adapun secara parsial ; a) hanya faktor-faktor intensitas kegiatan pengamanan, kegiatan penebangan, kegiatan pertambakan, kegiatan pertanian, keberadaan/peranan kelompok swadaya masyarakat dan tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove yang terbukti berpengaruh secara nyata terhadap kerusakan ekosistem mangrove, b) hanya faktor-faktor intensitas kegiatan pengamanan, kegiatan penebangan, kegiatan pertanian, keberadaan/peranan kelompok swadaya masyarakat dan tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove yang terbukti berpengaruh secara nyata terhadap kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove di kawasan. Tingkat kerusakan dan kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove secara bersama-sama berpengaruh secara nyata terhadap pengembangan wilayah di kawasan. Akan tetapi secara parsial hanya tingkat kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove yang berpengaruh secara nyata terhadap pengembangan wilayah di kawasan pesisir dan merupakan jalur yang signifikan. Dengan demikian, intensitas kegiatan pengamanan, kegiatan penebangan, kegiatan pertambakan, kegiatan pertanian, keberadaan/peranan kelompok swadaya masyarakat dan tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove bisa digunakan sebagai penduga pengembangan wilayah di kawasan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai melalui jalur tingkat kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove. Dari semua kuadran strategi, strategi yang terpilih sebagai prioritas adalah strategi mengatasi/menanggulangi kelemahan dan ancaman (WT) yaitu mengembangkan kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove kolaboratif yang efektif dalam melaksanakan fungsi pendidikan lingkungan dan pengamanan/pelestarian ekosistem mangrove yang mendukung pengembangan wilayah pesisir.
ABSTRACT
Analysis of Allotment and Management Planning of Mangrove Ecosystem for Regional Development in Coastal Area of Serdang Bedagai Regency. Agus Purwoko, supervised by Prof. Dr. Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE., Co-promotor Prof. Dr. Ir. Sumono, MS. and Dr. Ir. Tavi Supriana, M.Si.
Mangrove represents the main ecosystem in coastal area of Serdang Bedagai Regency. In term of regional development mangrove ecosystem is one of main pillar in this area, therefore it requires to be studied and planned properly in both management and utilization. This research was aimed to analyze; 1) the damage of mangrove ecosystem along coastal; 2) land suitability of mangrove ecosystem along coastal; 3) factors that effect on the level of mangrove ecosystem’s damage and land suitability; 4) the influence of damage and land suitability level of mangrove ecosystem into regional development of coastal; and 5) the strategy of mangrove ecosystem management in supporting regional economic development of coastal area of Serdang Bedagai Regency.
The result of this research indicated that generally mangrove ecosystem in coastal area of Serdang Bedagai Regency was on the category between medium to damaged range (score 2.4). The land suitability of mangrove ecosystem was also in medium to unsuitable range (score 2.6). Some factors such as security intensity, mangrove harvesting, brackish culture, plantation activity, utilizing of non wood forest product, extension and socialization, the existence of mangrove wood processing industry, the existence both of society group and non government organization, and society understanding to mangrove ecosystem that all together showed a significant effect on the damage and land suitability level of the mangrove ecosystem. Another result showed partially: a) only factors of security activity intensity, harvesting of mangrove wood activity, brackish culture, agricultural activity, the existence of society group and the society understanding to mangrove ecosystem effected on the damage of mangrove ecosystem in coastal area; b) only factors of security activity intensity, harvesting of mangrove wood activity, agricultural activity, the existence of society group and the society understanding to the mangrove ecosystem effected on the damage of mangrove ecosystem in coastal area. Furthermore, both damage and land suitability level of mangrove ecosystem effected on regional development in coastal area. However, partially only the land suitability level of mangrove ecosystem effected on regional development in coastal area and represent the significant result. Thereby, intensity of security activity, harvesting of mangrove wood activity, brackish culture activity, agricultural activity, the existence of society group and the society understanding to the mangrove ecosystem can be used as regional development prediction value in coastal area of Serdang Bedagai Regency through land suitability level of mangrove ecosystem. Among all quadrant of strategies, the chosen one as priority strategy is overcoming weakness and threat (WT), to develop effective collaborative management institution in dealing with environmental education function and mangrove ecosystem conservation in supporting regional development of coastal area.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadhirat Allah SWT atas karunia-Nya telah mengijinkan dan menguatkan kami sehingga bisa menyelesaikan Program Doktor Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Program tersebut kami selesaikan dengan menyelesaikan disertasi berjudul Analisis Perencanaan Peruntukan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove untuk Pengembangan Wilayah di Kawasan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai.
Penyusun dilahirkan di Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 1 Agustus 1974. Penyusun merupakan anak pertama dari 5 bersaudara, dilahirkan dari pasangan Bapak Salimi MS (Alm) dan Ibu Watini. Saat ini penyusun bertugas sebagai staf pengajar pada Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara sejak tahun 1999. Penyusun juga mengajar di Program Studi PWD Sekolah Pasca Sarjana USU sejak tahun 2007.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Rektor USU (Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, Sp.A(K) sebagai pimpinan sidang terbuka dan atas dukungan dan bantuannya baik secara materi maupun non materi selama kami menempuh program pendidikan doktor.
2. Direktur SPS USU beserta jajarannya atas fasilitasi dan dukungannya selama kami menjalani program pendidikan doktor di SPS USU.
3. Promotor (Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) yang selalu membimbing dan memberikan motivasi tiada henti kepada kami dalam setiap kesempatan sehingga kami bisa menuntaskan program pendidikan ini dengan baik.
4. Ko-promotor (Prof. Dr. Ir. Sumono, MS) yang selalu membimbing dan memberikan motivasi dengan sangat perhatian terhadap segala hal yang terkait dengan penyelesaian studi maupun proyeksi profesi kami sebagai staf pengajar. 5. Ko-promotor (Dr. Ir. Tavi Supriana, M.Si) yang selalu membimbing dan
memberikan jalan keluar dengan tiada henti selama kami menyelesaikan studi dan menyusun disertasi.
7. Komisi penguji luar (Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS) yang telah mengorbankan banyak hal dalam rangka memberikan dukungan dan masukan dalam penyelesaian disertasi.
8. Pimpinan, dosen dan segenap staf Program Doktor Perencanaan Wilayah SPS USU atas fasilitasi dan dukungannya secara terus-menerus kepada kami dalam proses perkuliahan maupun penyelesaian disertasi.
9. Bupati, Kepala BAPPEDA, Camat dan Kepala Desa/Lurah beserta jajarannya, maupun segenap masyarakat di lingkungan Kabupaten Serdang Bedagai (khususnya di lokasi penelitian) yang telah mendukung dan membantu kami dalam melaksanakan penelitian disertasi.
10.Segenap keluarga, istri tercinta, (Reny Khaerany N, S.Pd.I), anak-anak tersayang (Daud, Nayyira dan Sidqi), Bapak/Ibu (Karim/Watini) dan adik-adik sekalian atas dukungan dan do’a nya yang terus mengalir sepanjang masa.
11.Ayahanda tercinta (alm. Salimi MS) atas didikan dan bekal hidup yang telah diberikan kepada kami dengan penuh disiplin.
12.Segenap rekan/sahabat mahasiswa S3 PW, mahasiswa S2 PWD dan mahasiswa S2/S3 jurusan lain yang telah membantu dan berkontribusi dalam menyelesaikan program pendidikan doktor ini.
Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan di atas dengan anugerah yang lebih baik lagi kepada semua pihak yang telah berperan dalam proses penyelesaian studi kami. Kami mohon maaf setulus hati kepada semua pihak yang secara disengaja ataupun tidak disengaja dirugikan dan/atau dikecewakan selama kami menyelesaikan program pendidikan doktor kami.
