• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Pengujian Data

Langkah pertama yang dilakukan dalam mengestimasi model adalah melakukan uji stasioneritas pada setiap variabel yang digunakan dalam model. Uji stasioneritas pada penelitian ini menggunakan Augmented Dickey-Fuller (ADF)

test. Jika nilai statistik Augmented Dickey-Fuller (ADF) lebih kecil secara aktual daripada nilai kritis Mc Kinnon menunjukkan bahwa data yang digunakan stasioner. Nilai taraf nyata (critical value) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 10% atau dengan tingkat kepercayaan 90%. Hasil pengujian stasioneritas data untuk masing-masing variabel dapat menunjukkan bahwa dalam taraf nyata 10%, semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini, kecuali pertumbuhan produksi industri (IPG), tidak stasioner pada tingkat level. Hal ini dapat dilihat dari nilai statistik Augmented Dickey-Fuller (ADF) yang lebih besar daripada nilai kritis Mc Kinnon. Oleh karena itu, pengujian stasioneritas dilanjutkan pada tingkat

first difference dengan mendiferensiasikan masing-masing variabel hingga menjadi stasioner. Berdasarkan hasil pengujian stasioneritas pada tingkat first difference semua variabel yang digunakan dalam penelitian ini sudah stasioner pada tingkat first difference. Hal ini ditunjukkan dari nilai statistik Augmented Dickey-Fuller (ADF) semua variabel yang lebih kecil daripada nilai kritis Mc Kinnon.

Selanjutnya pengujian dilakukan untuk melihat stabilitas model VAR. Estimasi model VAR dikatakan stabil jika seluruh roots (akar) memiliki modulus yang lebih kecil dari satu. Dari hasil uji kestabilan VAR, dapat dilihat bahwa model VAR yang digunakan dalam penelitian ini bersifat stabil yang ditunjukkan oleh nilai modulus yang lebih kecil dari satu.

Setelah mengetahui bahwa hasil estimasi VAR berada dalam kondisi stabil, maka langkah selanjutnya adalah menentukan panjang lag optimal dalam variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Penentuan lag optimal dapat menggunakan informasi yang disediakan oleh Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC), dan Hannan-Quinn Criterion (HQ). Jumlah lag

optimal yang diambil menggunakan informasi dari Schwarz Criterion (SC) dengan mengambil nilai SC yang paling kecil. Berdasarkan hasil pengujian

menunjukkan bahwa lag optimum berada pada lag ke 3 berdasarkan informasi dari

Schwarz Criterion (SC).

Setelah melakukan pengujian lag optimal, maka langkah selanjutnya adalah melakukan uji kointegrasi. Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui hubungan jangka panjang di antara variabel yang dianalisis. Pengujian dilakukan dengan menggunakan lag optimal 3 untuk mengetahui jumlah persamaan yang terkointegrasi dalam sistem. Uji kointegrasi ini yang dilakukan menggunakan

Johansen Trace Statistics test. Jika hasil Johansen Cointegration test

menunjukkan bahwa nilai trace statistic lebih besar daripada critical value nya maka H0 dapat ditolak atau menerima H1 yang berarti persamaan terkointegrasi.

Berdasarkan hasil uji kointegrasi yang dilakukan, ditunjukkan bahwa dengan menggunakan Johansen Cointegration test terdapat 2 persamaan yang terkointegrasi pada taraf 10%. Hal ini diperoleh dengan melihat bahwa terdapat 2 persamaan yang nilai trace statistic nya lebih besar daripada critical value nya sehingga memiliki hubungan jangka panjang. Berdasarkan persamaan kointegrasi tersebut, maka tahapan analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan model Vector Error Cointegration Model (VECM).

