• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hirarki Perkembangan Wilayah Desa di Kota Tangerang

Tingkat perkembangan wilayah desa-desa di Kota Tangerang dapat dilihat dengan analisis skalogram. Analisis skalogram pada awalnya dibangun untuk mengetahui tingkat perkembangan suatu desa berdasarkan aktifitas sosial, ekonomi, serta mengidentifikasi tingkat kesejahteraan, luas wilayah dan aksesibilitas ke pusat-pusat pelayanan. Dalam analisis skalogram ini ada 65 variabel yang digunakan dalam menentukan perkembangan wilayah desa-desa di Kota Tangerang, dan variabel-variabel tersebut dikelompokkan dalam 11 indeks yaitu indeks fasilitas ekonomi, indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan, indeks fasililitas sosial lain, indeks kesejahteraan, indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, indeks aksesibilitas ke fasilitas lain, dan indeks luas wilayah.

Tingkat perkembangan wilayah desa-desa ditentukan oleh indeks perkembangan desa (IPD). Semakin tinggi IPD maka semakin tinggi tingkat perkembangan wilayahnya. Sebaliknya, semakin rendah IPD berarti semakin rendah tingkat perkembangan wilayahnya. Kisaran IPD yang dihasilkan dari analisis skalogram adalah 22.25 – 6.92 (Tabel Lampiran 1). Total indeks tertinggi sebesar 22.25 dimiliki oleh Desa Cibodasari, Kecamatan Cibodas, dan terkecil sebesar 6.92 dimiliki oleh Desa Pajang, Kecamatan Benda. Hal ini mencerminkan bahwa kondisi kehidupan masyarakat di Desa Cibodasari berdasarkan variabel- variabel yang digunakan dalam menentukan IPD lebih baik dari pada desa-desa lain di Kota Tangerang. Sedangkan Desa Panjang berdasarkan variabel-variabel

yang sama, merupakan wilayah desa dengan kondisi kehidupan masyarakat yang paling rendah diantara desa-desa lain di Kota Tangerang. Desa-desa yang masuk dalam setiap hirarki dapat dilihat pada Tabel Lampiran 2.

Analisis skalogram mengelompokkan desa-desa ke dalam hirarki-hirarki wilayah dengan kriteria sebagaimana disampaikan pada metode analisis. Pengelompokkan ini menghasilkan tiga hirarki wilayah yaitu hirarki I, hirarki II dan hirarki III. Hirarki I didefinisikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi, hirarki II didefinisikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan sedang, sedangkan hirarki III didefinisikan dengan tingkat perkembangan rendah.

Hasil analisis skalogram, dari 104 desa yang ada di Kota Tangerang, 16 desa termasuk dalam hirarki I dengan rata-rata IPD sebesar 18.96, 31 desa masuk dalam hirarki II dengan rata-rata IPD sebesar 15.46,dan sisanya sebanyak 57 desa masuk dalam hirarki III dengan rata-rata IPD sebesar 11.64. Sedangkan untuk koefisien keragaman (CV) IPD untuk masing-masing hirarki adalah hirarki I sebesar 9.19, hirarki II sebesar 5.66 dan hirarki III sebesar 14.86 (Tabel 7).

Tabel 7. Kriteria Pengelompokkan Hirarki Wilayah Berdasarkan Indeks Perkembangan Desa (IPD)

Kriteria Hirarki Jumlah desa Rataan IPD CV (%) IPD

IPD > rataan + standar

deviasi I 16 18,96 9,19

IPD > rataan II 31 15,46 5,66

IPD < rataan III 57 11,64 14,86

Total 104 13,90 22,57

Pada dasarnya, pengelompokkan wilayah-wilayah hirarki desa ke dalam tiga hirarki wilayah bukan merupakan patokan baku. Wilayah-wilayah desa ini

dapat juga dikelompokkan ke dalam lebih dari tiga hirarki. Selain itu, kriteria pengelompokkannya pun tidak terpaku hanya berdasarkan kriteria-kriteria seperti yang ada pada Tabel 7. Banyak kriteria maupun metode-metode lain yang dapat digunakan untuk mengelompokkan wilayah desa ke dalam hirarki-hirarki wilayah. Alasan pengelompokkan desa-desa di Kota Tangerang ke dalam tiga hirarki wilayah lebih disebabkan karena pengelompokkan ini lebih umum dibandingkan apabila dikelompokkan ke dalam hirarki-hirarki wilayah yang lebih banyak. Kriteria pengelompokkan hirarki dapat dilakukan dengan beragam metode, yang menjadi penekanan adalah pengelompokkan harus dilakukan dengan prosedur tertentu untuk menghindari subyektifitas.