Kami menyadari bahwa meskipun telah dilakukan dengan mengerahkan segenap kemampuan kami, disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu masukan dan saran selalu kami harapkan dari para dosen dan kolega agar kami bisa terus berkarya dan menyumbangkan kontribusi yang lebih baik lagi kepada dunia akademik di kemudian hari.
Medan, September 2011
Penyusun
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Purbalingga, Jawa Tengah pada tanggal 1 Agustus 1974
dari ayah Salimi MS (alm) dan ibu Watini. Penulis merupakan anak pertama dari lima
bersaudara.
Penulis lulus pendidikan dasar di SDN Langgar 2, Kejobong, Purbalingga.
Pada tahun 1989 penulis menyelesaikan pendidikan di SMPN 1 Kejobong dan pada
tahun 1993 menyelesaikan pendidikan di SMA N 1 Purbalingga. Selanjutnya penulis
melanjutkan studi di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan lulus sarjana kehutanan (S1
Pada tahun 2000 penulis diangkat sebagai staf pengajar Jurusan Kehutanan
USU dan ditempatkan pada Program Studi Manajemen Hutan. Pada tahun 2002
penulis melanjutkan studi S
) pada tahun
1998. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif di berbagai lembaga
kemahasiswaan hingga menjadi Ketua Senat Mahasiswa IPB pada periode tahun
1997-1998.
2
Penulis menikah dengan Reny Khaerany Nisfiary, S.Pd.I pada tahun 1999 dan
hingga saat ini telah dikaruniai 3 orang anak, yakni Daud Jeisy Ats-Tsaqofi, Nayyira
Ulya Tsaqofi dan Nabhan Sidqi Amani.
pada program studi Perencanaan Pembangunan Wilayah
dan Pedesaan (PWD) Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dan lulus
pada tahun 2005. Selanjutnya penulis mengikuti program pendidikan doktor
Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara mulai
DAFTAR ISI
PENGESAHAN ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 12
2.1. Perencanaan Pengembangan Wilayah ... 12
2.1.1. Perencanaan ... 12
2.1.1. Konsep-konsep Pengembangan Wilayah ... 15
2.2. Penatagunaan Lahan ... 20
2.2.1. Penggunaan Lahan dan Perubahannya ... 20
2.2.2. Sistem Klasifikasi Penggunaan Lahan ... 22
2.3. Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 24
2.3.1. Konsepsi Wilayah Pesisir ... 24
2.3.2. Wilayah Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara ... 27
2.3.3. Potensi dan Peluang Sumberdaya Alam Pantai Timur Sumatera Utara ... 28
2.3.5. Potensi dan Masalah Sumberdaya Manusia di Kawasan Pesisir 30
2.3.6. Potensi dan Masalah Sumberdaya Manusia di Kawasan Pesisir 31
2.3.7. Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir ... 31
2.4. Tipologi Ekosistem Pesisir dan Interaksinya ... 32
2.5. Kondisi Ekosistem Mangrove dan Kerusakannya ... 36
2.5.1. Gambaran Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 36
2.5.2. Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 38
2.5.3. Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 41
2.6. Ekosistem Mangrove dan Pengembangan Wilayah Pesisir ... 42
2.6.1. Potensi dan Manfaat Ekonomi Ekosistem Mangrove ... 42
2.6.2. Korelasi Ekosistem Mangrove dan Perikanan ... 48
2.6.3. Penelitian Terdahulu dan Kontribusi Penelitian ... 52
2.7. Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Zone Management) ... 62
2.7.1. Konsepsi dan Strategi 2.7.2. Penentuan Strategi Pengelolaan ... 66
... 62
2.7.3. Keberkelanjutan Pembangunan Wilayah Pesisir ... 67
2.8. Sistem Informasi Geografis dan Penggunaannya dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah ... 67
2.8.1. Penginderaan Jauh (Remote Sensing) ... 70
2.8.2. Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 74
III. KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 79
3.1. Kerangka Konseptual Penelitian ... 79
IV. METODE PENELITIAN ... 85
4.1. Lokasi Penelitian ... 85
4.2. Obyek Penelitian dan Unit Analisis ... 85
4.3. Bahan dan Alat. ... 86
4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 87
4.4.1. Data Primer ... 87
4.4.2. Data Sekunder ... 87
4.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 89
4.5.1. Pengolahan Data ... 89
4.5.2. Analisis Data ... 91
4.6. Definisi Operasional ... 115
V. KONDISI UMUM PENELITIAN ... 118
5.1. Letak Wilayah ... 118
5.2. Pemerintahan ... 118
5.3. Potensi Ekonomi Wilayah Pesisir. ... 119
5.4. Kondisi Umum Kecamatan-kecamatan Lokasi Penelitian ... 124
5.5. Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut ... 129
5.6. Strategi Pengembangan Kawasan Pesisir ... 131
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 132
6.1. Hasil Penelitian ... 132
6.1.1. Karakteristik Responden ... 132
6.1.2. Kondisi Spasial Biofisik Ekosistem Mangrove ... 136
6.1.3. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 137
6.1.4. Kesesuaian Peruntukkan Mangrove ... 141
6.1.6. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesesuaian Peruntukan
Ekosistem Mangrove ... 148
6.1.7. Pengaruh Kerusakan dan Kesesuaian Peruntukkan Ekosistem Mangrove terhadap Pengembangan Wilayah Pesisir ... 152
6.1.8. Hasil Identifikasi Matrik SWOT ... 168
6.2. Pembahasan ... 172
6.2.1. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 172
6.2.2. Kesesuaian Peruntukkan Mangrove ... 174
6.2.3. Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 176
6.2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesesuaian Peruntukan ... Ekosistem Mangrove ... 180
6.2.5. Arahan Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 184
6.2.6. Pengaruh Kerusakan dan Kesesuaian Peruntukkan Ekosistem Mangrove terhadap Pengembangan Wilayah Pesisir ... 189
6.2.7. Hasis Analisis Keseluruhan ... 194
6.2.8. Strategi Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Pesisir ... 195
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 210
7.1. Kesimpulan ... 210
7.2. Saran ... 211
DAFTAR PUSTAKA ... 215
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1. Format Interpretasi Citra pada Beberapa Tingkat Klasifikasi Penggunaan
Lahan atau Penutupan Lahan ... 22
2. Sistem Klasifikasi Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan untuk Digunakan dengan Data Penginderaan Jauh ... 23
3. Rekap Hasil-hasil Penelitian Terdahulu ... 52
4. Karakteristik Spektral Landsat Thematic Mapper ... 71
5. Rencana Nara Sumber Penelitian ... 86
6. Kelas Kerusakan Mangrove dan Jenis Penggunaan Lahan ... 97
7. Prakiraan Kisaran Tingkat Kerapatan Berdasarkan NDVI Menggunakan Data Landsat-TM ... 98
8. Pengkelasan Kepekaan Tanah terhadap Abrasi ... 99
9. Peubah, Bobot dan Skor Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove Tahap Awal (Sementara) ... 104
10. Analisis Strategi Menggunakan Matriks SWOT ... 114
11. Data Luas dan Jumlah Desa Kecamatan-kecamatan di Kab. Serdang Bedagai... 119
12. Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 132
13. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian ... 133
14. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 135
15. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 136
16. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 140
17. Tingkat Kesesuaian Peruntukan Mangrove ... 142
18. Anova Model Penduga Tingkat Kerusakan ... 143
20. Hasil Analysis of Variance Model Penduga Tingkat Kerusakan ... 148
21. Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 149
22. Hasil Pengaruh Langsung dan Total Jalur Y1 ... 158
23. Hasil Pengaruh Langsung dan Total Jalur Y2 ... 158
