• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)Provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0o45’-2o45’ LS dan 101o

104o55’ BT, terletak di tengah Pulau Sumatera dan membujur dari pantai timur sampai barat. Luas wilayah Provinsi Jambi tercatat 53435.72 km2 yang terbagi atas luas daratan 51000 km2 dan luas lautan 2435.72 km2 yang terbagi dalam 9 kabupaten dan 2 kota, yaitu: Kerinci, Merangin, Sarolangun, Batang Hari, Muaro Jambi, Tanjab Barat, Tanjab Timur, Bungo, Tebo, Kota Jambi, dan Kota Sungai Penuh (BKPM 2012). Kabupaten yang termasuk dalam path/row 126/61 adalah seluruh Kabupaten Tebo dan Bungo, sebagian besar Kabupaten Merangin dan Kerinci, serta sebagian kecil Kabupaten Tanjab Barat, Batang Hari, dan Sarolangun. Luas Provinsi Jambi pada path/row 126/61 adalah 40.46% dari seluruh Provinsi Jambi dan dari 40.46% tersebut 87.09% merupakan tutupan lahan vegetasi (Tabel 3).

Tabel 3 Persentase tutupan lahan Prov Jambi path/row 126/61 tanggal 18 Juni 2013

Tutupan Lahan Luas

(km2) % Lahan % Jambi badan air 77.32 0.38 0.15 vegetasi 17826.48 87.09 35.24 lahan terbangun 2564.94 12.53 5.07 Total 40.46

Titik panas (hotspot) pada path/row 126/61 tahun 2013 dikelompokkan menjadi 24 kelompok (Lampiran 2). Jumlah hotspot terbanyak terdapat pada kelompok 16 yang berada di wilayah utara dari Kabupaten Tebo. Area kelompok 16 merupakan area yang didominasi oleh tutupan lahan terbangun atau terbuka.

Gambar 3 Sebaran bulanan jumlah hotspot pada path/row 126/61 tahun 2013. 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 Σ ho ts po t bulan

8

Kabupaten Tebo merupakan wilayah yang memiliki pola curah hujan ekuatorial yaitu distribusi hujan bulanan bimodial dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk ke dalam kriteria musim hujan (Azteria 2013). Pola ini berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi ke utara dan selatan mengikuti pergerakan semu matahari, curah hujan wilayah Sumatera dan Kalimantan termasuk dalam pola ini (Tukidi 2010). Musim hujan di Provinsi Jambi terjadi pada bulan November sampai Maret dan musim kemarau pada bulan Mei sampai Oktober. Jumlah hotspot pada musim kemarau lebih banyak dibandingkan dengan musim hujan, karena pada Gambar 4 jumlah hotspot terbanyak ada pada bulan Juni dan September. Kedua bulan tersebut termasuk dalam bulan-bulan musim kemarau di wilayah Provinsi Jambi.

Gambar 4 Peta sebaran hotspot berdasarkan tutupan lahan Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013.

Pengelompokkan hotspot menghasilkan 24 kelompok yang membantu dalam penghitungan parameter-parameter yang digunakan. Hubungan luas kelompok wilayah dengan jumlah titik panas menghasilkan garis tren linier yang mengarah ke kanan atas, yang artinya hubungan keduanya berbanding lurus dengan R2 92.62% (Gambar 5).

9

Gambar 5 Hubungan jumlah hotspot terhadap kelompok wilayah yang terbentuk.

Hasil Suhu Permukaan

Suhu permukaan bisa dikatakan sebagai suhu terluar yang dimiliki oleh sebuah objek. Suhu permukaan merupakan parameter yang sensitif terhadap keberadaan dan jenis vegetasi yang menutupi wilayah kajian dan juga kelembaban udara maupun kelengasan permukaan (Lillesand&Kiefer 1997 dalam Novianto 2007). Suhu permukaan ang dihasilkan memiliki rentang antara 5.05 hingga 5 . C. Rentang terendah 5.1-14.5 C yang ditunjukkan oleh warna hijau (Gambar 6) berada di daerah yang memiliki tutupan awan yang paling banyak (gambar 4). Rentang tengah (warna kuning pada Gambar 6) 14.-1λ. C berada di daerah yang vegetasi dan lebih sedikit lahan terbangun dibanding rentang tinggi (warna jingga pada Gambar 6) -5 . C.

