ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN
DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
(Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)
Oleh:
Yani Kusnitarini
A24101067
PROGRAM STUDI ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN
DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
(Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Yani Kusnitarini
A24101067
PROGRAM STUDI ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SUMMARY
YANI KUSNITARINI. Analysis of Relationship between Agricultural Land Conversion and Regional Development, and its Affacting Factors (Case Study of
Tangerang Town, Banten). Under supervision of Kukuh Murtilaksono and Dyah
Retno Panuju.
Tangerang as one of the Jakarta hinterlands, adjacent to Bogor, Depok and
Bekasi representing region which is very dynamic in land use change. The
countiguous location to Jakarta cause regional economic of Tangerang grows very
fast. The development of Jakarta that has been growing very fast need to expand
industrial location, settlement and other facilities. The expansion is affecting the
dynamic of its hinterland, such as Tangerang.
This research aim to analyse pattern and rate of agricultural land
conversion, regional development correlation between agricultural land
conversion and regional development and identify factors affecting agricultural
land conversion in Tangerang town. Research located at Tangerang town,
Province of Banten, which consist, of 13 municipalites and 104 villages.
Shift Share Analysis (SSA), skalogram analysis, principle component
analysis (PCA), correlation analysis, multivariate regression (Stepwise
Regression) and spatial analysis were applied in this research.
In the period of 1991 to 2005, land use of Tangerang town shifted from
agricultural land to urban area. Agricultural land, especially rice field, up land,
forest land and water body converted to urban land use, even forest have been
converted 100%.
Regional hierarchy of Tangerang town could be grouped into three classes.
Hierarchy I represented the highest level of regional development and consisted of
16 villages (15.38%), such as Cibodasari, Cipondoh, Sukarasa. Hierarchy II
represented second level of regional development, and consist of 31 villages
(29.81%) such as Cikokol, Jatake, Tajur etc. Hierarchy III represented relatively
lowest level of regional development which consisted of 54 villages (54.81%)
for other regions. Regional hierarchy that is formed centripetal pattern is the
highest hierarchy (hierarchy I) and surrounded by lower hierarchy.
There were positive correlation between distance to school and rate of
field shift, distance to economic facility and upland change acreage of village and
water body change. On the other side, there were negative correlation between
distance to economic facility and up land change, economic facility and water
body change. It was indicatied that the higher regional developed the higher
agricultural land converted.
Factors affecting agricultural land conversion in Tangerang town were
past land uses (acreage of rice field, urban area, up land, and forest of 1991),
distance to governance center, distance to school, distance to economic faciliy,
RINGKASAN
YANI KUSNITARINI. Analisis Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perkembangan Wilayah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus
Kota Tangerang, Banten). Di bawah bimbingan Kukuh Murtilaksono dan Dyah
Retno Panuju.
Tangerang sebagai salah satu hinterland Jakarta, selain Bogor, Depok dan Bekasi merupakan wilayah yang telah banyak mengalami perubahan penggunaan
lahan. Faktor kedekatan jarak dari Jakarta menyebabkan Tangerang mengalami
pertumbuhan perekonomian yang relatif cepat. Perkembangan Kota Jakarta yang
sangat pesat mengakibatkan semakin berkurangnya lahan untuk lokasi industri,
pemukiman dan lainnya. Akibatnya pertumbuhan perekonomian beralih ke
daerah-daerah disekitarnya termasuk ke daerah Tangerang.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola dan laju konversi lahan
pertanian, tingkat perkembangan wilayah, keterkaitan antara konversi lahan
pertanian dengan perkembangan wilayah serta faktor-faktor yang mempengaruhi
konversi lahan pertanian di Kota Tangerang. Penelitian dilakukan di Kota
Tangerang, Provinsi Banten. Yang terdiri dari 13 kecamatan dan 104
desa/kelurahan.
Penelitian didasarkan pada data primer dan data sekunder. Penarikan
contoh data primer dilakukan terhadap 30 titik lokasi. Sedangkan data sekunder
mencakup seluruh unit desa/kelurahan di Kota Tangerang. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis shift share (SSA), analisis skalogram, analisis komponen utama (PCA), analisis korelasi, analisis regresi
berganda (stepwise regression) dan analisis spasial.
Perubahan penggunaan lahan yang ada di Kota Tangerang dari tahun 1991
sampai 2005, cenderung ke arah penggunaan lahan untuk perkotaan. Penggunaan
lahan untuk sawah, tegalan, air dan hutan semuanya mengalami konversi bahkan
untuk hutan telah terkonversi 100%.
Hirarki wilayah di Kota Tangerang dikelompokkan menjadi tiga hirarki,
hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi, dari 104 desa
Desa Cibodasari, Cipondoh, Sukarasa. Hirarki II merupakan wilayah dengan
tingkat perkembangan sedang, ada 31 desa (29.81%) yang masuk dalam hirarki II,
desa-desa tersebut misalnya Desa Cikokol, Jatake, Tajur. Sedangkan hirarki III
merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan rendah, desa-desa yang masuk
dalam hirarki III ada 54 desa (54.81%) misalnya Desa Cipete, Cibodas, dan
Jurumudi. Hirarki I menjadi pusat pelayanan bagi wilayah lain. Pola hirarki
wilayah yang terbentuk cenderung memusat, yaitu hirarki tertinggi (hirarki I)
dikelilingi hirarki lebih rendah.
Hubungan antara indikator perkembangan wilayah dengan perubahan
penggunaan lahan ditunjukkan oleh keterkaitan positif antara indeks aksesibilitas
ke fasilitas pendidikan dengan differential shift sawah, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi dengan perubahan luas tegalan, luas desa dengan differential shift air. Keterkaitan negatif ditunjukan oleh keterkaitan antara indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi dengan perubahan luas tegalan, indeks fasilitas
ekonomi dengan perubahan luas air. Ada indikasi semakin meningkatnya
perkembangan wilayah menyebabkan semakin banyak lahan pertanian yang
dikonversi ke penggunaan lain (non pertanian).
Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kota
Tangerang terdiri dari penggunaan lahan tahun awal (luas lahan sawah, perkotaan,
tegalan, air dan hutan pada tahun 1991), indeks aksesibilitas ke pusat
pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks aksesibilitas ke
fasilitas ekonomi, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, indeks fasilitas
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN
PERTANIAN DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)
Nama : Yani Kusnitarini
NRP : A24101067
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono Ir. Dyah Retno Panuju
NIP. 131 861 468 NIP. 132 158 766
Mengetahui,
Dekan
Prof. Dr. Ir.Supiandi Sabiham, M.Agr.
NIP. 130 422 698
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 18 Januari
1983. Merupakan anak ke empat dari empat bersaudara pasangan Kamilin Hadi
Sudiarto dan Dasih.
Penulis besar di daerah Cilacap dan mulai masuk ke jenjang pendidikan
pada tahun 1989 yaitu di SD Negeri 1 Karang Putat, Kecamatan Nusawungu,
Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dan berhasil menyelesaikannya selama 6 tahun.
Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 1
Nusawungu, dan lulus dari SMU Negeri 1 Kroya pada tahun 2001. Pada tahun
yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) yaitu pada Program Studi Ilmu Tanah,
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten mata
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini dengan
judul “Analisis Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perkembangan
Wilayah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Kota
Tangerang, Banten)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Pertanian di Institut Pertanian Bogor.
Sejak awal hingga akhir penyusunan karya tulis ini, penulis banyak
menerima dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, dan Ir Dyah Retno Panuju selaku dosen
pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan saran, kritik dan
petunjuk selama persiapan, pelaksanaan sampai dengan penyusunan tulisan
ini.
2. Dr. Ir. Baba Barus selaku dosen penguji, yang telah bersedia menjadi dosen
penguji, dan bersedia memberi masukan dan saran untuk perbaikan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Ir. Santun RP. Sitorus selaku pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis selama masa studinya.
4. Papa, mama, yang telah membesarkan dan mendidik penulis dan Mba Iin, Mas
Fuad dan Mba Linda yang telah mendukung, memperhatikan dan menyayangi
5. Teman-teman tanah angkatan ’38, yang telah bersama selama empat tahun
lebih.
