• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hubungan Suhu Permukaan, Evaporative Fraction, dan Bowen Ratio dengan Hotspot sebagai Indikator Kebakaran Lahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hubungan Suhu Permukaan, Evaporative Fraction, dan Bowen Ratio dengan Hotspot sebagai Indikator Kebakaran Lahan"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

ANDRINI EKADIAH PRAKOSO. Analisis Hubungan Suhu Permukaan, Evaporative Fraction, dan Bowen Ratio dengan Hotspot sebagai Indikator Kebakaran Lahan. Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO.

Kebakaran lahan merupakan kejadian pembakaran yang menjalar bebas pada lahan bervegetasi. Kejadian kebakaran di Indonesia sudah merupakan peristiwa tahunan yang terjadi, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran lahan sering diindikasikan dengan temuan hotspot di suatu area, sehingga hotspot disamakan dengan titik api bila melihat sebarannya menggunakan metode penginderaan jauh. Parameter turunan merupakan parameter yang didapat dari hasil konversi metadata citra Landsat 8 dengan resolusi 1 km x 1 km. Resolusi ini digunakan untuk menyamakan dengan resolusi dari data titik panas MODIS yaitu 1 km x 1 km. Kedua data citra menggunakan data tahun 2013 di path/row 126/61. Parameter turunan yang digunakan adalah suhu permukaan, bowen ratio (β) ,dan evaporative fraction (EF). Suhu permukaan dan jumlah hotspot menghasilkan hubungan yang berbanding terbalik dengan R2 5.42%. Hubungan jumlah hotspot dengan EF menghasilkan tren menurun dengan R2 4.94%, sedangkan jumlah hotspot dengan β menghasilkan tren menaik dengan R2 6.31%. Hasil t-uji dan F-uji antara ketiga parameter terhadap hotspot menunjukkan ketiga parameter tidak dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah hotspot, sebab kemunculan titik panas tidak dijelaskan dengan hanya ketiga parameter tersebut.

(2)

ABSTRACT

ANDRINI EKADIAH PRAKOSO. Analysis Relation of Surface Temperatures, Evaporative Fraction, and Bowen Ratio with Hotspot as Fireland Indicator. Supervised by IDUNG RISDIYANTO.

Landfire is a burning incident that swoop down the vegetation area. Landfire in Indonesia has been an annual incident specially in Sumatera and Kalimantan. Landfires often symbolized with hotspots in that area, because that hotspots generalized with the firespots if looked by remote sensing method. The differentiation parameters were parameter from convertion metadata Landsat 8 with resolution 1 km x 1 km. This resolution used for generalize with the resolution of MODIS fire data that is 1 km x 1km. The two of image data are from 2013 in path/row 126/61. Using parameter surface temperatures (TS), Bowen ratio

(β), and evaporative fraction (EF). The result from relation between TS and hotspot is the climb down trend with R2 5.42%. While the result from relation between EF dan hotspot is the climb down trend with R2 4.94% and the result from relation between β and hotspot is the climb up trend with R2 6.31%. The result of t-test and F-test between these parameters and hotspot is these parameters

can’t used alone to estimated hotspot. Because for estimating hotspot can’t use

only these parameters but the others too.

(3)

ANALISIS HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN,

EVAPORATIVE FRACTION,

DAN

BOWEN RATIO

DENGAN

HOTSPOT

SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN LAHAN

ANDRINI EKADIAH PRAKOSO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

14

Kebakaran lahan (mencakup vegetasi dan lahan terbangun/terbuka) dipengaruhi oleh faktor alam (biofisik) dan perilaku manusia. Faktor biofisik yang mempengaruhi terjadinya kebakaran lahan antara lain bahan bakar, iklim, dan topografi. Sedangkan faktor perilaku manusia lebih disebabkan tindakan kesengajaan maupun kelalaian yang menyebabkan kebakaran seperti penyiapan lahan dengan tebas bakar (slash and burn) maupun kelalaian mematikan api. Dalam perkembangannya kejadian kebakaran lahan lebih disebabkan oleh faktor aktivitas manusia dan sangat kecil terjadi akibat faktor alam seperti fenomena alam El Nino, petir maupun gesekan kayu (Widodo 2014).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jumlah hotspot yang diindikasi sebagai area kejadian kebakaran lahan dapat dipengaruhi oleh parameter seperti suhu permukaan, evaporative fraction (EF), dan Bowen ratio (β). Hasil hubungan suhu permukaan dengan hotspot menghasilkan hubungan berbanding terbalik dengan R2 5.42%. Hubungan EF dengan jumlah hotspot menunjukkan tren menurun dengan R2 4.94%, artinya hanya 4.94% pengaruhi kenaikan 1 nilai EF terhadap perubahan jumlah hotspot.

Kemudian untuk hubungan β dengan jumlah titik panas menunjukkan tren menaik

dengan R2 6.31%, yang berarti hanya 6.31% pengaruhi kenaikan 1 nilai β terhadap pertambahan jumlah hotspot. Persamaan yang dihasilkan pun tidak dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah titik panas, karena hasil uji-t dan uji-F menunjukkan bahwa ketiga parameter (TS, EF, dan β) tidak berpengaruh dan bukan penjelas yang tepat untuk jumlah titik panas. Sehingga formulasi yang dihasilkan tidak dapat mengestimasi jumlah hotspot di wilayah kajian maupun wilayah lainnya.

Saran

Sebaran hotspot dapat dipengaruhi dari berbagai indikator, termasuk tiga indikator yang digunakan dalam penelitian ini. Termasuk faktor aktivitas manusia yang berada di sekitar lokasi pengamatan. Selain pengamatan dengan faktor iklim lainnya, perlu juga diamati pengaruh aktivitas manusia terhadap timbulnya hotspot.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, I.P., Imanda, I.D and Muhnandar. 1999 Vegetation Fires in Indonesia: The Interpretation of NOAA Derived Hot-Spot Data. Forest Fire Prevention and Control Project, Palembang. Ministry of Forestry and Estate Crops and European Union. Jakarta. Hal 2.

(5)

15

Aryani, W. 2013. Perubahan kapasitas panas wilayah akibat perubahan komposisi tutupan lahan menggunakan data citra Landsat-5 TM [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Azteria, V. 2013. Akurasi indikator kejadian kebakaran dan identifikasi latar belakang penyebab kebakaran hutan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bakry, GN. 2011. Analisis peningkatan suhu permukaan akibat konservasi lahan dengan menggunakan citra Landsat ETM+ (studi kasus : Jakarta) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2012. Potensi Investasi Provinsi Jambi 2012.

Fajri, PYN. 2011. Pendugaan Unsur-Unsur Fisis Atmosfer Menggunakan Penginderaan Jauh. Beasiswa Unggulan DIKNAS 2011.

Feliggi, FG. 2007. Identifikasi indikator kekeringan menggunakan teknik penginderaan jauh [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Fire Fight South East Asia. 2002. Pengadilan Kebakaran Hutan dan Lahan: Sebuah Studi Kasus Mengenai Proses Hukum di Riau, Indonesia. Fire Fight South East Asia. WWF. IUCN. European Union.

Jayantika, M. 2013. Hubungan antara titik panas dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan (studi kasus: Kabupaten Kapuas, (Provinsi Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Khomaruddin, MR, Ahmad B, Idung R. 2005. Identifikasi neraca energi di beberapa penggunaan lahan untuk deteksi daerah potensi kekeringan di Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Khomaruddin MR. 2005. Penentuan evapotranspirasi regional dengan data

Landsat TM dan NOAA AVHRR. Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.

Monteith JL, Unsworth MH. 1990. Principles of Environmental Physics 2nd ed. London: Edward Arnold.

Novianto AHP. 2007. Aplikasi citra Landsat 7 ETM+ untuk kajian perubahan garis pantai dan penutupan lahan di selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, pra dan pasca tsunami tahun 2006 [skrpisi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Quintanar AI, R Mahmood, JH Loughrin, N Lovanh, MV Motley. 2009. A system for estimating bowen ratio and evaporation from waste lagoons. Engineering in Agriculture. Vol. 25(6): 923-932.

Risdiyanto I dan Rini H. 1999. Iklim mikro. Pelatihan Dosen-Dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agroklimatologi. Bogor 1-12 Februari 1999. Bogor.

(6)

16

Supriatna, W dan Sukartono. 2002. Teknik Perbaikan Data Digital (Koreksi dan Penajaman) Citra Satelit. Bogor: Buletin Teknik Pertanian Vol. 7 Nomor 1 tahun 2002.

Syukri MN. 2004. Neraca Energi dan Air di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah [disertasi]. Bogor (ID): Pascasarjana IPB. Tukidi. 2010. Karakter curah hujan di Indonesia. Jurnal Geografi. Vol. 7(2):

136-145.

[USGS] United State Geological Survey. 2013. Landsat 7 science data users handbook [internet]. [diacu 2014 Juni 30]. Tersedia dari: http:// landsathandbook.gsfc.nasa.gov/pdfs/Landsat7_Handbook.pdf .

Wang K, Zhanqing L, M Cribb. 2006. Estimation of evaporative fraction from a combination of day and night land surface temperatures and NDVI: A new method to determine the Priestley-Taylor parameter. Remote Sensing of Environment. 102(2006): 293-305.