Gambar 6 Peta sebaran hotspot terhadap suhu permukaan Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013.

10

Hubungan jumlah hotspot dengan suhu permukaan adalah berbanding terbalik dengan R2 5.42% (Gambar 7) meskipun jumlah hotspot terbanyak yang berada di area berwarna jingga, yaitu area dengan rentang tertinggi dari suhu permukaan (Gambar 6). Rata-rata suhu permukaan yang semakin tinggi tidak dapat menunjukkan area tersebut memiliki jumlah hotspot yang paling banyak, sebab dipengaruhi oleh luasan area kelompok hotspot yang terbentuk.

Gambar 7 Hubungan antara suhu permukaan dan jumlah hotspot.

Neraca Energi

Parameter EF dan β didapat dengan rumus yang menggunakan radiasi netto dan neraca energi sebagai parameter penentunya. Neraca energi yang digunakan adalah fluks bahang tanah (G), fluks bahang terasa (H), dan fluks penguapan ( e). Nilai neraca energi dipengaruhi oleh nilai radiasi netto. Untuk mendapat nilai radiasi netto diperlukan nilai suhu permukaan.

Tabel 4 Radiasi(Rs Netto, Rl Out, RN) dan Neraca Energi (G, H, e). tutupan lahan radiasi neraca energi

rsnetto rlout rn g h laten badan air 600.69 3.06 749.40 67.76 316.75 395.34

vegetasi 399.28 3.15 397.50 43.54 291.90 329.02 lahan

terbangun 399.07 3.09 570.16 62.45 325.50 372.23 ket. nilai radiasi dan neraca energi di atas merupakan nilai tengah dan memiliki satuan Wm-2.

Nilai radiasi netto pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai tengah radiasi netto yang dimiliki badan air lebih besar dibanding dengan tutupan lahan vegetasi dan terbangun. Nilai tengah yang tertinggi bukan hanya nilai maksimum yang dihasilkan dari tiap tutupan lahan, tetapi juga karena rentang nilai yang dihasilkan. Semakin panjang rentang nilai yang dihasilkan, maka semakin kecil nilai tengah yang dihasilkan.

11

Nilai radiasi netto mempengaruhi nilai dari neraca energi yang ditunjukkan oleh hasil neraca energi dimana sebagian besar nilai tertinggi terdapat pada tutupan lahan badan air, kecuali nilai H.

Hasil Evaporative Fraction (EF)

EF merupakan perbandingan nilai fluks penguapan ( E) dengan jumlah energi tersedia. EF biasa digunakan untuk menunjukkan tingkat kebasahan atau kekeringan dari sebuah wilayah. Jika suatu wilayah memiliki kelengasan tanah yang tinggi (basah) maka albedo dan suhu permukaan wilayah tersebut relatif rendah. Albedo permukaan yang rendah akan mengakibatkan tingginya radiasi netto karena radiasi matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi rendah. Radiasi netto yang tinggi serta fluks bahang tanah dan terasa yang rendah akan mengakibatkan fluks bahang penguapan yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan nilai evaporative fraction yang tinggi yang mengindikasikan wilayah tersebut tidak berpotensi terjadi kekeringan. Nilai EF berkisar antara 0-1. Jika nilai EF semakin mendekati 1 menunjukkan wilayah tersebut semakin basah (Feliggi 2007).

Gambar 8 Peta sebaran titik panas terhadap evaporative fraction Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013.

EF yang dihasilkan dari citra landsat 8 didominasi warna kuning yang menunjukkan tingkat kebasahan sedang karena sebagian besar tutupan lahan path/row 126/61 adalah vegetasi (Gambar 8). Walau seperti itu hotspot banyak berkumpul di daerah kering yang ditunjukkan dengan warna merah. Hubungan antara EF dengan jumlah hotspot menghasilkan garis tren menurun yang menunjukkan bahwa terjadi hubungan yang berbanding terbalik dengan R2 4.94% (Gambar 9) yang berarti dalam rentang nilai EF, yaitu 0-1 kenaikan nilai EF akan menurunkan jumlah hotspot yang ada. Sebab semakin besar EF akan

12

menyebabkan area semakin basah dan tidak memiliki potensi kekeringan yang menjadi indikator hotspot.

