• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data hotspot kebakaran hutan dari tahun 1997 hingga tahun 2005 di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan penelitian sebelumnya, data tersebut diperoleh dari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (DPKH) Departemen Kehutanan Republik Indonesia dalam bentuk excel (.xls) dan text (.txt). Data tersebut dapat diakses juga pada situs www.indofire.org, situs resmi DPKH tentang

8 Query yang diujikan berupa query biasa dan

query spasial menggunakan fungsi Multidimensional Expressions (MDX). Pengujian dilakukan dengan geocube atau kubus data geometri yang divisualisasikan dalam bentuk tabel pivot dan grafik dengan GeoMondrian, serta visualisasi peta dengan Geoserver (Web Map Server) dalam satu web yang terintegrasi (Web Integration). Uji query pun dilakukan pada Geoserver dalam bentuk Common Query Language (CQL) yang bertujuan untuk membuat suatu layer yang dapat menampilkan visualisasi dalam bentuk peta sebagai timbal balik atas query yang diberikan ke dalam web map server.

Geomondrian-Geoserver

Rangkaian dari tahapan penelitian ini bermuara pada suatu aplikasi yang dapat menghasilkan suatu penyajian data persebaran hotspot di wilayah Indonesia berupa tabel pivot, grafik dan peta. Aplikasi yang telah dikembangkan pada penelitian sebelumnya menggunakan geomondrian, sebagai suatu framework yang memegang peranan penting dalam penyajian data dalam bentuk tabel pivot dan grafik. Skema pengembangan sistem yang dilakukan pada penelitian sebelumnya, yakni hanya sebatas pada lingkup geomondrian dan menghasilkan penyajian data dalam bentuk tabel pivot dan grafik. Pada penelitian ini mencoba menambahkan fungsi atau modul yang dapat menyajikan data dalam bentuk peta dengan menggunakan geoserver sebagai web map server, sehingga menjadi suatu sistem yang terintegrasi. Peranan dari geomondrian dan geoserver dalam tahapan pengembangan sistem selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Tahap pengembangan sistem. Secara garis besar, berdasarkan Gambar 6, data yang diperoleh dalam bentuk excel (.xls) dan text (.txt), dapat diolah menjadi shapefile

(.shp) ataupun dapat pula diolah ke dalam postgresql/postGIS secara langsung. Kemudian dilanjutkan dengan tahap extraction, transform dan loading (ETL), sehingga didapatkan database yang sudah siap diimplementasikan ke dalam data warehouse maupun peta pada web map server. Pembangunan data warehouse spatio-temporal pada Geomondrian diawali dengan pembentukan geocube atau kubus data geometri multidimensi, setelah terbentuk barulah diimplementasikan pada Geomondrian. Kemudian proses pembuatan layer-layer peta pada Geoserver dilakukan dengan menggunakan sql query di dalamnya. Setelah layer-layer terbentuk dalam web map server, layer-layer tersebut kemudian disajikan menggunakan library GeoExt dan diintegrasikan ke dalam sistem yang terdapat Spatial OLAP (SOLAP) menggunakan Geomondrian menjadi suatu sistem yang terintegrasi.

Lingkungan Pengembangan

Perangkat lunak yang digunakan untuk penelitian yaitu:

1. Windows 7 Ultimate sebagai sistem operasi. 2. Apache Tomcat 7.0 sebagai web server. 3. GeoMondrian yang merupakan framework

spatial OLAP (SOLAP).

4. PostgreSQL dengan library PostGIS sebagai perangkat lunak RDBMS.

5. Quantum GIS 1.5.0-Tethys dan uDig 1.2 RC-3 (User-friendly Desktop Internet) sebagai perangkat lunak untuk mengolah data spasial.

6. Schema Workbench sebagai tool desain kubus data.

7. Geoserver 2.1.0 sebagai web map server yang mengakomodasikan data dalam bentuk peta.

8. Geoext sebagai library dalam manajemen layer yang diambil dalam Geoserver.

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data hotspot kebakaran hutan dari tahun 1997 hingga tahun 2005 di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan penelitian sebelumnya, data tersebut diperoleh dari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (DPKH) Departemen Kehutanan Republik Indonesia dalam bentuk excel (.xls) dan text (.txt). Data tersebut dapat diakses juga pada situs www.indofire.org, situs resmi DPKH tentang

9 kebakaran hutan. Atribut-atribut yang terdapat

dalam data hotspot yaitu tahun, bulan, tanggal, waktu, NOAA (satelit), bujur, lintang, provinsi, dan kabupaten. Data spasial dan atribut wilayah administrasi Indonesia yang meliputi kode provinsi, nama provinsi, kode kabupaten, dan nama kabupaten diperoleh dari www.inigis.info dalam format .shp dengan skala 1: 25.000. Dalam format ini, peta Indonesia terdiri atas 30 provinsi dan 440 kabupaten/kota.