Langkah selanjutnya adalah uji kausalitas Granger. Uji kausalitas Granger dilakukan untuk melihat hubungan kausalitas antara variabel di dalam model yang akan diestimasi. Dalam penelitian ini uji kausalitas dilakukan untuk mengetahui manakah diantara variabel harga minyak dunia (OP), GDP, pertumbuhan produksi industri (IPG), nilai tukar riil (RER), dan kontribusi sektor industri terhadap PDB (IS) yang saling memengaruhi. Untuk mengetahui apakah di antara variabel terdapat hubungan kausalitas atau tidak dengan membandingkan nilai probabilitas dan nilai kritisnya. Apabila nilai probabilitasnya lebih kecil dari nilai kritisnya maka terdapat hubungan kausalitas di antara variabel. Sebaliknya, apabila nilai probabilitasnya lebih besar dari nilai kritisnya berarti tidak terdapat hubungan kausalitas di antara variabel-variabel tersebut.

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, terlihat bahwa terdapat satu variabel yang memengaruhi variabel yang lain. Hal ini dilihat dari nilai probabilitasnya yang lebih kecil dari nilai kritis yang digunakan, yaitu 10%. Dari hasil pengujian terdapat hubungan satu arah di antara variabel, yakni variabel kontribusi sektor industri yang memengaruhi GDP, sedangkan diantara variabel-variabel yang lain tidak ditemukan adanya hubungan kausalitas.

Hasil Estimasi Vector Error Correction Model (VECM)

Setelah melakukan beberapa pengujian berupa uji stasioneritas data, uji stabilitas VAR, uji penentuan lag optimal, uji kointegrasi, dan uji kausalitas Granger, maka tahapan selanjutnya adalah melihat hasil estimasi Vector Error Correction Model. Hal ini dilakukan karena pada pengujian pada sistem VAR sebelumnya dibuktikan bahwa terdapat persamaan yang terkointegrasi yang mengindikasikan adanya keseimbangan jangka panjang.

Model Vector Error Correction Model (VECM) dapat mengukur kointegrasi atau hubungan keseimbangan jangka panjang antarvariabel, serta mengukur error correction model atau kecepatan variabel-variabel tersebut dalam bergerak menuju keseimbangan jangka panjangnya. Untuk model yang tidak terkointegrasi tidak dapat dilihat keseimbangan jangka panjang melainkan hanya

mampu dilihat hubungan keseimbangan jangka pendeknya dengan menggunakan VAR pada tingkat first differnce. Dalam penelitian ini, nilai taraf nyata yang digunakan untuk melihat signifikansi suatu variabel terhadap variabel lainnya dinilai pada taraf nyata 10%.

Estimasi Vector Error Correction Model IPG (Industrial Production Growth) Tabel 3 Hasil estimasi VECM IPG

Keterangan: * menunjukkan bahwa variabel signifikan pada taraf nyata 10%

Tabel 3 merupakan hasil estimasi Vector Error Correction Model (VECM) yang menghasilkan persamaan jangka pendek dan persamaan jangka panjang. Pada estimasi VECM yang pertama variabel IPG (Industrial Production Growth) menjadi variabel yang diamati sedangkan variabel lain sebagai variabel penjelasnya.

Dari hasil estimasi diatas dapat dilihat bahwa pada jangka pendek variabel kontribusi sektor industri pada PDB (IS), GDP dan nilai tukar riil (RER) tidak signifikan memengaruhi pertumbuhan produksi industri pada lag ketiga. Dari hasil diatas, hanya ada dua variabel yang berpengaruh yaitu yang pertama adalah variabel itu sendiri yang pada lag ketiga secara signifikan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan produksi industri sebesar 0.183. Hal ini dapat dijelaskan bahwa jika terdapat kenaikan sebesar 1% pada pertumbuhan produksi industri maka akan menurunkan pertumbuhan produksi industri itu sendiri sebesar 0.183%. Variabel kedua yang berpengaruh terhadap pertumbuhan produksi industri adalah harga minyak dunia (OP) yang secara signifikan berpengaruh negatif sebesar 10.523. Hal ini menjelaskan bahwa jika terdapat kenaikan pada harga minyak dunia sebesar 1% maka pertumbuhan produksi akan turun sebesar 10.523%.