Widodo, RB. 2014. Pemodelan spasial resiko kebakaran hutan (studi kasusu Provinsi Jambi, Sumatera). Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota. Vol. 10(2): 127-138.

(7)

ANALISIS HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN,

EVAPORATIVE FRACTION,

DAN

BOWEN RATIO

DENGAN

HOTSPOT

SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN LAHAN

ANDRINI EKADIAH PRAKOSO

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Hubungan Suhu Permukaan, Evaporative Fraction, dan Bowen Ratio dengan Hotspot sebagai Indikator Kebakaran Lahan adalah benar karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalan Daftra Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

(10)
(11)

ABSTRAK

ANDRINI EKADIAH PRAKOSO. Analisis Hubungan Suhu Permukaan, Evaporative Fraction, dan Bowen Ratio dengan Hotspot sebagai Indikator Kebakaran Lahan. Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO.

Kebakaran lahan merupakan kejadian pembakaran yang menjalar bebas pada lahan bervegetasi. Kejadian kebakaran di Indonesia sudah merupakan peristiwa tahunan yang terjadi, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran lahan sering diindikasikan dengan temuan hotspot di suatu area, sehingga hotspot disamakan dengan titik api bila melihat sebarannya menggunakan metode penginderaan jauh. Parameter turunan merupakan parameter yang didapat dari hasil konversi metadata citra Landsat 8 dengan resolusi 1 km x 1 km. Resolusi ini digunakan untuk menyamakan dengan resolusi dari data titik panas MODIS yaitu 1 km x 1 km. Kedua data citra menggunakan data tahun 2013 di path/row 126/61. Parameter turunan yang digunakan adalah suhu permukaan, bowen ratio (β) ,dan evaporative fraction (EF). Suhu permukaan dan jumlah hotspot menghasilkan hubungan yang berbanding terbalik dengan R2 5.42%. Hubungan jumlah hotspot dengan EF menghasilkan tren menurun dengan R2 4.94%, sedangkan jumlah hotspot dengan β menghasilkan tren menaik dengan R2 6.31%. Hasil t-uji dan F-uji antara ketiga parameter terhadap hotspot menunjukkan ketiga parameter tidak dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah hotspot, sebab kemunculan titik panas tidak dijelaskan dengan hanya ketiga parameter tersebut.

(12)

ABSTRACT

ANDRINI EKADIAH PRAKOSO. Analysis Relation of Surface Temperatures, Evaporative Fraction, and Bowen Ratio with Hotspot as Fireland Indicator. Supervised by IDUNG RISDIYANTO.

Landfire is a burning incident that swoop down the vegetation area. Landfire in Indonesia has been an annual incident specially in Sumatera and Kalimantan. Landfires often symbolized with hotspots in that area, because that hotspots generalized with the firespots if looked by remote sensing method. The differentiation parameters were parameter from convertion metadata Landsat 8 with resolution 1 km x 1 km. This resolution used for generalize with the resolution of MODIS fire data that is 1 km x 1km. The two of image data are from 2013 in path/row 126/61. Using parameter surface temperatures (TS), Bowen ratio

(β), and evaporative fraction (EF). The result from relation between TS and hotspot is the climb down trend with R2 5.42%. While the result from relation between EF dan hotspot is the climb down trend with R2 4.94% and the result from relation between β and hotspot is the climb up trend with R2 6.31%. The result of t-test and F-test between these parameters and hotspot is these parameters

can’t used alone to estimated hotspot. Because for estimating hotspot can’t use

only these parameters but the others too.

(13)

ANALISIS HUBUNGAN SUHU PERMUKAAN,

EVAPORATIVE FRACTION,

DAN

BOWEN RATIO

DENGAN

HOTSPOT

SEBAGAI INDIKATOR KEBAKARAN LAHAN

ANDRINI EKADIAH PRAKOSO

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)
(15)

Judul Skripsi : Analisis Hubungan Suhu Permukaan, Evaporative Fraction, dan Bowen Ratio dengan Hotspot sebagai Indikator Kebakaran Lahan Nama : Andrini Ekadiah Prakoso

NIM : G24100079

Disetujui oleh

Idung Risdiyanto SSi, MSc Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Tania June MSc Ketua Departemen

(16)
(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 ini ialah penginderaan jauh, dengan judul Analisis Hubungan Suhu Permukaan, Evaporative Fraction, dan Bowen Ratio dengan Hotspot sebagai indikator Kebakaran Lahan.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak (H. Sindhu Prakoso), ibu (Hj. Meiki Dwi Setiowati), adik (Dhuki Dwi Yudhanto), dan keluarga besar atas segala dukungan, semangat, doa, dan kasih sayang yang kalian berikan.

2. Bapak Idung Risdiyanto, SSi, MSc selaku pembimbing skripsi. Terima kasih atas arahan dan bimbingannya selama proses penelitian dan penulisan skripsi.

3. Bapak Ahmad Faqih SSi, PhD selaku pembimbing akademik penulis.

4. Sepermainan (Aret, Bubun, Alfi, Putri, Icawin, Niki, Nani, Mue, Ayah, Mandes), terima kasih atas kebersamaan dan kenangan selama ini.

5. Teman-teman sebimbingan (Ryan, Icanur, Haikal), terima kasih atas motivasi dan kebersamaan selama pengerjaan tugas akhir ini.

6. Ibu Dr Ir Tania June MSc selaku ketua departemen GFM, serta seluruh dosen dan staf departemen Geofisik dan Meteorologi IPB.

7. Teman-teman GFM47, terima kasih dan maaf penulis jarang berkumpul bersama kalian.

8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungannya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

(18)
(19)

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 1

METODE ... 1

Waktu dan Tempat Penelitian ... 1

Alat dan Bahan ... 2

Prosedur Analisis Data ... 2

Pengolahan Awal Data Citra... 2

Pendugaan Suhu Permukaan ... 3

Menghitung Radiasi Netto ... 3

Menghitung Neraca Energi ... 4

Estimasi Evaporative Fraction (EF) ... 5

Estimasi Bowen Ratio(β) ... 5

Pengelompokkan Hotspot ... 6

Pengujian Pengaruh Parameter terhadap Hotspot ... 6

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 7

Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)Provinsi Jambi ... 7

Hasil Suhu Permukaan ... 9

Neraca Energi ... 10

Hasil Evaporative Fraction (EF) ... 11

Hasil Bowen Ratio (β) ... 12

Hubungan TS, EF, β dengan Titik Panas ... 13

SIMPULAN DAN SARAN ... 14

Simpulan ... 14

Saran ... 14

DAFTAR PUSTAKA ... 14

LAMPIRAN ... 17

(20)

DAFTAR TABEL

Proporsi penutupan lahan ... 4

Nilai Bowen ratio yang digunakan ... 5

Persentase tutupan lahan Prov Jambi path/row 126/61 tanggal 18 Juni 2013 ... 7

Radiasi(Rs Netto, Rl Out, RN) dan Neraca Energi (G, H, e). ... 10

Perbandingan hasil uji ... 13

DAFTAR GAMBAR

Diagram alir penelitian. ... 2

Alur menu untuk uji hubugan. ... 6

Sebaran bulanan jumlah hotspot pada path/row 126/61 tahun 2013. ... 7

Peta sebaran hotspot berdasarkan tutupan lahan Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013. ... 8

Hubungan jumlah hotspot terhadap kelompok wilayah yang terbentuk. ... 9

Peta sebaran hotspot terhadap suhu permukaan Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013. ... 9

Hubungan antara suhu permukaan dan jumlah hotspot. ... 10

Peta sebaran titik panas terhadap evaporative fraction Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013. ... 11

Hubungan evaporative fraction dengan jumlah hotspot. ... 12

Hubungan β dengan jumlah hotspot. ... 12

Peta sebaran hotspot terhadap bowen ratio Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013. ... 13

DAFTAR LAMPIRAN

Jumlah Hotspot per wilayah per hari ... 18

Kelompok Wilayah Hotspot yang Terbentuk ... 19

Hotspot, Suhu Permukaan, Evaporative Fraction, dan Bowen Ratio. ... 19

T-tabel ... 20

F-tabel ... 20

Hasil uji ... 21

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat yang menyebabkan kabut asap yang menyebar tidak hanya di Pulau Sumatera tetapi juga negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Data historis antara tahun 2001 sampai 2012 mengatakan bahwa Pulau Sumatera mengalami rata-rata sekitar 20.000 peringatan titik api setiap tahunnya (dengan tingkat keyakinan deteksi lebih dari 30 persen). Peringatan titik api biasanya muncul cukup banyak di sekitar bulan Juni hingga September setiap tahunnya. 60 persen titik api yang diobservasi setiap tahunnya muncul pada periode waktu 4 bulan tersebut (Sizer, et al. 2013).

Titik panas (hotspot) pada awalnya diidentikkan dengan titik api, namun dalam kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Hotspot adalah sebuah titik yang diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara meluas di berbagai negara untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit. Cara deteksi terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah dengan pengamatan hotspot (Anderson, et.al. 1999).

