• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsistensi Penyusunan Tata Ruang dengan Pedoman yang Berlaku

Konsistensi proses penyusunan dengan pedoman

Menurut Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002, terdapat empat tahapan yang harus dilakukan dalam proses teknis penyusunan RTRW Kota , yaitu penentuan arah pengembangan, identifikasi potensi dan masalah pembangunan, perumusan RTRW Kota Bandar Lampung dan penetapan RTRW Kota Bandar Lampung. Dengan menggunakan prosentase perhitungan tingkat konsistensi antara teknis penyusunan RTRW dengan pedoman tersebut serta dengan menggunakan kriteria sesuai (lebih dari sama dengan 75%), kurang sesuai (50% - 74%) dan tidak sesuai (kurang dari 50%) diketahui bahwa terdapat ketidaksempurnaan dalam penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung, khususnya pada tiga tahap pertama. Analisis pembandingan tabel dapat dilihat dalam tabel 8.

Tabel 9 Matriks analisis proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung

NO ASPEK/ KOMPONEN PENJELASAN KOMPONEN EKSISTING RENCANA KETERANGAN NILAI (%) Penentuan arah pengembangan Batas perencanaan, tinjauan SOSEKBUD HANKAN & daya dukung lingkungan

Sesuai Ada sebagian ketentuan dalam pedoman yang tidak dijadikan rujukan dalam penyusunan RTRW. 78 Identifikasi potensi dan masalah pembangunan Mengidentifikasi berbagai potensi dan masalah pembangunan dalam wilayah perencanaan

Kurang Sesuai

Syarat paripurna sebuah kajian tidak didasarkan seluruh syarat item dalam pedoman 53 Perumusan RTRW Kota Bandar Lampung Merupakan pengejawantahan dari tujuan pengembangan serta perkiraan kebutuhan pengembangan

Sesuai Ada sebagian ketentuan dalam pedoman yang tidak dijadikan rujukan dalam penyusunan RTRW. 84 Penetapan RTRW Kota Bandar Lampung Untuk mengoperasionalkan RTRW, dokumen RTRW ditetapkan dalam bentuk Perda

Sesuai RTRW Kota Bandar

Lampung mendapat legalitas hukum melalui Perda 4/2004 tentang RTRW Kota Bandar Lampung 2005-2015

100

Analisis proses penyusunan secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel Lampiran 8. Gambar Lampiran 1 menunjukkan substansi yang belum diakomodir dalam penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung dan menyebabkan berbagai permasalahan penataan ruang.

Walaupun terdapat ketidaksempurnaan dalam proses penyusunan RTRW, secara keseluruhan proses teknis penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung 79% sudah mengacu pada pedoman teknis yang berlaku. Kendati tidak 100%, angka 79% dapat dikatakan sudah cukup memenuhi kriteria. Dalam kurun waktu berjalan, kontribusi 21% ketidaksempurnaan penyusunan tersebut ternyata menimbulkan permasalahan yang cukup besar dan menjadi kendala dalam upaya percepatan perkembangan Kota Bandar Lampung. Sebagai contoh adanya ketidaksempurnaan dalam mengidentifikasi potensi perkembangan sosial kependudukan yang hanya didasarkan pada satu item (tingkat pertumbuhan penduduk) dari empat item yang ditetapkan (ukuran keluarga, budaya dan pergerakan penduduk) menyebabkan rencana yang dihasilkan hanya didasarkan aspek tertentu saja dan tidak mengkaji semua aspek yang notabene sangat mempengaruhi kehidupan kota. Sementara rencana tata ruang adalah dokumen publik yang komprehensif dan mengatur semua aspek kehidupan yang menggunakan ruang. Kondisi tersebut menyebabkan rencana tata ruang yang dihasilkan menjadi tidak aspirasi/sesuai dengan perubahan dan kebutuhan kota.