Pada jangka panjang hanya ada satu variabel yang tidak memengaruhi pertumbuhan produksi industri secara signifikan, yaitu nilai tukar riil (RER). Sedangkan variabel lain seperti kontribusi sektor industri pada PDB (IS), GDP, dan harga minyak dunia (OP) terlihat berpengaruh signifikan secara positif terhadap pertumbuhan produksi industri dalam jangka panjang. Variabel kontribusi sektor industri pada PDB berpengaruh dalam jangka panjang terhadap pertumbuhan produksi industri sebesar 1.953, yakni ketika terjadi kenaikan sebesar 1% pada kontribusi sektor industri pada PDB, maka akan pertumbuhan

Jangka Panjang Jangka Pendek Variabel Koefisien T-statistik Variabel Koefisien T-statistik IS 1.95361* 3.6504* CointEq1 -0.01270 -1.3999 LN_GDP 14.22662* -2.3872* D(IPG(-3)) -0.18393* -1.8984* LN_OP 71.33571* -2.3578* D(IS(-3)) 0.02820 0.3375 RER 2.11508 -1.4103 D(LN_GDP(-3)) 54.8293 0.3748 D(LN_OP(-3)) -10.5230* -1.7269* D(RER(-3)) -0.06332 -0.3584

produksi industri akan naik sebesar 1.953%. Variabel lain yang signifikan memengaruhi pertumbuhan produkasi industri adalah GDP sebesar 14.226. Artinya, jika GDP naik sebesar 1% maka pertumbuhan produksi industri akan mengalami kenaikan sebesar 14.226%.

Harga minyak dunia juga terlihat masih memengaruhi pertumbuhan produksi industri dalam jangka panjang sebesar 71.335. Artinya, jika terdapat kenaikan pada harga minyak dunia maka pertumbuhan produksi industri dalam jangka panjang akan mengalami kenaikan sebesar 71.335%. Hal ini disebabkan karena sektor industri di Indonesia sudah mengerti bagaimana cara untuk menanggulangi kenaikan harga minyak dunia dalam jangka panjang.

Hasil temuan dalam penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jiranyakul (2006) yang melakukan penelitian mengenai dampak dari harga minyak internasional terhadap produksi industri di Thailand. Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga minyak dunia memiliki hubungan negatif dengan indeks produksi dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang harga minyak dunia memiliki pengaruh positif dengan indeks produksi industri, yang mengindikasikan bahwa sektor industri sudah dapat menyesuaikan dengan biaya produksi yang mengalami kenaikan dalam jangka panjang.

Estimasi Vector Error Correction Model IS (Industrial Share to GDP) Tabel 4 Hasil estimasi VECM IS

Jangka Panjang Jangka Pendek

Variabel Koefisien T-statistik Variabel Koefisien T-statistik IPG 0.95118 -1.4222 CointEq1 -0.29441* -10.4243* LN_GDP 2.76550* -1.9414* D(IS(-1)) 0.83983* 16.5813* LN_OP 3.15100 -0.4246 D(IPG(-1)) -0.14691 1.1521 RER 0.98848* -2.7594* D(LN_GDP(-1)) -0.83210 -0.0091 D(LN_OP(-1)) -0.46904* -1.9949* D(RER(-1)) -0.17055 -0.6331

Keterangan: * menunjukkan bahwa variabel signifikan pada taraf nyata 10%

Pada hasil estimasi yang kedua, variabel industrial share (IS) menjadi variabel yang diamati sedangkan variabel yang lain menjadi variabel penjelasnya. Hasil estimasi Vector Error Correction Model (VECM) pada kontribusi sektor industri pada PDB (IS) dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel tersebut memperlihatkan hubungan variabel pada jangka pendek maupun jangka panjang. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada jangka pendek terdapat dua variabel yang signifikan berpengaruh terhadap kontribusi sektor industri terhadap PDB.