24. Anova Model Penduga Pengembangan Wilayah Pesisir ... 159
25. Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pengembangan Wilayah Pesisir ... 160
26. Pengaruh X1 – X10 terhadap Y1 dan Pengaruh Y1 terhadap Z ... 162
27. Pengaruh X1 - X10 terhadap Y2 dan Pengaruh Y2 terhadap Z ... 164
28. Anova Model Penduga Pengembangan Wilayah Pesisir Hubungan Langsung ... 165
29. Regresi Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pengembangan Wilayah Pesisir melalui Hubungan Langsung ... 165
30. Matriks SWOT ... 169
31. Resume Faktor-faktor Strategis SWOT ... 171
32. Arahan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai ... 185
33. Matrik Arahan Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove untuk Pengembangan Wilayah Pesisir Kab. Serdang Bedagai ... 201
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Hubungan Fungsional Ekosistem Mangrove dengan Sumberdaya Perikanan ... 50
2. Kerangka Konseptual Penelitian ... 83
3. Proses Digitasi Peta Dasar ... 89
4. Diagram Alir Tahapan Penentuan Tingkat Kekritisan Lahan Mangrove ... 94
5. Diagram Alir Tahapan Analisis Penyimpangan Penggunaan Lahan ... 106
6. Model Analis Jalur (Path Analysis) yang Digunakan ... 112
7. Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 139
8. Kelas Kesesuaian Peruntukkan Ekosistem Mangrove ... 142
9. Model Teoritik Jalur ... 157
10. Model Persamaan Struktural yang Digunakan ... 159
11. Skema Hasil Analisis Jalur ... 167
12. Gambaran Bentuk Kerusakan Ekosistem Mangrove di Lokasi Penelitian ... 173
13. Gambaran Penggunaan Lahan di Lokasi Penelitian ... 175
14. Peta Arahan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Rehabilitasi) ... 186
15. Peta Arahan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Restorasi) ... 187
16. Peta Arahan Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Rehabilitasi dan Restorasi) .... 188
DAFTAR LAMPIRAN
1. Peta Administratif Lokasi Penelitian di Kabupaten Serdang Bedagai ... 223
2. Kriteria dan Indikator Variabel Penelitian ... 224
3. Rekap Data Hasil Penelitian Penelitian ... 234
4. Hasil-hasil Uji Statistik Penelitian ... 237
5. Data-data Hasil Penelitian ... 244
ABSTRAK
Analisis Perencanaan Peruntukan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Untuk Pengembangan Wilayah di Kawasan Pesisir Kabupaten Serdang Bedagai, Agus Purwoko dengan Promotor Prof. Dr. Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE., Ko-promotor Prof. Dr. Ir. Sumono, MS. dan Dr. Ir. Tavi Supriana, M.Si.
Mangrove merupakan ekosistem utama di kawasan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai. Ekosistem mangrove merupakan salah satu pilar utama pengembangan wilayah di kawasan ini, oleh karena itu perlu dikaji dan direncanakan dengan baik pengelolaan/pemanfaatannya. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk; 1) menganalisis kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi di kawasan pesisir; 2) menganalisis kesesuaian peruntukkan lahan mangrove yang terjadi di kawasan pesisir; 3) menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kerusakan dan tingkat kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove; dan 4) menganalisis pengaruh kerusakan dan kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove terhadap pengembangan wilayah di kawasan pesisir; dan 5) mengkaji strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang mendukung pengembangan perekonomian wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum telah terjadi kerusakan ekosistem mangrove pada desa-desa di kawasan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai dengan kategori kerusakan rata-rata antara sedang – rusak (skor 2.4). Adapun tingkat kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove juga berada pada kategori rata-rata antara sedang - tidak sesuai (skor 2.6). Faktor-faktor seperti intensitas pengamanan, penebangan kayu bakau, kegiatan pertambakan, kegiatan perkebunan, pemanfaatan hasil hutan non kayu, intensitas penyuluhan/sosialisasi, kedekatan dengan industri pengolahan kayu bakau, keberadaan kelompok swadaya masyarakat, keberadaan lembaga swadaya masyarakat, tingkat pemahaman masyarakat terhadap lingkungan secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat kerusakan dan kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai. Adapun secara parsial ; a) hanya faktor-faktor intensitas kegiatan pengamanan, kegiatan penebangan, kegiatan pertambakan, kegiatan pertanian, keberadaan/peranan kelompok swadaya masyarakat dan tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove yang terbukti berpengaruh secara nyata terhadap kerusakan ekosistem mangrove, b) hanya faktor-faktor intensitas kegiatan pengamanan, kegiatan penebangan, kegiatan pertanian, keberadaan/peranan kelompok swadaya masyarakat dan tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove yang terbukti berpengaruh secara nyata terhadap kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove di kawasan. Tingkat kerusakan dan kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove secara bersama-sama berpengaruh secara nyata terhadap pengembangan wilayah di kawasan. Akan tetapi secara parsial hanya tingkat kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove yang berpengaruh secara nyata terhadap pengembangan wilayah di kawasan pesisir dan merupakan jalur yang signifikan. Dengan demikian, intensitas kegiatan pengamanan, kegiatan penebangan, kegiatan pertambakan, kegiatan pertanian, keberadaan/peranan kelompok swadaya masyarakat dan tingkat pemahaman masyarakat terhadap ekosistem mangrove bisa digunakan sebagai penduga pengembangan wilayah di kawasan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai melalui jalur tingkat kesesuaian peruntukan ekosistem mangrove. Dari semua kuadran strategi, strategi yang terpilih sebagai prioritas adalah strategi mengatasi/menanggulangi kelemahan dan ancaman (WT) yaitu mengembangkan kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove kolaboratif yang efektif dalam melaksanakan fungsi pendidikan lingkungan dan pengamanan/pelestarian ekosistem mangrove yang mendukung pengembangan wilayah pesisir.
ABSTRACT
Analysis of Allotment and Management Planning of Mangrove Ecosystem for Regional Development in Coastal Area of Serdang Bedagai Regency. Agus Purwoko, supervised by Prof. Dr. Lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE., Co-promotor Prof. Dr. Ir. Sumono, MS. and Dr. Ir. Tavi Supriana, M.Si.
Mangrove represents the main ecosystem in coastal area of Serdang Bedagai Regency. In term of regional development mangrove ecosystem is one of main pillar in this area, therefore it requires to be studied and planned properly in both management and utilization. This research was aimed to analyze; 1) the damage of mangrove ecosystem along coastal; 2) land suitability of mangrove ecosystem along coastal; 3) factors that effect on the level of mangrove ecosystem’s damage and land suitability; 4) the influence of damage and land suitability level of mangrove ecosystem into regional development of coastal; and 5) the strategy of mangrove ecosystem management in supporting regional economic development of coastal area of Serdang Bedagai Regency.