Sebuah hotspot dapat mencerminkan sebuah areal yang mungkin terbakar sebagian atau seluruhnya karena itu tidak menunjukkan secara pasti seberapa besar areal yang terbakar. Jumlah hotspot dapat sangat bervariasi dari suatu pengukuran selanjutnya tergantung dari waktu pengukuran pada hari itu (aktivitas api berkurang pada malam hari dan paling tinggi pada sore hari), cuaca (sensor yang digunakan tidak dapat menembus awan dan asap) dan organisasi apa yang memberikan data tersebut (tidak terdapat standar ambang batas temperatur atau suhu untuk mengidentifikasikan titik panas) (Fire FightSouth East Asia, 2002).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. mengetahi hubungan antara nilai suhu permukaan, bowen ratio, dan evaporative fraction dengan hotspot sebagai indikator kebakaran lahan; dan

2. menyusun formulasi hubungan suhu permukaan, bowen ratio, evaporative fraction sehingga dapat digunakan sebagai indikator kebakaran lahan.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

(22)

2

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer beserta perangkat lunak pembantu. Perangkat lunak yang digunakan ada 2, yaitu perangkat lunak pengolah citra satelit Landsat 8 dan perangkat lunak pengolah data statistik.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Landsat 8 path/row 126/61, peta administrasi Provinsi Jambi, dan data hotspot MODIS 2013. Tanggal akusisi data citra Landsat 8 adalah 18 Juni 2013.

Prosedur Analisis Data

Gambar 1 Diagram alir penelitian.

Pengolahan Awal Data Citra

Pengolahan awal data citra meliputi koreksi geometrik, pengambilan wilayah kajian, dan klasifikasi penutupan lahan. Koreksi geometrik merupakan proses memposisikan citra sehingga cocok dengan koordinat peta dunia yang sesungguhnya (Supriatna dan Sukartono, 2002). Pengambilan wilayah kajian dilakukan untuk membatasi dan memfokuskan wilayah penelitian. Klasifikasi penutupan wilayah dilakukan untuk mengelompokkan wilayah berdasarkan tutupannya yang dilakukan dengan metode klasifikasi tak terbimbing (unsupervised classification). Kanal Landsat 8 yang digunakan untuk klasifikasi lahan adalah kanal 653.

(23)

3

Pendugaan Suhu Permukaan

Suhu permukaan dapat diartikan suhu bagian terluar dari suatu obyek. Suhu permukaan untuk suatu tanah terbuka adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah sedangkan untuk vegetasi dapat dipandang suhu permukaan kanopi tumbuhan dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Suhu permukaan akan meningkat saat permukaan suatu benda menyerap radiasi, namun penyerapan radiasi belum tentu sama. Hal ini tergantung pada sifat fisik obyek pada permukaan tersebut. Sifat fisis obyek tersebut diantaranya : emisivitas, konduktivitas termal dan kapasitas panas jenis (Bakry 2011).

Ada beberapa cara untuk melakukan pengukuran suhu permukaan, salah satunya adalah dengan metode penginderaan jauh menggunakan data citra satelit.

Pengukuran dengan citra satelit membutuhkan persamaan. Persamaan suhu permukaan didapat dari turunan nilai suhu kecerahan (Brightness Temperature/TB) menggunakan persamaan Artis &Carnahan (1982), yaitu:

... (1)

Ts adalah suhu permukaan (untuk penelitian ini oC) dan TB adalah suhu kecerahan (oC); adalah panjang gelombang radiasi emisi (11.5 m); = 1.438 x 10-2 mK;

dan nilai ε nilai emisivitas benda.

Menghitung Radiasi Netto

Nilai radiasi netto di suatu wilayah dapat diduga menggunakan citra Landsat 8 kanal 432. Nilai radiasi netto didapat dari penghitungan nilai radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang. Nilai radiasi gelombang pendek netto merupakan selisih dari radiasi gelombang pendek yang datang ke permukaan bumi (Rs In) dengan radiasi gelombang pendek yang dikeluarkan oleh permukaan bumi (Rs Out). Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan Rs tergantung sifat lengkung bumi (Aryani 2013).

Sedangkan nilai Rs In didapat dari hasil perbandingan nilai Rs Out (Wm-2)

dengan nilai albedo, (3). Sehingga persamaan untuk mendapatkan nilai radiasi gelombang pendek netto adalah:

(24)

4

Perhitungan nilai radiasi netto (RN) selain memerlukan nilai radiasi gelombang pendek netto, juga memerlukan nilai radiasi gelombang panjang netto. Nilai radiasi gelombang panjang netto menggunakan nilai radiasi gelombang panjang yang keluar (RL out). Nilai RL out diturunkan dari persamaan Stefan-Boltzman dan Ts = suhu permukaan.

...( )

Sehingga nilai radiasi netto (RN) dapat diperoleh dengan persamaan:

RN = Rs Netto – RL out ...(6)

Menghitung Neraca Energi

Neraca energi di dekat permukaan adalah penentu utama dari pembentukan cuaca/iklim. Neraca energi merupakan kesetimbangan antara masukan energi dari matahari dengan kehilangan energi oleh permukaan setelah melalui proses-proses yang kompleks (Risdiyanto dan Rini 1999). Neraca energi penting dipelajari karena dapat digunakan sebagai penciri kondisi iklim lokal suatu lokasi yang memberikan informasi nilai masing-masing komponen radiasi yang terkonversi menjadi fluks pemanasan laten, fluks pemanasan udara dan fluks pemanasan tanah (Syukri 2004). Persamaan :

...( )

Fluks bahang tanah (G) adalah sejumlah energi radiasi surya yang sampai pada permukaan tanah dan digunakan untuk berbagai proses fisik dan biologi tanah. Persamaan untuk menentukan G adalah:

G = Rn * Proporsi ...(8)

Fluks bahang terasa merupakan energi yang terkonversi dari radiasi netto untuk pemanasan atmosfer sekitarnya (Monteith & Unsoworth, 1990). Persamaannya:

...( )

dimana adalah bowen ratio, Rn adalah radiasi netto (Wm-2), dan G adalah fluks bahang tanah (Wm-2).

(25)

5

Tabel 2 Nilai Bowen ratio yang digunakan Penutupan Lahan Bowen Ratio (β) untuk menguapkan air ke atmosfer. Menurut Monteith dan Unsworth (1990), fluks panas laten adalah jumlah energi yang diperlukan untuk mengubah satu unit massa airmenjadi uap pada suhu yang sama (Fajri 2011). Persamaannya:

... ( )

Estimasi Evaporative Fraction (EF)

Evapotranspirasi (ET) merupakan salah satu proses utama pertukaran energi dan air antara hidrosfer, atmosfer, dan biosfer (Wang et al. 2006). Berbagai metode telah digunakan untuk menghitung ET salah satunya adalah dengan satelit penginderaan jauh dengan cara mengestimasikan evaporative fraction (EF) yang merupakan rasio dari ET terhadap jumlah energi tersedia (Shuttleworth et al. 1989, dalam Wang et al. 2006).

EF digunakan oleh Niewmeyer dan Vogt (1999) untuk memantau kekeringan daerah Sicilia. Pada konsep ini nilai EF semakin rendah, potensi kekeringan akan lebih tinggi. Persamaan untuk menetukan EF sebagai berikut.

... ( )

EF merupakan evaporative fraction; E merupakan fluks bahang laten (Wm-2); Rn merupakan radiasi netto (Wm-2); dan G merupakan fluks bahang tanah (Wm-2). Nilai EF berkisar antara 0-1 dan semakin besar EF daerah tersebut semakin berpotensi basah dan semakin kecil nilai EF daerah tersebut berpotensi semakin kering (Khomaruddin et al. 2005).

Estimasi Bowen Ratio (β)

Rasio antara fluks bahang terasa dengan fluks bahang laten merupakan pengukuran dari bagaimana energi tersedia terbagi-bagi pada pertemuan atmosfer dengan permukaan air dan diketahui sebagai Bowen ratio (Quintanar 2007).

Sama seperti EF, β juga merupakan parameter yang dapat mengidentifikasi potensi kekeringan. Perbedaan dengan EF adalah bila nilai β semakin besar, maka potensi kekeringan semakin tinggi (Khomaruddin et al. 2005). Rumusan untuk

menghitung β adalah sebagai berikutμ

(26)

6

Simbol β merupakan Bowen Ratio; H merupakan fluks bahang terasa (Wm-2); dan

E merupakan fluks bahang laten (Wm-2).

Pengelompokkan Hotspot

Data hotspot yang diturunkan dari citra MODIS dikelompokkan dengan batas 5 km dari titik panas. Batas 5 km dipilih karena memberi hasil yang lebih baik dibanding 2 jarak lain yang diuji, yaitu 3 km dan 10 km.

Pengujian Pengaruh Parameter terhadap Hotspot

Kelompok data hotspot yang didapat ditimpakkan di atas data hasil dugaan suhu permukaan, estimasi evaporative fraction (EF), dan Bowen ratio (β) untuk mengetahui pengaruh parameter-parameter terhadap jumlah hotspot. Setelah mengetahui tren pengaruh parameter-parameter pengaruh terhadap jumlah hotspot, uji hubungan antara semua parameter terhadap jumlah hotspot. Pengujian menggunakan uji-t dan uji-F.

 Uji-t

Uji-t digunakan untuk menunjukkan pengaruh satu variabel penjelas/bebas secara individual dalam menerangkan ragam variabel terikat. Hipotesis yang digunakan:

H0: bi=0; artinya variabel bebas tidak mempengaruhi ragam variabel terikat.

H1: bi≠0; artinya variabel bebas mempengaruhi ragam variabel terikat.

Hasil hipotesis uji-t didapat dengan membandingkan t hitung dengan t tabel, bila t hitung lebih besar dibanding t tabel, maka tolak H0.