Pada jangka pendek variabel harga minyak dunia (OP) berpengaruh signifikan secara negatif terhadap kontribusi sektor industri terhadap PDB. Hal ini terlihat dari koefisien harga minyak dalam estimasi sebesar 0.469. Artinya apabila terjadi kenaikan pada harga minyak dunia sebesar 1% akan menyebabkan penurunan pada kontribusi sektor industri terhadap PDB sebesar 0.469%. Hal ini

disebabkan karena kenaikan pada minyak dunia akan menyebabkan biaya produksi meningkat sehingga akan mengurangi jumlah produksi industri, dan pada akhirnya akan menyebabkan kontribusi sektor industri pada PDB juga mengalami penurunan. Selain itu, variabel lain yang signifikan berpengaruh terhadap kontribusi sektor industri terhadap PDB adalah variabel itu sendiri yang pada lag pertama secara signifikan berpengaruh positif sebesar 0.832. Hal ini dapat dijelaskan bahwa kenaikan kontribusi sektor industri terhadap PDB sebesar 1% menyebabkan kenaikan kontribusi sektor industri itu sendiri terhadap PDB sebesar 0.832%.

Sementara itu, pada jangka panjang variabel pertumbuhan produksi industri (IPG), dan harga minyak dunia (OP) ditemukan tidak signifikan memengaruhi kontribusi sektor industri pada PDB. Variabel yang secara signifikan memengaruhi kontribusi sektor industri pada PDB pada jangka panjang hanyalah GDP dan nilai tukar riil (RER). Variabel GDP signifikan memengaruhi kontribusi sektor industri pada PDB secara positif sebesar 2.765, artinya jika terdapat kenaikan 1% pada GDP maka kontribusi sektor industri pada PDB akan naik sebesar 2.765%. Variabel nilai tukar riil (RER) juga signifikan memengaruhi kontribusi sektor industri terhadap PDB pada taraf 10% secara positif sebesar 0.988, artinya jika nilai tukar rupiah meningkat (terdepresiasi) sebesar 1% maka kontribusi sektor industri terhadap PDB akan meningkat sebesar 0.988%.

Nilai tukar rupiah yang mengalami peningkatan menyebabkan harga barang domestik menjadi lebih murah relatif terhadap barang-barang luar negeri. Hal ini menyebabkan permintaan terhadap barang-barang industri dalam negeri mengalami peningkatan dan menyebabkan ekspor neto kita semakin besar. Peningkatan pada ekspor neto akan menyebabkan surplus pada neraca perdagangan (trade balance) dan menyebabkan peningkatan pada ouput nasional (PDB).

Estimasi Vector Error Correction Model GDP (Gross Domestic Product) Tabel 5 Hasil estimasi VECM GDP

Jangka Panjang Jangka Pendek

Variabel Koefisien T-statistik Variabel Koefisien T-statistik IPG 0.02720* -3.9260* CointEq1 -0.00037 -0.1380 IS 0.00014 -0.1229 D(LN_GDP(-1)) 1.23686* 17.9220* LN_OP 0.39383* -3.7596* D(IPG(-1)) 1.32E-05 0.1774 RER 0.00483

1.4787 D(IS(-1)) 4.31E-06 0.1588 D(LN_OP(-1)) 0.00371 1.3914

D(RER(-1)) -6.25E-05 -0.5764

Keterangan: * menunjukkan bahwa variabel signifikan pada taraf nyata 10%

Pada estimasi Vector Error Correction Model (VECM) yang ketiga variabel GDP menjadi variabel yang diamati sedangkan variabel lain sebagai variabel penjelasnya. Tabel 5 menunjukkan pada jangka pendek hanya ada satu variabel yang signifikan memengaruhi GDP (Gross Domestic Product) yaitu variabel itu sendiri. Variabel GDP itu sendiri pada lag pertama secara signifikan memengaruhi

GDP secara positif sebesar 1.236. Hal ini berarti bahwa kenaikan sebesar 1% pada GDP akan meningkatkan GDP itu sendiri sebesar 1.236%.

Dalam jangka panjang terdapat hubungan jangka panjang antara GDP dengan pertumbuhan produksi industri. GDP dan pertumbuhan produksi industri memiliki hubungan yang positif secara signifikan dalam jangka panjang sebesar 0.027. Artinya, ketika terjadi kenaikan pada pertumbuhan produksi sebesar 1% maka akan meningkatkan GDP sebesar 0.027% dalam jangka panjang.