6. Teman-teman di Lab. fisika dan konservasi tanah dan air : Nyit2, Yayah, Liya,
Patme, Rika Setyo, Ike, Opy, Ana, Eko, Bekhi, dan Dani atas kebersamaan
dan kekompakannya.
7. Teman-teman di Lab. bangwil : End’, Nengky, Opi, Meilin, E’na, Ine, Riya,
Dimaz, Heru, dan Tatank yang telah banyak membantu penulis.
8. Teman-teman kostan Radar 47 atas kebersamaan, persaudaraannya selama ini
yang selalu berbagi suka dan duka bersama.
Penulis menyadari bahwa penyusunan karya ilmiah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran menuju
kesempurnaan. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis dan semua orang
yang memerlukannya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Bogor, Februari 2006
ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN
DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
(Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)
Oleh:
Yani Kusnitarini
A24101067
PROGRAM STUDI ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN PERTANIAN
DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
(Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian
Pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Yani Kusnitarini
A24101067
PROGRAM STUDI ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SUMMARY
YANI KUSNITARINI. Analysis of Relationship between Agricultural Land Conversion and Regional Development, and its Affacting Factors (Case Study of
Tangerang Town, Banten). Under supervision of Kukuh Murtilaksono and Dyah
Retno Panuju.
Tangerang as one of the Jakarta hinterlands, adjacent to Bogor, Depok and
Bekasi representing region which is very dynamic in land use change. The
countiguous location to Jakarta cause regional economic of Tangerang grows very
fast. The development of Jakarta that has been growing very fast need to expand
industrial location, settlement and other facilities. The expansion is affecting the
dynamic of its hinterland, such as Tangerang.
This research aim to analyse pattern and rate of agricultural land
conversion, regional development correlation between agricultural land
conversion and regional development and identify factors affecting agricultural
land conversion in Tangerang town. Research located at Tangerang town,
Province of Banten, which consist, of 13 municipalites and 104 villages.
Shift Share Analysis (SSA), skalogram analysis, principle component
analysis (PCA), correlation analysis, multivariate regression (Stepwise
Regression) and spatial analysis were applied in this research.
In the period of 1991 to 2005, land use of Tangerang town shifted from
agricultural land to urban area. Agricultural land, especially rice field, up land,
forest land and water body converted to urban land use, even forest have been
converted 100%.
Regional hierarchy of Tangerang town could be grouped into three classes.
Hierarchy I represented the highest level of regional development and consisted of
16 villages (15.38%), such as Cibodasari, Cipondoh, Sukarasa. Hierarchy II
represented second level of regional development, and consist of 31 villages
(29.81%) such as Cikokol, Jatake, Tajur etc. Hierarchy III represented relatively
lowest level of regional development which consisted of 54 villages (54.81%)
for other regions. Regional hierarchy that is formed centripetal pattern is the
highest hierarchy (hierarchy I) and surrounded by lower hierarchy.
There were positive correlation between distance to school and rate of
field shift, distance to economic facility and upland change acreage of village and
water body change. On the other side, there were negative correlation between
distance to economic facility and up land change, economic facility and water
body change. It was indicatied that the higher regional developed the higher
agricultural land converted.
Factors affecting agricultural land conversion in Tangerang town were
past land uses (acreage of rice field, urban area, up land, and forest of 1991),
distance to governance center, distance to school, distance to economic faciliy,
RINGKASAN
YANI KUSNITARINI. Analisis Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perkembangan Wilayah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus
Kota Tangerang, Banten). Di bawah bimbingan Kukuh Murtilaksono dan Dyah
Retno Panuju.
Tangerang sebagai salah satu hinterland Jakarta, selain Bogor, Depok dan Bekasi merupakan wilayah yang telah banyak mengalami perubahan penggunaan
lahan. Faktor kedekatan jarak dari Jakarta menyebabkan Tangerang mengalami
pertumbuhan perekonomian yang relatif cepat. Perkembangan Kota Jakarta yang
sangat pesat mengakibatkan semakin berkurangnya lahan untuk lokasi industri,
pemukiman dan lainnya. Akibatnya pertumbuhan perekonomian beralih ke
daerah-daerah disekitarnya termasuk ke daerah Tangerang.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola dan laju konversi lahan
pertanian, tingkat perkembangan wilayah, keterkaitan antara konversi lahan
pertanian dengan perkembangan wilayah serta faktor-faktor yang mempengaruhi
konversi lahan pertanian di Kota Tangerang. Penelitian dilakukan di Kota
Tangerang, Provinsi Banten. Yang terdiri dari 13 kecamatan dan 104
desa/kelurahan.
Penelitian didasarkan pada data primer dan data sekunder. Penarikan
contoh data primer dilakukan terhadap 30 titik lokasi. Sedangkan data sekunder
mencakup seluruh unit desa/kelurahan di Kota Tangerang. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis shift share (SSA), analisis skalogram, analisis komponen utama (PCA), analisis korelasi, analisis regresi
berganda (stepwise regression) dan analisis spasial.
Perubahan penggunaan lahan yang ada di Kota Tangerang dari tahun 1991
sampai 2005, cenderung ke arah penggunaan lahan untuk perkotaan. Penggunaan
lahan untuk sawah, tegalan, air dan hutan semuanya mengalami konversi bahkan
untuk hutan telah terkonversi 100%.
Hirarki wilayah di Kota Tangerang dikelompokkan menjadi tiga hirarki,
hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan tinggi, dari 104 desa
Desa Cibodasari, Cipondoh, Sukarasa. Hirarki II merupakan wilayah dengan
tingkat perkembangan sedang, ada 31 desa (29.81%) yang masuk dalam hirarki II,
desa-desa tersebut misalnya Desa Cikokol, Jatake, Tajur. Sedangkan hirarki III
merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan rendah, desa-desa yang masuk
dalam hirarki III ada 54 desa (54.81%) misalnya Desa Cipete, Cibodas, dan
Jurumudi. Hirarki I menjadi pusat pelayanan bagi wilayah lain. Pola hirarki
wilayah yang terbentuk cenderung memusat, yaitu hirarki tertinggi (hirarki I)
dikelilingi hirarki lebih rendah.
Hubungan antara indikator perkembangan wilayah dengan perubahan
penggunaan lahan ditunjukkan oleh keterkaitan positif antara indeks aksesibilitas
ke fasilitas pendidikan dengan differential shift sawah, indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi dengan perubahan luas tegalan, luas desa dengan differential shift air. Keterkaitan negatif ditunjukan oleh keterkaitan antara indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi dengan perubahan luas tegalan, indeks fasilitas
ekonomi dengan perubahan luas air. Ada indikasi semakin meningkatnya
perkembangan wilayah menyebabkan semakin banyak lahan pertanian yang
dikonversi ke penggunaan lain (non pertanian).
Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kota
Tangerang terdiri dari penggunaan lahan tahun awal (luas lahan sawah, perkotaan,
tegalan, air dan hutan pada tahun 1991), indeks aksesibilitas ke pusat
pemerintahan, indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan, indeks aksesibilitas ke
fasilitas ekonomi, indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan, indeks fasilitas
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : ANALISIS KETERKAITAN KONVERSI LAHAN
PERTANIAN DENGAN PERKEMBANGAN WILAYAH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA (Studi Kasus Kota Tangerang, Banten)
Nama : Yani Kusnitarini
NRP : A24101067
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono Ir. Dyah Retno Panuju
NIP. 131 861 468 NIP. 132 158 766
Mengetahui,
Dekan
Prof. Dr. Ir.Supiandi Sabiham, M.Agr.
NIP. 130 422 698
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 18 Januari
1983. Merupakan anak ke empat dari empat bersaudara pasangan Kamilin Hadi
Sudiarto dan Dasih.
Penulis besar di daerah Cilacap dan mulai masuk ke jenjang pendidikan
pada tahun 1989 yaitu di SD Negeri 1 Karang Putat, Kecamatan Nusawungu,
Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dan berhasil menyelesaikannya selama 6 tahun.
Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 1
Nusawungu, dan lulus dari SMU Negeri 1 Kroya pada tahun 2001. Pada tahun
yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) yaitu pada Program Studi Ilmu Tanah,
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten mata
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb.