 Uji-F atau ANOVA

Uji-F digunakan untuk menunjukkan pengaruh semua varibel bebas yang digunakan bersama terhadap variabel terikat. Hipotesis yang digunakan:

H0: b1=b2=b3=0; artinya variabel bebas bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat.

H1: b1≠b2≠b3≠0; artinya variabel bebas merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat.

Hasil hipotesis uji-F didapat dengan membandingkan F hitung dengan F tabel, bila F hitung lebih besar dibanding F tabel, maka tolak H0.

Pengujian dilakukan dengan menggunakan analysis tools dari Ms. Excel.

Gambar 2 Alur menu untuk uji hubugan.

(27)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)Provinsi Jambi

Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0o45’-2o45’ LS dan 101o– 104o55’ BT, terletak di tengah Pulau Sumatera dan membujur dari pantai timur sampai barat. Luas wilayah Provinsi Jambi tercatat 53435.72 km2 yang terbagi atas luas daratan 51000 km2 dan luas lautan 2435.72 km2 yang terbagi dalam 9 kabupaten dan 2 kota, yaitu: Kerinci, Merangin, Sarolangun, Batang Hari, Muaro Jambi, Tanjab Barat, Tanjab Timur, Bungo, Tebo, Kota Jambi, dan Kota Sungai Penuh (BKPM 2012). Kabupaten yang termasuk dalam path/row 126/61 adalah seluruh Kabupaten Tebo dan Bungo, sebagian besar Kabupaten Merangin dan Kerinci, serta sebagian kecil Kabupaten Tanjab Barat, Batang Hari, dan Sarolangun. Luas Provinsi Jambi pada path/row 126/61 adalah 40.46% dari seluruh Provinsi Jambi dan dari 40.46% tersebut 87.09% merupakan tutupan lahan vegetasi (Tabel 3).

Tabel 3 Persentase tutupan lahan Prov Jambi path/row 126/61 tanggal 18 Juni 2013

Tutupan Lahan Luas

(km2) % Lahan % Jambi badan air 77.32 0.38 0.15 vegetasi 17826.48 87.09 35.24 lahan terbangun 2564.94 12.53 5.07 Total 40.46

Titik panas (hotspot) pada path/row 126/61 tahun 2013 dikelompokkan menjadi 24 kelompok (Lampiran 2). Jumlah hotspot terbanyak terdapat pada kelompok 16 yang berada di wilayah utara dari Kabupaten Tebo. Area kelompok 16 merupakan area yang didominasi oleh tutupan lahan terbangun atau terbuka.

(28)

8

Kabupaten Tebo merupakan wilayah yang memiliki pola curah hujan ekuatorial yaitu distribusi hujan bulanan bimodial dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk ke dalam kriteria musim hujan (Azteria 2013). Pola ini berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi ke utara dan selatan mengikuti pergerakan semu matahari, curah hujan wilayah Sumatera dan Kalimantan termasuk dalam pola ini (Tukidi 2010). Musim hujan di Provinsi Jambi terjadi pada bulan November sampai Maret dan musim kemarau pada bulan Mei sampai Oktober. Jumlah hotspot pada musim kemarau lebih banyak dibandingkan dengan musim hujan, karena pada Gambar 4 jumlah hotspot terbanyak ada pada bulan Juni dan September. Kedua bulan tersebut termasuk dalam bulan-bulan musim kemarau di wilayah Provinsi Jambi.

Gambar 4 Peta sebaran hotspot berdasarkan tutupan lahan Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013.

Pengelompokkan hotspot menghasilkan 24 kelompok yang membantu dalam penghitungan parameter-parameter yang digunakan. Hubungan luas kelompok wilayah dengan jumlah titik panas menghasilkan garis tren linier yang mengarah ke kanan atas, yang artinya hubungan keduanya berbanding lurus dengan R2 92.62% (Gambar 5).

(29)

9

Gambar 5 Hubungan jumlah hotspot terhadap kelompok wilayah yang terbentuk.

Hasil Suhu Permukaan

Suhu permukaan bisa dikatakan sebagai suhu terluar yang dimiliki oleh sebuah objek. Suhu permukaan merupakan parameter yang sensitif terhadap keberadaan dan jenis vegetasi yang menutupi wilayah kajian dan juga kelembaban udara maupun kelengasan permukaan (Lillesand&Kiefer 1997 dalam Novianto 2007). Suhu permukaan ang dihasilkan memiliki rentang antara 5.05 hingga

5 . C. Rentang terendah 5.1-14.5 C yang ditunjukkan oleh warna hijau (Gambar 6) berada di daerah yang memiliki tutupan awan yang paling banyak (gambar 4). Rentang tengah (warna kuning pada Gambar 6) 14.-1λ. C berada di daerah yang vegetasi dan lebih sedikit lahan terbangun dibanding rentang tinggi (warna jingga pada Gambar 6) -5 . C.

(30)

10

Hubungan jumlah hotspot dengan suhu permukaan adalah berbanding terbalik dengan R2 5.42% (Gambar 7) meskipun jumlah hotspot terbanyak yang berada di area berwarna jingga, yaitu area dengan rentang tertinggi dari suhu permukaan (Gambar 6). Rata-rata suhu permukaan yang semakin tinggi tidak dapat menunjukkan area tersebut memiliki jumlah hotspot yang paling banyak, sebab dipengaruhi oleh luasan area kelompok hotspot yang terbentuk.

Gambar 7 Hubungan antara suhu permukaan dan jumlah hotspot.

Neraca Energi

Parameter EF dan β didapat dengan rumus yang menggunakan radiasi netto dan neraca energi sebagai parameter penentunya. Neraca energi yang digunakan adalah fluks bahang tanah (G), fluks bahang terasa (H), dan fluks penguapan ( e). Nilai neraca energi dipengaruhi oleh nilai radiasi netto. Untuk mendapat nilai radiasi netto diperlukan nilai suhu permukaan.

Tabel 4 Radiasi(Rs Netto, Rl Out, RN) dan Neraca Energi (G, H, e).

tutupan lahan radiasi neraca energi rsnetto rlout rn g h laten badan air 600.69 3.06 749.40 67.76 316.75 395.34

vegetasi 399.28 3.15 397.50 43.54 291.90 329.02 lahan

terbangun 399.07 3.09 570.16 62.45 325.50 372.23 ket. nilai radiasi dan neraca energi di atas merupakan nilai tengah dan memiliki satuan Wm-2.

Nilai radiasi netto pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai tengah radiasi netto yang dimiliki badan air lebih besar dibanding dengan tutupan lahan vegetasi dan terbangun. Nilai tengah yang tertinggi bukan hanya nilai maksimum yang dihasilkan dari tiap tutupan lahan, tetapi juga karena rentang nilai yang dihasilkan. Semakin panjang rentang nilai yang dihasilkan, maka semakin kecil nilai tengah yang dihasilkan.

(31)

11

Nilai radiasi netto mempengaruhi nilai dari neraca energi yang ditunjukkan oleh hasil neraca energi dimana sebagian besar nilai tertinggi terdapat pada tutupan lahan badan air, kecuali nilai H.

Hasil Evaporative Fraction (EF)

EF merupakan perbandingan nilai fluks penguapan ( E) dengan jumlah energi tersedia. EF biasa digunakan untuk menunjukkan tingkat kebasahan atau kekeringan dari sebuah wilayah. Jika suatu wilayah memiliki kelengasan tanah yang tinggi (basah) maka albedo dan suhu permukaan wilayah tersebut relatif rendah. Albedo permukaan yang rendah akan mengakibatkan tingginya radiasi netto karena radiasi matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi rendah. Radiasi netto yang tinggi serta fluks bahang tanah dan terasa yang rendah akan mengakibatkan fluks bahang penguapan yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan nilai evaporative fraction yang tinggi yang mengindikasikan wilayah tersebut tidak berpotensi terjadi kekeringan. Nilai EF berkisar antara 0-1. Jika nilai EF semakin mendekati 1 menunjukkan wilayah tersebut semakin basah (Feliggi 2007).

Gambar 8 Peta sebaran titik panas terhadap evaporative fraction Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013.

(32)

12

menyebabkan area semakin basah dan tidak memiliki potensi kekeringan yang menjadi indikator hotspot.

Gambar 9 Hubungan evaporative fraction dengan jumlah hotspot.

Hasil Bowen Ratio (β)

Rasio Bowen atau Bowen ratio (β) adalah perbandingan antara nilai fluks bahang terasa dengan energi untuk evapotransporasi ( E) yang biasa digunakan untuk identifikasi potensi kekeringan di suatu wilayah. Semakin tinggi nilai bowen ratio semakin potensi kekeringan di wilayah tersebut (Khomaruddin et al. 2005). Nilai β berbanding terbalik dengan E sehingga jika β semakin besar makan E semakin kecil sehingga sebagian besar radiasi netto akan digunakan untuk memanaskan udara (H) dan tanah (G) akibatnya daerah tersebut semakin kering (Feliggi 2007).

Bowen ratio yang dihasilkan dari Landsat 8 didominasi dengan warna hijau yang menunjukkan keadaan di antara kering dan basah. Kumpulan hotspot paling terlihat di barat daya wilayah kajian, di daerah yang berpotensi terjadi kekeringan yang ditunjukkan dengan warna merah (Gambar 11).