Analisis data yang dilakukan pada data tersebut yakni memilih atribut-atribut yang tepat untuk mengembangkan aplikasi spatio-temporal data warehouse. Atribut-atribut yang digunakan adalah tahun, bulan, satelit (NOAA), bujur, lintang dan wilayah atau lokasi. Berdasarkan atribut-atribut yang dipilih tersebut, kemudian dibentuk suatu tabel fakta dan tabel dimensi. Analisis data ini sejatinya telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya, akan tetapi perlu dilakukan penyesuain kembali terhadap apa yang telah dihasilkan. Dari hasil analisis data pada penelitian sebelumnya didapatkan sebuah tabel fakta dengan measure jumlah hotspot dan lima tabel dimensi, kemudian pada penelitian ini dilakukan penyesuaian dengan adanya penambahan sebuah dimensi, yakni dimensi pulau atau kepulauan, sebagai salah satu level hierarki tambahan pada dimensi lokasi. Selain penambahan tabel dimensi pulau, dilakukan pula perubahan measure jumlah menjadi frekuensi dan penambahan measure luasan hotspot pada skema multidimensi yang dibuat. Luasan hotspot tersebut didapatkan dari hasil perhitungan sederhana, yakni Luas = Frekuensi kemunculan hotspot x 1,21 km2(luas dari sebuah titik hotspot). Hasil dari perhitungan ini masih sangat kasar dan dapat salah arti. Hal ini disebabkan karena adanya satu daerah yang terdeteksi berulangkali atau dalam satu pixel (1,21 km2) sejatinya hanya sebagian area yang mengalami kebakaran yang tidak dapat dipastikan lokasi kebakarannya dalam hotspot tersebut karena masih sangat terbatasnya kemampuan satelit NOAA.

Skema data warehouse yang digunakan adalah skema snowflake. Skema snowflake ini digunakan untuk menangani redundansi data geometri pada dimensi lokasi (spasial). Skema snowflake dapat dilihat pada Gambar 7 dan skema snowflake dalam schema workbench dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 7 Skema snowflake.

Gambar 8 Skema snowflake pada schema workbench.

10 Ekstraksi Data

Pada tahap ini dilakukan proses pengambilan data yang relevan sesuai dengan model skema multidimensional yang telah dibuat. Proses ini mereduksi atribut-atribut yang tidak terpilih pada tahap analisis. Hasil reduksi data dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil reduksi data

Atribut Tipe data

Tahun Integer

Bulan Varchar (20)

NOAA (satelit) Varchar(20)

Bujur Text

Lintang Text

Kode kabupaten Integer

Kabupaten Varchar(50)

Kode provinsi Integer

Provinsi Varchar(50)

Kode pulau Integer

Pulau Varchar(50)

Pada tahap ini dilakukan pula pembersihan data untuk menangani masalah data kosong (null), noise, data yang tidak konsisten (inconsistency data) dan data yang redudansi. Tahap pembersihan data ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil pembersihan data No Tahap pembersihan data Keterangan 1 Pembersihan nilai kosong (null)  Menghapus record data atribut yang mengandung nilai kosong (null). 2 Pembersihan noise  Menghapus record data atribut yang mengandung noise, seperti terdapatnya hotspot yang berada pada wilayah perairan Indonesia. 3 Perbaikan data yang tidak konsisten  Penyeragaman penulisan nama dan nilai atribut, seperti penulisan nama kabupaten, provinsi dan pulau menggunakan huruf kapital. 4 Pembersihan data yang redudansi  Menghapus record data hotspot yang terjadi secara berulang pada lokasi yang sama di waktu tertentu pada level bulan.  Mendapatkan