Gambar 9 Hubungan evaporative fraction dengan jumlah hotspot.

Hasil Bowen Ratio (β)

Rasio Bowen atau Bowen ratio (β) adalah perbandingan antara nilai fluks bahang terasa dengan energi untuk evapotransporasi ( E) yang biasa digunakan untuk identifikasi potensi kekeringan di suatu wilayah. Semakin tinggi nilai bowen ratio semakin potensi kekeringan di wilayah tersebut (Khomaruddin et al. 2005). Nilai β berbanding terbalik dengan E sehingga jika β semakin besar makan E semakin kecil sehingga sebagian besar radiasi netto akan digunakan untuk memanaskan udara (H) dan tanah (G) akibatnya daerah tersebut semakin kering (Feliggi 2007).

Bowen ratio yang dihasilkan dari Landsat 8 didominasi dengan warna hijau yang menunjukkan keadaan di antara kering dan basah. Kumpulan hotspot paling terlihat di barat daya wilayah kajian, di daerah yang berpotensi terjadi kekeringan yang ditunjukkan dengan warna merah (Gambar 11).

Gambar 10 Hubungan β dengan jumlah hotspot.

Hubungan antara β dengan jumlah hotspot menghasilkan garis tren menaik yang menunjukkan hubungan berbanding lurus dengan R2 6.31% (Gambar 10). Persamaan yang dihasilkan menunjukkan bahwa bila β bernilai 1 maka akan 12

13

menghasilkan sebanyak kurang lebih 36 hotspot. Hubungan yang berbanding lurus disebabkan semakin besar nilai β maka semakin kering suatu area, dimana tempat yang kering dijadikan indikasi bahwa di area itu terdapat hotspot.

Gambar 11 Peta sebaran hotspot terhadap bowen ratio Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013.

Hubungan TS, EF, β dengan Titik Panas

Pengujian pengaruh parameter suhu permukaan, EF, dan β terhadap jumlah hotspot menggunakan derajat kepercayaan 95% (α=0.05). Pengujian menggunakan uji-t dan uji-F yang akan menolak H0 jika t-hit dan F-hit lebih besar dibandingkan dengan t-tabel dan F-tabel. Untuk α=0.05 didapatkan t-tabel yaitu 1.71 dan F-tabel yaitu 3.13.

Tabel 5 Perbandingan hasil uji sumbu y sumbu x hasil uji

t hit F hit Σhotspot TS -0.39 0.43 β 0.41 EF 0.33

Keterangan: t-hit merupakan hasil perhitungan untuk uji keragaman, sedangkan p-value merupakan hasil perhitungan untuk uji signifikansi.

Hasil uji pada Tabel 5 menunjukkan bahwa baik secara individual maupun bersama, parameter EF, β, dan suhu permukaan tidak memberikan pengaruh dan bukan penjelas yang tepat untuk jumlah hotspot. Sebab terdapat faktor di luar faktor iklim yang mempengaruhi terjadinya hotspot di Provinsi Jambi path/row 126/61. Sehingga formulasi yang dihasilkan (Lampiran 6) tidak dapat digunakan untuk mengestimasi perubahan jumlah hotspot di Provinsi Jambi path/row 126/61.

14

Kebakaran lahan (mencakup vegetasi dan lahan terbangun/terbuka) dipengaruhi oleh faktor alam (biofisik) dan perilaku manusia. Faktor biofisik yang mempengaruhi terjadinya kebakaran lahan antara lain bahan bakar, iklim, dan topografi. Sedangkan faktor perilaku manusia lebih disebabkan tindakan kesengajaan maupun kelalaian yang menyebabkan kebakaran seperti penyiapan lahan dengan tebas bakar (slash and burn) maupun kelalaian mematikan api. Dalam perkembangannya kejadian kebakaran lahan lebih disebabkan oleh faktor aktivitas manusia dan sangat kecil terjadi akibat faktor alam seperti fenomena alam El Nino, petir maupun gesekan kayu (Widodo 2014).

Dokumen terkait