Pengelompokkan wilayah-wilayah ke dalam hirarki-hirarki wilayah hasil analisis skalogram dapat dilihat pada peta hirarki wilayah desa-desa di Kota Tangerang (Gambar 3). Peta pada Gambar 3 menunjukan bahwa hirarki-hirarki tersebut (hirarki I, hirarki II dan hirarki III) tidak mengelompok di suatu tempat saja tetapi menyebar ke semua wilayah di Kota Tangerang. Dapat dilihat bahwa tidak semua kecamatan mempunyai pusat-pusat aktifitas atau adanya hirarki I di setiap kecamatan tersebut. Penyebaran hirarki-hirarki wilayah tersebut mempunyai pola tertentu, dimana hirarki-hirarki tersebut membentuk pemusatan, yaitu hirarki I cenderung di tengah-tengah yang dikelilingi hirarki II dan kemudian diikuti oleh hirarki III.

Hirarki I didefinisikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi. Dari hasil analisis skalogram menunjukan bahwa tidak semua kecamatan mempunyai desa-desa yang masuk dalam hirarki I. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah Kecamatan Batuceper dan Larangan (Tabel Lampiran 2).

Sedangkan Kecamatan Tangerang dan Karang Tengah merupakan kecamatan yang desa-desanya paling banyak masuk dalam hirarki I. Desa-desa tersebut adalah Desa Babakan, Sukasari, Tanah Tinggi, Sukaasih, Sukarasa (Kecamatan Tangerang), Karang Tengah, Karang Timur, dan Karang Mulya (Kecamatan Karang Tengah). Kecamatan Tangerang merupakan pusat pemerintahan Kota Tangerang sehingga banyak aktifitas-aktifitas pemerintahan, perekonomian, dan aktifitas lainnya yang berlangsung di wilayah ini. Selain itu desa-desa di kecamatan ini mempunyai fasilitas sosial, ekonomi, dan aksesibilitas yang lebih lengkap. Sedangkan Kecamatan Karang Tengah karena letaknya yang dekat dengan Jakarta sehingga perkembangan wilayahnya lebih pesat dibanding wilayah lain.

Hirarki II merupakan wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Ada dua kecamatan di Kota Tangerang yang tidak memiliki wilayah yang masuk dalam hirarki II, yaitu Kecamatan Neglasari dan Kecamatan Karang Tengah. Kecamatan Neglasari yang wilayahnya meliputi sebagian Bandara Internasional Soekarno-Hatta sehingga perkembangannya dibatasi berdasarkan peraturan yaitu diarahkan sebagai ruang terbuka hijau dan buffer (pengaman) untuk bandara. Sedangkan untuk wilayah yang desanya paling banyak masuk dalam hirarki II adalah Kecamatan Karawaci. Desa-desa tersebut adalah Gerendeng, Karawaci Baru, Nusajaya, Cimone Jaya, dan Pasarbaru. Kecamatan Karawaci berdasarkan RTRW yang ada merupakan wilayah yang diarahkan untuk

perdagangan sehingga wilayah ini mempunyai pertumbuhan yang cepat dan sangat berpengaruh terhadap kecamatan-kecamatan lain.

Hirarki III didefinisikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan rendah. Semua kecamatan di Kota Tangerang mempunyai wilayah yang masuk dalam Hirarki III. Dari 104 desa yang ada di Kota Tangerang lebih dari setengahnya (57 desa) merupakan wilayah dengan hirarki III. Banyaknya desa- desa yang merupakan wilayah dengan hirarki III, menandakan bahwa penyebaran fasilitas-fasilitas yang ada cenderung memusat. Paradigma pembangunan yang selama ini dianut di Indonesia yaitu Teori Pemusatan tercermin dari sebaran hirarki tersebut. Desa-desa yang masuk hirarki III misalnya Desa Paninggilan, Padurenan, Kenanga, Sudimara Pinang, Bojong Jaya, dan Periuk Jaya.

Wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi mempunyai kondisi, jumlah dan fasilitas yang lebih baik daripada wilayah dengan tingkat perkembangan lebih rendah. Tabel 8 menunjukkan bahwa indeks fasilitas-fasilitas yang ada pada hirarki I lebih besar dibandingkan dengan hirarki II dan hiaraki III, kecuali untuk indeks luas wilayah hirarki III lebih besar dari pada hirarki II. Hal ini terjadi karena luas wilayah tidak berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan wilayah.

Hirarki I mempunyai nilai rata-rata indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan, aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, aksesibilitas ke fasilitas ekonomi, dan aksesibilitas ke fasilitas lain lebih besar dari pada hirarki II dan hirarki III. Semakin besar nilai rata-rata suatu indeks maka semakin besar pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah.

Wilayah, dalam hubungannya dengan wilayah lain selalu berinteraksi satu sama lainnya dalam bentuk aktifitas-aktifitas masyarakatnya yang meliputi beragam aspek. Dalam melakukan kegiatannya, masyarakat memerlukan aksesibilitas yang baik sehingga interaksi tersebut dapat berjalan dengan lancar. Dengan demikian aksesibilitas mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan suatu wilayah, semakin tinggi tingkat aksesibilitas semakin tinggi kemudahan yang diperoleh masyarakat dalam mengakses fasilitas-fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tabel 8. Rata-rata dan Koefisien Keragaman Indeks yang Digunakan Tiap Hirarki Wilayah

Rataan Koefisien keragaman Indeks

Hirarki I Hirarki II Hirarki III Hirarki I Hirarki II Hirarki III Aksesibilitas ke pusat pemerintahan 0,94 0,43 0,36 113,54 115,66 114,15 Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan 3,43 3,11 2,75 10,45 15,59 23,35 Aksesibilitas ke fasilitas kesehatan 2,08 1,96 1,58 15,59 18,64 21,91 Aksesibilitas ke fasilitas ekonomi 2,03 2,02 1,37 25,53 21,87 38,68 Aksesibilitas ke fasilitas lain 1,52 1,42 0,60 60,34 46,49 91,21 Fasilitas ekonomi 0,71 0,53 0,40 58,81 56,54 62,03 Fasilitas pendidikan 1,32 0,91 0,55 58,44 58,37 53,17 Fasilitas kesehatan 1,98 1,51 0,81 59,57 35,75 48,61 Fasilitas sosial lain 1,53 1,02 0,67 64,80 46,90 40,96 Tingkat kesejahteraan 1,72 1,69 1,68 15,08 25,30 22,87 Luas desa (Ha) 1,71 0,87 0,89 130,68 45,69 56,39 Indeks total 18,96 15,46 11,64 9,19 5,66 14,86

Hirarki I mempunyai rata-rata indeks fasilitas ekonomi, indeks fasilitas pendidikan, indeks fasilitas kesehatan dan indeks fasilitas-fasilitas lain lebih besar dari pada hirarki II dan hirarki III. Wilayah dengan fasilitas yang kompleks dan beragam merupakan ciri wilayah yang lebih berkembang. Pada kenyataannya, hirarki I adalah wilayah perkotaan yang memang relatif lebih berkembang dari pada wilayah-wilayah atau hirarki-hirarki lainnya.

Nilai rata-rata indeks tertinggi untuk hirarki I, II dan III dimiliki oleh indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, sedangkan nilai rata-rata indeks terendah dimiliki oleh indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan. Rata-rata nilai indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan tinggi menandakan bahwa fasilitas pendidikan pada hirarki I, II dan III mudah dijangkau atau keberadaannya dekat dengan permukiman penduduk. Sedangkan nilai rata-rata indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan pada hirarki I, II, III rendah terjadi karena pusat pemerintahan biasanya jumlahnya hanya satu di setiap desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota dan ibukota kabupaten/kota, sehingga masyarakat sulit untuk menjangkau fasilitas tersebut karena keberadaannya jauh dari permukiman penduduk.

Nilai koefisien keragaman total indeks perkembangan wilayah (Tabel 8) terendah yaitu pada hirarki II (5.66). Hal ini berarti, sebaran indeks-indeks hirarki pada hirarki II lebih baik dibandingkan indeks pada hirarki yang lain atau dalam arti lain bahwa indeks-indeks yang berpengaruh pada perkembangan wilayah tersebut keberadaannya tidak mengumpul di suatu tempat saja tetapi menyebar ke semua wilayah. Sedangkan koefisien keragaman terbesar pada hirarki III (14.86), yang berarti bahwa sebaran fasilitas-fasilitas yang ada pada hirarki III tidak merata ke semua wilayah.