Gambar 10 Hubungan β dengan jumlah hotspot.

(33)

13

menghasilkan sebanyak kurang lebih 36 hotspot. Hubungan yang berbanding lurus disebabkan semakin besar nilai β maka semakin kering suatu area, dimana tempat yang kering dijadikan indikasi bahwa di area itu terdapat hotspot.

Gambar 11 Peta sebaran hotspot terhadap bowen ratio Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013.

Hubungan TS, EF, β dengan Titik Panas

Pengujian pengaruh parameter suhu permukaan, EF, dan β terhadap jumlah hotspot menggunakan derajat kepercayaan 95% (α=0.05). Pengujian menggunakan uji-t dan uji-F yang akan menolak H0 jika t-hit dan F-hit lebih besar dibandingkan dengan t-tabel dan F-tabel. Untuk α=0.05 didapatkan t-tabel yaitu 1.71 dan F-tabel yaitu 3.13.

Tabel 5 Perbandingan hasil uji

sumbu y sumbu x hasil uji t hit F hit

Σhotspot

TS -0.39

0.43 β 0.41

EF 0.33

Keterangan: t-hit merupakan hasil perhitungan untuk uji keragaman, sedangkan p-value merupakan hasil perhitungan untuk uji signifikansi.

(34)

14

Kebakaran lahan (mencakup vegetasi dan lahan terbangun/terbuka) dipengaruhi oleh faktor alam (biofisik) dan perilaku manusia. Faktor biofisik yang mempengaruhi terjadinya kebakaran lahan antara lain bahan bakar, iklim, dan topografi. Sedangkan faktor perilaku manusia lebih disebabkan tindakan kesengajaan maupun kelalaian yang menyebabkan kebakaran seperti penyiapan lahan dengan tebas bakar (slash and burn) maupun kelalaian mematikan api. Dalam perkembangannya kejadian kebakaran lahan lebih disebabkan oleh faktor aktivitas manusia dan sangat kecil terjadi akibat faktor alam seperti fenomena alam El Nino, petir maupun gesekan kayu (Widodo 2014).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jumlah hotspot yang diindikasi sebagai area kejadian kebakaran lahan dapat dipengaruhi oleh parameter seperti suhu permukaan, evaporative fraction (EF), dan Bowen ratio (β). Hasil hubungan suhu permukaan dengan hotspot menghasilkan hubungan berbanding terbalik dengan R2 5.42%. Hubungan EF dengan jumlah hotspot menunjukkan tren menurun dengan R2 4.94%, artinya hanya 4.94% pengaruhi kenaikan 1 nilai EF terhadap perubahan jumlah hotspot.

Kemudian untuk hubungan β dengan jumlah titik panas menunjukkan tren menaik

dengan R2 6.31%, yang berarti hanya 6.31% pengaruhi kenaikan 1 nilai β terhadap pertambahan jumlah hotspot. Persamaan yang dihasilkan pun tidak dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah titik panas, karena hasil uji-t dan uji-F menunjukkan bahwa ketiga parameter (TS, EF, dan β) tidak berpengaruh dan bukan penjelas yang tepat untuk jumlah titik panas. Sehingga formulasi yang dihasilkan tidak dapat mengestimasi jumlah hotspot di wilayah kajian maupun wilayah lainnya.

Saran

Sebaran hotspot dapat dipengaruhi dari berbagai indikator, termasuk tiga indikator yang digunakan dalam penelitian ini. Termasuk faktor aktivitas manusia yang berada di sekitar lokasi pengamatan. Selain pengamatan dengan faktor iklim lainnya, perlu juga diamati pengaruh aktivitas manusia terhadap timbulnya hotspot.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, I.P., Imanda, I.D and Muhnandar. 1999 Vegetation Fires in Indonesia: The Interpretation of NOAA Derived Hot-Spot Data. Forest Fire Prevention and Control Project, Palembang. Ministry of Forestry and Estate Crops and European Union. Jakarta. Hal 2.

(35)

15

Aryani, W. 2013. Perubahan kapasitas panas wilayah akibat perubahan komposisi tutupan lahan menggunakan data citra Landsat-5 TM [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Azteria, V. 2013. Akurasi indikator kejadian kebakaran dan identifikasi latar belakang penyebab kebakaran hutan di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bakry, GN. 2011. Analisis peningkatan suhu permukaan akibat konservasi lahan dengan menggunakan citra Landsat ETM+ (studi kasus : Jakarta) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[BKPM] Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2012. Potensi Investasi Provinsi Jambi 2012.

Fajri, PYN. 2011. Pendugaan Unsur-Unsur Fisis Atmosfer Menggunakan Penginderaan Jauh. Beasiswa Unggulan DIKNAS 2011.

Feliggi, FG. 2007. Identifikasi indikator kekeringan menggunakan teknik penginderaan jauh [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Fire Fight South East Asia. 2002. Pengadilan Kebakaran Hutan dan Lahan: Sebuah Studi Kasus Mengenai Proses Hukum di Riau, Indonesia. Fire Fight South East Asia. WWF. IUCN. European Union.

Jayantika, M. 2013. Hubungan antara titik panas dengan perubahan penutupan/penggunaan lahan (studi kasus: Kabupaten Kapuas, (Provinsi Kalimantan Tengah) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Khomaruddin, MR, Ahmad B, Idung R. 2005. Identifikasi neraca energi di beberapa penggunaan lahan untuk deteksi daerah potensi kekeringan di Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Khomaruddin MR. 2005. Penentuan evapotranspirasi regional dengan data

Landsat TM dan NOAA AVHRR. Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor.

Monteith JL, Unsworth MH. 1990. Principles of Environmental Physics 2nd ed. London: Edward Arnold.

Novianto AHP. 2007. Aplikasi citra Landsat 7 ETM+ untuk kajian perubahan garis pantai dan penutupan lahan di selatan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, pra dan pasca tsunami tahun 2006 [skrpisi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Quintanar AI, R Mahmood, JH Loughrin, N Lovanh, MV Motley. 2009. A system for estimating bowen ratio and evaporation from waste lagoons. Engineering in Agriculture. Vol. 25(6): 923-932.

Risdiyanto I dan Rini H. 1999. Iklim mikro. Pelatihan Dosen-Dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agroklimatologi. Bogor 1-12 Februari 1999. Bogor.

(36)

16

Supriatna, W dan Sukartono. 2002. Teknik Perbaikan Data Digital (Koreksi dan Penajaman) Citra Satelit. Bogor: Buletin Teknik Pertanian Vol. 7 Nomor 1 tahun 2002.

Syukri MN. 2004. Neraca Energi dan Air di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah [disertasi]. Bogor (ID): Pascasarjana IPB. Tukidi. 2010. Karakter curah hujan di Indonesia. Jurnal Geografi. Vol. 7(2):

136-145.

[USGS] United State Geological Survey. 2013. Landsat 7 science data users handbook [internet]. [diacu 2014 Juni 30]. Tersedia dari: http:// landsathandbook.gsfc.nasa.gov/pdfs/Landsat7_Handbook.pdf .

Wang K, Zhanqing L, M Cribb. 2006. Estimation of evaporative fraction from a combination of day and night land surface temperatures and NDVI: A new method to determine the Priestley-Taylor parameter. Remote Sensing of Environment. 102(2006): 293-305.

Widodo, RB. 2014. Pemodelan spasial resiko kebakaran hutan (studi kasusu Provinsi Jambi, Sumatera). Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota. Vol. 10(2): 127-138.

(37)

17

(38)

18

Lampiran 1 Jumlah Hotspot per wilayah per hari

(39)

19

Lampiran 2 Kelompok Wilayah Hotspot yang Terbentuk

Lampiran 3 Hotspot, Suhu Permukaan, Evaporative Fraction, dan Bowen Ratio. index Latitude

(o)

Longitude (o)

luas

(km2) Σhotspot

rata-rata

β rata-rata EF

(40)
(41)

21

Regression Analysis: Σhotspot versus rata-rata β; rata-rata EF; ...