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ilmiah ini dengan
judul “Analisis Keterkaitan Konversi Lahan Pertanian dengan Perkembangan
Wilayah dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya (Studi Kasus Kota
Tangerang, Banten)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Pertanian di Institut Pertanian Bogor.
Sejak awal hingga akhir penyusunan karya tulis ini, penulis banyak
menerima dorongan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, dan Ir Dyah Retno Panuju selaku dosen
pembimbing yang telah banyak membantu dan memberikan saran, kritik dan
petunjuk selama persiapan, pelaksanaan sampai dengan penyusunan tulisan
ini.
2. Dr. Ir. Baba Barus selaku dosen penguji, yang telah bersedia menjadi dosen
penguji, dan bersedia memberi masukan dan saran untuk perbaikan skripsi ini.
3. Prof. Dr. Ir. Santun RP. Sitorus selaku pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis selama masa studinya.
4. Papa, mama, yang telah membesarkan dan mendidik penulis dan Mba Iin, Mas
Fuad dan Mba Linda yang telah mendukung, memperhatikan dan menyayangi
5. Teman-teman tanah angkatan ’38, yang telah bersama selama empat tahun
lebih.
6. Teman-teman di Lab. fisika dan konservasi tanah dan air : Nyit2, Yayah, Liya,
Patme, Rika Setyo, Ike, Opy, Ana, Eko, Bekhi, dan Dani atas kebersamaan
dan kekompakannya.
7. Teman-teman di Lab. bangwil : End’, Nengky, Opi, Meilin, E’na, Ine, Riya,
Dimaz, Heru, dan Tatank yang telah banyak membantu penulis.
8. Teman-teman kostan Radar 47 atas kebersamaan, persaudaraannya selama ini
yang selalu berbagi suka dan duka bersama.
Penulis menyadari bahwa penyusunan karya ilmiah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran menuju
kesempurnaan. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis dan semua orang
yang memerlukannya. Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
Bogor, Februari 2006
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL………. vi
DAFTAR GAMBAR……… vii
PENDAHULUAN Latar Belakang………...……… ……... 1
Tujuan ………...……….... 3
TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Perkembangannya …………...………... 4
Konversi Lahan ………...……….. 6
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan ... 10
BAHAN DAN METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian ………...…... 14
Data dan Sumber Data ....………...………. 14
Metode Penelitian ………...………. 14
Teknik Analisis Shift Share Analiysis (SSA) ... 18
Analisis Komponen Utama (PCA) ... 19
Analisis Skalogram ... 21
Analisis Korelasi ... 25
Analisis Regresi Berganda ... 25
Analisis Spasial ... 27
Topografi ... 32
Penggunaan lahan ………...……… 32
Kependudukan ………...………. 33
Perekonomian ………...…………... 34
Sarana dan Prasarana ... 35
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hirarki Perkembangan Wilayah Desa di Kota Tangerang ... 37
Dinamika Konversi Lahan Pertanian di Kota Tangerang ... 45
Keterkaitan Antara Perkembangan Wilayah dengan Konversi Lahan
Pertanian ... 53
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Pertanian ... 59
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ………...……….. 64
Saran ………...………. 65
DAFTAR PUSTAKA……….. 66
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1. Identifikasi Variabel, Sumber Data dan Teknik Analisis untuk Setiap
Butir Penelitian ... 16
2. Peubah yang Digunakan pada Setiap Kelompok Indeks
untuk Analisis Skalogram ... 23
3. Simbol dan Peubah yang Digunakan dalam Analisis
Multiple Regression ... 27
4. Pemekaran Wilayah Kecamatan Kota Tangerang ... 30
5. Pemanfaatan lahan di Kota Tangerang ... 32
6. Luas Wilayah, Jumlah Rumah Tangga, Penduduk, Rata-Rata Anggota Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk per Km2 di Kota Tangerang
Tahun 2003 ... 34
7. Kriteria Pengelompokan Hirarki Wilayah Berdasarkan Indeks
Perkembangan Desa ... 38
8. Rata-rata dan Koefisien Keragaman indeks yang Digunakan Setiap
Hirarki Wilayah ... 43
9. Penggunaan Lahan Tahun 1991, 2005 dan Perubahannya ... 48
10. Rata-Rata dan CV Nilai Differential Shift setiap Kecamatan
di Kota Tangerang ... 51
11. Rata-rata dan Koefisien Keragaman Nilai Differential Shift
pada Tiap Hirarki Wilayah …………...………... 53
12. Identifikasi Peubah yang Berkorelasi Terhadap Respon ... 56
13. Persamaan dan Parameter Regresi ... 60
Nomor Halaman
Lampiran
1. Hasil Analisis Skalogram ... 70
2. Desa-Desa yang Masuk dalam Setiap Hirarki ... 72
3. Hasil Analisis Shift Share Penggunaan Lahan di Kota Tangerang ... 73
4. Korelasi Antara Jenis Penggunaan Lahan dengan Indeks Hirarki
Wilayah ... 76
5. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Pertambahan/Pengurangan Luas Area Sawah (t1 – t0) ………...……...…… 77
6. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Pertambahan/Pengurangan Luas Area Perkotaan (t1 – t0) ……….…...……….…. 77
7. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Pertambahan/Pengurangan Luas Area Tegalan (t1 – t0) ………...………. 78
8. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Area Sawah t1
(Tahun 2005) ... 78
9. Hasil Analisis Regresi untuk Variabel Area Perkotaan t1
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
1. Bagan Alir Tahap Analisis Data ... 17
2. Peta Batas Wilayah Kecamatan di Kota Tangerang... 31
3. Peta Hirarki Wilayah Desa-Desa di Kota Tangerang …………... 40
4. Peta Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 1991 ... 46
5. Peta Penggunaan Lahan Kota Tangerang Tahun 2005 ... 47
6. Grafik Deskripsi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 1991-2005
Secara Agregat di Kota Tangerang ... 49
7. Grafik Proyeksi Variabel Antara Dua Faktor ... 55
8. Grafik Proyeksi Cases Antara Dua Faktor ... 55
Lampiran
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konversi lahan adalah suatu proses perubahan penggunaan lahan dari
bentuk penggunaan tertentu menjadi penggunaan lain. Misalnya perubahan lahan
pertanian menjadi non pertanian, perubahan lahan sawah menjadi permukiman,
ataupun perubahan penggunaan lahan untuk permukiman menjadi industri. Proses
perubahan penggunaan lahan akan terjadi terus-menerus dan tidak dapat dihindari
lagi. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya kebutuhan lahan untuk
permukiman, industri, perkantoran, jalan raya, dan infrastruktur lain untuk
menunjang tuntutan perkembangan masyarakat.
Meningkatnya sarana perhubungan, pemusatan penduduk, industri,
pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial, tingkat pendapatan yang tinggi,
tingkat pendidikan dan kualitas sumberdaya manusia yang tinggi merupakan
indikasi berkembangnya suatu wilayah. Perkembangan ini akan diikuti oleh
banyaknya pembangunan seperti gedung-gedung baik itu untuk industri,
perkantoran ataupun untuk perumahan serta pembangunan fasiltas-fasilitas
penunjang lainnya. Hal ini mengakibatkan kebutuhan lahan meningkat, sehingga
semakin banyak lahan pertanian yang akan dikonversikan. Upaya pengembangan
yang selalu terjadi, cenderung membawa perubahan ke penggunaan non pertanian.
Penggunaan sumberdaya lahan akan mengarah kepada penggunaan yang
secara ekonomi lebih menguntungkan yaitu ke arah penggunaan yang
memberikan penerimaan keuntungan ekonomi yang paling tinggi. Penggunaan
lahan untuk sawah merupakan salah satu penggunaan lahan yang mempunyai nilai
land rent rendah dibandingkan dengan penggunaan lain. Hal tersebut menjadi
Menurut Panuju (2004), rata-rata di seluruh wilayah di Jabodetabek pertumbuhan
sektor pertanian terus mengalami penurunan. Kabupaten Bekasi dan Tangerang
yang menjadi salah satu pusat sawah beririgasi teknis di Pantura pun memiliki
pertumbuhan sektor pertanian yang terus menurun. Dapat dinyatakan bahwa
sektor pertanian bukan primadona dan bukan sektor yang diminati sebagai
aktifitas ekonomi masyarakat bagi penduduk di wilayah Jabodetabek.