The result of this research indicated that generally mangrove ecosystem in coastal area of Serdang Bedagai Regency was on the category between medium to damaged range (score 2.4). The land suitability of mangrove ecosystem was also in medium to unsuitable range (score 2.6). Some factors such as security intensity, mangrove harvesting, brackish culture, plantation activity, utilizing of non wood forest product, extension and socialization, the existence of mangrove wood processing industry, the existence both of society group and non government organization, and society understanding to mangrove ecosystem that all together showed a significant effect on the damage and land suitability level of the mangrove ecosystem. Another result showed partially: a) only factors of security activity intensity, harvesting of mangrove wood activity, brackish culture, agricultural activity, the existence of society group and the society understanding to mangrove ecosystem effected on the damage of mangrove ecosystem in coastal area; b) only factors of security activity intensity, harvesting of mangrove wood activity, agricultural activity, the existence of society group and the society understanding to the mangrove ecosystem effected on the damage of mangrove ecosystem in coastal area. Furthermore, both damage and land suitability level of mangrove ecosystem effected on regional development in coastal area. However, partially only the land suitability level of mangrove ecosystem effected on regional development in coastal area and represent the significant result. Thereby, intensity of security activity, harvesting of mangrove wood activity, brackish culture activity, agricultural activity, the existence of society group and the society understanding to the mangrove ecosystem can be used as regional development prediction value in coastal area of Serdang Bedagai Regency through land suitability level of mangrove ecosystem. Among all quadrant of strategies, the chosen one as priority strategy is overcoming weakness and threat (WT), to develop effective collaborative management institution in dealing with environmental education function and mangrove ecosystem conservation in supporting regional development of coastal area.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,
karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai
sepanjang 81.000 km. Selain menempati wilayah yang sangat luas, kawasan pesisir
yang terdiri dari berbagai ekosistem pendukung seperti ekosistem hutan mangrove,
terumbu karang, padang lamun dan lahan basah tersebut memiliki keanekaragaman
hayati dan berbagai sumberdaya alam seperti ikan, dan bahan-bahan tambang yang
bernilai tinggi (DKP, 2002). Kemudahan akses terhadap kawasan pesisir cenderung
meningkatkan laju pemanfaatan wilayah pesisir di tahun-tahun mendatang, baik
dalam hal pemanfaatan sumber daya ekonomi maupun pemanfaatan ruang. Selain itu,
hal lain yang tidak boleh diabaikan adalah fakta yang menunjukkan bahwa tidak
kurang dari 60% penduduk Indonesia bermukim di kawasan pesisir (DKP, 2002).
Secara geografis, letak wilayah pesisir yang berada di antara daratan dan
lautan, menyebabkan tingginya tingkat keterkaitan dan saling mempengaruhi antara
ekosistem di daratan dengan ekosistem di pesisir. Hal ini mengakibatkan wilayah
pesisir sangat rentan terhadap berbagai dampak kegiatan yang dilakukan di daerah
atas (hulu). Pemanfaatan sumberdaya yang terdapat di daratan terutama yang terletak
pada ekosistem daerah aliran sungai dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir
dapat memberikan kontribusi dan keuntungan finansial yang sangat besar bagi
pembangunan. Namun apabila pemanfaatan tersebut dilakukan tanpa memperhatikan
kondisi lingkungan dan karakteristik sumber dayanya maka dampak berupa kerusakan
Salah satu natural resources yang penting di kawasan pesisir adalah ekosistem
mangrove. Mangrove merupakan ekosistem utama di wilayah pesisir, dengan tipologi
vegetasi utamanya berupa hutan bakau (sebutan yang lazim digunakan untuk
menyebut ekosistem hutan pada lahan pasang surut di pantai berlumpur). Umumnya
ekosistem mangrove merupakan sumber daya alam (natural resources) yang memiliki
intensitas relasi yang tinggi dengan masyarakat. Lokasi ekosistem mangrove mudah
dijangkau dan berada pada kawasan-kawasan yang sudah cukup terbuka/berkembang.
Selain itu, potensi ekonomi hutan mangrove cukup tinggi dan didukung oleh
kemudahan pemanfaatan dan pemasaran hasilnya. Hubungan antar ekosistem dan
antar sektor yang sangat kuat di wilayah pesisir mendorong laju kerusakan ekosistem
mangrove. Kerusakan ekosistem mangrove umumnya berlangsung cepat dan memiliki
efek multiplier.
Di satu sisi ekosistem mangrove memiliki nilai dan potensi ekonomi yang
tinggi, namun kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kerusakan hutan mangrove
yang cukup memprihatinkan. Kerusakan tersebut terutama disebabkan oleh adanya
kegiatan di lingkungan mangrove, seperti perubahan hutan mangrove menjadi
penggunaan lain (tambak, pemukiman, dan lain-lain), pencemaran lingkungan
(minyak, sampah, dan lain-lain), atau kegiatan lain tanpa memperhatikan
kelestariannya. Savitri dan Khazali (1999) menjelaskan, penebangan hutan mangrove
secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi usaha pertambakan dapat
menyebabkan terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan dan udang di sekitarnya.
Berkurangnya ikan dan udang di daerah ini berarti mengurangi pendapatan
nelayan-nelayan kecil yang biasanya beroperasi di sekitar pantai, penyudu udang, pencari
Laporan USU (1999) menyatakan bahwa di kawasan pantai timur Sumatera
Utara telah terjadi berbagai bentuk kerusakan ekosistem hutan bakau. Kerusakan
yang terjadi berupa penebangan liar/pencurian kayu, perambahan, pengambilan biota
laut yang tidak terkendali, perburuan liar, pencemaran sungai dan konversi menjadi
pemukiman. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan
(2006). Di pesisir timur Sumatera Utara, termasuk di dalamnya Kabupaten Serdang
Bedagai, berkurangnya ikan hasil tangkapan menyebabkan sebagian nelayan beralih
profesi sebagai penebang kayu di hutan bakau, atau setidaknya menebang kayu
tersebut menjadi aktivitas alternatif pada saat musim tidak melaut. Rusak atau
hilangnya hutan mangrove mengakibatkan pula abrasi pantai yang dapat menyapu
pemukiman penduduk dan pada akhirnya justru akan menghancurkan usaha
pertambakan itu sendiri di kemudian hari. Selain itu dengan hilangnya mangrove,
intrusi air laut akan semakin mudah meluas ke arah daratan dan menyebabkan
sumur-sumur air tawar tidak lagi dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, pemanfaatan
sumberdaya alam di kawasan pesisir harus betul-betul dilakukan dengan konsep dan
perencanaan yang sinkron dengan pengembangan perekonomian wilayah pesisir
secara berkelanjutan (sustainable).
Menurut Kusmana (2003), ada tiga faktor utama penyebab kerusakan
mangrove, yaitu (1) pencemaran, (2) konversi hutan mangrove yang kurang
memperhatikan faktor lingkungan dan (3) penebangan yang berlebihan. Pencemaran
seperti pencemaran minyak, logam berat. Konversi lahan untuk budidaya perikanan
(tambak), pertanian (sawah, perkebunan), jalan raya, industri, produksi garam dan
pemukiman, pertambangan dan penggalian pasir. Lebih jauh Bengen (2001)
menjelaskan bahwa kerusakan di atas dikarenakan adanya fakta bahwa sebagian
mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi
tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat
untuk berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan memang pada dasarnya hutan
mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan rumah
tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Akan tetapi, dampak
ekologis akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya
berbagai spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang
dalam jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove
khususnya dan ekosistem pesisir umumnya.
Kerusakan ekosistem mangrove juga terjadi pada kawasan pesisir Kabupaten
Serdang Bedagai. Potensi ekosistem mangrove di daerah ini yang cukup besar
memberikan peluang yang besar pula terhadap terciptanya berbagai bentuk
pemanfaatan secara ekonomi. Bentuk-bentuk pemanfaatan secara ekonomi tersebut
misalnya usaha pertambakan, pertanian, perindustrian, pemukiman, pariwisata,
pertambangan dan penangkapan ikan. Bentuk-bentuk pemanfaatan di atas masih
menempatkan pemanfaatan sumber daya alam (terutama ekosistem mangrove) di
wilayah pesisir sebagai pilar utama pengembangan wilayah di kawasan ini.
Sementara, pilar-pilar yang lain yakni sumber daya manusia dan teknologi umumnya
masih relatif tertinggal. Fakta ini merupakan kondisi umum di kawasan pesisir
Sumatera Utara. Salah satu indikatornya sebagaimana yang dilaporkan oleh Lindawati
(2007), yang menyebutkan bahwa sekitar 85 % kondisi tempat tinggal keluarga
nelayan pada umumnya belum memadai, dimana ukuran rumah sempit (rata-rata
35m2), lantai rumah 67% masih beralaskan papan, dinding rumah umumnya dari sisa
olahan kayu dan dari bambu, atap rumah umumnya masih dari rumbia dan sedikit
dengan kondisi yang memadai. Purwoko (2005) juga melaporkan bahwa
permasalahan sosial ekonomi lain di wilayah pesisir adalah rendahnya mutu
sumberdaya manusia (SDM), rendahnya pendapatan karena belum terserapnya
seluruh tenaga kerja yang ada di pesisir pantai pada lapangan kerja yang ada,
sedangkan hasil laut dan tambak yang semakin menurun.
Wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai secara relatif telah memiliki
infrastruktur tansportasi cukup baik dan secara geografis berada tidak jauh dari
pusat-pusat pertumbuhan Kabupaten Serdang Bedagai (Pemkab. Serdang Bedagai, 2009).
Oleh karena itu keterbukaan wilayah ini diperkirakan akan terjadi dengan cepat. Hal
itu meningkatkan derajat tekanan dari beban yang harus dipikul oleh kawasan pesisir.
Dengan memperhatikan fenomena di atas, maka pemanfaatan dan pengelolaaan
sumberdaya dan ruang di kawasan pesisir yang direncanakan secara berkelanjutan
adalah merupakan suatu kebutuhan.
Undang-undang RI No. 25 tahun 2006 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional mengamanatkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional bertujuan untuk; 1) mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan; 2)
menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar
ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah; 3)
menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, dan pengawasan; 4) mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan 5)
menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efesien, efektif, berkeadilan,
dan bekelanjutan.
Miraza (2005), menjelaskan bahwa perencanaan wilayah harus didukung oleh
kebijakan publik yang tepat, yang dalam jangka panjang dapat meningkatkan
adanya intervensi pemerintah yang bertujuan untuk mengubah yang ada atau
mempengaruhi arah dan kecepatan dari perubahan yang sedang berlangsung dalam
masyarakat, guna mewujudkan kon\disi yang diinginkan. Adapun obyek yang dapat
diintervensi adalah unsur-unsur pembangunan yang dapat digerakkan untuk
meningkatkan kesejahteraan tersebut. Unsur-unsur dimaksud seperti natural
resources, human resources, infrastructure, technology dan culture.
Dalam matriks kebijakan program pembangunan sumber daya alam dan
lingkungan hidup Propenas, Neraca Sumberdaya Alam tercantum sebagai salah satu
indikator kinerja yang terkait langsung dengan program nasional pengembangan dan
peningkatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Neraca Sumber Daya Alam
Spasial (NSAS) dan Atlas Sumber Daya dan Lingkungan merupakan suatu
pendekatan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif tentang potensi, cadangan, sebaran
lokasi, serta degradasi sumber daya alam pada suatu daerah. Perangkat perencanaan
tersebut harus tersajikan dalam bentuk sistem informasi geografis sehingga mudah
untuk diakses kembali bila diperlukan sesuai dengan unsur sumberdaya yang
diinginkan (Tissahadi, 2004). Hal ini menandakan sudah semakin pentingnya
perencanaan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersaji secara spasial dengan basis
sistem informasi geografis.
Dalam konteks otonomi daerah, daerah dipacu untuk dapat memanfaatkan
secara maksimal dan bertanggung jawab atas sumberdaya alam yang dimiliki untuk
pembangunan daerah masing-masing, termasuk di dalamnya adalah ekosistem
mangrove. Pemanfaatan sumberdaya alam secara bertanggung jawab dimulai dengan
melakukan identifikasi sumberdaya yang dimilikinya dan memanfaatkannya secara
bijaksana dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup (Tissahadi, 2004).
ruang menjadi permasalahan utama dalam pertumbuhan wilayah (Sirojuzilam, 2007).
Demikian juga dengan yang terjadi di kawasan pesisir. Dengan memperhatikan
fenomena di atas maka perencanaan yang tepat akan pemanfaatan dan pengelolaaan
sumberdaya pesisir Kabupaten Serdang Bedagai secara berkelanjutan adalah
merupakan suatu kebutuhan.
Dalam hal pengelolaan kawasan pesisir, pemerintah Kabupaten Serdang
Bedagai merupakan pihak yang berkepentingan. Pemerintah daerah memiliki peran
yang menentukan dalam perencanaan pengelolaan kawasan pesisir yang
berkelanjutan. Sampai saat ini, arah pemanfaatan sumber daya dan ruang di wilayah
pesisir, khususnya ekosistem mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai cenderung
tidak terarah dan terkendali dengan baik oleh pemerintah. Hal ini terlihat dari adanya
fakta-fakta pemanfaatan/pengelolaan sumberdaya mangrove yang merusak, tidak
berkeadilan dan menyebabkan eksternalitas negatif yang merugikan masyarakat luas.
Sehubungan dengan permasalahan di atas, perlu adanya perubahan pola pikir
dan pola tindak dari pihak Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai agar dapat
mengadakan berbagai perubahan dan penyempurnaan dalam mengembangkan
program, membuat kebijakan dan menerbitkan aturan yang mendukung pola
pengelolaan kawasan pesisir yang dikembangkan secara terpadu. Tanpa dukungan
kebijakan dan peraturan pemerintah, maka sistem pengelolaan yang dihasilkan tidak
akan memiliki kekuatan hukum sehingga akan dengan mudah diubah/diganti oleh
berbagai pihak yang ingin mengambil keuntungan sesaat (Savitri dan Khazali, 1999).
Wiyana (2004) menambahkan bahwa pengelola wilayah pesisir secara berkelanjutan,
hanya dapat mencapai tujuannya secara optimal apabila para perencana dan
pengelola/pelaksana program memasukkan faktor-faktor penentu. Faktor penentu
perencanaan dan pengambilan keputusan yang inklusif, partisipatif, transparan,
akuntabel, dan didukung dengan informasi ilmiah.
Salah satu cara untuk mendukung kebijakan strategis dalam pengelolaan
kawasan pesisir adalah dengan menggunakan perangkat penelitian dan teknologi
informasi. Pelaksanaan pengkajian dan teknologi informasi oleh pemerintah
Kabupaten Serdang Bedagai akan menjadi langkah awal bagi proses perencanaan
pengembangan dalam rangka menyiapkan pelayanan publik dan mengoptimalkan
potensi ekonomi lokal (Pratomo, 2007). Sehubungan dengan hal-hal di atas,
penelitian ini menjadi sangat urgen untuk dilakukan sebagai salah satu langkah
konkrit untuk melakukan perencanaan pengelolaan sumberdaya kawasan pesisir
secara terpadu dengan pendekatan optimasi pemanfaatan ruang dan sumber daya.
Perencanaan wilayah pesisir juga dimaksudkan agar penataan ruang pesisir dapat
diformulasikan oleh aturan/kebijakan tertentu, bukan oleh mekanisme pasar. Selain
itu, perencanaan pengembangan wilayah pesisir yang baik diharapkan dapat
mengurangi fenomena kesenjangan pembangunan antar kawasan (Lubis, 2005).
1.2. Perumusan Masalah
Permasalahan yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimana kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi di kawasan pesisir
Kabupaten Serdang Bedagai?
2. Bagaimana kesesuaian peruntukkan lahan mangrove yang terjadi di kawasan
3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerusakan dan kesesuaian
peruntukkan ekosistem mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai?
4. Bagaimana pengaruh kerusakan dan kesesuaian peruntukkan ekosistem mangrove
terhadap pengembangan wilayah di kawasan pesisir Kabupaten Serdang Bedagai?
5. Bagaimana strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang mendukung
pengembangan perekonomian wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan secara umum untuk mengkaji
permasalahan-permasalahan yang telah teridentifikasi. Adapun tujuan dari penelitian
ini secara terperinci diuraikan sebagai berikut :
1. Menganalisis kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi di kawasan pesisir
Kabupaten Serdang Bedagai.
2. Menganalisis kesesuaian peruntukkan lahan mangrove yang terjadi di kawasan
pesisir Kabupaten Serdang Bedagai.
3. Menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan dan kesesuaian
peruntukkan ekosistem mangrove di Kabupaten Serdang Bedagai.
4. Menganalisis pengaruh kerusakan dan kesesuaian peruntukkan ekosistem
mangrove terhadap pengembangan wilayah di kawasan pesisir Kabupaten Serdang
Bedagai.
5. Mengkaji strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang mendukung
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan luaran baik bagi para
stake holder pengelolaan ekosistem mangrove dan pengembangan wilayah pesisir di
Kabupaten Serdang Bedagai maupun bagi kalangan akademisi dan dunia ilmu
pengetahuan dengan perincian sebagai berikut :
1. Sebagai referensi bagi pemerintah dan pemerintah daerah sehingga memudahkan
dalam pengambilan keputusan tentang program-program pengelolaan yang sesuai
aktualitas dan akar permasalahannya. Manfaat itu diperoleh dengan adanya
data-data ilmiah berbasis spasial tentang kerusakan yang terjadi pada ekosistem
mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Serdang Bedagai beserta faktor-faktor
yang menjadi penyebabnya.
2. Sebagai pedoman bagi upaya penataan ekosistem dan pengembangan
pemanfaatannya untuk mewujudkan sinkronisasi hubungan socio-eco-ecosystem
yang produktif antara masyarakat pesisir, ekosistem, dan perekonomian wilayah.
Manfaat itu diperolehnya dengan data-data ilmiah berbasis spasial mengenai
kesesuaian peruntukkan lahan yang terjadi sebagai dampak dari kegiatan
pembangunan selama ini di wilayah pesisir.
3. Sebagai referensi bagi pencegahan/pengurangan kerusakan dan kesesuaian
peruntukkan lahan melalui upaya mengatasi penyebabnya secara efektif (tepat
sasaran). Hal itu diperoleh dengan diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi
kerusakan dan kesesuaian peruntukkan lahan mangrove yang terjadi di kawasan
pesisir.
4. Sebagai sumber acuan bagi perencanaan pengelolaan kawasan yang bersifat
preventif maupun kuratif dalam rangka meminimalisir dampak-dampak kerusakan
5. Sebagai rujukan strategi pengelolaan ekosistem mangrove yang optimal bagi
pengembangan perekonomian wilayah memudahkan stake holder baik unsur
masyarakat maupun pengambil kebijakan dalam menentukan tindakan yang
mengarah pada terwujudnya fungsi ekosistem mangrove yang mendukung
kelestarian ekosistem dan pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Serdang
Bedagai.
6. Bagi kalangan akademisi, data dan hasil penelitian ini dapat memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan sekaligus dapat menjadi referensi bagi penelitian lebih
lanjut tentang upaya-upaya peningkatan peranan ekosistem mangrove sebagai
salah satu komponen yang menjadi pilar pengembangan wilayah pesisir, baik
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perencanaan Pengembangan Wilayah 2.1.1. Perencanaan
Perencanaan didefinisikan sebagai berikut; 1) Perencanaan adalah penyusunan
tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan. Dalam hal ini, tujuan yang
dimaksudkan di sini adalah sebuah status yang diinginkan, dan tindakan dimaksudkan
dengan kegiatan/kelakuan terhadap sesuatu obyek yang secara rasional diketahui
akan mendekatkan pada status yang dinginkan; 2) Perencanaan adalah sebuah cara
berfikir yang berorientasi pada masa depan dengan sifat preskiptif menggunakan
metode dan sistematika yang rasional; 3) Perencanaan adalah penerapan metode
ilmiah dalam pembuatan kebijakan publik; 4) Perencanaan adalah upaya untuk
mengaitkan pengetahuan ilmiah dan teknis dengan tindakan-tindakan dalam domain
publik; 5) Perencanaan adalah upaya sadar untuk memecahkan masalah dan
mengendalikan rangkaian kejadian masa depan melalui pandangan jauh ke depan,
pemikiran sistematik, penyelidikan dan pengkajian pilihan nilai-nilai di dalam
memilih berbagai alternatif langkah tindakan (Faludi dalam Sirojuzilam, 2007).
Adapun Nugroho dan Dahuri (2004) mendefinisikan perencanaan pembangunan
sebagai upaya menghubungkan pengetahuan atau teknik yang dilandasi kaidah-kaidah
ilmiah ke dalam praktis (praktik-praktik yang dilandasi oleh teori) dalam perspektif
kepentingan orang masyarakat banyak/publik.
Perencanaan merupakan suatu bentuk tindakan sosial yang dimaksudkan untuk
mengarahkan pada wujud bentuk lingkungan fisik yang dalam prosesnya dipacu oleh
nilai-nilai moral, politik dan estestik. Perencanaan juga dimaksudkan untuk
maksud untuk memperbaiki rangkaian kejadian yang ada dengan meningkatkan
efisiensi dan rasionalitas, membantu atau menggantikan pasar, merubah atau
memperluas pilihan-pilihan untuk menuju tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi bagi
seluruh warga masyarakat (Sirojuzilam, 2007).
Umumnya para ahli mendefinisikan perencanaan sebagai proses
mendefinisikan tujuan organisasi, membuat strategi untuk mencapai tujuan itu, dan
mengembangkan rencana aktivitas kerja organisasi. Perencanaan merupakan proses
terpenting dari semua
seperti pengorganisasian, pengarahan, dan pengontrolan tak akan dapat berjalan
(Wikipedia, 2011). Dalam kajian ini, perencanaan didefinisikan sebagai suatu upaya
sadar untuk memecahkan masalah dan mengendalikan rangkaian kejadian masa depan
melalui pandangan jauh ke depan, pemikiran sistematik, penyelidikan dan pengkajian
pilihan nilai-nilai di dalam memilih berbagai alternatif langkah tindakan cenderung
lebih sesuai dengan konteks permasalahan yang dikaji.
Lebih jauh Sirojuzilam (2007) menjelaskan bahwa perencanaan dilakukan
dengan cara-cara :
1. Menentukan tujuan dan sasaran perencanaan dalam proses politik yang
menyertakan seluruh warga (stake holder),
2. Mengetahui fakta-fakta tentang kondisi yang ada dan latar belakangnya, serta
memperkirakan apa yang bakal terjadi dalam situasi-situasi tertentu,
3. Mengkaji pilihan-pilihan tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan
dan sasaran dengan mengingat potensi dan hambatan yang ada,
4. Menentukan piihan yang terbaik berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
5. Mengusulkan rangkaian kebijakan dan tindakan yang perlu diambil dalam
pelaksanaan pilihan yang diambil.
6. Melakukan langkah-langkah implementasi melalui tindakan sosialisasi,
penegakan, pemberian insentif, dan sebagainya, serta memantau pelaksanaannya
secara sistematik dan teratur.
Apabila dicermati maka paradigma pengembangan wilayah telah bergeser
pada upaya yang mengandalkan tiga pilar yaitu sumberdaya alam, sumberdaya
manusia dan teknologi. Ketiga pilar tersebut merupakan elemen internal wilayah yang
saling terkait dan berinteraksi membentuk satu sistem. Hasil interaksi elemen tersebut
mencerminkan kinerja dari suatu wilayah. Kinerja tersebut akan berbeda dengan
kinerja wilayah lainnya, sehingga mendorong terciptanya spesialisasi spesifik
wilayah. Kinerja yang berbeda tersebut akan memicu terjadinya persaingan antar
wilayah untuk menjadi pusat spatial network dari wilayah-wilayah lain secara
nasional. Namun demikian pendekatan ini juga mempunyai kelemahan, antara lain
apabila salah di dalam mengelola spatial network tadi tidak mustahil menjadi awal
dari proses disintegrasi. Untuk itu harus diterapkan konsep pareto pertumbuhan yang
bisa mengendalikan keseimbangan pertumbuhan dan dikelola oleh pemerintah pusat.