Konsistensi inter-regional context

Dalam UU 24 Tahun 1992 pasal 1 dan 7 serta Kepmen Kimpraswil 327/KPTS/M/2002 diamanatkan bahwa penyusunan RTRW didasarkan pada aspek administratif dan kawasan fungsional serta keserasian dengan wilayah sekitarnya. Satu-satunya wilayah administratif yang berbatasan langsung dengan Kota Bandar Lampung adalah Kabupaten Lampung Selatan. Dari hasil overlay antara peta RTRW Kota Bandar Lampung dengan RTRW Kabupaten Lampung Selatan dengan kontrol RTRW Provinsi Lampung, menunjukkan bahwa terdapat wilayah kosong dan wilayah yang tumpang tindih (overlap) diantara Peta RTRW Kota Bandar Lampung dengan RTRW Lampung Selatan. Kondisi tersebut

menunjukkan bahwa sistem informasi spasial belum memadai, mengingat sebenarnya wilayah-wilayah tersebut secara aktual tidak dijumpai di lapangan.

Adapun lokasi ruang yang tidak bertuan tersebut berada disekitar kelurahan sebagai berikut:

• Pada Kelurahan Rajabasa Jaya, berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan untuk penggunaan lahan pertanian lahan kering.

• Kelurahan Harapan Jaya & Sukarame, berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan untuk penggunaan lahan pertanian lahan kering.

• Kelurahan Campang Raya yang ditetapkan sebagai kawasan pengembangan pertanian lahan kering.

Sedangkan kawasan overlap adalah:

• Sumber Agung, berdasarkan RTRW Kota Bandar Lampung ditetapkan

sebagai kawasan lindung, berdasarkan RTRW Kabupaten Lampung Selatan ditetapkan sebagai kawasan palawija, sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan sebagai kawasan lindung. Semestinya pada saat penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung melibatkan Pemda Kabupaten Lampung Selatan untuk mengecek kebenaran batas wilayah serta mencapai kesinergian dalam alokasi pemanfaatan ruang. Kondisi yang terjadi saat ini akan mengancam keberadaan hutan di wilayah overlap tersebut, karena baik di wilayah yang tepat overlap maupun diwilayah-wilayah sekitarnya ditetapkan sebagai kawasan budidaya palawija. Kecenderungan yang selama ini sering terjadi adalah aktivitas budidaya merambah ke kawasan hutan, sehingga kadang keberadaan hutan semakin terkonversi.

• Kemiling Permai dan Rajabasa Raya, berdasarkan RTRW Kota Bandar

Lampung ditetapkan sebagai kawasan perumahan, kebun campuran dan kawasan pendidikan. Menurut RTRW Kabupaten Lampung Selatan ditetapkan sebagai hutan produksi. Sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi Lampung ditetapkan sebagai hutan lindung dan kawasan perkotaan.

• Rajabasa Raya, menurut RTRW Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai kawasan permukiman dan kebun campuran. Berdasarkan RTRW Kabupaten

Lampung Selatan ditetapkan sebagai lahan kering dan hutan produksi tetap. Sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi ditetapkan sebagai kawasan perkotaan.

• Kelurahan Harapan Jaya, berdasarkan RTRW Kota Bandar Lampung

ditetapkan sebagai kebun campuran dan permukiman. Berdasarkan RTRW Kabupaten Lampung Selatan ditetapkan sebagai kawasan lahan kering. Sedangkan berdasarkan RTRW Provinsi Lampung ditetapkan sebagai kawasan lahan kering dan perkotaan.

Gambar 17 Peta kesesuaian rencana TGT Kota Bandar Lampung dengan Kabupaten Lampung Selatan

Keberadaan lahan kosong (tidak be rtuan) dan lahan overlap (menjadi bagian dua wilayah administratif) merupakan keadaan yang tidak dapat diabaikan. Untuk itu perlu segera dilakukan upaya koordinasi antara dua wilayah yang berbatasan, yaitu Kota Bandar Lampung dengan Kabupaten Lampung Selatan untuk membahas kepastian batas wilayah dan membuat sistem pemetaan yang sesuai antara batas wilayah aktual dengan pemetaannya. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka akan menjadi kendala dalam optimasi kinerja penataan ruang, terutama dalam proses pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Keberadaan wilayah-wilayah tersebut juga berpotensi menimbulkan konflik,

seperti konflik tata batas yang terjadi antara Kabupaten Lampung Timur dengan Kota Metro.