nilai akumulasi frekuensi kemunculan hotspot

Pembersihan data pada tahap 1-3 telah dilakukan Trisminingsih (2010), yakni dengan melakukan pengolahan data vektor menggunakan ArcView. Jumlah data yang dihasilkan penelitian sebelumnya setelah pembersihan data adalah 565.693 record. Proses hasil kstraksi pada penelitian sebelumnya masih terdapat data hotspot yang terjadi pada lokasi dan waktu yang sama secara berulang, sehingga untuk menentukan frekuensi kemunculan hotspot-nya, hanya diambil satu kejadian pada lokasi tersebut di level bulan. Untuk itu pada penelitian ini dilakukan penyesuaian data kembali, dan didapatkan jumlah record sebesar 473.892 sebagai suatu jumlah frekuensi kemunculan hotspot tersebut dengan melakukan pereduksian data sebesar sebesar 91.801. Transformasi Data

Proses transformasi dilakukan berdasarkan skema snowflake yang telah dibuat pada tahap analisis. Nama-nama atribut disesuaikan berdasarkan nama atribut pada skema tersebut. Atribut tahun dan bulan dikembangkan menjadi tahun, kuartil, dan bulan. Dimensi lokasi diperluas menjadi empat dimensi yaitu dimensi pulau, dimensi provinsi, dimensi kabupaten dan dimensi geohotspot. Pada data fakta ditentukan nilai agregasi atribut-atribut yang menjadi ukuran (measure). Atribut baru dikonstruksi untuk menampung ukuran berupa frekuensi kemunculan hotspot dan luasan hotspot dari hasil agregasi. Fungsi agregat yang digunakan adalah fungsi sum untuk proses penjumlahan

11 frekuensi kemunculan hotspot dan akumulasi

luasan kasar dari hotspot. Konversi Data

Tahap selanjutnya yakni memuat data vektor dan data shp ke database PostgreSQL dengan ekstensi PostGIS. Berdasarkan penelitian sebelumnya, data hotspot yang diperoleh dalam format .xls dan .txt dikonversi menjadi atribut dari format shapefile. Proses konversi dilakukan dengan tool QuantumGIS. Data yang telah dikonversi dalam bentuk shapefile dimuat ke dalam database dengan cara mengimpor data. Proses impor data ini dapat dilakukan dengan menggunakan plugin manager SPIT (Shapefile to PostgreSQL/PostGIS Import Tool) pada QuantumGIS atau dapat pula dilakukan menggunakan postgisgui (Shape File to PostGIS Importer) plugin yang terdapat dalam PostgreSQL. Pada saat impor data shapefile ke dalam format .sql dilakukan, maka data pada database PostgreSQL dengan ekstensi PostGIS telah tersusun sesuai nama tabel pada format shapefile berdasarkan hasil ekstraksi dan transformasi di tahap sebelumnya.

Pemuatan Data

Data yang telah dikonversi akan secara otomatis termuat ke dalam PostgreSQL, kemudian dilakukan penyesuaian struktur kubus data berdasarkan skema snowflake yang telah dibuat. Kubus data yang dibuat dalam penelitian ini adalah kubus data forestfire_spatialcube. Secara singkat nama dan deskripsi dari kubus data forestfire_spatialcube dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Nama dan deskripsi kubus data forestfire_spatialcube

Dimensi Deskripsi

Waktu

Waktu kejadian hotspot difoto oleh satelit. Data bulanan dari tahun 1997 sampai 2005

Satelit

Satelit yang digunakan untuk memotret citra (NOAA 11, NOAA 12, NOAA 13, NOAA 14, NOAA 16, NOAA 17)

Lokasi

Pulau

Terdiri dari 5 Pulau besar di Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Irian Jaya).

Provinsi Provinsi titik hotspot berada (30 provinsi) Kabupaten Kabupaten titik hotspot

berada (440 kabupaten) Hotspot ID posisi titik hotspot

(473.892 titik) Database diolah menjadi kubus data dengan menggunakan tool Schema Workbench. Schema Workbench merupakan GUI utility yang digunakan untuk membuat file skema multidimensional pada Geomondrian dalam format XML. Schema Workbench digunakan untuk memetakan kubus, dimensi, dan ukuran pada database PostgreSQL. Format XML digunakan untuk mengolah metadata (informasi tentang data) yang menggambarkan struktur dan maksud data yang terdapat dalam dokumen XML, bukan menggambarkan format tampilan data tersebut. Struktur format XML hasil pemetaan kubus data forestfire_spatialcube dengan Schema Workbench dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pembuatan Data Warehouse

Setelah seluruh tahapan proses ETL (Extract, Transform, Loading) dilakukan, kemudian masuk ke tahap berikutnya yakni membangun spatio-temporal data warehouse. Spatio-temporal data warehouse dibangun dengan menggunakan arsitektur three tier. Arsitektur ini memiliki tiga lapisan yaitu lapisan bawah, lapisan tengah, dan lapisan atas. Ilutrasi arsitektur spatio-temporal data warehouse ini dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Arsitektur spatio-temporal data warehouse.