The regression equation is

Lampiran 7 Metadata citra Landsat 8 path/row 126/61 18 Juni 2013

GROUP = L1_METADATA_FILE GROUP = METADATA_FILE_INFO

ORIGIN = "Image courtesy of the U.S. Geological Survey" REQUEST_ID = "0101402107140_00001"

LANDSAT_SCENE_ID = "LC81260612013169LGN00" FILE_DATE = 2014-02-11T04:45:00Z

STATION_ID = "LGN"

PROCESSING_SOFTWARE_VERSION = "LPGS_2.3.0" END_GROUP = METADATA_FILE_INFO

GROUP = PRODUCT_METADATA DATA_TYPE = "L1T"

ELEVATION_SOURCE = "GLS2000" OUTPUT_FORMAT = "GEOTIFF" SPACECRAFT_ID = "LANDSAT_8" SENSOR_ID = "OLI_TIRS"

(42)

22

CORNER_UL_LON_PRODUCT = 100.97675 CORNER_UR_LAT_PRODUCT = -0.45758 CORNER_UR_LON_PRODUCT = 102.99596 CORNER_LL_LAT_PRODUCT = -2.44672 CORNER_LL_LON_PRODUCT = 100.97848 CORNER_LR_LAT_PRODUCT = -2.44219 CORNER_LR_LON_PRODUCT = 102.99945

CORNER_UL_PROJECTION_X_PRODUCT = 720000.000 CORNER_UL_PROJECTION_Y_PRODUCT = -50700.000 CORNER_UR_PROJECTION_X_PRODUCT = 945000.000 CORNER_UR_PROJECTION_Y_PRODUCT = -50700.000 CORNER_LL_PROJECTION_X_PRODUCT = 720000.000 CORNER_LL_PROJECTION_Y_PRODUCT = -270600.000 CORNER_LR_PROJECTION_X_PRODUCT = 945000.000 CORNER_LR_PROJECTION_Y_PRODUCT = -270600.000 PANCHROMATIC_LINES = 14661

PANCHROMATIC_SAMPLES = 15001 REFLECTIVE_LINES = 7331 REFLECTIVE_SAMPLES = 7501 THERMAL_LINES = 7331 THERMAL_SAMPLES = 7501

FILE_NAME_BAND_1 = "LC81260612013169LGN00_B1.TIF" FILE_NAME_BAND_2 = "LC81260612013169LGN00_B2.TIF" FILE_NAME_BAND_3 = "LC81260612013169LGN00_B3.TIF" FILE_NAME_BAND_4 = "LC81260612013169LGN00_B4.TIF" FILE_NAME_BAND_5 = "LC81260612013169LGN00_B5.TIF" FILE_NAME_BAND_6 = "LC81260612013169LGN00_B6.TIF" FILE_NAME_BAND_7 = "LC81260612013169LGN00_B7.TIF" FILE_NAME_BAND_8 = "LC81260612013169LGN00_B8.TIF" FILE_NAME_BAND_9 = "LC81260612013169LGN00_B9.TIF" FILE_NAME_BAND_10 = "LC81260612013169LGN00_B10.TIF" FILE_NAME_BAND_11 = "LC81260612013169LGN00_B11.TIF" FILE_NAME_BAND_QUALITY = "LC81260612013169LGN00_BQA.TIF" METADATA_FILE_NAME = "LC81260612013169LGN00_MTL.txt" BPF_NAME_OLI = "LO8BPF20130618030243_20130618032715.01" BPF_NAME_TIRS = "LT8BPF20130618025850_20130618032807.01" CPF_NAME = "L8CPF20130401_20130627.08"

RLUT_FILE_NAME = "L8RLUT20130211_20431231v09.h5" END_GROUP = PRODUCT_METADATA

GROUP = IMAGE_ATTRIBUTES CLOUD_COVER = 5.08 EARTH_SUN_DISTANCE = 1.0160010 GROUND_CONTROL_POINTS_MODEL = 117 GEOMETRIC_RMSE_MODEL = 8.466 GEOMETRIC_RMSE_MODEL_Y = 5.481 GEOMETRIC_RMSE_MODEL_X = 6.452 GROUND_CONTROL_POINTS_VERIFY = 43 GEOMETRIC_RMSE_VERIFY = 8.663

(43)

23

END_GROUP = IMAGE_ATTRIBUTES GROUP = MIN_MAX_RADIANCE

RADIANCE_MAXIMUM_BAND_1 = 736.31067 RADIANCE_MINIMUM_BAND_1 = -60.80477 RADIANCE_MAXIMUM_BAND_2 = 753.99109 RADIANCE_MINIMUM_BAND_2 = -62.26483 RADIANCE_MAXIMUM_BAND_3 = 694.79633 RADIANCE_MINIMUM_BAND_3 = -57.37651 RADIANCE_MAXIMUM_BAND_4 = 585.89142 RADIANCE_MINIMUM_BAND_4 = -48.38310 RADIANCE_MAXIMUM_BAND_5 = 358.53632 RADIANCE_MINIMUM_BAND_5 = -29.60805 RADIANCE_MAXIMUM_BAND_6 = 89.16473 RADIANCE_MINIMUM_BAND_6 = -7.36325 RADIANCE_MAXIMUM_BAND_7 = 30.05329 RADIANCE_MINIMUM_BAND_7 = -2.48181 RADIANCE_MAXIMUM_BAND_8 = 663.06781 RADIANCE_MINIMUM_BAND_8 = -54.75636 RADIANCE_MAXIMUM_BAND_9 = 140.12413 RADIANCE_MINIMUM_BAND_9 = -11.57150 RADIANCE_MAXIMUM_BAND_10 = 22.00180 RADIANCE_MINIMUM_BAND_10 = 0.10033 RADIANCE_MAXIMUM_BAND_11 = 22.00180 RADIANCE_MINIMUM_BAND_11 = 0.10033 END_GROUP = MIN_MAX_RADIANCE

GROUP = MIN_MAX_REFLECTANCE

REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_1 = 1.210700 REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_1 = -0.099980 REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_2 = 1.210700 REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_2 = -0.099980 REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_3 = 1.210700 REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_3 = -0.099980 REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_4 = 1.210700 REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_4 = -0.099980 REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_5 = 1.210700 REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_5 = -0.099980 REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_6 = 1.210700 REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_6 = -0.099980 REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_7 = 1.210700 REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_7 = -0.099980 REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_8 = 1.210700 REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_8 = -0.099980 REFLECTANCE_MAXIMUM_BAND_9 = 1.210700 REFLECTANCE_MINIMUM_BAND_9 = -0.099980 END_GROUP = MIN_MAX_REFLECTANCE

GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE

(44)

24

QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_4 = 1 QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_5 = 65535 QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_5 = 1 QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_6 = 65535 QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_6 = 1 QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_7 = 65535 QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_7 = 1 QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_8 = 65535 QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_8 = 1 QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_9 = 65535 QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_9 = 1 QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_10 = 65535 QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_10 = 1 QUANTIZE_CAL_MAX_BAND_11 = 65535 QUANTIZE_CAL_MIN_BAND_11 = 1 END_GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE GROUP = RADIOMETRIC_RESCALING

RADIANCE_MULT_BAND_1 = 1.2163E-02 RADIANCE_MULT_BAND_2 = 1.2455E-02 RADIANCE_MULT_BAND_3 = 1.1478E-02 RADIANCE_MULT_BAND_4 = 9.6786E-03 RADIANCE_MULT_BAND_5 = 5.9228E-03 RADIANCE_MULT_BAND_6 = 1.4729E-03 RADIANCE_MULT_BAND_7 = 4.9646E-04 RADIANCE_MULT_BAND_8 = 1.0953E-02 RADIANCE_MULT_BAND_9 = 2.3148E-03 RADIANCE_MULT_BAND_10 = 3.3420E-04 RADIANCE_MULT_BAND_11 = 3.3420E-04 RADIANCE_ADD_BAND_1 = -60.81694 RADIANCE_ADD_BAND_2 = -62.27728 RADIANCE_ADD_BAND_3 = -57.38799 RADIANCE_ADD_BAND_4 = -48.39278 RADIANCE_ADD_BAND_5 = -29.61397 RADIANCE_ADD_BAND_6 = -7.36472 RADIANCE_ADD_BAND_7 = -2.48231 RADIANCE_ADD_BAND_8 = -54.76731 RADIANCE_ADD_BAND_9 = -11.57381 RADIANCE_ADD_BAND_10 = 0.10000 RADIANCE_ADD_BAND_11 = 0.10000

REFLECTANCE_MULT_BAND_1 = 2.0000E-05 REFLECTANCE_MULT_BAND_2 = 2.0000E-05 REFLECTANCE_MULT_BAND_3 = 2.0000E-05 REFLECTANCE_MULT_BAND_4 = 2.0000E-05 REFLECTANCE_MULT_BAND_5 = 2.0000E-05 REFLECTANCE_MULT_BAND_6 = 2.0000E-05 REFLECTANCE_MULT_BAND_7 = 2.0000E-05 REFLECTANCE_MULT_BAND_8 = 2.0000E-05 REFLECTANCE_MULT_BAND_9 = 2.0000E-05 REFLECTANCE_ADD_BAND_1 = -0.100000 REFLECTANCE_ADD_BAND_2 = -0.100000 REFLECTANCE_ADD_BAND_3 = -0.100000 REFLECTANCE_ADD_BAND_4 = -0.100000 REFLECTANCE_ADD_BAND_5 = -0.100000

(45)

25

REFLECTANCE_ADD_BAND_6 = -0.100000 REFLECTANCE_ADD_BAND_7 = -0.100000 REFLECTANCE_ADD_BAND_8 = -0.100000 REFLECTANCE_ADD_BAND_9 = -0.100000 END_GROUP = RADIOMETRIC_RESCALING GROUP = TIRS_THERMAL_CONSTANTS K1_CONSTANT_BAND_10 = 774.89 K1_CONSTANT_BAND_11 = 480.89 K2_CONSTANT_BAND_10 = 1321.08 K2_CONSTANT_BAND_11 = 1201.14 END_GROUP = TIRS_THERMAL_CONSTANTS GROUP = PROJECTION_PARAMETERS MAP_PROJECTION = "UTM" DATUM = "WGS84"

ELLIPSOID = "WGS84" UTM_ZONE = 47

GRID_CELL_SIZE_PANCHROMATIC = 15.00 GRID_CELL_SIZE_REFLECTIVE = 30.00 GRID_CELL_SIZE_THERMAL = 30.00 ORIENTATION = "NORTH_UP"

RESAMPLING_OPTION = "CUBIC_CONVOLUTION" END_GROUP = PROJECTION_PARAMETERS

(46)

26

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Andrini Ekadiah Prakoso lahir sebagai anak pertama dari pasangan Bapak H. Sindhu Prakoso dan Ibu Hj. Meiki Dwi Setiowati di Jakarta pada tanggal 19 Mei 1992. Penulis memiliki seorang adik laki-laki bernama Dhuki Dwi Yudhanto.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2004 di SDN Mampang 03 Depok. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama di SMPN 2 Depok dan menyelesaikannya pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas di SMAN 5 Depok yang diselesaikan pada tahun 2010. Penulis melanjutkan ke perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor melalui jalur masuk Ujian Tertulis Mandiri IPB (UTMI) dan diterima di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama kuliah penulis pernah mengikuti magang di BMKG Pekanbaru selama 1 bulan pada akhir semester 6. Dan menjadi asisten praktikum mata kuliah Meteorologi Satelit pada semester 7 yang sekaligus mempersiapkan penelitian du laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Udara.