Luas desa pada hirarki I mempunyai nilai koefesien keragaman tertinggi. Hal tersebut berarti bahwa luas desa pada hirarki I tidak seragam, dimana ada desa yang mempunyai luasan yang besar dan ada pula desa yang mempunyai luasan yang kecil. Nilai koefisien keragaman terendah dimiliki oleh aksesibilitas ke fasilitas pendidikan. Hal ini berarti aksesibilitas ke fasilitas pendidikan baik atau

keberadaan fasilitas tersebut menyebar ke semua wilayah sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat.

Koefisien keragaman tertinggi pada hirarki II dan III dimiliki oleh indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan. Hal ini berarti, pusat pelayanan sebarannya tidak merata ke semua wilayah dan memang pada kenyataannya pusat pemerintahan jumlahnya hanya satu di masing-masing wilayah sehingga sulit dijangkau. Koefisien keragaman terendah pada hirarki II dimiliki oleh aksesibilitas ke fasilitas pendidikan. Yang berarti aksesibilitas ke fasilitas pendidikan baik atau keberadaan fasilitas pendidikan menyebar ke semua wilayah sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat. Sedangkan untuk hirarki III koefisien keragaman tertinggi dimiliki oleh aksesibilitas ke fasilitas kesehatan. Hal ini berarti, fasilitas kesehatan pada hirarki III keberadaannya menyebar ke semua wilayah sehingga mudah dijangkau.

Dinamika Konversi Lahan Pertanian di Kota Tangerang

Selama kurun waktu 1991 hingga 2005 luas penggunaan lahan di Kota Tangerang banyak mengalami perubahan. Perubahan luas area tersebut berbeda- beda antar wilayah. Ada yang mengalami peningkatan luas penggunaannya ada juga yang mengalami penurunan. Konversi lahan tersebut dapat dilihat secara visual pada Peta Penggunaan Lahan Kota Tangerang pada tahun 1991 dan tahun 2005 (Gambar 4 dan 5). Konversi lahan antara kedua tahun tersebut terlihat sangat nyata dimana perubahan tersebut didominasi oleh perubahan ke arah penggunaan untuk perkotaan (urban).

Penggunaan lahan sawah pada tahun 2005 di Timur dan Utara Kota Tangerang terlihat masih banyak. Wilayah Utara Kota Tangerang merupakan wilayah yang diperuntukan sebagai bandara udara Sukarno-Hatta sehingga berdasarkan RTRW yang ada perkembangan wilayah ini dibatasi. Penggunaan lahan yang ada lebih diperuntukan untuk penggunaan lahan yang tidak mengganggu aktifitas bandara seperti penggunaan lahan sawah. Sedangkan wilayah Timur merupakan wilayah dengan pertanian dan irigasi yang baik sehingga wilayah ini dipertahankan untuk peggunaan lahan sawah.

Penggunaan lahan secara agregat di Kota Tangerang dapat dilihat pada Tabel 9. Penggunaan lahan pada tahun 1991 didominasi oleh penggunaan perkotaan. Penggunaan lahan tegalan, sawah, air dan hutan juga masih relatif banyak. Tetapi pada tahun 2005 penggunaan lahan untuk sawah, tegalan dan air mengalami penggurangan lebih dari 50%, bahkan untuk penggunaan lahan hutan mengalami perubahan sebesar 100% atau dengan kata lain penggunaan lahan untuk hutan pada tahun 2005 telah habis terkonversi. Penggunaan lahan untuk perkotaan dari tahun 1991 sampai 2005 mengalami peningkatan sebesar 31.5%.