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dengan Puncak dan Cianjur
(Jabodetabekpunjur) merupakan salah satu contoh kawasan yang direncanakan
ditata secara formal melalui KEPRES (Panuju, 2004). Pengembangan kawasan
tersebut harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan. Menurut Djakapermana
(2004) telah terjadi peningkatan penggunaan lahan untuk permukiman di
Jabodetabek pada tahun 1992 hingga 2001 sebesar 10 persen. Pada kurun waktu
yang sama, telah terjadi pula pengurangan luasan kawasan lindung hingga 16
persen. Secara keseluruhan terjadi penyimpangan sebesar 20 persen terhadap
arahan penggunaan lahan pada Rencana Tata Ruang Kawasan Jabodetabek.
Tangerang sebagai salah satu hinterland Jakarta, selain Bogor, Depok dan
Bekasi merupakan wilayah yang telah banyak mengalami perubahan penggunaan
lahan. Faktor kedekatan jarak dari Jakarta menyebabkan Tangerang mengalami
pertumbuhan perekonomian yang relatif cepat. Perkembangan kota Jakarta yang
sangat pesat mengakibatkan semakin berkurangnya lahan untuk lokasi industri,
permukiman dan lainnya. Akibatnya pertumbuhan perekonomian beralih ke
daerah-daerah di sekitarnya termasuk ke daerah Tangerang. Ashari (2003)
menyatakan bahwa, selama tahun 1990-1993 di Pulau Jawa telah terjadi konversi
lahan pertanian ke non pertanian seluas 52.772 Ha atau rata-rata 18.257 Ha per
yang terkonversi selanjutnya digunakan untuk permukiman 52,22 persen, industri
26,44 persen, perkantoran 5,80 persen, dan sisanya untuk penggunaan lainnya.
Perkembangan wilayah Kota Tangerang yang sangat pesat menuntut
adanya area lahan yang luas untuk kegiatan pembangunan. Sebagai
konsekuensinya banyak lahan yang telah dan akan dikonversikan untuk kegiatan
tersebut. Perubahan penggunaan lahan pertanian dipengaruhi oleh banyak faktor,
baik itu faktor pendorong internal petani itu sendiri maupun faktor eksternal
akibat mekanisme pasar maupun sistem kelembagaan. Dalam penelitian ini dikaji
faktor-faktor yang menyebabkan proses konversi lahan. Mengingat sangat
terbatasnya penelitian tentang penggunaan lahan di daerah Tangerang
dibandingkan Bogor, Depok dan Bekasi, maka dipilih Kota Tangerang sebagai
wilayah penelitian.
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya konversi
lahan pertanian dan pengaruhnya terhadap perkembangan wilayah serta
faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan pertanian di Kota Tangerang yang
dirinci sebagai berikit :
1. Menganalisis pola dan laju konversi lahan pertanian
2. Menganalisis tingkat perkembangan wilayah
3. Menganalisis keterkaitan antara konversi lahan pertanian dengan
perkembangan wilayah
4. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konversi lahan
TINJAUAN PUSTAKA
Wilayah dan Tingkat Perkembangannya
Jayadinata (1999) mendefinisikan wilayah dalam pengertian geografis
sebagai kesatuan alam yaitu alam yang serba sama, atau homogen, atau seragam,
kesatuan manusia, yaitu masyarakat serta kebudayaannya yang serba sama yang
mempunyai ciri (kekhususan) yang khas, sehingga wilayah tersebut dapat
dibedakan dari wilayah lain. Menurut Rustiadi dan Anwar (2000), wilayah adalah
satu satuan atau unit geografis dengan batas-batas tertentu, dimana
bagian-bagiannya (sub wilayah) satu sama lain tergantung secara fungsional. Dari
pengertian di atas dapat dikatakan pengertian wilayah bersifat relatif yaitu tidak
ada batasan yang luas. Oleh karena itu, pembagian wilayah tergantung dari tujuan
analisis wilayah tersebut.
Dalam konsep wilayah nodal, maka wilayah ditafsirkan sebagai sel hidup
yang mengandung inti dan plasma. Inti adalah pusat atau kutub yang berfungsi
sebagai pusat konsentrasi tenaga kerja, lokasi industri, dan jasa serta pasar bahan
mentah. Sedangkan plasma adalah wilayah belakang (hinterland) yang berfungsi
sebagai pemasok tenaga kerja, pemasok bahan mentah, serta pasar dari industri
dan jasa.
Pertumbuhan penduduk, meningkatnya sarana perhubungan, menurunnya
secara relatif sektor pertanian sebagai penopang kehidupan masyarakat petani di
perdesaan dan daya tarik kota menyebabkan terjadinya arus urbanisasi dari desa
ke kota atau dari daerah belakang atau plasma ke pusat-pusat atau inti. Disisi lain
dengan adanya ketersediaan infrastruktur di pusat atau di inti, tenaga kerja yang
pinggiran kota inti. Adanya perbedaan pertumbuhan wilayah dalam lingkup suatu
negara, maka dalam suatu kawasan lebih luas akan terdapat beberapa macam
karakteristik wilayah ditinjau dari aspek kemajuannya, yaitu (1). wilayah maju;
(2). wilayah sedang berkembang; (3). wilayah belum berkembang; dan (4).
wilayah tidak berkembang. Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang
yang biasanya berfungsi sebagai pusat pertumbuhan, biasanya terdapat pemusatan
penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Selain itu
juga dicirikan oleh tingkat pendapatan yang tinggi, tingkat pendidikan dan
kualitas sumberdaya manusia yang juga tinggi.
Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan
yang cepat dan merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu
mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju. Wilayah yang
belum berkembang dicirikan oleh tingkat pertumbuhan yang masih rendah baik
secara absolut, maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumberdaya alam
yang belum dikelola atau dimanfaatkan. Wilayah ini masih didiami oleh tingkat
kepadatan penduduk yang masih rendah. Selain itu wilayah ini belum mempunyai
aksesibilitas yang baik terhadap wilayah lain. Struktur ekonomi wilayah ini masih
didominasi oleh sektor primer dan biasanya belum mampu membiayai
pembangunan secara mandiri.
Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal : (a). wilayah
tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumberdaya alam maupun
potensi lokal, sehingga secara alami sulit sekali berkembang dan mengalami
pertumbuhan; dan (b). wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi baik
tumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh
wilayah yang lebih maju. Wilayah ini dicirikan oleh tingkat kepadatan penduduk
yang jarang dan kualitas sumberdaya manusia yang rendah, tingkat pendapatan
yang rendah, tidak memiliki infrastruktur yang lengkap dan tingkat aksesibilitas
yang rendah. Wilayah yang memiliki sumberdaya yang berlimpah, namun tidak
berkembang dicirikan oleh tingkat kebocoran wilayah yang tinggi, dimana
manfaat tertinggi dari manfaat sumberdaya alam tersebut dinikmati oleh wilayah
lainnya.
Konversi Lahan
Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (landscape) yang mencakup
pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, hidrologi termasuk
keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh
terhadap penggunaan lahan (Sitorus, 2004). Hardjowigeno et al. (1999),
mendefinisikan lahan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua
komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklik yang berbeda di
atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, serta segala akibat yang
ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang, yang semuanya berpengaruh
terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa
mendatang. Sementara itu, menurut Arsyad (1989), penggunaan lahan diartikan
sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil dan spirituil.
Penggunaan lahan dibagi ke dalam dua kelompok utama yaitu penggunaan
lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian
penyediaan air dan komoditi yang diusahakan, dimanfaatkan atau yang terdapat di
atas lahan tersebut, seperti penggunaan lahan tegalan, sawah, kebun kopi, kebun
karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alang-alang dan lain
sebagainya. Sedangkan penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan atas
penggunaan kota dan desa (permukiman), industri, rekreasi, dan pertambangan
(Arsyad, 1989). Sedangkan Barlowe (1986), membagi penggunaan lahan menjadi
(1). lahan permukiman; (2). lahan industri dan perdagangan; (3). lahan bercocok
tanam; (4). lahan peternakan dan penggembalaan; (5). lahan hutan; (6). lahan
mineral atau pertambangan; (7). lahan rekreasi; (8) lahan pelayanan jasa; (9).
lahan transportasi; dan (10). lahan tempat pembuangan.