12 1. Lapisan bawah

Lapisan bawah merupakan tempat pengolahan sumber data warehouse, sekaligus sebagai data source pada Geoserver dalam melakukan query layer. Dalam penelitian ini digunakan Database Management System (DBMS) PostgreSQL dengan library PostGIS untuk mengelola data spasial dan nonspasial menjadi sebuah kubus data.

2. Lapisan tengah

Lapisan ini terdiri atas spatial OLAP (SOLAP) server dan web map server. Penelitian ini menggunakan Geomondrian sebagai spatial OLAP server yang berfungsi menyimpan struktur kubus data dalam bentuk multidimensi dan Geoserver sebagai tempat penyimpanan data geospasial yang berfungsi menghasilkan layer-layer berdasarkan query yang dapat memberikan bentuk penyajian data dalam bentuk peta. Geomondrian dan Geoserver merupakan teknologi open source yang dibangun dalam platform Java. Geomondrian menggunakan MultiDimensional eXpression (MDX) sebagai bahasa yang mampu menangani struktur data multidimensi. Geomondrian dilengkapi olap4j dan XML for analysis (XMLA) sebagai Aplication Programming Interface (API) yang mendukung fungsi OLAP.

3. Lapisan atas

Lapisan atas merupakan lapisan untuk end- user berupa hasil query yang dapat menampilkan informasi ataupun ringkasan. Query yang diuji pada Spatial OLAP (SOLAP) berupa query dalam bentuk fungsi MDX yang dapat digunakan sebagai model multidimensi. Informasi disajikan dalam bentuk tabel pivot dan grafik menggunakan Jpivot. Hasil query MDX memiliki kemungkinan dapat disinkronisasikan dengan tampilan peta yang disajikan menggunakan library Open Layers ataupun GeoExt. Namun, pada penelitian ini, sinkronisasi hasil query dengan tampilan peta tersebut belum berhasil dilakukan. Hal ini disebabkan karena tool Geomondrian yang belum stabil dan belum mampu melakukan konfigurasi fungsi yang dapat menyinkronisasikan Jpivot dengan library OpenLayers ataupun GeoExt. Meskipun demikian, penelitian ini sudah dapat menampilkan peta ke dalam sistem (mengintegrasikannya dengan Geomondrian menjadi sebuah sistem terintegrasi). Bentuk

visualisasi peta yang telah diintegrasikan ke dalam sistem ini menggunakan query yang berbeda (tidak menggunakan MDX query pada peta), yakni menggunakan filter berupa CQL (Common Query Language). Query tersebut dapat digunakan untuk menyeleksi wilayah atau lokasi yang diinginkan pada peta dan dapat menyeleksi pula letak hotspot pada waktu tertentu pada wilayah tersebut. Pembuatan Peta

Peta yang hendak dibuat, merupakan suatu bentuk penyajian data yang merupakan hasil representasi dari layer-layer pada suatu web map server. Layer-layer ini dapat berupa point, line, polygon ataupun multipolygon. Pembuatan layer pada web map server ini dibuat berdasarkan query sql yang diberikan di dalam Geoserver yang berada di level application server pada arsitektur three tier-nya. Arsitektur three tier yang dibangun untuk pembuatan peta pada Geoserver dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Arsitektur Geoserver (WebMap Server).

Layer-layer ini akan dipanggil pada saat sistem secara keseluruhan dieksekusi atau di jalankan pada level user interface atau client. Tahapan pembuatan suatu layer pada web map server (Geoserver) ini meliputi :

1. Membuat workspace

Workspace ini dibuat sebagai ruang kerja dari layer-layer yang akan dibuat, sehingga workspace inilah yang nanti akan menampung layer-layer yang telah dibuat. Pada penelitian ini, workspace yang telah dibuat adalah workspace forestfire_indonesia yang telah dibuat di dalam Geoserver.