Tabel 9. Penggunaan Lahan Tahun 1991, 2005 dan Perubahannya

Jenis Penggunaan Lahan Tahun 1991 (Ha) Tahun 2005 (Ha) Perubahan (Ha) Perubahan (%) Sawah 2225,78 911,20 -1314,58 -59.1% Perkotaan 12552,99 16506,51 +3953,52 +31.5% Tegalan 2848,04 1022,91 -1825,13 -64.1% Air 284,42 107,72 -176,70 -62.1% Hutan 637,12 0,00 -637,12 -100%

Selama tahun 1991 sampai dengan tahun 2005 terjadi peningkatan luas penggunaan lahan untuk perkotaan sebesar 3.953,52 Ha. Sedangkan untuk penggunaan lahan sawah, tegalan, air dan hutan semuanya mengalami

pengurangan luas penggunaan yaitu masing-masing sebesar : sawah (1.314,58 Ha), tegalan (182,51 Ha), air (176,69 Ha), dan hutan (637,12 Ha). Konversi lahan secara agregat di Kota Tangerang tersebut juga dapat dilihat pada grafik histogram pada Gambar 6. 1991 2005 1991 2005 1991 2005 1991 2005 1991 2005 0 1500 3000 4500 6000 7500 9000 10500 12000 13500 15000 16500 Lu a s P e n ggu naa n ( H a )

saw ah urban tegalan air hutan

Jenis Penggunaan Lahan

Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1991-2005

Gambar 6. Grafik Deskriptif Konversi Lahan Tahun 1991-2005 Secara Agregat di Kota Tangerang

Grafik deskripsi konversi lahan yang disampaikan pada Gambar 6 juga didukung oleh hasil analisis Shift Share (SSA). Hasil analisis menunjukkan bahwa dari lima jenis penggunaan lahan yang ada di Kota Tangerang, laju perubahan yang terjadi cenderung ke arah penggunaan lahan perkotaan. Hal ini terlihat pada nilai propotional shift hasil analisis SSA (Tabel Lampiran 3), penggunaan lahan perkotaan mempunyai nilai positif yang menandakan terjadi peningkatan, sedangkan penggunaan lahan yang lain mempunyai nilai negatif yang menandakan terjadi penurunan. Konversi lahan terbesar yaitu pada penggunaan lahan untuk hutan dengan nilai propotional shift sebesar –1.000. Hal ini berarti

terjadi pengurangan luasan hutan sebesar 100% atau dengan kata lain penggunaan lahan untuk hutan pada tahun 2005 telah habis dikonversi untuk penggunaan lainnya. Sedangkan peningkatan penggunaan lahan terbesar pada penggunaan lahan perkotaan dengan nilai propotional shift sebesar 0.304. Besarnya peningkatan penggunaan lahan untuk perkotaan terjadi karena banyaknya industri yang berkembang di wilayah ini serta letak Kota Tangerang yang srategis yaitu dekat dengan Jakarta sehingga banyak penduduk yang bermukim di wilayah ini. Sebagai konsekuensinya banyak dibangun perumahan-perumahan untuk tempat tinggal mereka dan fasilitas-fasilitas pendukung lainnya.

Nilai rata-rata differential shift penggunaan lahan pada empat penggunaan lahan yaitu sawah, perkotaan, tegalan dan air, pada masing-masing kecamatan di Kota Tangerang menunjukkan bahwa rata-rata laju peningkatan sawah terbesar di Kecamatan Cipondoh sedangkan rata-rata laju penurunan sawah terbesar di Kecamatan Jatiuwung (Tabel 10). Untuk penggunaan lahan hutan karena hasil

diferrential shift bernilai nol semua maka untuk pembahasan selanjutnya tidak digunakan lagi.

Rata-rata laju peningkatan sawah terbesar terjadi di Kecamatan Cipondoh sedangkan laju penurunan terbesar terjadi di Kecamatan Jatiuwung. Besarnya laju peningkatan di Kecamatan Cipondoh terjadi karena wilayah ini memang memiliki sawah yang relatif banyak sehingga penggunaan lahan sawah dipertahankan bahkan diperluas lagi. Sedangkan Kecamatan Jatiuwung mengalami penurunan luas sawah paling besar karena wilayah ini diarahkan untuk kawasan industri dan permukiman sehingga banyak sawah yang dikonversikan.