Barlowe (1986), berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
pola penggunaan lahan adalah (1). faktor-faktor fisik dan biologis; serta (2). faktor
ekonomi dan institusi (kelembagaan). Faktor fisik dan biologis mencakup keadaan
geologi, tanah, air, iklim, tumbuhan, hewan, dan kependudukan. Faktor ekonomi
dicirikan oleh hukum pertanahan yang berlaku di masyarakat, sosial politik dan
ekonomi masyarakat.
Konversi lahan merupakan suatu proses konversi lahan oleh manusia dari
pengggunaan tertentu menjadi penggunaan lain yang dapat bersifat sementara
maupun permanen. Konversi lahan yang bersifat permanen lebih besar
dampaknya dari pada konversi lahan sementara. Konversi lahan pertanian ke non
pertanian bukan hanya fenomena fisik, yaitu berkurangnya luasan lahan
melainkan suatu fenomena dinamis yang menyangkut aspek sosial-ekonomi
kehidupan masyarakat (Nasoetion dan Winoto, 1995). Sedangkan menurut
lahan sebelumnya ke penggunaan yang lain. Sifat dari luas lahan adalah tetap
(fixed), sehingga adanya konversi lahan tertentu akan mengurangi atau menambah
penggunaan lahan lainnya. Konversi lahan tersebut terjadi karena adanya sifat
kompetitif hasil dari pilihan manusia.
Proses konversi lahan pada dasarnya dapat dipandang sebagai suatu
bentuk konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan
struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perubahan yang
dimaksud tercermin dengan adanya (1). pertumbuhan aktivitas pemanfaatan
sumberdaya alam akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan
perkapitanya; serta (2). adanya pergeseran kontribusi sektor-sektor pertanian dan
pengelolaan sumberdaya alam ke aktivitas sektor-sektor sekunder (manufaktur)
dan tersier (jasa).
Di dalam hukum ekonomi pasar, konversi lahan berlangsung dari aktifitas
dengan land rent yang lebih rendah ke aktivitas-aktivitas dengan land rent yang
lebih tinggi. Land rent dapat diartikan sebagai nilai keuntungan bersih dari
aktivitas pemanfaatan lahan persatuan luas lahan dan waktu tertentu (Rustiadi,
2001).
Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan
sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan
pangan semakin bermasalah. Hasil sensus pertanian menunjukkan bahwa
penyebab penyempitan lahan sawah di Jawa antara lain konversi lahan sawah
menjadi lahan non pertanian terutama untuk pembangunan kawasan permukiman.
Konversi lahan ini, terutama Jawa sebagai gudang pangan nasional, menyebabkan
yang tidak terkendali juga akan menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan
tenaga kerja pertanian dan perdesaan serta hilangnya aset pertanian bernilai tinggi
(Irawan et al., 2001).
Jawa Barat mengalami konversi lahan sawah ke penggunaan non sawah
terbesar pada periode 1994/1995 - 1998/1999 yaitu 41.436 Ha (rata-rata 10.359,08
Ha per tahun) atau 87,09% total konversi di Pulau Jawa. Tingginya laju konversi
lahan sawah di Jawa Barat pada saat itu khususnya di wilayah Karawang dan
Bekasi (Pantura), diduga karena sedang giat-giatnya dilakukan pembangunan
untuk keperluan industri. Dari luasan konversi di Jawa Barat tersebut, 77,91%
diantaranya digunakan untuk keperluan pembangunan kawasan industri.
Dengan memperbandingkan antara wilayah perkotaan dan perdesaan dari
total konversi lahan sawah tersebut, sebagian besar terjadi di perdesaan yaitu
33.502,6 Ha (61,17%), sedangkan di perkotaan seluas 21.278,1 Ha (38,83%).
Wilayah perdesaan mengalami konversi lebih besar karena secara spasial sebagian
lahan sawah memang berada di wilayah perdesaan, sehingga besaran absolut
lahan sawah yang terkonversi otomatis juga lebih besar walaupun proporsi lahan
terkonversi terhadap total lahan mungkin lebih kecil. Untuk keperluan
pengembangan wilayah, pemerintah (Pemda) cenderung melakukan pemekaran
wilayah ke arah luar kota (perdesaan). Biasanya cara yang ditempuh adalah
dengan membangun permukiman serta berbagai sarana dan prasarana. Setelah
wilayah tersebut cukup berkembang, banyak pendatang yang akhirnya bergabung
serta bermukim di daerah tersebut. Konsekuensi berikutnya adalah muncul
aktivitas baru yang menuntut penyediaan lahan untuk kegiatan non pertanian yang
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Perubahan struktur ruang/penggunaan lahan dapat terjadi karena investasi
pemerintah ataupun investasi swasta. Investasi swasta perlu mendapat
ijin/persetujuan pemerintah baik keberadaannya maupun lokasinya, sehingga
pemerintah dapat mengandalkan/mengarahkan struktur tata ruang atau
penggunaan lahan tersebut ke arah yang dianggap paling menguntungkan atau
mempercepat tercapainya sasaran pembangunan. Sasaran pembangunan dapat
berupa peningkatan pendapatan masyarakat, penambahan lapangan kerja,
pemerataan pembangunan di dalam wilayah, tercapainya struktur perekonomian
yang lebih kokoh, tetap terjaganya kelestarian lingkungan, dan memperlancar arus
pergerakan orang dan barang ke seluruh wilayah termasuk ke wilayah tetangga
(Tarigan, 2002).
Menurut Barlowe (1986), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran
lahan diantaranya adalah karakteristik fisik alamiah, faktor ekonomi, faktor
teknologis, dan faktor kelembagaan. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan adalah populasi penduduk, perkembangan teknologi, kebiasaan dan
tradisi, pendidikan dan kebudayaan, pendapatan dan pengeluaran, selera dan
tujuan, serta perubahan sikap dan nilai-nilai yang disebabkan oleh perkembangan
usia.
Kebutuhan akan lahan yang sangat besar mengakibatkan banyak terjadinya
konversi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian. Saefulhakim (1996)
menerangkan tentang peranan karakteristik wilayah dalam menentukan laju
konversi lahan pertanian, dapat diuraikan sebagai berikut : (1). Produktivitas lahan
yang kurang produktif kurang diminati dalam pengembangan perumahan; (2).
areal perumahan berkembang pada daerah-daerah pertanian yang mempunyai
jarak yang dekat dengan ibukota provinsi. Perkembangan perumahan ini
berbanding lurus dengan panjang dan kualitas jalan yang ada di wilayah pertanian
yang bersangkutan; (3). jumlah penduduk (bukan kepadatan penduduk)
berkorelasi nyata positif dengan luas areal sawah yang berarti bahwa pertanian
pada dasarnya merupakan culture-basic farming system dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pangan lokal; (4). laju konversi lahan berkaitan erat dengan
fragmentasi kepemilikan lahan pertanian, semakin tinggi laju alih guna lahan
pertanian ke non pertanian; dan (5). laju konversi lahan pertanian sangat
ditentukan oleh tingkat pengkotaan (spatial urbanization) yang mencirikan bahwa
konversi lahan pertanian sangat erat kaitannya dengan proses urbanisasi dan/atau
transformasi struktur perekonomian wilayah ke arah industrialisasi.
Saefulhakim dan Nasution (1995) memaparkan beberapa faktor yang
berperan penting yang dapat menyebabkan proses konversi lahan pertanian ke non
pertanian, yaitu:
1. Perkembangan standar tuntutan hidup. Hal ini berhubungan dengan nilai land
rent yang mampu memberikan perkembangan standar tuntutan hidup sang
petani.
2. Fluktuasi harga pertanian. Menyangkut aspek fluktuasi harga-harga komoditas
yang dapat dihasilkan dari pembudidayaan sawah (misalnya padi dan
palawija).
