• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 Sudut Kota Tanjung Karang Bandar Lampung ...…...………. 5 2 Sudut Kota Telukbetung Bandar Lampung ...………….…..…. 6 3 Eksploitasi Gunung Kunyit ...…..…. 7 4 Konversi Gunung Camang-1 ...…... 7 5 RTRW dalam sistem perencanaan pembangunan ....…..…...…... 15

6 Kerangka berfikir ……….……..……... 25

7 Perbandingan proses penataan ruang ……..………..……...…..……….. 26 8 Peta jaringan jalan Kota Bandar Lampung …………...…...……….. 31 9 Peta hidrologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung …………..…….. 32 10 Peta geologi bagian wilayah Kota Bandar Lampung …………..……… 33 11 Peta kelas lereng bagian wilayah Kota Bandar Lampung …………..… 34 12 Peta administrasi Kota Bandar Lampung …………..……..…..……….. 36 13 Kerangka proses tujuan pertama ...…..………. 37 14 Kerangka proses tujuan kedua ...………. 38 15 Kerangka proses tujuan ketiga ...………. 39 16 Bagan alir tujuan ketiga ...………. 40 17 Peta kesesuaian rencana TGT Kota Bandar Lampung dengan

Kabupaten Lampung Selatan ... 55

18 Kawasan kumuh di Telukbetung ... 58 19 Lingkup pengendalian pemanfaatan ruang ... 66 20 Struktur kelembagaan BKPRD... 67 21 Plot of eigenvalues perkembangan wilayah ... 73 22 Scutter plot perkembangan wilayah ... 73 23 Peta pola spasial perkembangan wilayah ... 74 24 P eta P ola spasial prasarana dasar ... 76 25 Peta P ola spasial fisik wilayah ... 77

DAFTAR LAMPIRAN

Tabel Lampiran 1 Data perkembangan wilayah ... 91

Tabel Lampiran 2 Hasil PCA perkembangan wilayah ………... 96

Tabel Lampiran 3 Data prasarana dasar kota ………. 100

Tabel Lampiran 4 Keterangan kelompok pelanggan PDAM ………. 102

Tabel Lampiran 5 Data fisik wilayah ………. 103

Tabel Lampiran 6 Keterangan geologi bagian wilayah Kota Bandar

Lampung ... 106

Tabel Lampiran 7 Regresi perkembangan wilayah ……… 109

Tabel Lampiran 8 Matriks analisis proses perencanaan tata ruang

Kota Bandar Lampung ……….. 111

Tabel Lampiran 9 Model-model perkembangan wilayah ………... 120 Tabel Lampiran 10 Matriks hubungan konsistensi penataan ruang dengan

kinerja perkembangan wilayah ……… 121

Tabel Lampiran 11 Matriks pengendalian pemanfaatan ruang 122

Gambar Lampiran 1 Diagram penyusunan RTRW Kota ……….. 123

Teks Lampiran 1 Keterangan score perkembangan wilayah ……… 124 Teks Lampiran 2 Keterangan score prasarana dasar ………. 127

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan daerah seyogyanya dilakukan melalui penataan ruang secara lebih terpadu dan terarah, agar sumberdaya yang terbatas dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien. Salah satu upaya untuk mencapai hal tersebut adalah melalui keterpaduan dan keserasian pembangunan dalam matra ruang yang tertata secara baik. Untuk itu dibutuhkan penataan ruang, baik dalam proses perencanaan, pema nfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang sebagai satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan, dan dilaksanakan secara terpadu, sinergi serta berkelanjutan.

Perencanaan tata ruang merupakan proses penyusunan rencana tata ruang wilayah yang mencakup wilayah administratif/pemerintahan (seperti provinsi, kabupaten dan kota) dan atau wilayah fungsional/kawasan (seperti Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan lindung, kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan) yang tercermin dalam Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang melalui penatagunaan tanah, sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang tercermin dalam dokumen pengendalian pemanfaatan ruang yang mengatur mekanisme pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang berdasarkan mekanisme perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, pemberian kompensasi, mekanisme pelaporan, mekanisme pemantauan, mekanisme evaluasi dan mekanisme pengenaan sanksi.

Penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah kota yang memenuhi kebutuhan pembangunan dengan senantiasa berwawasan lingkungan, efisien dalam pola alokasi investasi yang bersinergi dan dapat dijadikan acuan dalam penyusunan program pembangunan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat. Menurut Rustiadi et al. (2004) , penataan ruang memiliki tiga urgensi, yaitu (a) optimalisasi pemanfaatan sumberdaya (prinsip produktifitas dan efisiensi); (b) alat dan wujud distribusi sumberdaya (prinsip pemerataan, keberimbangan, dan keadilan) , dan (c) keberlanjutan (prinsip sustainability).

Tujuan lain dari penataan ruang adalah untuk mengatur hubungan antara berbagai kegiatan dengan fungsi ruang guna tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas. Dengan kata lain penataan ruang diharapkan dapat mengefisienkan pembangunan dan meminimalisasi konflik kepentingan dalam pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang kawasan perkotaan secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan merencanakan pemanfaatan potensi dan ruang perkotaan serta pengembangan infrastruktur pendukung yang dibutuhkan untuk mengakomodasikan kegiatan sosial ekonomi yang diinginka n (Budiharjo, 1997) .

Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak di ujung Tenggara Pulau Sumatera dan merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera dari arah Jawa. Kondisi ini menjadikan ibukota Provinsi Lampung tersebut memiliki peran yang sangat strategis, baik dalam skala nasional, regional maupun provinsi. Secara nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah (P P) Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional dan salah satu dari tiga kawasan andalan yang ada di Provinsi Lampung. Dalam skala provinsi, selain berfungsi sebagai pusat pemerintahan Provinsi Lampung, K ota Bandar Lampung ditetapkan sebagai Pusat Pelayanan Primer bagi wilayah-wilayah sekitarnya di wilayah Provinsi Lampung. Dengan peran-peran tersebut diharapkan kota ini dapat memberikan pelayanan yang optimal, baik bagi penghuni setempat maupun bagi kawasan-kawasan disekitarnya. Kondisi tersebut dimungkinkan dengan adanya dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung yang pertama kali disusun pada tahun 1994 dan disusun kembali pada tahun 2003 serta mendapat legalitas hukum melalui Perda No 4 Tahun 2004. P ada kenyataannya, selama kurun waktu tersebut sampai saat ini telah terjadi berbagai permasalahan dalam penataan ruang. Dengan kata lain RTRW yang ada kurang mampu memberikan kontribusi penyelesaian terhadap berbagai permasalahan kota, antara lain berupa kemiskinan penduduk kota, kemacetan, konversi lahan, kesemrawutan, kekumuhan, dan keterbatasan open space.

Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa tujuan penataan ruang di Kota Bandar Lampung belum tercapai secara optimal. Kondisi ini kemungkinan disebabkan karena terjadi inkonsistensi dalam penataan ruang, baik dalam aspek

perencanaan, aspek pemanfatan maupun dalam aspek pengendalian pemanfaatan ruang. Konsistensi dalam aspek perencanaan dapat dilihat pada proses teknis penyusunan RTRW dikaitkan dengan pedoman/ketentuan yang berlaku.

Konsistensi dalam pemanfaatan ruang terlihat dari kesesuaian antara aktivitas penggunaan ruang dengan RTRW. Sementara perkembangan wilayah dipengaruhi adanya kekuatan untuk perubahan (forces of changes) yang diidentifikasi diakibatkan oleh perbedaan karakteristik fisik wilayah dan konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota. Infrastruktur dasar kota merupakan urat nadi kehidupan suatu wilayah/kota dan keberadaannya sangat diperlukan untuk memacu pertumbuhan wilayah dan mendorong pertumbuhan wilayah secara optimal, sehingga sangat berperan dalam menentukan kinerja perkembangan suatu wilayah. Sebagai ilustrasi adalah suatu kawasan terisolasi, dengan adanya kebijakan pemerintah membangun infrastruktur dasar (air bersih, jalan, listrik dan telepon), maka dengan sendirinya di kawasan tersebut akan tumbuh dan berkembang be rbagai aktivitas, baik permukiman maupun aktivitas komersial yang dapat dibangun oleh swasta maupun masyarakat.