Koordinasi dan kerjasama dengan wilayah sekitarnya dalam pelaksanaan pembangunan merupakan salah satu amanat UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun tujuan dari kerjasama antar daerah adalah untuk mewujudkan efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pembangunan. Tanpa kerjasama dan koordinasi antar daerah, wilayah-wilayah perbatasan akan mengalami kinerja perkembangan yang semakin tertinggal dari wilayah lainnya di pusat kota. Ketertinggalan salah satu wilayah menurut Hukum Minimum Lybie

justru akan menjadi kendala dalam perkembangan wilayah secara keseluruhan. Dalam jangka panjang ketertinggalan satu wilayah ini akan mengancam eksistensi wilayah dengan kinerja perkembangan baik. Untuk itu sebenarnya keberimbangan pembangunan sangat penting untuk dilaksanakan, sehingga pencapaian kinerja pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat lebih optimal (Saefulhakim, 2006). Keberimbangan dapat dicapai melalui kerjasama, koordinasi dan memperhatikan kesinergian ruang kawasan sekitarnya ( Inter-Regional Context).

Hasil analisis PCA menunjukkan bahwa kinerja perkembangan wilayah-wilayah yang terletak di perbatasan relatif lebih tertinggal daripada kawasan lainnya. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung tidak didasarkan pada kesinergian dengan ruang sekitarnya. Kurangnya koordinasi dan kerjasama antar wilayah menyebabkan munculnya berbagai permasalahan tersebut. Selain itu proses penyusunan RTRW tidak memperhatikan rencana tata ruang pada hierarki yang lebih tinggi, yaitu RTRW Provinsi. Kondisi ini terlihat dari wilayah yang menurut RTRW Provinsi diperuntukkan sebagai fungsi lindung, pada RTRW Kota Bandar Lampung diperuntukkan untuk kawasan pengembangan terbatas. Keadaan ini merupakan indikasi inkonsistensi dalam penataan ruang dan melanggar amanat UU 24 Tahun 1992. Lebih lanjut sampai saat ini belum ada Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Fungsional antara Kota Bandar Lampung dengan Kabupaten Lampung

Selatan, sehingga penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung hanya didasarkan pada aspek administratif internal Kota Bandar Lampung.

Konsistensi prospek pertumbuhan e konomi

Dalam identifikasi dan masalah pembangunan aspek prospek pertumbuhan ekonomi dari empat syarat yang harus ditinjau berdasarkan Kepmen Kimpraswil Nomor 327/KPTS/M/2002 yaitu faktor ketenagakerjaan, PDRB dalam lima tahun terakhir, kegiatan usaha/produksi persektor pembangunan serta perkembangan penggunaan tanah & produktifitasnya, penyusunan RTRW hanya memenuhi 3 syarat, sedangkan 1 syarat tidak terpenuhi adalah perkembangan penggunaan lahan dan produktifitasnya. Inkonsistensi ini menyebabkan perencanaan yang dihasilkan tidak mampu mengakomodasi perkembangan ekonomi di wilayah perencanaan. Kondisi ini berdampak pada terjadinya kemiskinan di kawasan kota. Berdasarkan data PODES telah terja di peningkatan jumlah masyarakat miskin (prasejahtera dan sejahtera 1) dari 54.446 (34,87%) pada tahun 2002 meningkat menjadi 80.919 (48,58%) pada tahun 2005. Indikator keluarga prasejahtera yang digunakan dalam PODES adalah keluarga yang belum memenuhi salah satu atau lebih syarat, yaitu: (1) dapat makan dua kali sehari atau lebih; (2) mempunyai pakaian yang berbeda untuk berbagai keperluan; (3) lantai rumah bukan tanah; dan (4) bila anaknya sakit dibawa berobat ke sarana/petugas kesehatan. Sedangkan indikator Keluarga Sejahtera Tahap I adalah keluarga yang sudah memenuhi syarat, yaitu: (1) dapat makan dua kali sehari atau lebih; (2) sudah mempunyai pakaian yang berbeda untuk keperluan yang berbeda; (3) lantai rumah bukan terbuat dari tanah; (4) sudah sadar membawa anaknya yang sakit ke sarana/petugas kesehatan.