3. Struktur biaya produksi pertanian. Biaya produksi dan aktivitas budidaya
konversi lahan. Salah satu faktor pendorong meningkatnya biaya produksi ini
adalah berkaitan dengan skala usaha.
4. Teknologi. Terhambatnya perkembangan teknologi intensifikasi pada
penggunaan lahan yang memiliki tingkat permintaan yang terus meningkat
akan mengakibatkan proses ekstensifikasi yang lebih dominan. Proses
ekstensifikasi dari penggunaan lahan akan terus mendorong proses konversi
lahan.
5. Aksesibilitas. Perubahan sarana dan prasarana transportasi yang berimplikasi
terhadap meningkatnya aksesibilitas lokal, akan lebih mendorong
perkembangan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian.
6. Resiko dan ketidakpastian. Aktivitas pertanian dengan tingkat resiko
ketidakpastian yang tinggi akan menurunkan nilai harapan dari tingkat
produksi, harga dan keuntungan. Hal ini menimbulkan nilai land rent menjadi
lebih rendah. Dengan demikian, penggunaan lahan yang mempunyai resiko
dan ketidakpastian yang lebih tinggi akan cenderung dikonversikan ke
penggunaan lain yang tingkat resiko dan ketidakpastian lebih rendah.
7. Lahan sebagai asset. Pandangan ini (walaupun tanpa pemanfaatan) lebih
memperumit permasalahan sebagai akibat potensi produksi, kelangkaan dan
aksesibilitasnya sama sekali tidak melibatkan usaha manusia secara pribadi
(milik pribadi penguasa lahan). Sistem kepemilikan atas dasar keperansertaan
untuk saat ini “tidak ada”, maka fenomena spekulan lahan yang
mengkonversikan lahan pertanian ke penggunaan lain yang tidak jelas
Menurut hasil penelitian Suryani (2001), konversi lahan khususnya areal
sawah di wilayah Jabotabek disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (1) perpindahan
penduduk; (2) lapangan kerja; (3) fasilitas pelayanan publik. Sedangkan
perubahan pengunaan areal permukiman disebabkan oleh (1) perpindahan
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Penelitian di
lapangan dilaksanakan di Kota Tangerang, Provinsi Banten. Sedangkan untuk
pengolahan data dilakukan di Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah,
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Penelitian berlangsung mulai bulan Maret sampai dengan
Agustus 2005.
Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari survai ke lapangan (Kota Tangerang) untuk
mengecek penggunaan lahan terkini dengan menggunakan alat GPS. Sedangkan
data sekunder merupakan data Peta Penggunaan Lahan hasil klasifikasi citra
Landsat 1991 dan 2001 hasil penelitian Rustiadi et al. (2003), serta data PODES
(Potensi Desa) tahun 2003.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global
Position System), serta komputer dengan program Arc-View 3.2, Statistica 6.0,
Microsoft Excel, dan Microsoft Word.
Metode Penelitian
Tahap Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap-tahapan penelitian
1. Tahap Persiapan. Pada tahap ini dilakukan pemilihan topik penelitian,
pengumpulan literatur, pembuatan proposal, serta pencarian data-data yang
diperlukan dalam penelitian serta pemilihan metode yang digunakan untuk
analisis data.
2. Pengumpulan dan Tabulasi Data. Data yang dikumpulkan dalam penelitian
ini berupa data Podes tahun 2003 dan Peta Penggunaan Lahan hasil
klasifikasi citra landsat tahun 1991 dan 2001 hasil penelitian Rustiadi et al.
Pada tahun 2003. Tabulasi digunakan untuk menyederhanakan data ke dalam
bentuk yang mudah dibaca.
3. Survai Lapang. Dilakukan untuk mengetahui keadaan pengunaan lahan
sekarang. Survai tersebut dilakukan dengan melihat penggunaan lahan di
lapang yang ada sekarang dan dibandingkan dengan Peta Penggunaan Lahan
Tahun 2001. Contoh yang diamati sebanyak 30 titik dimana pemilihan titik
tersebut dilakukan secara acak. Peta Penggunaan Lahan tersebut kemudian
diperbaiki sehingga diperoleh Peta Penggunaan Lahan Tahun 2005. Sebaran
titik contoh disampaikan pada peta (Gambar Lampiran 1).
4. Permodelan. Dilakukan untuk menyusun model-model yang terkait dengan
tujuan penelitian. Dalam permodelan juga dilakukan pemilihan variabel yang
digunakan untuk analisis. Pemilihan model dilakukan sejak penyusunan
proposal dan terus diperbaiki sesuai dengan perkembangan data yang
dikoleksi. Model yang direncanakan tersebut kemudian direvisi kembali
untuk disesuaikan dengan data yang diperoleh.
5. Perumusan Hasil Analisis. Merupakan tahapan pemilihan bahan untuk
6. Penulisan Laporan. Merupakan hasil dari kegiatan selama penelitian yang
berupa karya ilmiah.
Identifikasi variabel, sumber data dan teknik analisis untuk setiap tujuan
penelitian dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan untuk tahapan-tahapan kegiatan
dalam analisis data secara umum dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 1 : Identifikasi Variabel, Sumber Data dan Teknik Analisis untuk Setiap Butir Penelitian
No Tujuan penelitian Variabel Sumber Data Analisis yang Digunakan 1 Analisis pola dan
laju konversi lahan pertanian
Perubahan luas lahan Peta Penggunaan Lahan hasil klasifikasi citra
Landsat 1991 dan 2001 (Rustiadi et al.
2003)
-Shift Share Analysis (SSA) -Analisis spasial
2 Analisis tingkat perkembangan wilayah
Infrastruktur wilayah
Data PODES Analisis skalogram
Gambar 1. Bagan Alir Tahap Analisis Data
Podes
Visualisasi Spasial perubahan penggunaan lahan
Keterkaitan antara perkembangan wilayah dan pola perubahan
penggunaan lahan
Struktur penggunaan lahan Perkembangan
wilayah
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
penggunaan lahan
Tabel penggunaan lahan pada dua titik tahun Peta Penggunaan
Lahan 1991
Peta Penggunaan Lahan 2001
Peta Penggunaan Lahan 2005
Analisis Shift Share dan Analisis Komponen utama Analisis Skalogram
Analisis Regresi
Analisis korelasi
Keterangan:
= data yang digunakan
= analisis
= hasil analisis
Teknik Analisis
Shift Share Analysis (SSA)
Shift Share Analysis digunakan untuk menganalisis intensitas perubahan
penggunaan lahan, yang didekomposisikan menjadi tiga komponen penyusun laju
pertumbuhan yaitu komponen share, komponen propotional shift, dan komponen
differential shift. Analisis Shift Share mempunyai rumus matematik sebagai
berikut:
B = komponen propotional shift
C = komponen differential shift
X.. = nilai total aktifitas dalam total wilayah
X.j = nilai total untuk penggunaan lahan ke-j
Xij = nilai total di wilayah ke-j untuk penggunaan lahan ke-i
t1 = titik tahun akhir
Hasil analisis shift share menjelaskan kinerja suatu aktifitas di suatu sub
wilayah dan membandingkan dengan kinerjanya di dalam wilayah total.
Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari tiga komponen hasil analisis, yaitu:
1. komponen laju pertumbuhan total (komponen regional share). Komponen
ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang
menunjukkan dinamika total wilayah.
2. komponen pergeseran proposional (komponen propotional shift). Komponen
ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif,
dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang
menunjukkan dinamika sektor/aktifitas dalam wilayah.
3. komponen pergeseran diferensial (komponen differential shift). Ukuran ini
menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas
tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut
dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan atau
ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah tertentu
terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain.