Tabel 10. Rata-Rata dan Koefisien Keragaman Nilai Differential Shift Setiap Kecamatan di Kota Tangerang

Rataan Koefisien Keragaman

Kecamatan

Sawah Perkota

an Tegalan Air Sawah Perkota an Tegalan Air Batu Ceper -0,08 0,08 0,08 -0,16 370,94 362,92 579,48 124,72 Benda 0,20 -0,19 0,12 -0,23 188,58 69,71 233,29 91,29 Cibodas -0,23 0,86 -0,13 -0,02 120,02 240,41 103,45 1278,79 Ciledug 0,06 1,15 0,07 0,00 382,86 129,26 567,81 0,00 Cipondoh 0,21 0,24 0,05 0,02 157,60 218,12 539,19 16,23 Jatiuwung -0,41 0,00 -0,18 0,00 0,00 5010,11 88,75 0,00 Karang Tengah -0,12 0,35 -0,18 0,00 245,09 163,62 91,91 0,00 Karawaci -0,25 -0,08 -0,09 0,15 111,65 226,46 601,42 248,88 Larangan -0,13 0,05 0,09 0,00 125,33 932,14 423,17 0,00 Neglasari 0,13 0,12 0,13 -0,03 221,49 277,80 249,10 1188,56 Periuk -0,28 -0,10 0,09 -0,23 99,80 153,16 404,70 91,29 Pinang 0,08 0,13 0,05 -0,02 310,20 254,28 374,62 592,61 Tangerang -0,20 0,51 -0,04 0,05 132,07 27,66 665,65 160,83 Agregat -1,02 3,12 0,06 -0,47 55,84 7166,98 1820,17 2641,33

Rata-rata laju peningkatan terbesar untuk penggunaan lahan perkotaan terjadi di Kecamatan Ciledug sedangkan Kecamatan Benda mengalami rata-rata laju penurunan terbesar. Kecamatan Ciledug merupakan kecamatan yang ditujukan untuk pembangunan permukiman karena dilihat letaknya yang dekat dengan Jakarta sehingga wilayah ini sangat strategis untuk permukiman. Banyaknya perumahan yang dibangun di kecamatan ini menyebabkan intensifnya konversi ke penggunaan lahan untuk perkotaan.

Kecamatan Neglasari merupakan kecamatan yang mempunyai laju rata- rata peningkatan tegalan terbesar sedangkan Kecamatan Karang Tengah mempunyai laju rata-rata penurunan terbesar. Seperti halnya Kecamatan Ciledug yang letaknya dekat dengan Jakarta demikian juga Kecamatan Karang Tengah, karena letaknya strategis sehingga kecamatan ini dikembangkan untuk area permukiman. Sebagai akibatnya banyak penggunaan lahan tegalan yang berkonversi untuk lokasi permukiman. Kecamatan Neglasari yang letaknya dekat

dengan Bandara Sukarno-Hatta perkembangannya dibatasi, sehingga konversi lahan di wilayah ini cenderung ke arah penggunaan lahan yang tidak mengganggu aktifitas Bandara seperti penggunaan lahan untuk tegalan.

Dari rata-rata laju penggunaan lahan air, diketahui peningkatan terbesar terjadi pada Kecamatan Karawaci sedangkan penurunan laju rata-rata terbesar pada Kecamatan Benda. Kecamatan Karawaci yang wilayahnya dilalui oleh sungai Cisadane kemungkinan mengalami perluasan area sungai karena terjadi erosi sehingga penggunaan lahan air mengalami peningkatan. Sedangkan Kecamatan Benda yang sebagian wilayahnya merupakan daerah rawa-rawa, hampir semua rawa tersebut telah mengalami konversi lahan menjadi pengunaan lahan lain dan sebagian besar berubah menjadi area sawah.

Tabel 11 menunjukkan nilai rata-rata dan koefisien keragaman Differential Shift yang dikelompokan berdasarkan hirarki wilayah. Penggunaan lahan sawah mengalami laju penurunan pada ke tiga hirarki tersebut. Penggunaan lahan untuk sawah pada hirarki I dan hirarki II mengalami laju penurunan lebih besar dibandingkan hirarki III. Laju penurunan pada hirarki I dan II besar karena wilayah ini merupakan wilayah yang lebih berkembang, sehingga banyak dibutuhkan lahan untuk kegiatan-kegiatan pembangunan akibatnya banyak lahan sawah yang dikonversikan untuk penggunaan lain.

Laju peningkatan terbesar penggunaan lahan perkotaan pada hirarki III, yang diikuti oleh hirarki I dan hirarki II. Besarnya laju peningkatan pada hirarki III terjadi karena wilayah ini merupakan daerah yang belum berkembang sehingga jika terjadi perubahan maka perubahan tersebut akan sangat terasa.