Dari besarnya angka kemiskinan masyarakat kota serta dengan melihat indikator diatas menunjukkan kondisi yang sangat kontras jika dikaitkan dengan peran strategis Kota Bandar Lampung. Peningkatan jumlah masyarakat miskin ini disebabkan karena pertumbuhan penduduk di perkotaan relatif cepat dan tidak diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja. Kondisi ini menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran dan kemiskinan di kota yang merupakan sumber berbaga i permasalahan di Kota Bandar Lampung.

Konsistensi rencana penanganan lingkungan kota

Sesuai Pedoman Penyusunan sebagaimana tertuang dalam Kepmen Kimpraswil No 327KPTS/M/2002, rencana penanganan lingkungan kota mencakup aspek rencana pengembangan lingkungan yang dikonversi, diremajakan dan diresettlement. Ketentuan ini terkait dengan upaya penanganan kawasan kumuh (slum area) dan kawasan ilegal (squater area) di pusat kota. Namun hal ini tidak terakomodasi atau diatur dalam RTRW Kota Bandar Lampung. Sementa ra di Kota Bandar Lampung, khususnya Kawasan Teluk Betung merupakan pusat kota lama (kota tua) sebelum pusat kota berpindah ke Tanjung Karang, sehingga kawasan ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi tentang terbentuknya Provinsi Lampung. Kendati sampai saat ini kawasan tersebut masih digunakan untuk berbagai aktivitas, khususnya perekonomian, namun kota yang memiliki nilai sejarah pembentukan Provinsi Lampung tersebut kondisi fisiknya sangat kumuh dan tidak teratur.

Gambar 18 Kawasan kumuh di Telukbetung

Inkonsistensi dalam aspek tersebut berimplikasi pada tidak adanya upaya penanganan maupun pedoman untuk pemanfaatan ruang kawasan kumuh

perkotaan. Dipihak lain permasalahan pertanahan di Kota Bandar Lampung semakin rawan akibat keterbatasan lahan ditambah semakin meningkatkan angka kemiskinan di kota, sementara tuntutan pemenuhan kebutuhan lahan semakin meningkat secara cepat. Kondisi ini menyebabkan kawasan-kawasan kumuh di pusat kota lama tersebut semakin bertambah kumuh dan terjadi penurunan kualitas penggunaan ruang yang berdampak pada keadaan lingkungan fisik perkotaan (urban setting) yang kurang memadai.

Berdasarkan data PODES menunjukkan adanya peningkatan jumlah bangunan kumuh dari 1.423 pada tahun 2002 meningkat drastis menjadi 6.632 unit pada tahun 2005. Adapun permukiman kumuh menurut PODES adalah lingkungan hunian dengan indikator: (1) banyaknya rumah yang tidak layak huni, (2) banyaknya saluran pembuangan limbah yang macet; (3) penduduk/bangunan sangat padat; (4) banyaknya penduduk yang membuang air besar tidak di jamban; (5) biasanya berada di areal marginal (seperti di tepi sungai, pinggir rel kereta api). Rumah tidak layak huni adalahrumah yang dibuat dari bahan bekas/sampah (seperti potongan triplek, lembaran plastik sisa, dan sebagainya) yang menurut parameter kesehatan tidak cocok untuk bertempat tinggal, termasuk rumah gubuk. Kawasan-kawasan kumuh di Kota Bandar Lampung antara lain berlokasi di Kelurahan Sukamaju, Kecamatan Teluk Betung Barat serta kawasan kumuh di belakang Terminal Sukaraja yang merupakan kompleks kota lama. Harga lahan yang tidak terjangkau masyakat kelas bawah merangsang golongan ini untuk menempati kawasan-kawasan ilegal seperti sempadan sungai, sempadan jalan, sempadan rel kereta api dan kawasan tegangan listrik untuk tempat tinggal. Walaupun data PODES menunjukkan penurunan jumlah kawasan ilegal dari 1.743 unit bangunan pada tahun 2003 turun menjadi 1.708 pada tahun 2005, namun permasalahan ini berdampak pada urban setting yang kurang memadai dan sangat mengganggu citra Kota Bandar Lampung sebagai kota dengan slogan TAPIS BERSERI. Selain dampak fisik keruangan, permasalahan tersebut berdampak pada terganggunya kinerja pemerintah karena masyarakat yang menempati kawasan-kawasan ilegal tersebut pada akhirnya mengklaim tanah tersebut sebagai miliknya dan menuntut penerbitan sertifikat. Contoh kasus seperti yang terjadi pada tanggal 17 Juni dan 14 Agustus 2006 lalu, ratusan masyarakat