Perumusan Masalah

Penataan ruang merupakan kerangka yang menentukan peluang dan batasan dalam pembangunan, sehingga pelaksanaan kegiatan pemba ngunan seharusnya mengacu pada rencana tata ruang, yang di dalamnya memuat strategi optimasi untuk mencapai tujuan dan mem perhatikan kendala -kendala dalam mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Dengan demikian rencana tata ruang dimaksud dapat dijadikan sebagai acuan dan pedoman dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.

Dalam perjalanannya, sebagaimana kota pada umumnya, Bandar Lampung menghadapi berbagai permasalahan penataan ruang. Permasalahan tersebut antara lain meliputi:

Kemiskinan

Berbagai permasalahan dan ketimpangan dalam pembangunan disebabkan karena tingginya laju pertumbuhan penduduk di perkotaan yang tidak diimbangi dengan penyediaan lapangan kerja. Kondisi ini menyebabkan peningkatan jumlah

pengangguran dan diperburuk lagi dengan situasi perekonomian nasional yang sedang terpuruk, banyak hal yang pada waktu situasi normal tidak terasa menjadi beban, saat ini dirasakan sebagai beban yang sangat berat. Jika dibanding sebelum krisis pertengahan Juli 1997, jumlah pengangguran saat ini mengalami peningkatan yang cukup tajam, tingkat pendapatan masyarakat mengalami penurunan dan sektor riil belum sepenuhnya berjalan normal. Kemiskinan merupakan sumber berbagai permasalahan di Kota Bandar Lampung.

Konversi lahan

Berdasarkan data pemberian ijin pengambilan air tanah bagi industri yang dikeluarkan Dinas Pertambangan Tahun 2004 dan 2005, menunjukkan banyaknya kasus konversi lahan dari rencana peruntukan sebagaimana ditetapkan dalam RTRW Kota Bandar Lampung. Konversi lahan terjadi baik dari aktivitas non industri (permukiman, komersial dan jasa) menjadi industri maupun sebaliknya. Kondisi tersebut menunjukkan terjadinya inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang.

Penurunan kualitas sarana prasarana dasar permukiman

Peningkatan jumlah penduduk di kawasan perkotaan berimplikasi terhadap peningkatan jumlah per umahan dan permukiman yang menuntut pemenuhan kebutuhan sarana prasarana dasar permukiman. Permasalahan yang sering terjadi di samping keterbatasan pendanaan untuk pengadaan sarana prasarana dasar permukiman tersebut adalah sarana penunjang yang sudah tersedia seringkali belum dimanfaatkan sepenuhnya dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemeliharaan sarana prasarana yang sudah dibangun (Marquez dan Maheepala , 1996) . Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas sarana prasarana dasar permukiman di perkotaan.

Kriminalitas

Peningkatan kejadian kriminalitas di Kota Bandar Lampung disebabkan antara lain: (1) peningkatan jumlah penggangguran akibat keterbatasan lapangan kerja dan tuntutan akan tenaga kerja yang terampil dan profesional; (2) tuntutan hidup yang semakin mempersulit keadaan masyarakat miskin kota; (3) gaya hidup

masyarakat perkotaan yang cenderung ‘egoisme’, sehingga ‘tingkat kepedulian’ dan ‘empati’ masyarakat terhadap sesama semakin menurun.

Keadaan lingkungan fisik perkotaan (urban setting) yang kurang memadai (kesemrawutan tata ruang)

Permasalahan pertanahan di Kota Bandar Lampung yang semakin rawan disebabkan karena keterbatasan lahan, sementara tuntutan pemenuhan kebutuhan lahan semakin meningkat secara cepat. Hal ini menyebabkan semakin tingginya nilai lahan. Akibatnya kawasan-kawasan terbuka atau kawasan konservasi dikonversi untuk aktivitas yang secara ekonomi jauh lebih menguntungkan, yaitu aktivitas komersial dan jasa. Dalam penggunaan ruang, kawasan-kawasan ini berorientasi pada maksimalisasi keuntungan finansial dan kurang memperhatikan aspek sosial, seperti pembangunan lahan parkir bagi konsumennya, sehingga di kawasan tersebut sangat rentan dengan berbagai permasalahan. Salah satu contoh adalah masalah kemacetan lalu lintas di pusat perbelanjaan Bambu Kuning Plaza.