Konsep pareto ini diharapkan mampu memberikan keserasian pertumbuhan antar
wilayah dengan penerapan insentif-insentif kepada wilayah yang kurang berkembang
(Susilo, 2004).
Optimalisasi potensi wilayah dalam membangun keunggulan lokal
sebagaimana dijelaskan di atas harus diikuti dengan penguatan faktor-faktor yang lain.
Menurut Alkadri (1999), keunggulan komparatif bahkan telah dikalahkan oleh
kemajuan teknologi. Namun demikian, setiap wilayah masih mempunyai faktor
tetapi lebih dari itu, yakni adanya inovasi untuk pembaruan. Suatu wilayah dapat
meraih keunggulan daya saing melalui empat hal, yaitu keunggulan faktor produksi,
keunggulan inovasi, kesejahteraan masyarakat, dan besarnya investasi.
2.1.2. Konsep-konsep Pengembangan Wilayah
Menurut (Susilo, 2004), konsep pengembangan wilayah dimaksudkan untuk
memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan antar
wilayah. Untuk itu pengertian wilayah menjadi penting dalam pembahasan ini.
Menurut PP Nomor 47 Tahun 1997 wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Jadi pengembangan
wilayah merupakan upaya memberdayakan stake holders di suatu wilayah dalam
memanfaatkan sumberdya alam dengan teknologi untuk memberi nilai tambah atas
apa yang dimiliki oleh wilayah administratif atau wilayah fungsional dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup rakyat di wilayah tersebut. Dengan demikian dalam
jangka panjangnya pengembangan wilayah mempunyai target untuk pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Cara mencapainya bersandar
pada kemampuan SDM dalam memanfaatkan lingkungan sekitar dan daya
tampungnya serta kemampuan memanfaatkan instrument yang ada. Dengan target
tersebut dirancang skenario-skenario tertentu agar kekurangan-kekurangan yang
dihadapi dapat diupayakan melalui pemanfaatan sumberdaya. Apabila konsep tersebut
diterapkan di Indonesia, muncul persoalan berupa kekurangan teknologi untuk
mengolah sumberdaya yang melimpah.
Konsep Marshal Plan yang berhasil menuntun pembangunan Eropa setelah PD
konsep tersebut. Padahal kenyataan menunjukkan bahwa konsep ini membawa
kegagalan dalam menciptakan pembangunan secara merata antar daerah. Secara
geografis misalnya beberapa pusat pertumbuhan maju secara dramatis, sementara
beberapa pusat pertumbuhan lainnya masih jauh tertinggal atau jauh dari kemampuan
berkembang.
Kajian pengembangan wilayah di Indonesia selama ini selalu didekati dari
aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran
dari aktifitas masyarakat suatu wilayah dalam mengelola sumberdaya alam yang
dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah
dari kegiatan sektoral atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan
sektoral tersebut. Pada aspek inilah Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai
peran yang cukup strategis, karena SIG mampu menyajikan aspek spasial (keruangan)
dari fenomena atau fakta yang dikaji. Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral
dan spasial tersebut mendorong lahirnya konsep pengembangan wilayah yang harus
mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu
memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu
meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam
konsep pengembangan wilayah yang didasarkan pada penataan ruang.
Dalam kaitan itu ada tiga kelompok konsep pengembangan wilayah yaitu
konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi fungsional dan konsep pendekatan
desentralisasi (Alkadri et all, 1999). Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada
perlunya melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan
atau wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan
(trickle down effect). Penerapan konsep ini di Indonesia telah melahirkan adanya 111
kawasan andalan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN).
Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan
secara sengaja di antara berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang
komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah mempunyai hirarki
sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang lain. Sedangkan
konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari
sumberdana dan sumberdaya manusia. Pendekatan tersebut mempunyai berbagai
kelemahan. Dari kondisi ini muncullah beberapa konsep untuk menanggapi
kelemahan tersebut. Konsep tersebut antara lain people center approach yang
menekankan pada pembangunan sumberdaya manusia, natural resources-based
development yang menekankan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan, serta
technology based development yang melihat teknologi sebagai kunci dari keberhasilan
pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut
kurang berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.
Fenomena persaingan antar wilayah, fenomena perdagangan global yang
sering memaksa penerapan sistem outsourcing, kemajuan teknologi yang telah
merubah dunia menjadi lebih dinamis, perubahan mendasar dalam sistem
kemasyarakatan seperti demokratisasi, otonomi, keterbukaan dan meningkatnya
kreatifitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma dalam pengembangan
wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan
sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada
konsep-konsep yang dijelaskan di atas. Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan
yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri.
mengandalkan keunggulan komparatif berupa kekayaan alam berlimpah, upah murah
atau yang dikenal dengan bubble economics, sudah usang karena terbukti tak tahan
terhadap gelombang krisis. Walaupun teori keunggulan komparatif tersebut telah
bermetamorfose dari hanya memperhitungkan faktor produksi menjadi
berkembangnya kebijaksanaan pemerintah dalam bidang fiskal dan moneter, ternyata
daya saing tidak lagi terletak pada faktor tersebut (Alkadri etal, 1999).
Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula diperoleh dari
kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara menerus. Menurut Porter
(1990) dalam Tiga Pilar pengembangan Wilayah (1999) keunggulan komparatif telah
dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun demikian, setiap wilayah masih
mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya produksi
yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yakni adanya inovasi untuk pembaruan. Suatu
wilayah dapat meraih keunggulan daya saing melalui empat hal yaitu keunggulan
faktor produksi, keunggulan inovasi, kesejahteraan masyarakat, dan besarnya
investasi.
Menurut Susilo (2004), sejarah perkembangan konsep pengembangan
wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai
keberadaannya. Pertama adalah Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang
mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang
wilayah, yakni faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua adalah Hirschmann
(era 1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect
dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan
(unbalanced development). Ketiga adalah Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang
menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan
1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah
pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat
pertumbuhan. Terakhir adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya
model keterkaitan desa – kota (rural – urban linkages) dalam pengembangan wilayah.
Sutami (era 1970-an) menyampaikan gagasan bahwa pembangunan
infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumberdaya alam
akan mampu mempercepat pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi)
memberikan kontribusi lahirnya konsep hirarki kota-kota dan hirarki prasarana jalan
melalui Orde Kota. Ruslan Diwiryo (era 1980-an) memperkenalkan konsep Pola dan
Struktur Ruang yang bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU No.24/1992
tentang Penataan Ruang. Pada periode 1980-an ini pula, lahir Strategi Nasional
Pembangunan Perkotaan (SNPP) sebagai upaya untuk mewujudkan sitem kota-kota
nasional yang efisien dalam konteks pengembangan wilayah nasional. Dalam
perjalanannya SNPP ini pula menjadi cikal-bakal lahirnya konsep Program
Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) sebagai upaya sistematis dan
menyeluruh untuk mewujudkan fungsi dan peran kota yang diarahkan dalam SNPP.
Dan pada era 90-an, konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk mengatasi
kesenjangan wilayah, misal antara Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Kawasan
Barat Indonesia (KBI), antar kawasan dalam wilayah pulau, maupun antara kawasan
perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad millennium, bahkan,
mengarahkan konsep pengembangan wilayah sebagai alat untuk mewujudkan
integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Susilo (2004), secara konseptual pengertian pengembangan wilayah
dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam
nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan,
keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan.
Berpijak pada pengertian di atas maka lebih lanjut Susilo (2004) menyatakan
bahwa pembangunan tidak hanya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan
sektoral yang bersifat parsial, namun lebih dari itu, pembangunan diselenggarakan
untuk memenuhi tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang bersifat komprehensif
dan holistik dengan mempertimbangkan keserasian antara berbagai sumber daya
sebagai unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya alam, buatan, manusia dan sistem
aktivitas), yang didukung oleh sistem hukum dan sistem kelembagaan yang
melingkupinya.