Sementara itu variabel harga minyak memengaruhi GDP jangka panjang secara signifikan. Terdapat hubungan yang positif antara harga minyak dan GDP. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien estimasi sebesar 0.393 yang menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1% pada harga minyak akan meningkatkan GDP sebesar 0.393%.

Hasil dalam penelitian ini berbeda dengan hipotesa dalam penelitian ini yang menyatakan bahwa ketika terjadi fluktuasi atau guncangan pada harga minyak dunia maka akan menurunkan pertumbuhan output nasional. Secara teoritis ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia maka akan memengaruhi fungsi produksi perusahaan yang direspon dengan penurunan pada hasil produksinya. Akibatnya supply akan berkurang dan pada akhirnya akan menurunkan jumlah ouput nasional serta memengaruhi pertumbuhan ekonomi.

Dampak kenaikan harga minyak terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi pada awal tahun 2000-an berbeda dengan yang terjadi pada tahun 1970-an. Pada tahun 1970-an, kenaikan harga minyak menyebabkan inflasi tinggi, resesi, produktivitas rendah, dan tingkat pertumbuhan rendah atau negatif. Sementara kenaikan harga minyak pada awal tahun 2000-an menyebabkan peningkatan inflasi namun relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1970-an dan pertumbuhan ekonomi tetap kuat (Purwanti, 2011). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Apriani (2007) yang menyatakan bahwa kenaikan pada harga minyak dunia berbanding lurus dengan output dan inflasi di Indonesia, serta hasil penelitian yang dilakukan oleh Limin et al (2010) yang menghasilkan kesimpulan yang sama dengan objek penelitian di China.

Dalam penelitian ini terlihat bahwa fluktuasi harga minyak berhubungan positif dengan tingkat GDP pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2012. Hal ini disebabkan oleh variabel penyusun GDP yang lain seperti konsumsi masyarakat yang meningkat karena adanya peningkatan jumlah penduduk. Hampir 60 persen GDP dari sisi pengeluaran disumbang oleh private consumption. Sedangkan variabel penyusun GDP yang lain seperti, pengeluaran pemerintah (government consumption), investasi dan surplus perdagangan internasional (trade balance) masing-masing menyumbang 8 persen, 22 persen, dan 10 persen (SEKI-BI).

Estimasi Vector Error CorrectionModel RER (Real Exchange Rate) Tabel 6 Hasil estimasi VECM REER

Jangka Panjang Jangka Pendek

Variabel Koefisien T-statistik Variabel Koefisien T-statistik IPG -5.60881* 4.3049* CointEq1 -0.01640 -1.3744 IS -0.03075 0.1453 D(RER(-1)) 0.22196* 2.3071* LN_GDP 152.0938* 3.2138* D(IPG(-1)) 0.08128 1.2291 LN_OP -70.6084* 3.2875* D(IS(-1)) 0.00952 0.3951 D(LN_GDP(-1)) -17.5585 -0.2876 D(LN_OP(-1)) 3.24840 1.3590

Keterangan: * menunjukkan bahwa variabel signifikan pada taraf nyata 10%

Untuk estimasi Vector Error Correction Model (VECM) yang keempat variabel nilai tukar riil (RER) yang diamati dan menjadi variabel yang diamati, sedangkan variabel lain menjadi variabel penjelasnya. Dapat dilihat pada Tabel 6 pada jangka pendek hanya ada satu variabel yang signifikan memengaruhi nilai tukar riil (RER) yaitu variabel itu sendiri. Variabel nilai tukar riil itu sendiri pada

lag pertama secara signifikan memengaruhi nilai tukar riil secara positif sebesar 0.221. Hal ini berarti bahwa kenaikan sebesar 1% pada nilai tukar riil akan meningkatkan nilai tukar riil itu sendiri sebesar 0.221 %.