Gambar 1 Sudut kota Tanjung Karang - Bandar Lampu ng

Di pihak lain, harga lahan yang tidak terjangkau masyakat kelas bawah merangsang golongan ini untuk menempati kawasan-kawasan ilegal (squater

area) seperti sempadan sungai, sempadan jalan, sempadan rel kereta api dan kawasan ilegal lainnya sebagai tempat tinggal. Bahkan muncul kecenderungan hadirnya kawasan-kawasan kumuh (slum area) di berbagai sudut pusat kota.

Gambar 2 Sudut kota Telukbetung - Bandar Lampung

Keterbatasan open space

Orientasi pembangunan untuk mengejar maksimalisasi keuntungan ekonomi menyebabkan pembangunan yang dilaksanakan cenderung mengutamakan pembangunan fisik dan kurang memperhatikan aspek lingkungan. Kondisi ini menyebabkan bangunan-bangunan tumbuh dan berkembang tanpa kendali, padat tanpa arah yang jelas serta mengindikasikan kurangnya aspek perencanaan, sehingga kota menjadi semakin tidak bersahabat dengan lingkungan (Budiharjo, 1995) . Keberadaan ruang terbuka ’open space’, khususnya ruang terbuka hijau proporsinya semakin menurun terhadap luas wilayah karena pembangunan lebih diprioritaskan untuk aktivitas ekonomi. Menurut Patmore, dari berbagai studi diketahui bahwa penyediaan ruang terbuka hijau dapat menurunkan laju kenakalan remaja dan diyakini pula dapat mengurangi ketegangan akibat sistem industri serta bermanfaat bagi kestabilan mental dan kejiwaan masyarakat kota (Wahyuni, 1998).

Gambar 3 Eksploitasi Gunung Kunyit

Eksploitasi gunung atau bukit saat ini marak terjadi di Kota Bandar Lampung seperti terlihat pada Gunung Kunyit dan Gunung Camang yang terletak di pusat kota. Kedua bukit hijau tersebut saat ini kondisinya semakin gundul akibat aktivitas penambangan batu kapur di Gunung Kunyit oleh swasta dan masyarakat lokal serta pengerukan tanah di Gunung Camang yang dilakukan oleh swasta.

Tanah hasil pengerukan di Gunung Camang selanjutnya digunakan untuk reklamasi pantai di sepanjang tepi jalan Yos Sudarso Telukbetung yang masih berlangsung sampai saat ini, sementara gunung yang telah dikepras tersebut dikonversi untuk pembangunan perumahan. Kondisi ini menyebabkan pusat kota yang semula masih cukup asri dengan adanya beberapa kawasan hijau, dalam perkembangannya akan menjadi kawasan gersang akibat padatnya kawasan terbangun

Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa penataan ruang yang ada belum mampu menjawab berbagai permasalahan yang terjadi. Kondisi tersebut kemungkinan disebabkan karena adanya inkonsistensi, baik dalam proses perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang.

Dari beberapa uraian diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah proses penyusunan RTRW Kota Bandar Lampung sudah mengacu pada pedoman dan ketentuan teknis yang berlaku?

Pedoman pokok penyusunan RTRW: Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang; Peraturan Pemerintah (PP ) Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN); Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kepmenkimpraswil) Nomor 327/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang; Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2001 tentang Penataan Ruang Wilayah Provinsi Lampung.

2. Apakah proses penyusunan rencana tata ruang selain berbasis wilayah administratif juga memperhatikan aspek kawasan fungsional dalam konteks keterkaitan dengan wilayah sekitarnya (Inter -Regional Context)?

Konsep regional planning, yaitu merencanakan wilayah dengan

memperhatikan konst elasi wilayah tersebut dengan wilayah sekitarnya, serta memiliki basis dimensi spasial yang jelas. Dengan konsep ini walaupun kedua wilayah tidak memenuhi skala ekonomi (economic of scale), tetapi dengan bekerjasama (silaturahmi) antar wilayah dapat memenuhi skala ekonomi tersebut.

3. Bagaimana hubungan antara konsistensi penataan ruang, konfigurasi ruang infrastruktur dasar kota dan kondisi/karakteristik fisik wilayah terhadap kinerja perkembangan wilayah?

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis konsistensi penyusunan Rencana Tata R uang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung dikaitkan dengan pedoman dan ketentuan yang berlaku.