pesisir Teluk Lampung berunjuk rasa kepada Pemda Kota Bandar Lampung, menuntut tanah tempat tinggalnya segera disertifikatkan (Republika, 2006).

Dengan meningkatnya jumlah penduduk miskin kota dan bangunan kumuh, kedepan wilayah ini akan terus mengalami kemunduran. Dari hasil analisis perkembangan wilayah, ternyata kawasan yang pe rnah menjadi pusat kota ini hanya masuk dalam kategori perkembangan sedang. Jika tidak segera dilakukan antisipasi untuk penanganannya, dikhawatirkan kawasan ini akan terus mengalami kemunduran/degradasi, kelumpuhan atau bahkan kematian, sehingga menjadi kota mati. Untuk menghindari hal tersebut, perlu segera dicarikan upaya solutif dengan mengacu pada Pedoma n Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002 antara lain melalui revitalisasi.

Menurut pedoman penyusunan tersebut, terdapat substansi pengelolaan kawasan kota yang didalamnya mengatur pengembangan kawasan baru, kawasan yang dikonversi, diremajakan dan ditata kembali (resettlement). Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui upaya revitalisasi, yaitu upaya untuk mendaur ulang (recycle) lahan kota yang ada dengan tujuan untuk memberikan vitalitas baru, meningkatkan vitalitas yang ada atau bahkan menghidupkan kembali vitalitas (revitalisasi) yang pada awalnya pernah ada, namun telah memudar. Dengan kata lain revitalisasi adalah upaya untuk memvitalkan kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya pernah vital/hidup, tetapi kemudian mengalami kemunduran/degradasi. Adapun tujuan revitalisasi adalah memberikan kehidupan kota yang produktif yang akan mampu memberikan kontribusi positif pada kehidupan sosial budaya, terutama kehidupan ekonomi kota (Danisworo, URDI Vol 13). Proses revitalisasi suatu kawasan mencakup perbaikan aspek fisik dan aspek ekonomi. Revitalisasi fisik merupakan strategi jangka pendek yang dimaksudkan untuk mendorong terjadinya peningkatan kegiatan ekonomi jangka panjang. Revitalisasi fisik diyakini dapat meningkatkan kondisi fisik ruang kota, namun tidak untuk jangka panjang, sehingga tetap diperlukan perbaikan dan peningkatan aktivitas ekonomi (economic revitalization) yang meruju k pada aspek sosial budaya serta aspek lingkungan (environmental objectives). Hal tersebut mutlak diperlukan karena pemanfaatan ruang yang produktif dan optimal merupakan prasyarat terbentuknya sebuah mekanisme perawatan dan kontrol yang

langgeng terhadap keberadaan fasilitas dan infrastruktur kota. Mekanisme tersebut tidak dilakukan dalam RTRW Kota Bandar Lampung.