(47)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)Provinsi Jambi

Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0o45’-2o45’ LS dan 101o– 104o55’ BT, terletak di tengah Pulau Sumatera dan membujur dari pantai timur sampai barat. Luas wilayah Provinsi Jambi tercatat 53435.72 km2 yang terbagi atas luas daratan 51000 km2 dan luas lautan 2435.72 km2 yang terbagi dalam 9 kabupaten dan 2 kota, yaitu: Kerinci, Merangin, Sarolangun, Batang Hari, Muaro Jambi, Tanjab Barat, Tanjab Timur, Bungo, Tebo, Kota Jambi, dan Kota Sungai Penuh (BKPM 2012). Kabupaten yang termasuk dalam path/row 126/61 adalah seluruh Kabupaten Tebo dan Bungo, sebagian besar Kabupaten Merangin dan Kerinci, serta sebagian kecil Kabupaten Tanjab Barat, Batang Hari, dan Sarolangun. Luas Provinsi Jambi pada path/row 126/61 adalah 40.46% dari seluruh Provinsi Jambi dan dari 40.46% tersebut 87.09% merupakan tutupan lahan vegetasi (Tabel 3).

Tabel 3 Persentase tutupan lahan Prov Jambi path/row 126/61 tanggal 18 Juni 2013

Tutupan Lahan Luas

(km2) % Lahan % Jambi badan air 77.32 0.38 0.15 vegetasi 17826.48 87.09 35.24 lahan terbangun 2564.94 12.53 5.07 Total 40.46

Titik panas (hotspot) pada path/row 126/61 tahun 2013 dikelompokkan menjadi 24 kelompok (Lampiran 2). Jumlah hotspot terbanyak terdapat pada kelompok 16 yang berada di wilayah utara dari Kabupaten Tebo. Area kelompok 16 merupakan area yang didominasi oleh tutupan lahan terbangun atau terbuka.

(48)

8

Kabupaten Tebo merupakan wilayah yang memiliki pola curah hujan ekuatorial yaitu distribusi hujan bulanan bimodial dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk ke dalam kriteria musim hujan (Azteria 2013). Pola ini berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi ke utara dan selatan mengikuti pergerakan semu matahari, curah hujan wilayah Sumatera dan Kalimantan termasuk dalam pola ini (Tukidi 2010). Musim hujan di Provinsi Jambi terjadi pada bulan November sampai Maret dan musim kemarau pada bulan Mei sampai Oktober. Jumlah hotspot pada musim kemarau lebih banyak dibandingkan dengan musim hujan, karena pada Gambar 4 jumlah hotspot terbanyak ada pada bulan Juni dan September. Kedua bulan tersebut termasuk dalam bulan-bulan musim kemarau di wilayah Provinsi Jambi.

Gambar 4 Peta sebaran hotspot berdasarkan tutupan lahan Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013.

Pengelompokkan hotspot menghasilkan 24 kelompok yang membantu dalam penghitungan parameter-parameter yang digunakan. Hubungan luas kelompok wilayah dengan jumlah titik panas menghasilkan garis tren linier yang mengarah ke kanan atas, yang artinya hubungan keduanya berbanding lurus dengan R2 92.62% (Gambar 5).

(49)

9

Gambar 5 Hubungan jumlah hotspot terhadap kelompok wilayah yang terbentuk.

Hasil Suhu Permukaan

Suhu permukaan bisa dikatakan sebagai suhu terluar yang dimiliki oleh sebuah objek. Suhu permukaan merupakan parameter yang sensitif terhadap keberadaan dan jenis vegetasi yang menutupi wilayah kajian dan juga kelembaban udara maupun kelengasan permukaan (Lillesand&Kiefer 1997 dalam Novianto 2007). Suhu permukaan ang dihasilkan memiliki rentang antara 5.05 hingga

5 . C. Rentang terendah 5.1-14.5 C yang ditunjukkan oleh warna hijau (Gambar 6) berada di daerah yang memiliki tutupan awan yang paling banyak (gambar 4). Rentang tengah (warna kuning pada Gambar 6) 14.-1λ. C berada di daerah yang vegetasi dan lebih sedikit lahan terbangun dibanding rentang tinggi (warna jingga pada Gambar 6) -5 . C.

(50)

10

Hubungan jumlah hotspot dengan suhu permukaan adalah berbanding terbalik dengan R2 5.42% (Gambar 7) meskipun jumlah hotspot terbanyak yang berada di area berwarna jingga, yaitu area dengan rentang tertinggi dari suhu permukaan (Gambar 6). Rata-rata suhu permukaan yang semakin tinggi tidak dapat menunjukkan area tersebut memiliki jumlah hotspot yang paling banyak, sebab dipengaruhi oleh luasan area kelompok hotspot yang terbentuk.

Gambar 7 Hubungan antara suhu permukaan dan jumlah hotspot.

Neraca Energi

Parameter EF dan β didapat dengan rumus yang menggunakan radiasi netto dan neraca energi sebagai parameter penentunya. Neraca energi yang digunakan adalah fluks bahang tanah (G), fluks bahang terasa (H), dan fluks penguapan ( e). Nilai neraca energi dipengaruhi oleh nilai radiasi netto. Untuk mendapat nilai radiasi netto diperlukan nilai suhu permukaan.

Tabel 4 Radiasi(Rs Netto, Rl Out, RN) dan Neraca Energi (G, H, e).

tutupan lahan radiasi neraca energi rsnetto rlout rn g h laten badan air 600.69 3.06 749.40 67.76 316.75 395.34

vegetasi 399.28 3.15 397.50 43.54 291.90 329.02 lahan

terbangun 399.07 3.09 570.16 62.45 325.50 372.23 ket. nilai radiasi dan neraca energi di atas merupakan nilai tengah dan memiliki satuan Wm-2.

Nilai radiasi netto pada Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai tengah radiasi netto yang dimiliki badan air lebih besar dibanding dengan tutupan lahan vegetasi dan terbangun. Nilai tengah yang tertinggi bukan hanya nilai maksimum yang dihasilkan dari tiap tutupan lahan, tetapi juga karena rentang nilai yang dihasilkan. Semakin panjang rentang nilai yang dihasilkan, maka semakin kecil nilai tengah yang dihasilkan.

(51)

11

Nilai radiasi netto mempengaruhi nilai dari neraca energi yang ditunjukkan oleh hasil neraca energi dimana sebagian besar nilai tertinggi terdapat pada tutupan lahan badan air, kecuali nilai H.

Hasil Evaporative Fraction (EF)

EF merupakan perbandingan nilai fluks penguapan ( E) dengan jumlah energi tersedia. EF biasa digunakan untuk menunjukkan tingkat kebasahan atau kekeringan dari sebuah wilayah. Jika suatu wilayah memiliki kelengasan tanah yang tinggi (basah) maka albedo dan suhu permukaan wilayah tersebut relatif rendah. Albedo permukaan yang rendah akan mengakibatkan tingginya radiasi netto karena radiasi matahari yang dipantulkan oleh permukaan bumi rendah. Radiasi netto yang tinggi serta fluks bahang tanah dan terasa yang rendah akan mengakibatkan fluks bahang penguapan yang tinggi. Kondisi ini menggambarkan nilai evaporative fraction yang tinggi yang mengindikasikan wilayah tersebut tidak berpotensi terjadi kekeringan. Nilai EF berkisar antara 0-1. Jika nilai EF semakin mendekati 1 menunjukkan wilayah tersebut semakin basah (Feliggi 2007).

Gambar 8 Peta sebaran titik panas terhadap evaporative fraction Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013.

(52)

12

menyebabkan area semakin basah dan tidak memiliki potensi kekeringan yang menjadi indikator hotspot.

Gambar 9 Hubungan evaporative fraction dengan jumlah hotspot.

Hasil Bowen Ratio (β)

Rasio Bowen atau Bowen ratio (β) adalah perbandingan antara nilai fluks bahang terasa dengan energi untuk evapotransporasi ( E) yang biasa digunakan untuk identifikasi potensi kekeringan di suatu wilayah. Semakin tinggi nilai bowen ratio semakin potensi kekeringan di wilayah tersebut (Khomaruddin et al. 2005). Nilai β berbanding terbalik dengan E sehingga jika β semakin besar makan E semakin kecil sehingga sebagian besar radiasi netto akan digunakan untuk memanaskan udara (H) dan tanah (G) akibatnya daerah tersebut semakin kering (Feliggi 2007).