13 2. Membuat data store

Data store ini merupakan ruang konfigurasi dalam Geoserver yang menghubungkannya dengan database relasional, yakni PostgreSQL dengan ekstensi PostGIS. Data store yang telah dibuat dalam Geoserver pada penelitian ini adalah ds_forestfire. 3. Membuat layer pada Geoserver

Penelitian ini menggunakan Geoserver versi 2.1.0. Pada Geoserver versi ini sudah dapat dilakukan query sql biasa maupun geometri dalam menyeleksi suatu data berdasarkan atribut yang diinginkan pada database relasional (PostgreSQL/PostGIS) untuk menghasilkan suatu layer dalam web map server (Geoserver). Contoh query yang dibuat dalam Geoserver untuk menghasilkan suatu layer dapat dilihat pada lampiran 4 bagian 2. Sebelum layer terbentuk, perlu dilakukan konfigurasi data yang disediakan Geoserver pada menu layer, guna melengkapi informasi yang dibutuhkan untuk setiap layer. Informasi yang perlu dilengkapi tersebut meliputi nama layer, memilih nilai sistem koordinat (EPSG:4326), bounds peta dan memilih default style. Layer-layer yang terbentuk dari hasil query ini kemudian dikonversi oleh layanan-layanan yang terdapat pada Geoserver menjadi suatu file dengan format XML. File XML inilah yang ketika dilakukan parsing akan menghasilkan URL dengan halaman web yang berupa suatu penyajian data dalam bentuk peta. Penelitian ini membangun 12 layer dalam Geoserver yang terdiri atas 9 layer hotspot tahun 1997 hingga tahun 2005, satu layer hotspot_indo untuk seluruh hotspot tahun 1997 hingga 2005 yang digabungkan, kemudian dua layer peta indonesia yang berdasarkan provinsi (layer indo_prov) dan kabupaten (layer indo_kab).

4. Menyesuaikan style Peta

Untuk menghasilkan suatu layer peta, diperlukan suatu style dari layer yang sesuai dengan tipe layer tersebut (point, line, polygon atau multipolygon). Geoserver telah menyediakan default style yang terdapat dalam librarynya dalam bentuk format SLD (Styled Layer Descriptor). File SLD ini merupakan suatu dokumen berisi syntax XML yang berfungsi mengatur tampilan peta, file-file ini dapat diakses pada menu Style dalam Geoserver. File .sld ini dapat disesuaikan menjadi suatu style yang diinginkan sesuai dengan tipe layer yang dipilih. Style inilah yang disesuaikan dan

digunakan, sehingga sistem ini dapat melihat pola persebaran hotspot, serta melihat perbedaan batas wilayah pada suatu daerah di Indonesia secara jelas. Contoh file .sld yang dibuat dalam Geoserver untuk menghasilkan style suatu layer selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4 bagian 3. 5. Melihat hasil Peta

Tahap ini merupakan tahap yang dilakukan untuk melihat hasil dari layer-layer yang telah dihasilkan berdasarkan query dan telah dilakukan penyesuaian terhadap style sesuai tipe layernya. Pada Geoserver untuk melihat peta sesuai layer yang telah dibuat, dapat mengakses menu Layer Preview. Namun menu ini diakses pada Geoserver, sedangkan untuk melakukan pemanggilan terhadap layer yang telah dibuat ke dalam sistem, digunakan suatu library OpenLayers atau GeoExt. Beberapa penggalan source code menggunakan library GeoExt dalam melakukan pemanggilan layer yang telah dibuat dalam geoserver selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4 bagian 4.

Uji Query

Uji query yang pertama dilakukan untuk menguji spatio-temporal data warehouse apakah telah sesuai dengan kebutuhan dan memeriksa apakah operasi dasar OLAP berhasil diimplementasikan untuk data spasial. Query yang digunakan untuk menguji sistem ini adalah query dalam bentuk fungsi MDX. Fungsi MDX mendukung query untuk objek multidimensional dan menjalankan perintah- perintah yang mampu menghasilkan dan memanipulasi data dari objek tersebut. Pada penelitian ini, MDX yang digunakan mampu mendukung query biasa dan query spasial. Uji query yang kedua dilakukan untuk menyeleksi wilayah atau lokasi pada peta dan hotspot pada waktu tertentu. Query ini merupakan filter yang berupa CQL (Common Query Language) dalam Geoserver.