Konsistensi dalam Pemanfaatan Ruang

Berdasarkan kajian konsistensi proses teknis penyusunan RTRW menunjukkan bahwa proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung masih konsisten dengan pedoman yang berlaku. Namun kondisi di lapangan menunjukkan bahwa terjadi berbagai permasalahan dalam penataan ruang. Selanjutnya kemungkinan inkonsistensi dalam penataan ruang ada pada tahap pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.

Berbagai permasalahan inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang terjadi di Kota Bandar Lampung. Inkonsistensi tersebut antara lain adalah:

Konversi lahan

Permasalahan konversi lahan terkait dengan inkonsistensi dalam pengklasifikasian legenda peta yang digunakan dalam RTRW Kota Bandar Lampung. Menurut UU 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang Pasal 22 disebutkan bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota merupakan Penjabaran dari Rencana Tata Ruang Provinsi. Hal tersebut menunjukkan bahwa produk RTRW Kota harus mengacu pada RTRW Provinsi, termasuk dalam pengklasifikasian peta rencana pemanfatan ruang minimal harus mengacu pada Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, atau merinci dan mengembangkan sistem klasifikasi pemanfaatan ruang dengan tetap mengacu pada peristilahan/klasifikasi pemanfaatan ruang dalam RTRW Provinsi Lampung. Dari sistem klasifikasi yang digunakan dalam peta Rencana Pemanfaatan Ruang Kota Bandar Lampung terlihat bahwa telah terjadi inkonsistensi dalam pengklasifikasian jenis penggunaan lahan yang tidak mengacu pada RTRW Provinsi Lampung.

Kondisi tersebut selain menunjukkan inkonsistensi dalam penataan ruang, baik terhadap UU 24 Tahun 1992 maupun terhadap Perda No 5/2001, juga menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam pemanfaatan ruang. Kondisi ini disebabkan karena adanya perbedaan interpretasi para stakeholders akibat

perbedaan pengklasifikasian peta dalam RTRW Provinsi dengan RTRW Kota Bandar Lampung. Dengan menggunakan pendekatan data Pemberian Ijin Pengambilan A ir Tanah Untuk Industri yang dikeluarkan Dinas Pertambangan Kota Bandar Lampung Tahun 2004 dan 2005 (masing-masing berlaku dua tahun), menunjukkan bahwa telah terjadi penyimpangan dalam pemanfaatan ruang dari rencana yang telah ditetapkan. Penyimpangan dari peruntukan lahan non industri terkonversi menjadi industri antara lain terjadi di kelurahan-kelurahan sebagai berikut:

• Campang Raya, kawasan yang dialokasikan untuk pengembangan terbatas pada kenyataannya digunakan untuk industri.

• Bagian dari Kawasan Srengsem yang dialokasikan sebagai kawasan lindung, pada kenyataannya digunakan untuk aktivitas industri, yaitu PT. Tambang Batubara Bukit Asam dan Tanjung Enim Lestari P&P (Pabrik PULP).

• Kupang Kota, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman pada

kenyataannya diberikan ijin/rekomendasi mengambil air tanah untuk industri, yaitu PT Tirta Investama dan PT Prabu Tirta Jaya Lestari.

• Garuntang, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman, pada

kenyataannya digunakan untuk industri pabrik karet, yaitu PT Garuntang.

• Kelurahan Sukaraja, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman, pada kenyataannya diijinkan beroperasi industri PT Vista Grain, sebuah industri yang bergerak dibidang pabrik pakan.

• Kelurahan Rajabasa Raya, kawasan yang dialokasikan untuk permukiman, pada kenyataannya digunakan untuk industri PT Way Kandis (pabrik karet).

• Kelurahan Kedamaian terdapat PT Golden Sari, sebuah industri yang bergerak dibidang industri kimia (zat pemanis) berlokasi pada lahan campuran.

Inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang tersebut telah menimbulkan berbagai permasalahan dalam pemanfaatan ruang. Antara lain adalah terciptanya lingkungan perkotaan yang tidak nyaman akibat pencemaran industri-industri yang berada tidak pada peruntukannya, khususnya di lingkungan permukiman. Kondisi ini cukup meresahkan warga dan menjadikan kota sebagai tempat hunian yang tidak nyaman bagi warganya. Beberapa kejadian yang cukup menjadi issue

hangat dan pemberitaan di beberapa media adalah terjadinya pencemaran sungai Dadap di Kedamaian oleh PT Golden Sari. Pencemaran ini sudah berlangsung cukup lama, yaitu sejak tahun 2000 dan sangat meresahkan serta merugikan masyarakat sekitarnya (Trans Sumatera Post, 2 Agustus 2004).

Inkonsistensi lainnya adalah konversi kawasan lindung menjadi kawasan budid aya. Menurut ketentuan dalam Lampiran V Perda 4/2004 tentang RTRW Kota Bandar Lampung disebutkan bahwa kawasan perbukitan di pusat kota seperti Gunung Kunyit dan Gunung Camang ditetapkan sebagai kawasan hutan kota dan resapan air dengan rekomendasi penghentian penambangan. Pada kenyataannya kawasan yang merupakan salah satu paru-paru kota, kondisinya saat ini semakin gundul akibat aktivitas penambangan batu kapur di Gunung Kunyit oleh swasta dan masyarakat lokal serta pengerukan tanah di Gunung Camang yang dilakukan oleh swasta. Tanah hasil pengerukan di Gunung Camang selanjutnya digunakan untuk reklamasi pantai di sepanjang tepi jalan Yos Sudarso Telukbetung yang masih berlangsung sampai saat ini, sementara gunung yang telah dikepras tersebut dikonversi untuk pembangunan perumahan. Kondisi ini menyebabkan pusat kota yang semula masih cukup asri dengan adanya beberapa kawasan hijau, perkembangan ke depan akan menjadi kawasan gersang akibat padatnya kawasan terbangun. Selain itu berkurangnya kawasan-kawasan resapan air akan berdampak pada musibah musiman, yaitu kekeringan dimusim kemarau dan akan terjadi banjir pada musim hujan. Selain itu hilangnya ruang-ruang hijau kota menyebabkan kota semakin tidak bersahabat, polusi udara dan potensial meningkatkan ’penyakit psikologis’. Menurut Wakil Walikota Bandar Lampung, maraknya aktivitas pengeprasan bukit disebabkan lemahnya aspek pengendalian dan kinerja pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut (Lampost, 2006). Sementara jika dicermati lahan-lahan kosong yang belum termanfaatkan dan berpotensi untuk pengembangan di Kota Bandar Lampung masih cukup tersedia, sehingga Pemerintah Kota Bandar Lampung tidak perlu mengambil kebijakan reklamasi ataupun pengeprasan bukit. Salah satu contoh adalah Kelurahan Sumur Putri yang dalam RTRW dialokasikan untuk permukiman dan kebun campuran, prosentase lahan terbangun baru mencapai sekitar 14%.

Masalah keterbatasan lahan juga dapat dilakukan dengan intensifikasi dalam penggunaan lahan, yaitu mengubah paradigma/orientasi pelaksanaan pembangunan dari horisontal kearah vertikal, sehingga penggunaan ruang dapat semakin optimal dan efisien. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada dasarnya reklamasi pantai belum diperlukan di Kota Bandar Lampung. Jika aktivitas reklamasi dipaksakan untuk tetap dilakukan, maka yang terjadi adalah kerusakan lingkungan di kawasan sekitarnya. Selain itu terjadi protes keras dari berbagai elemen masyarakat terhadap tindakan reklamasi yang terus berlangsung sampai saat ini. Berbagai pihak merasa aktivitas reklamasi akan lebih banyak memberikan kerugian daripada manfaatnya bagi masyarakat (Tempo Interaktif, 2004).

Konsistensi dalam Pengendalian Pemanfaatan Ruang

Inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang mengindikasikan inkonsistensi dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang. Menurut Kepmen Kimpraswil No 327/KPTS/M/2002 pengendalian pemanfaatan ruang wilayah diselenggarakan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan mekanisme perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme pelaporan, mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi

Dokumen terkait