Pada jangka panjang terdapat tiga variabel yang secara signifikan berpengaruh terhadap nilai tukar riil. Variabel tersebut adalah pertumbuhan produksi industri (IPG), GDP, dan harga minyak dunia (OP). Variabel pertumbuhan produksi dan harga minyak dunia secara signifikan pada taraf 10% memengaruhi nilai tukar riil. Variabel-variabel tersebut memiliki hubungan negatif dengan nilai tukar riil. Artinya, setiap kenaikan 1% pada pertumbuhan produksi industri maka nilai tukar akan cenderung untuk turun sebesar 5.608%. Sama halnya dengan harga minyak dunia, jika terjadi kenaikan pada harga minyak dunia sebesar 1%, maka nilai tukar rupiah akan turun sebesar 70.608%.

Nilai mata uang domestik (Rupiah), yang mengalami penurunan (terapresiasi) menyebabkan masuknya aliran investasi asing ke pasar saham. Masuknya arus investasi yang disebabkan karena nilai mata uang yang terapresiasi menimbulkan keuntungan bagi perindustrian, diantaranya biaya modal bagi dunia industri menjadi turun, investor asing untuk membeli saham meningkat, dan siklus usaha yang menguntungkan.

Sementara itu, variabel GDP memengaruhi nilai tukar riil secara positif. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien GDP pada hasil estimasi, dimana GDP secara signifikan memengaruhi nilai tukar riil sebesar 152.093. Hal ini menjelaskan bahwa kenaikan 1% pada GDP akan menyebabkan kenaikan pada nilai tukar riil sebesar 152.093%.

Analisis Impulse Response Function (IRF)

Analisis Impulse Response Function bermanfaat untuk menunjukkan bagaimana respons suatu variabel dari sebuah shock dalam variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. Dalam penelitian ini Impulse Response Function

menjelaskan perbandingan respon pada variabel pertumbuhan produksi industri, kontribusi sektor industri terhadap PDB, Gross Domestic Product (GDP), dan nilai tukar riil apabila terjadi guncangan dari variabel harga minyak dunia dengan menggunakan standar Cholesky Decomposition. Hasil Impulse Respone Function

sangat sensitif terhadap pengurutan (ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan. Pada penelitian ini, guncangan pada harga minyak dunia akan dianalisis pengaruhnya dalam enam puluh bulan atau lima tahun yang akan datang.

Impulse Response dari Pertumbuhan Produksi Industri

Pada bulan pertama guncangan pada harga minyak dunia sebesar satu standar deviasi belum mempengaruhi pertumbuhan produksi industri. Guncangan harga minyak dunia akan mulai berpengaruh pada bulan ke-2 yang menyebabkan peningkatan pada pertumbuhan produksi industri sebesar 0.25%. Namun, mulai bulan ke-3 guncangan harga minyak dunia mengakibatkan penurunan pada pertumbuhan produksi industri. Mulai periode ini hingga periode berikutnya, pertumbuhan produksi industri terus merespon negatif terhadap guncangan harga minyak dunia dan semakin lama guncangan ini mengakibatkan pertumbuhan produksi industri menurun dalam jumlah yang semakin besar sampai bulan ke-13. Pada bulan berikutnya, respon negatif pertumbuhan produksi industri mulai berkurang. Respon pertumbuhan produksi industri terhadap guncangan harga minyak dunia mulai stabil pada bulan ke-20, di mana pertumbuhan produksi industri merespon negatif guncangan tersebut pada kisaran 1.23%. Pada akhir periode guncangan harga minyak terhadap pertumbuhan produksi industri tetap berpengaruh negatif.

Impulse Response dari Kontribusi Sektor Industri Pada PDB

Guncangan harga minyak dunia sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama juga belum direspon oleh kontribusi sektor industri pada PDB. Mulai bulan ke-2, guncangan pada harga minyak dunia direspon negatif oleh kontribusi sektor industri pada PDB sebesar 0.45%. Guncangan pada harga minyak dunia semakin lama semakin menyebabkan penurunan kontribusi sektor industri pada PDB hingga pada bulan ke-6. Tetapi, pada bulan berikutnya respon negatif kontribusi sektor industri pada PDB terhadap guncangan harga minyak dunia cenderung turun sampai pada bulan ke-10 kemudian mengalami kenaikan kembali, namun pada bulan berikutnya mengalami penurunan kembali. Hal ini terus terjadi hingga akhir periode dengan respon kenaikan dan penurunan yang semakin kecil, sampai akhirnya kontribusi sektor industri PDB tidak merespon lagi terhadap guncangan harga minyak dunia.