Analisis Komponen Utama/ Principle Component Analysis (PCA)
Analisis komponen utama merupakan suatu metode yang dapat digunakan
untuk memperkecil dimensi variabel yang diamati dengan jalan
mentransformasikan variabel asal (X) ke variabel baru (W) yang saling bebas satu
sama lain (Drapper dan Smith, 1992). Prinsip dasar PCA adalah menentukan
faktor-faktor (komponen utama) dengan dimensi yang lebih kecil dari variabel
aslinya, tetapi masih dapat menerangkan sebagian besar keragaman variabel
Variabel baru (W) ini disebut sebagai komponen utama yang merupakan
hasil tranformasi variabel asli. Dalam model matrik dapat dinotasikan sebagai
berikut :
W = Ax
dimana :
A = matrik yang melakukan transformasi terhadap variabel asal sehingga
diperoleh vektor komponen utama W.
x = vektor variabel asal
Komponen utama merupakan kombinasi linier terbobot dari variabel asal
yang dapat menerangkan keragaman data terbesar. Komponen utama pertama
dapat ditulis sebagai berikut :
W1 = a11X1 + a11X2 + … + ap1Xp
dimana a1 adalah vektor ciri yang bersesuaian dengan akar ciri terbesar yang
memberikan keragaman terbesar. Komponen utama kedua dan ke-j ditulis sebagai
berikut :
W1 = a12X1 + a22X2 + … + ap2Xp
Wj = a1jX1 + a2jX2 + … + apjXp
dimana aj adalah vektor ciri yang bersesuaian dengan akar ciri terbesar ke-j yang
bersifat ortogonal, ai’aj = 0 untuk i ≠ j.
Pemilihan variabel baru yang akan diambil untuk menerangkan keragaman
dapat ditetapkan berdasarkan beberapa konsep. Menurut Drapper dan Smith
(1992) hanya variabel yang mempunyai akar ciri yang lebih besar dari satu yang
Smith, 1992), variabel baru yang diambil harus dapat menerangkan keragaman
dari variabel tak bebas paling tidak 75 persen.
Analisis PCA ini menggunakan 20 variabel, variabel-variabel tersebut
adalah indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan (X1), indeks aksesibilitas ke
fasilitas pendidikan (X2), indeks aksesibilitas ke fasilitas ekonomi (X3), indeks
aksesibilitas ke fasilitas kesehatan (X4), indeks aksesibilitas ke fasilitas lain (X5),
indeks fasilitas ekonomi (X6), indeks fasilitas pendidikan (X7), indeks fasilitas
kesehatan (X8), indeks fasilitas sosial lain (X9), indeks kesejahteraan (X10), indeks
luas wilayah (X11), selisih sawah (X12), selisih urban (X13), selisih tegalan (X14),
selisih air (X15), selisih hutan (X16), differential shift sawah (X17), differential shift
urban (X18), differential shift tegalan (X19), dan differential shift air (X20).
Analisis Skalogram
Analisis skalogram digunakan untuk menentukan hirarki wilayah. Dalam
metode skalogram, seluruh fasilitas umum yang dimiliki oleh setiap unit wilayah
didata dan disusun untuk membangun suatu indeks. Metode skalogram ini bisa
digunakan dengan menuliskan jumlah fasilitas yang dimiliki oleh setiap wilayah
atau menuliskan ada atau tidaknya fasilitas tersebut di suatu wilayah tanpa
memperhatikan jumlah atau kuantitasnya. Tahapan dalam penyusunan analisis
skalogram adalah sebagai berikut : (1). Menyusun fasilitas sesuai dengan
penyebaran dan jumlah fasilitas di dalam unit-unit wilayah, (2). Khusus untuk
fasilitas yang menandakan jarak harus dibuat invers jarak akan berkorelasi positif
dengan fasilitas yang lain sehingga apabila suatu wilayah tersebut dekat dengan
pusat dari suatu wilayah akan memiliki nilai invers jarak paling besar walaupun
nilai fasilitas dirasiokan terhadap luas di setiap wilayah sehingga didapatkan
penyebaran fasilitas di setiap wilayah sehingga didapatkan penyebaran fasilitas di
wilayah tersebut, (4). Semua nilai harus distandarisasikan dahulu sehingga nilai
tersebut memiliki satuan yang sama dengan persamaan standarisasi
Zi = Xi – Xmin
S
dimana:
Zi = nilai standar
Xi = nilai indeks fasilitas ke-i
S = galat baku
(5). Mengelompokkan fasilitas-fasilitas yang sama/mempunyai kemiripan sifat ke
dalam suatu kelompok indeks, misalnya indeks fasilitas ekonomi, indeks fasilitas
kesehatan, indeks kesejahteraan dan lain sebagainya, (6). Menjumlahkan seluruh
fasilitas yang ada dalam suatu kelompok indeks secara horisontal, (7). Membagi
masing-masing kelompok indeks tersebut dengan jumlah penyusun setiap
kelompok, (8). Menjumlahkan seluruh indeks secara horizontal untuk menentukan
indeks perkembangan suatu wilayah (total indeks), (9). Mengitung nilai rata-rata
(average) dan standar deviasi (st-dev) dari total indeks tersebut.
Model untuk menentukan nilai indeks perkembangan wilayah desa-desa
adalah sebagai berikut :
IPDj = ij n
i
∑
Ι'Dimana = Ι'ij= i i j
SD i −Ι min
Ι
Iij = nilai (skor) indeks perkembangan ke-i wilayah ke-j
ij '
Ι = nilai (skor) indeks perkembangan ke-i terkorelasi (terstandarisisi)
wilayah ke-j
min
i
Ι = nilai (skor) indeks perkembangan ke-i terkecil (minimum)
i
SD = standar deviasi indeks perkembangan ke-i
Penentuan tingkat perkembangan wilayah dibagi menjadi tiga, yaitu
apabila rata-rata indeks perkembangan lebih dari satu atau sama dengan (1 x
st-dev) + rata-rata maka masuk ke dalam tingkat perkembangan wilayah tinggi.
Apabila nilai indeks perkembangan kurang dari rata-ratanya maka masuk ke
dalam tingkat perkembangan rendah dan apabila diantara keduanya berarti masuk
ke dalam tingkat perkembangan sedang. Dalam penelitian ini tidak dilakukan
pembobotan untuk fasilitas-fasilitas yang ada atau semua fasilitas dianggap
mempunyai pengaruh yang sama terhadap perkembangan wilayah.
Variabel-variabel yang digunakan dalam analisis skalogram dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Variabel yang Digunakan pada Setiap Kelompok Indeks untuk Analisis Skalogram
Kelompok
Indeks Variabel yang Digunakan
Jumlah Variabel Fasilitas
ekonomi
1. Lahan untuk bangunan industri
2. Lahan untuk bangunan lainnya (perkantoran, pertokoan) 3. Banyaknya peralatan pertanian
4. Banyaknya transportasi air 5. Jumlah Toko/Warung/Kios
6. Jumlah Supermarket/Pasar Swalayan/Toserba 7. Restoran/Rumah Makan/Kedai Makanan Minuman 8. Jumlah Hotel/Penginapan
9. Jumlah Industri Kerajinan 10. Jumlah Bank
11. Jumlah koperasi
12. Jumlah Perusahaan Peternakan
12
Fasilitas pendidikan
1. Jumlah TK negeri dan swasta
2. Jumlah SD negeri dan swasta dan yang sederajat 3. Jumlah SLTP Negeri dan swasta dan yang sederajat 4. Jumlah SMU dan SMK negeri dan swasta 5. Jumlah Akademi/PT negeri dan yang sederajat
Tabel 2. Lanjutan
Kelompok
Indeks Variabel yang Digunakan
Jumlah Variabel
Fasilitas pendidikan
6. Jumlah Sekolah Luar Biasa negeri dan swasta 7. Jumlah pondok pesantren dan Madrasah Diniyah 8. Jumlah lembaga ketrampilan
Fasilitas kesehatan
1. Jumlah fasilitas pengobatan 2. Jumlah fasilitas penyedia obat 3. Jumlah tenaga medis
3
Fasilitas sosial lain
1. Jumlah tempat peribadatan 2. Jumlah Perpustakaan 3. Jumlah tempat hiburan
4. Jumlah lapangan terbuka/alun-alun/taman bermain, 5. Jumlah fasilitas komunikasi
5
Aksesibilitas ke pusat
pemerintahan
1. Jarak dari kantor desa/kelurahan ke kantor kecamatan yang membawahi
2. Jarak dari kantor desa/kelurahan ke kantor kabupaten/kota yang membawahi
3. Jarak dari Kantor desa/kelurahan ke Ibukota kabupaten/kota lain terdekat
3
Aksesibilitas ke fasilitas pendidikan
1. Jarak ke TK terdekat 2. Jarak ke SD terdekat
1. Jarak dari desa/kelurahan ke rumah sakit
2. Jarak dari desa/kelurahan ke rumah sakit bersalin/rumah Bersalin 3. Jarak dari desa/kelurahan ke poliklinik/balai pengobatan 4. Jarak dari desa/kelurahan ke puskesmas
5. Jarak dari desa/kelurahan ke puskesmas pembantu 6. Jarak dari desa/kelurahan ke tempat praktek dokter 7. Jarak dari desa/kelurahan ke tempat praktek bidan 8. Jarak dari desa/kelurahan ke posyandu
9. Jarak dari desa/kelurahan ke polindes 10. Jarak dari desa/kelurahan ke apotik 11. Jarak dari desa/kelurahan ke pos obat desa 12. Jarak dari desa/kelurahan ke toko khusus obat/jamu
12
Aksesibilitas ke fasilitas ekonomi
1. Jarak terdekat ke bioskop, 2. Jarak kr rumah bilyard, 3. Jarak ke pub/diskotik/karaoke 4. Jarak pertokoan terdekat 5. Jarak pasar terdekat
5
Aksesibilitas ke fasilitas lain
1. Jarak ke kantor pos 2. Jarak pos polisi terdekat
2
Tingkat Kesejahteraan
1. Jumlah keluarga prasejahtera dan sejahtera I
2. Banyaknya penduduk Desa/Kelurahan yang tidak mempunyai pekerjaan
3. Jumlah keluarga permukiman kumuh
4. Jumlah surat miskin yang dikeluarkan desa/kelurahan 5. Jumlah keluarga yang menerima "kartu sehat" setahun terakhir 6. Jumlah keluarga menggunakan listrik PLN dan non PLN 7. Jumlah keluarga yang berlangganan telpon
8. Jumlah keluarga yang mempunyai pesawat TV 9. Jumlah rumah permanen
9
Luas wilayah 1. Luas Desa/Kelurahan (Ha) 1
Analisis Korelasi
Analisis korelasi merupakan analisis yang digunakan untuk mengetahui
keeratan hubungan antara dua variabel sebagai salah satu dasar pertimbangan
dalam melihat ada atau tidaknya hubungan sebab-akibat antara variabel tersebut.