2.2. Penatagunaan Lahan
2.2.1. Penggunaan Lahan dan Perubahannya
Lahan merupakan material dasar dari suatu lingkungan (situs) yang diartikan
berkaitan dengan sejumlah karakteristik alami, yaitu iklim, geologi, tanah, topografi,
hidrologi dan biologi (Aldrich, 1981 dalam Lo, 1995). Penutupan lahan merupakan
istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi
(Lillasand dan Kiefer, 1990). Defenisi lebih lanjut menyebutkan bahwa penutupan
lahan menggambarkan kontruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan.
Konstruksi tersebut seluruhnya tampak secara langsung dari citra penginderaan jauh
(Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan
manusia pada lahan tertentu. Informasi penutupan lahan dapat dikenali secara
langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Sedangkan informasi
ditaksir secara langsung dari penutupan lahannya (Lillasand dan Kiefer, 1990). Lebih
lanjut Lo (1995) menjelaskan bahwa terdapat tiga kelas data secara umum yang
tercakup dalam penutupan lahan yaitu : (1) struktur fisik manusia, (2) fenomena biotik
seperti vegetasi alami, tanaman pertanian dan kehidupan binatang, (3) tipe
pembangunan.
Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang karena
kegiatan manusia mengalami kondisi yang berubah pada waktu yang berbeda.
Selanjutnya Lo (1995) menyatakan bahwa deteksi perubahan mencakup penggunaan
fotografi udara yang berurutan di atas wilayah tertentu dan dari data tersebut
penggunaan lahan untuk setiap waktu dapat dipetakan dan dibandingkan. Campbell
(1993) dalam Lo (1995) menambahkan bahwa peta perubahan penggunaan lahan
antar dua periode waktu biasanya dapat dibandingkan.
Perubahan lahan terjadi karena adanya kegiatan yang dilakukan pada lahan
tersebut. Faktor-faktor penyebab terjadinya perubahan antara lain gangguan terhadap
hutan, penyerobotan lahan dan perladangan berpindah.
Sastrosemito (1994) dalam Lo (1995) menyatakan bahwa berdasarkan
penyebabnya, gangguan hutan secara umum dapat digolongkan menjadi dua yaitu
gangguan hutan yang disebabkan oleh daya alam dan gangguan hutan yang
disebabkan oleh manusia. Adapun gangguan hutan akibat daya alam meliputi :
kebakaran hutan akibat kilat dan kemarau, letusan gunung berapi, gempa bumi, tanah
longsor, banjir dan erosi akibat hujan deras yang lama. Sedangkan gangguan hutan
yang diakibatkan manusia yaitu : penebangan liar, penyerobotan lahan, kebakaran
hutan dan sebagainya.
Penyebab perubahan lahan diperjelas oleh Lillasand dan Kiefer (1990) dalam
terjadi karena manusia yang merubah lahan tersebut pada waktu yang berbeda.
Pola-pola perubahan lahan terjadi akibat responnya terhadap pasar, teknologi, pertumbuhan
populasi, kebijakan pemerintah, degradasi lahan dan faktor sosial ekonomi lainnya.
2.2.2. Sistem Klasifikasi Penggunaan Lahan
Klasifikasi lahan adalah penyusunan lahan ke dalam kelas-kelas yang
dipengaruhi oleh faktor karakteristik lahan, kualitas lahan, pengaruh dan pengelolaan
pertanian, penggunaan lahan, potensi penggunaan lahan, kelayakan penggunaan
lahan, desain penggunaan lahan dan sejarah penggunaan lahan. Kategori-kategori
tersebut merupakan fundamental dalam identifikasi dari berbagai kelas dan
responsibilitas dari rencana penggunaan lahan (Lillasand dan Kiefer, 1990).
Dalam klasifikasi penutupan lahan dan penggunaan lahan ada beberapa
informasi yang tidak dapat di peroleh dari data penginderaan jarak jauh. Informasi
mengenai penggunaan lahan tidak semuanya dapat langsung dikenali dari penutupan
lahannya. Untuk menentukan penggunaan lahan diperlukan tambahan informasi untuk
melengkapi data penutupan lahan.
Skema klasifikasi yang banyak digunakan dalam kegiatan klasifikasi
penutupan dan penggunaan lahan adalah skema klasifikasi yang disusun oleh USGS
(United State Geological Science) sebagaimana dalam Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Format Interpretasi Citra pada Beberapa Tingkat Klasifikasi Penggunaan Lahan atau Penutupan Lahan
Tingkat Klasifikasi Penggunaan Lahan / Penutupan Lahan
Ukuran yang Mewakili Interpretasi Citra
I Landsat
II Foto udara skala kecil
III Foto udara skala sedang
IV Foto udara skala besar
Tabel 2. Sistem Klasifikasi Penggunaan Lahan dan Penutupan Lahan untuk Digunakan dengan Data Penginderaan Jauh (Lillasand dan Kiefer, 1990).
No Tingkat I Tingkat II
1 Perkotaan atau lahan perkotaan
a. Pemukiman
b. Perdagangan dan jasa c. Industri
d. Transportasi
e. Kompleks industri dan perdagangan f. Kekotaan campuran atau lahan bangunan g. Kekotaan dan lahan bangunan lainnya 2 Lahan pertanian a.Tanaman semusim dan padang rumput
b. Daerah buah-buahan c. Lahan tanaman obat d. Lahan pertanian lainnya
3 Lahan peternakan a. Lahan pengembalaan terkurung b Lahan perternakan semak dan belukar c. Lahan campuran
4 Lahan hutan a. Lahan hutan gugur daun semusim b. Lahan hutan yang selalu hijau c. Lahan hutan campuran
5 Air a. Sungai dan kanal
b. Danau, c. Waduk, d. Teluk dan muara 6 Lahan basah a. Lahan hutan basah
b. Lahan Basah bukan Hutan 7 Lahan gundul a. Daratan garam kering
b. Gisik
c. Daerah berpasir selain gisik
d. Tambang terbuka, pertambangan dan tambang kerikil
8 Padang lumut a. Padang lumut semak belukar b. Padang lumut tanaman obat c. Padang lumut lahan gundul d. Padang lumut daerah basah e. Padang lumut daerah campuran 9 Es dan salju abadi a. Lapangan salju abadi
b. Glasier (Sumber: Lillasand dan Kiefer, 1990).
Menurut Lillasand dan Kiefer (1990), skema klasifikasi tersebut dirancang
dengan menggunakan data penginderaan jauh orbital atau pada ketinggian dan
1. Tingkat ketelitian interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jarak
jauh harus tidak kurang dari 85%.
2. Ketelitian interpretasi untuk beberapa kategori harus kurang lebih sama.
3. Hasil yang dapat diulang harus dapat diperoleh dari menafsir satu ke penafsir yang
lain.
4. Sistem klasifikasi harus dapat diterapkan untuk daerah yang luas.
5. Kategorisasi harus memungkinkan penggunaan lahan ditafsir dari tipe penutupan
lahannya.
6. Sistem klasifikasi harus dapat digunakan dengan data penginderaan jarak jauh
yang diperoleh pada waktu yang berbeda.
7. Kategori harus dapat dirinci ke dalam sub kategori yang lebih rinci yang dapat
diperoleh dari citra skala besar dan survei lapangan.
8. Pengelompokan kategori harus dapat dilakukan.
9. Harus dimungkinkan untuk dapat membandingkan dengan data penggunaan lahan
dan penutupan lahan di masa yang akan datang.
2.3. Pengelolaan Wilayah Pesisir 2.3.1. Konsepsi Wilayah Pesisir
Kepmen Kelautan dan Perikanan No. Kep.10/Men/2002 tangg