Impulse Response dari Gross Domestic Bruto (GDP)

Guncangan harga minyak dunia sebesar satu standar deviasi juga tampak belum direspon oleh Gross Domestic Bruto (GDP) pada bulan pertama. Mulai

bulan ke-2 terlihat bahwa guncangan pada harga minyak dunia direspon positif oleh GDP yang ditandai dengan meningkatnya GDP sebesar 0.003% dan terus meningkat hingga bulan ketujuh. Namun, sejak bulan berikutnya respon positif GDP terhadap guncangan harga minyak dunia semakin berkurang dimana peningkatan GDP hanya sebesar 0.002% dan selanjutnya mengalami kenaikan kembali pada bulan ke-14. Pada akhirnya respon GDP terhadap guncangan harga minyak dunia mulai stabil pada bulan ke-23, di mana GDP merespon positif guncangan tersebut pada kisaran 0.002%.

Impulse Response dari Nilai Tukar Riil (RER)

Guncangan harga minyak dunia sebesar satu standar deviasi pada bulan pertama akan meyebabkan peningkatan pada nilai tukar riil sebesar 0.31%. Guncangan tersebut akan direspon positif oleh nilai tukar riil hingga bulan ke-10. Akan tetapi, mulai bulan ke-11, guncangan harga minyak dunia direspon negatif oleh nilai tukar riil yang ditandai dengan penurunan nilai tukar riil sebesar 0.01% hingga bulan ke-22. Guncangan harga minyak dunia kembali direspon positif oleh nilai tukar riil pada bulan berikutnya sebesar 0.002%, namun nilai tukar riil kembali merespon negatif guncangan harga minyak dunia pada bulan ke-27. Respon nilai tukar riil terhadap guncangan harga minyak ini mulai stabil pada bulan ke-29, di mana nilai tukar riil merespon negatif guncangan tersebut sebesar 0.001%.

Gambar 6 Respon produksi sektor industri dan perkonomian Indonesia terhadap guncangan harga minyak dunia.

-1.6 -1.2 -0.8 -0.4 0.0 0.4 10 20 30 40 50 60

Response of INDUSTRIAL_PRODUCTION to LN_REALOILPRICE

-3.0 -2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 10 20 30 40 50 60

Response of INDUSTRIAL_SHARE to LN_REALOILPRICE

.0000 .0004 .0008 .0012 .0016 .0020 .0024 .0028 .0032 10 20 30 40 50 60

Response of LN_GDPREAL to LN_REALOILPRICE

-.2 .0 .2 .4 .6 .8 10 20 30 40 50 60

Response of RER to LN_REALOILPRICE

Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

Analisis Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) berguna untuk menjelaskan gambaran kontribusi pengaruh dari masing-masing variabel terhadap suatu variabel yang diamati dalam sistem. Metode ini dapat melihat kekuatan dan kelemahan dari masing-masing variabel dalam memengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang.

Dalam penelitian ini akan dianalisis variabel mana dalam ruang lingkup penelitian yang paling dominan dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak dunia. Jangka waktu yang digunakan dalam memproyeksikan FEVD ini adalah enam puluh bulan atau lima tahun.

Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) dari Pertumbuhan Produksi

Industri

Berdasarkan hasil dekomposisi varian dapat disimpulkan bahwa pada bulan pertama variabel pertumbuhan produksi industri hanya dipengaruhi oleh variabel itu sendiri sebesar 100%. Pada bulan kedua hingga tahun pertama (12 bulan), terlihat variabel-variabel lain mulai memengaruhi variabilitas pertumbuhan produksi industri. Pada tahun pertama, pengaruh variabel

Dokumen terkait