Di dalam analisis korelasi sederhana, sifat keeratan hubungan antara dua variabel
diidentifikasi berkorelasi positif, negatif, atau tidak berkorelasi. Dua variabel akan
berkorelasi positif jika mempunyai kecenderungan yang searah, misalnya
kenaikan variabel x yang diikuti oleh kenaikan variabel y, dan akan berkorelasi
negatif jika kecenderungan variabelnya berlawanan. Sedangkan jika perubahan
variabel x tidak mempengaruhi variabel y dan sebaliknya, maka keduanya
dinyatakan tidak berkorelasi.
Koefisien korelasi yang menyatakan besarnya hubungan antara dua
variabel dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
rxy =
[
(
)( )
]
Analisis Regresi Berganda (Stepwise Regression Analysis)
Analisis regresi digunakan untuk membuat model pendugaan terhadap
nilai suatu parameter, dari parameter-parameter (variabel penjelas) lain yang
diamati. Analisis regresi dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
stepwise regression. Prinsip dasar stepwise regression adalah mengurangi
banyaknya variabel di dalam persamaan dengan cara menyusupkan variabel satu
demi satu sampai diperoleh persamaan regresi yang paling baik. Urutan
penyisipan ditentukan dengan mengggunakan koefesien korelasi parsial sebagai
ukuran pentingnya variabel yang masih diluar persamaan. Variabel yang
berkorelasi dengan respon dipilih dan dihitung dengan persamaan regresi,
kemudian diuji nyata atau tidak yaitu dengan membandingkan antara F-parsial
setiap variabel dengan F-tabel. Pengujian ini sangat menentukan apakah variabel
yang bersangkutan dipertahankan atau dikeluarkan dari persamaan (Draper dan
Smith, 1992).
Persamaan (model) yang akan dihasilkan adalah :
Y = A1X1 + A2X2 + … + AnXn
dimana:
Y = dependent variable (variabel tujuan)
Xi = independent variable ke-i (variabel penduga), untuk i = 1, 2, 3, …
Ai = koefisien regresi vaeriabel ke-i
Dalam analisis multiple regression ini digunakan lima variabel sebagai
respon (Y) dan enam belas variabel penduga yang mempengaruhi respon (X).
Variabel-variabel beserta simbol yang digunakan dalam analisis regresi dapat
Tabel 3. Simbol dan Variabel yang Digunakan dalam Analisis Multiple Regression
Simbol Nama Variabel
Y11 Perubahan luas area sawah (t1 – t0)
Y21 Perubahan luas area urban (t1 – t0)
Y31 Perubahan luas area tegalan (t1 – t0)
Y12 Area sawah t1 (tahun 2005)
Y22 Area urban t1 (tahun 2005)
X1 Indeks aksesibilitas ke pusat pemerintahan
X2 Indeks aksesibilitas ke fasilitas pendidikan
X3 Indeks aksesibilitas ke fasilitas kesehatan
X4 Indeks aksesibilitas ke fasiltias ekonomi
X5 Indeks aksesibilitas ke fasilitas lain
X6 Indeks fasilitas ekonomi
X7 Indeks fasilitas pendidikan
X8 Indeks fasilitas kesehatan
X9 Indeks fasilitas sosial lain
X10 Indeks Kesejahteraan
X11 Luas wilayah
X12 Luas area sawah t0 (tahun 1991)
X13 Luas area urban t0 (tahun 1991)
X14 Luas area tegalan t0 (tahun 1991)
X15 Luas area air t0 (tahun 1991)
X16 Luas area hutan t0 (tahun 1991)
Analisis Spasial
Analisis spasial digunakan untuk melihat pola perubahan luas lahan
secara spasial. Untuk analisis spasial digunakan software Arc view 3.2. Peta yang
digunakan pada analisis ini yaitu Peta Penggunaan Lahan Tahun 1991 dan Tahun
2005. Peta Penggunaan Lahan Tahun 2005 diperoleh dari Peta Penggunaan Lahan
Tahun 2001 yang telah di perbaiki melalui survai lapang dengan GPS (Global
Survai lapang dilakukan untuk mengetahui keadaan pengunaan lahan
terkini. Survai tersebut dilakukan dengan melihat penggunaan lahan di lapang
yang ada sekarang dan dibandingkan dengan Peta Penggunaan Lahan Tahun
2001. Contoh yang digunakan ada 30 titik dimana pemilihan titik tersebut
dilakukan secara acak. Peta penggunaan lahan tersebut kemudian diperbaiki
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Letak dan Administrasi Pemerintahan
Secara geografis Kota Tangerang terletak pada posisi 106º 36’ - 106º 42’
Bujur Timur (BT) dan 6º 6’ - 6º Lintang Selatan (LS). Letak Kota Tangerang
sangat strategis karena berada di antara DKI Jakarta dan Kabupaten Tangerang.
Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan
Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi), Kota Tangerang merupakan salah
satu daerah penyangga DKI Jakarta. Posisi tersebut mengakibatkan pertumbuhan
yang pesat. Pesatnya pertumbuhan dipercepat pula dengan keberadaan Bandara
Internasional Soekarno-Hatta yang sebagian arealnya termasuk wilayah
administrasi Kota Tangerang. Bandara tersebut membuka peluang bagi
pengembangan kegiatan perdagangan dan jasa secara luas.
Kota Tangerang terbentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 2 tahun 1993
tentang Pembentukan Kota Tangerang. Sebelumnya Kota Tangerang merupakan
bagian dari wilayah Kabupaten Tangerang dengan status wilayah Kota
Administratif Tangerang berdasarkan peraturan pemerintah nomor 50 tahun 1981.
Secara administratif batas-batas wilayah Kota Tangerang adalah sebagai berikut:
Utara : Kabupaten Tangerang (Kecamatan Teluknaga dan Sepatan)
Selatan : Kabupaten Tangerang (Kecamatan Curug, Serpong, dan
Pondok Aren)
Barat : Kabupaten Tangerang (Kecamatan Pasar Kemis dan Cikupa)