2. Menganalisis konsistensi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandar Lampung ditinjau dari aspek keserasian tata ruang dengan wilayah sekitarnya (konsistensi perencanaan Inter-Regional Context).

3. Menganalisis implikasi konsistensi penataan ruang terhadap kinerja perkembangan wilayah serta faktor -faktor pendorong perkembangan wilayah.

TINJAUAN PUSTAKA

Kota

What is a city but its people. Itulah kata bijak William Shakespeare mengenai gambaran sebuah kota. Sebuah kota sudah tentu merupakan gambaran orang-orang yang berdomisili di dalamnya. Bagaimana orang-orang yang tinggal didalamnya, maka itulah sebenarnya wajah kota. Kota adalah kumpulan orang-orang yang berdomisili dalam jangka waktu lama maupun sementara. Sebuah kota tidak akan nyaman jika orang-orangnya tidak menciptakan kenyamanan bagi lingkungannya. Kota yang baik dan berkesan adalah kota-kota dimana masyarakatnya memberikan kenyamanan terhadap eksistensi lingkungannya. Jadi dengan membicarakan kenyamanan berarti sebuah kota adalah kumpulan nilai-nilai yang dianut masyarakatnya (Budiharjo, 1997) .

Fungsi kota sebagai pusat pelaya nan (service center) membawa konsekuensi areal kota akan dipenuhi oleh kegiatan-kegiatan komersial dan sosial, selain kawasan perumahan dan permukiman. Pembangunan ruang kota bertujuan untuk: (1) Memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat berusaha dan tempa t tinggal, baik dalam kualitas maupun kuantitas; (2) Memenuhi kebutuhan akan suasana kehidupan yang memberikan rasa aman, damai, tenteram dan sejahtera. (Budiharjo, 1997).

Berkenaan dengan hal tersebut pembangunan kota harus ditujukan untuk lebih meningkatkan produktif itas yang selanjutnya akan dapat mendorong sektor perekonomian. Namun dalam pengembangannya, tentu perlu diperhatikan ketersediaan sumberdaya, sehingga perlu dicermati efisiensi pemanfaatan sumberdaya maupun efisiensi pelayanan prasarana dan sarana kota. Pembangunan perkotaan dilaksanakan dengan mengacu pada pengembangan investasi yang berwawasan lingkungan, sehingga tidak membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan tidak merusak kekayaan budaya daerah. Selain itu juga diharapkan untuk selalu mengarah kepada terciptanya keadilan yang tercermin pada pemerataan kemudahan dalam memperoleh penghidupan perkotaan, baik dari segi prasarana dan sarana maupun dari lapangan pekerjaan.

Penataan Ruang

Disadari bahwa ketersediaan ruang itu sendiri tidak terbatas. Bila pemanfaatan ruang tidak diatur dengan baik, kemungkinan besar terjadi inefisiensi dalam pemanfaatan ruang dan penurunan kualitas ruang serta dapat mendorong kearah adanya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah serta kelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu diperlukan penataan ruang untuk mengatur pemanfaatannya berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi lokasi, kualitas ruang dan estetika lingkungan. Oleh karena pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan, pengaturan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan sebagai ciri utamanya. Seiring dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan, baik ditingkat pus at maupun tingkat daerah harus sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Dengan demikian pemanfaatan ruang tidak bertentangan dengan rencana tata ruang yang sudah ditetapkan (Sastrowihardjo et al., 2001).

Dalam konteks pembangunan wilayah, perencanaan penataan ruang dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah untuk menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang guna menstimulasi sekaligus mengendalikan pertum buhan dan perkembangan pemanfaatan ruang suatu wilayah. Hal ini dipandang strategis mengingat bahwa kondisi aktual pemanfaatan ruang di suatu wilayah pada dasarnya merupakan gambaran hasil akhir dari interaksi antara aktivitas kehidupan manusia dengan alam lingkungannya, baik direncanakan maupun tidak direncanakan. Jika tidak direncanakan, maka sejalan dengan pertumbuhan pembangunan, laju pertumbuhan penduduk, serta aktivitas masyarakat yang semakin dinamis, pemanfaatan sumberdaya akan cenderung mengikuti suatu mekanisme yang secara alamiah akan mengejar maksimalisasi ekonomi, namun eksploitatif dalam pemanfaatan sumberdaya yang ada. Mekanisme tersebut menciptakan iklim kompetisi yang pada akhirnya akan menggeser aktivitas yang intensitas pemanfaatan ruangnya lebih rendah dengan aktivitas lain yang lebih produktif. Meskipun mekanisme alamiah tersebut dapat saja menciptakan efisiensi secara ekonomi, namun belum tentu sejalan dengan