Bowen ratio yang dihasilkan dari Landsat 8 didominasi dengan warna hijau yang menunjukkan keadaan di antara kering dan basah. Kumpulan hotspot paling terlihat di barat daya wilayah kajian, di daerah yang berpotensi terjadi kekeringan yang ditunjukkan dengan warna merah (Gambar 11).

Gambar 10 Hubungan β dengan jumlah hotspot.

(53)

13

menghasilkan sebanyak kurang lebih 36 hotspot. Hubungan yang berbanding lurus disebabkan semakin besar nilai β maka semakin kering suatu area, dimana tempat yang kering dijadikan indikasi bahwa di area itu terdapat hotspot.

Gambar 11 Peta sebaran hotspot terhadap bowen ratio Prov Jambi path/row 126/61 18 Juni 2013.

Hubungan TS, EF, β dengan Titik Panas

Pengujian pengaruh parameter suhu permukaan, EF, dan β terhadap jumlah hotspot menggunakan derajat kepercayaan 95% (α=0.05). Pengujian menggunakan uji-t dan uji-F yang akan menolak H0 jika t-hit dan F-hit lebih besar dibandingkan dengan t-tabel dan F-tabel. Untuk α=0.05 didapatkan t-tabel yaitu 1.71 dan F-tabel yaitu 3.13.

Tabel 5 Perbandingan hasil uji

sumbu y sumbu x hasil uji t hit F hit

Σhotspot

TS -0.39

0.43 β 0.41

EF 0.33

Keterangan: t-hit merupakan hasil perhitungan untuk uji keragaman, sedangkan p-value merupakan hasil perhitungan untuk uji signifikansi.

(54)

14

Kebakaran lahan (mencakup vegetasi dan lahan terbangun/terbuka) dipengaruhi oleh faktor alam (biofisik) dan perilaku manusia. Faktor biofisik yang mempengaruhi terjadinya kebakaran lahan antara lain bahan bakar, iklim, dan topografi. Sedangkan faktor perilaku manusia lebih disebabkan tindakan kesengajaan maupun kelalaian yang menyebabkan kebakaran seperti penyiapan lahan dengan tebas bakar (slash and burn) maupun kelalaian mematikan api. Dalam perkembangannya kejadian kebakaran lahan lebih disebabkan oleh faktor aktivitas manusia dan sangat kecil terjadi akibat faktor alam seperti fenomena alam El Nino, petir maupun gesekan kayu (Widodo 2014).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jumlah hotspot yang diindikasi sebagai area kejadian kebakaran lahan dapat dipengaruhi oleh parameter seperti suhu permukaan, evaporative fraction (EF), dan Bowen ratio (β). Hasil hubungan suhu permukaan dengan hotspot menghasilkan hubungan berbanding terbalik dengan R2 5.42%. Hubungan EF dengan jumlah hotspot menunjukkan tren menurun dengan R2 4.94%, artinya hanya 4.94% pengaruhi kenaikan 1 nilai EF terhadap perubahan jumlah hotspot.

Kemudian untuk hubungan β dengan jumlah titik panas menunjukkan tren menaik

dengan R2 6.31%, yang berarti hanya 6.31% pengaruhi kenaikan 1 nilai β terhadap pertambahan jumlah hotspot. Persamaan yang dihasilkan pun tidak dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah titik panas, karena hasil uji-t dan uji-F menunjukkan bahwa ketiga parameter (TS, EF, dan β) tidak berpengaruh dan bukan penjelas yang tepat untuk jumlah titik panas. Sehingga formulasi yang dihasilkan tidak dapat mengestimasi jumlah hotspot di wilayah kajian maupun wilayah lainnya.

Saran

Sebaran hotspot dapat dipengaruhi dari berbagai indikator, termasuk tiga indikator yang digunakan dalam penelitian ini. Termasuk faktor aktivitas manusia yang berada di sekitar lokasi pengamatan. Selain pengamatan dengan faktor iklim lainnya, perlu juga diamati pengaruh aktivitas manusia terhadap timbulnya hotspot.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, I.P., Imanda, I.D and Muhnandar. 1999 Vegetation Fires in Indonesia: The Interpretation of NOAA Derived Hot-Spot Data. Forest Fire Prevention and Control Project, Palembang. Ministry of Forestry and Estate Crops and European Union. Jakarta. Hal 2.

(55)

14

Kebakaran lahan (mencakup vegetasi dan lahan terbangun/terbuka) dipengaruhi oleh faktor alam (biofisik) dan perilaku manusia. Faktor biofisik yang mempengaruhi terjadinya kebakaran lahan antara lain bahan bakar, iklim, dan topografi. Sedangkan faktor perilaku manusia lebih disebabkan tindakan kesengajaan maupun kelalaian yang menyebabkan kebakaran seperti penyiapan lahan dengan tebas bakar (slash and burn) maupun kelalaian mematikan api. Dalam perkembangannya kejadian kebakaran lahan lebih disebabkan oleh faktor aktivitas manusia dan sangat kecil terjadi akibat faktor alam seperti fenomena alam El Nino, petir maupun gesekan kayu (Widodo 2014).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Jumlah hotspot yang diindikasi sebagai area kejadian kebakaran lahan dapat dipengaruhi oleh parameter seperti suhu permukaan, evaporative fraction (EF), dan Bowen ratio (β). Hasil hubungan suhu permukaan dengan hotspot menghasilkan hubungan berbanding terbalik dengan R2 5.42%. Hubungan EF dengan jumlah hotspot menunjukkan tren menurun dengan R2 4.94%, artinya hanya 4.94% pengaruhi kenaikan 1 nilai EF terhadap perubahan jumlah hotspot.

Kemudian untuk hubungan β dengan jumlah titik panas menunjukkan tren menaik

dengan R2 6.31%, yang berarti hanya 6.31% pengaruhi kenaikan 1 nilai β terhadap pertambahan jumlah hotspot. Persamaan yang dihasilkan pun tidak dapat digunakan untuk mengestimasi jumlah titik panas, karena hasil uji-t dan uji-F menunjukkan bahwa ketiga parameter (TS, EF, dan β) tidak berpengaruh dan bukan penjelas yang tepat untuk jumlah titik panas. Sehingga formulasi yang dihasilkan tidak dapat mengestimasi jumlah hotspot di wilayah kajian maupun wilayah lainnya.

Saran

Sebaran hotspot dapat dipengaruhi dari berbagai indikator, termasuk tiga indikator yang digunakan dalam penelitian ini. Termasuk faktor aktivitas manusia yang berada di sekitar lokasi pengamatan. Selain pengamatan dengan faktor iklim lainnya, perlu juga diamati pengaruh aktivitas manusia terhadap timbulnya hotspot.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, I.P., Imanda, I.D and Muhnandar. 1999 Vegetation Fires in Indonesia: The Interpretation of NOAA Derived Hot-Spot Data. Forest Fire Prevention and Control Project, Palembang. Ministry of Forestry and Estate Crops and European Union. Jakarta. Hal 2.

(56)

17

(57)

18

Lampiran 1 Jumlah Hotspot per wilayah per hari

(58)

19

Lampiran 2 Kelompok Wilayah Hotspot yang Terbentuk

Lampiran 3 Hotspot, Suhu Permukaan, Evaporative Fraction, dan Bowen Ratio. index Latitude

(o)

Longitude (o)

luas

(km2) Σhotspot

rata-rata

β rata-rata EF

Gambar

Gambar 1 Diagram alir penelitian.
Gambar 3 Sebaran bulanan jumlah  hotspot pada path/row 126/61 tahun 2013.
Gambar 4 Peta sebaran  hotspot berdasarkan tutupan lahan Prov Jambi path/row
Gambar 5 Hubungan jumlah hotspot terhadap kelompok wilayah yang terbentuk.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Bentuk partisipasi politik yang terjadi di Kecamatan Bajeng yaitu bentuk Partisipasi Politik Konvensional, yaitu meliputi Ikut Serta

Dengan menggunakan pendekatan kualitatif tersebut penulis melakukan penelitian untuk menghasilkan data deskriptif terkait dengan strategi rekrutmen kader yang diterapkan

3. Agar pelaksanaan pengrekrutan dan pembinaan calon-calon pemimpin dapat dilaksanakan dengan baik, perlu adanya keterpaduan antara program, materi, waktu, dana, sarana,

Mengingat bunga soka mengandung senyawa antibakteri dan dapat digunakan sebagai obat untuk menyembuhkan luka dan diare oleh sebab itu maka perlu dilakukan

5 Saya merasa bahwa do’a akan membantu mengatasi kecemasan mengenai operasi yang akan saya jalani 6 Saya merasa tenang setelah saya menjalankan.

Dengan ini diumumkan bahwa berdasarkan Berita Acara Penetapan Pemenang Pokja ULP KPU Kabupaten Pangandaran, Nomor 602.2/13/Jasa Lainya/POKJA - ULP/KPU.PND Tanggal 13 Agustus 2015

Perancangan piranti visi komputer ini dilakukan menggunakan kamera statis dan metode bounding box untuk menentukan volume lalu lintas berdasarkan jenis kendaraan yaitu

Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa Penyelesaian utang piutang mura>bah}ah pada pembiayaan mikro di BRI Syariah Kantor Cabang Induk Gubeng Surabaya yaitu dengan