Tabel 11. Rata-rata dan Koefisien Keragaman Nilai Differential Shift pada Tiap Hirarki Wilayah

Hirarki Sawah Perkotaan Tegalan Air

Rataan I -0,12 0,32 -0,12 0,08 II -0,12 -0,09 0,04 -0,05 III -0,04 0,37 0,01 -0,01 Koefisien Keragaman (CV) I 230,07 409,43 191,15 283,44 II 294,27 199,80 793,96 421,04 III 772,19 259,18 3285,76 1490,22

Penggunaan lahan tegalan pada hirarki II dan III mengalami peningkatan, sedangkan untuk Hirarki I mengalami penurunan. Penggunaan lahan air terjadi laju peningkatan untuk hirarki I, sedangkan untuk hirarki II dan III mengalami laju penurunan.

Nilai koefisien keragaman differential shift sawah, tegalan dan air terkecil pada hirarki I yang berarti perubahan sawah, tegalan dan air pada hirarki I terjadi merata di semua wilayah. Sedangkan nilai koefisien keragaman tertinggi pada hirarki III, yang berarti perubahan sawah, tegalan dan air hanya terjadi di wilayah tertentu saja.

Nilai koefisien keragaman differential shift penggunaan lahan perkotaan tertinggi pada hirarki I dan terkecil pada hirarki II. Hal ini berarti pada hirarki II mengalami peningkatan perkotaan merata di semua wilayah, sedangkan pada hirarki I perubahan terjadi hanya pada wilayah tertentu saja

Keterkaitan Antara Perkembangan Wilayah dengan Konversi Lahan Pertanian

Keterkaitan antara konversi lahan pertanian dengan konversi lahan pertanian dapat dilihat dengan menggunakan analisis PCA (Principle Component Analysis). Analisis PCA bertujuan untuk menentukan faktor-faktor (komponen

utama) dengan dimensi yang lebih kecil dari variabel aslinya, tetapi masih dapat menerangkan sebagian besar keragaman variabel aslinya. Hasil analisis PCA ditunjukan pada Gambar 7 dan 8.

Dari Gambar 7 terlihat bahwa antara kecenderungan keragaan selisih perkotaan (X13) dan differential shift perkotaan (X18) mengelompok menjadi satu.

Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan (X2), indeks aksesibilitas ke fasilitas

ekonomi (X3), indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan (X4), indeks aksesibilitas

ke fasilitas lain (X5), indeks fasilitas ekonomi (X6), indeks fasilitas pendidikan

(X7), indeks fasilitas kesehatan (X8), mengelompok menjadi satu. Sedangkan

aksesibilitas ke pusat pemerintahan (X1), indeks fasilitas sosial lain (X9), indeks

kesejahteraan (X10), indeks luas wilayah (X11), selisih sawah (X12), selisih tegalan

(X14), selisih air (X15), selisih hutan (X16), differential shift sawah (X17), differential shift tegalan (X19), dan differential shift air (X20) mengelompok

menjadi satu.

Dengan menghubungkan Grafik pada Gambar 7 dan 8, gambar tersebut menunjukan bahwa desa-desa yang ada di kuadran 1 merupakan desa-desa sebagai pusat pelayanan. Desa-desa tersebut adalah Karang Tengah, Sukarasa, dan Cibodasari. Pada kenyataannya desa-desa tersebut merupakan desa-desa yang masuk dalam wilayah Hirarki I. Desa-desa di kuadran 3 dan 4 merupakan desa- desa daerah perkotaan. Desa-desa tersebut adalah Cibodas, Paninggilan, dan Karang Mulya. Sedangkan desa-desa yang berada di kuadran 2 merupakan daerah dengan perkembangan dinamis, desa-desa tersebut misalnya Desa Nambojaya, Panunggangan dan Panunggangan Timur.

Gambar 7. Grafik Proyeksi Variabel Antara Dua Faktor

Gambar 8. Grafik Proyeksi cases Antara Dua Faktor

Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2)

Active X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20 -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0 Factor 1 : 16,26% -1,0 -0,5 0,0 0,5 1,0 Factor 2 : 12,15% Kawasan urban Kawasan pertanian

Perkembangan dinamis Pusat pelayanan

I II

III IV

Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 2) Cases with sum of cosine square >= 0,00

Active 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Cibodas 14 Cibodasari 16 17 18 Paniggilan 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 41 38 39 40 37 42 Karang Mulya Karang Tengah 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 Nambojaya 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 Panunggangan

Dokumen terkait