pencapaian tujuan dari pembangunan. Belum lagi jika harus dikaitkan dengan masalah polarisasi kemampuan yang berkembang di masyarakat dalam menikmati pemerataan manfaat pembangunan (Sastrowihardjo e t a l., 2001).

Penataan Ruang Wilayah Kabupaten/Kota

Menurut UU 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ruang dide finisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Sedangkan wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Lebih lanjut pengertian wilayah terbagi menjadi dua, yaitu wilayah yang batas dan sistemnya ditentuka n berdasarkan aspek administratif disebut wilayah pemerintahan dan wilayah yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional disebut kawasan. Dengan demikian penyusunan RTRW harus memperhatikan aspek administratif dan kawasan fungsional.

Kawasan terbagi menjadi dua, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung meliputi hutan lindung, kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai, sempadan kawasan sekitar waduk/danau, sungai, sekitar mata air, kawasan suaka alam, kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan dan kawasan rawan bencana. Kawasan budidaya adalah kawasan hutan produksi, kawasan pertanian, kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan berikat, kawasan pariwisata, kawasan tempat pertahanan keamanan.

Kawasan yang meliputi lebih dari satu wilayah kabupaten/kota (kecuali kawasan tertentu), koordinasi penyusunan rencana tata ruang diselenggarakan oleh gubernur. Selanjutnya bagian dari masing-masing kawasan dipadukan dan menjadi dasar dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah. Selain berdasarkan kawasan fungsional, sesuai dengan amanat Pasal 19, 20 dan 21, maka penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota mengacu pada rencana tata ruang

yang lebih tinggi, dalam hal ini Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Provinsi (UU 24 Tahun 1992) .

Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Penataan ruang merupakan kebijakan dinamis yang mengakomodasikan aspek kehidupan pada suatu kawasan, dimana setiap keputusan merupakan hasil kesepakatan berbagai pihak sebagai bentuk kesinergian kepentingan. Menurut UU tersebut, penataan ruang disusun berasaskan: (a) Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. (b) keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan ruang dalam wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang. Adapun yang dimaksud struktur pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk lingkungan secara hierarkis dan saling berhubungan satu dengan lainnya, sedangkan yang dimaksud dengan pola pemanfaatan ruang adalah tata guna tanah, air, udara, dan sumberdaya alam lainnya dalam wujud penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, air, udara dan sumberdaya alam lainnya. Rencana tata ruang merupakan produk kebijakan koordinatif dari berbagai pihak yang berkepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat, sehingga penyusunannya harus bertolak pada data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku (Sastrowihardjo e t a l., 2001).

RTRW kabupaten/kota menurut UU 24 Tahun 1992 merupakan pedoman yang digunakan untuk mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar sektor secara komprehensif, terpadu dan berkelanjutan, serta menjadi pedoman dalam memanfaatkan ruang bagi kegiatan pembangunan. Penatagunaan tanah merupakan bagian dari penataan ruang yang meliputi pengaturan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dengan mengacu pada RTRW, maka langkah-langkah dalam penatagunaan tanah meliputi kegiatan-kegiatan penyerasian penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan RTRW yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Sastrowihardjo et a l., 2001). Oleh karena itu, kebijakan yang harus dirumuskan adalah bagaimana

mewujudkan penggunaan tanah yang pada saat ini tidak sesuai dengan rencana tata ruang menjadi sesuai dan serasi dengan rencana tata ruang.

Terkait dengan perencanaan, penyusunan RTRW diharapkan dapat mengakomodasikan berbagai perubahan dan perkembangan di wilayah

perencanaan. RTRW kabupaten/kota disusun berdasarkan perkiraan

kecenderungan dan arahan perkembangannya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di masa depan sesuai dengan jangka waktu perencanaannya. Tujuan dari perencanaan tata ruang wilayah adalah mewujudkan ruang wilayah yang

Dokumen terkait