1. Query biasa

Struktur query ini mirip dengan query database relasional, Structured Query Language (SQL). Query ini mendukung operasi dengan konsep model data logika. Ilustrasi query yang diujikan adalah sebagai berikut: Select {[Measures].[Frekuensi_Hotspot], [Measures].[Luasan_Hotspot]} on columns,{[Satelit].[Semua Satelit]} ON rows from forestfire_spatialcube where [Waktu].[2005]

14 Query tersebut menampilkan jumlah

frekuensi berikut luasan kasar hotspot dari semua satelit pada tahun 2005.

Ilustrasi tampilan hasil query dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Hasil query MDX biasa. 2. Query spasial

Query ini mendukung model data spasial Open Geodata Interchange Standard (OGIS). Model data OGIS mampu menangani bentuk geometri seperti point, polygon, curve dan tipe lainnya, serta mampu mengeksekusi operasi query spasial seperti ST_Within, ST_Area, ST_Contains, dan operasi lainnya. Ilustrasi query spasial yang diujikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: SELECT {[Measures].[Frekuensi_Hotspo t]} ON COLUMNS, Filter( {[Lokasi].[Hotspot].members}, ST_Within( [Lokasi].CurrentMember. Properties("hotspot_geom"), ST_GeomFromText("POINT ((139.16 -3.27))") ) ) ON ROWS FROM [forestfire_spatialcube] WHERE [Waktu].[1997]

Query tersebut menghasilkan jumlah frekuensi dan luasan kasar hotspot pada koordinat point yang didefinisikan. Ilustrasi tampilan hasil query dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Hasil query MDX spasial.

3. CQL (Common Query Language)

Query ini merupakan filter yang digunakan untuk menyeleksi suatu layer yang telah dibuat dan terdapat dalam Geoserver. Layer tersebut dapat berupa polygon, line maupun point yang dibangun dari query sql biasa maupun geometrik pada database relasional (PostgreSQL-PostGIS). Ilustrasi CQL (Common Query Language) dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

SELECT nama_prov LIKE

'KALIMANTAN %' AND bulan LIKE 'Mei' AND tahun = 2000

atau bentuk query pada library GeoExt yang dapat dilihat pada Gambar 13 dengan representasi sintaks sebagai berikut :

SELECT nama_prov LIKE

*KALIMANTAN* AND bulan LIKE *Mei* AND tahun = 2000

Gambar 13 CQL pada GeoExt.

Query tersebut menyeleksi hotspot yang terdapat pada wilayah kalimantan di bulan mei tahun 2000, hasilnya terdapat 39 hotspot pada wilayah dan waktu tersebut. Hasil query selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.

Gambaran Umum Spatial OLAP (SOLAP)

Spatio-temporal data warehouse yang telah dibuat diimplementasikan ke dalam bentuk spatial OLAP. Di dalam spatial OLAP, database, kubus data, dan dimensi yang akan ditampilkan sesuai kebutuhan dapat ditentukan. Aplikasi ini dilengkapi dengan visualisasi tabel pivot yang memudahkan dalam menganalisis.

Salah satu informasi yang dapat diambil dari tampilan spatial OLAP adalah melihat jumlah frekuensi berikut luasan kasar hotspot yang terjadi di Indonesia mulai dari tahun 1997 hingga 2005.

15 Tampilan tabel pivot untuk operasi tersebut

dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Tabel pivot spatial OLAP Gambar 14 menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan pada semua tahun (1997-2005) di semua satelit NOAA, memiliki jumlah frekuensi kemunculan hotspot tertinggi yaitu 229.595 titik dengan interpretasi luasan hotspot sebesar 227.258 km2. Jumlah ini sangat berdekatan dengan jumlah frekuensi hotspot yang terdapat pada wilayah Sumatera. Interpretasi luasan hotspot ini didapatkan dari perkalian antara jumlah frekuensi kemunculan hotspot dengan resolusi citra satelit NOAA, yakni 1.1 km x 1.1 km atau 1.21 km2. Interpretasi luasan hotspot ini merupakan nilai agregasi yang masih sangat kasar, karena kemampuan sensor satelit NOAA tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Kemudian ditambah dengan resolusi satelit NOAA yang hanya dapat menangkap citra satu titik panas dengan luasan yang cukup besar (1.1 km x 1.1

Dokumen terkait