• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah Perusahaan BPR Milik Pemerintah Daerah

PD BPR BANK PASAR KOTA BANDAR LAMPUNG merupakan salah satu alat kelengkapan Otonomi Daerah di bidang Keuangan Perbankan dan menjalankan usahanya sebagai BPR sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Berdirinya PD BPR Bank Pasar Kota Bandar Lampung bertujuan memberi pelayanan yang wajar kepada para pedagang nasional yang bermodal kecil serta turut menciptakan stabilisasi perekonomian di Kota Bandar Lampung khususnya serta Daerah Lampung pada umumnya.

Berdasarkan Keputusan DPRD-GR Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung tanggal 24 Juni 1969 Nomor : 13/DPRD-GR/1969 tentang persetujuan pendirian “Kantor Administrasi Simpan Pinjam Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung” merupakan cikal bakal terbentuknya PD BPR Bank Pasar Kota Bandar Lampung.

Pada waktu Walikota Bandar Lampung dijabat oleh Drs. Hi Thabrani Daud, dikeluarkanlah Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tanjung Karang-Teluk Betung tanggal 30 Juli 1970 Nomor : 44/1970 tentang Pendirian Bank Pasar Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung. Adapun pelaksanaan Surat Keputusan tersebut di atas pada tanggal 01 Agustus 1970 merupakan awal kegiatan/Operasioanal Bank Pasar dipimpin oleh Drs. Hamdan Amid dengan modal awal sebesar Rp. 300.000,- (Tiga ratus ribu rupiah) dan sampai dengan akhir bulan Desember 1970 berjumlah sebesar Rp. 1.400.000,-(satu juta empat ratus ribu rupiah).

Tanggal 30 Juli 1970 ditetapkan sebagai hari berdirinya PD BPR Bank Pasar Kota Bandar Lampung. Berdasarkan Surat Bank Indonesia Cabang Teluk Betung tanggal 3 Agustus 1971 No. 4/7/UPPB/PPTR atas ketetapan Bank Indonesia Pusat bahwa Struktur organisasi Bank Pasar harus dipisahkan dari Pemerintah Daerah Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung, agar Bank dapat bertindak sesuai dengan kebijaksanaannya yang telah digariskan oleh Peraturan Bank dan petunjuk-petunjuk dari Bank Sentral.

Dasar Hukum Operasional PD BPR Bank Pasar Kota Bandar Lampung adalah sebagai berikut :

a. Keputusan DPRD-GR Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung tanggal 24 Juni 1969 Nomor : 13/DPRD-GR/1969 tentang Persetujuan pendirian “Kantor Administrasi Simpan Pinjam Kotamadya Tanjung karang-Teluk Betung”, kemudian dirubah dengan

b. Keputusan Walikota/Kepala Daerah Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung tanggal 30 Juli 1970 Nomor : 44/1970 tentang Pendirian Bank Pasar Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung, kemudian dirubah dengan

c. Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tanjung Karang-Teluk Betung Tanggal 23 September 1971 Nomor : 68/1971, tentang Pemisahan PD. Bank Pasar dari Struktur Sekretariat Pemda Kodya Tanjung Karang-Teluk Betung, sesuai dengan Surat Bank Indonesia Cabang Teluk Betung tanggal 3 Agustus 1971 Nomor 4/7/UPPB/PPTR, kemudian dirubah dengan

23

d. Tahun 1973 terbit Surat dari Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal 24 Mei 1973 Nomor : Keu.183/DJM/II.3/5 Tahun 1973 tentang Melanjutkan usaha sebagai Bank Pasar Kotamadya Tanjung Karang-Teluk Betung, kemudian dirubah dengan

e. Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 1983 tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Bank Pasar Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung, kemudian dirubah dengan

f. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 1994 tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bandar Lampung, kemudian dirubah dengan

g. Tahun 1995 terbit Surat dari Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal 08 Juni 1995 Nomor : S.808/MK.17/1995 perihal Persetujuan Perubahan nama PD. Bank Pasar Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung menjadi Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bandar Lampung, kemudian dirubah dengan

h. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1998 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandar Lampung Nomor 6 Tahun 1994 tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bandar Lampung, kemudian dirubah dengan

i. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 7 Tahun 2001 tentang Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bank Pasar Kota Bandar Lampung, kemudian dirubah dengan

j. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Bank Pasar Kota Bandar Lampung,

k. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah

l. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Data yang diperoleh dari Bank Indonesia (BI) bahwa BPR milik Pemerintah Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya disalurkan untuk konsumtif sebesar 99,2% dan 0,80% disalurkan untuk produktif.

Sejarah Perusahaan BPR Milik Swasta

PT Bank Perkreditan Rakyat Rama Ganda adalah salah satu lembaga keuangan yang mempunyai visi “Terwujudnya BPR yang maju, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerataan usaha, dengan semangat ekonomi kerakyatan yang berlandaskan kehati-hatian dalam usaha”. Berkedudukan di Jl. Raya Gunung Batu No. 53 Bogor Barat 16118 dan sudah berdiri sejak tanggal 04 juli 1994. BPR Rama Ganda melayani berbagai macam produk, diantaranya : a. Tabungan dengan suku bunga menarik dan hadiah tanpa diundi.

b. Deposito berjangka dengan bunga maksimal LPS (lembaga penjamin Simpanan).

24

Visi

Terwujudnya BPR yang maju, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerataan usaha, dengan semangat ekonomi kerakyatan yang berlandaskan kehati-hatian dalam usaha.

Misi

a. Menciptakan pelayanan yang cepat, tepat dan aman.

b. Meningkatkan kepercayaan, menjamin keselamatan dan kerahasiaan nasabah. c. Meningkatkan kualitas usaha kecil dan menengah.

d. Mewujudkan jalinan kemitraan diantara usaha kecil dan usaha menengah/\ besar berlandaskan kesetaraan.

e. Mendorong peningkatan pemupukan modal usaha kecil dan menengah. f. Mewujudkan peningkatan produksi dan akses pas

Data yang diperoleh dari Bank Indonesia (BI) bahwa BPR milik Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya disalurkan untuk produktif sebesar 67,61% dan 32,39% disalurkan untuk konsumtif.

Analisis Rasio Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah Dari laporan keuangan BPR milik Pemerintah Daerah mengenai laporan rugi/laba BPR milik Pemerintah Daerah dapat dilihat pada lampiran 1 dan neraca BPR milik Pemerintah Daerah dapat dilihat pada lampiran 2 maka hasil dari perhitungan rasio keuangan seperti pada Tabel 8.

Tabel 8 Perhitungan Rasio Keuangan BPR Milik Pemerintah Daerah

Rasio 2010 2011 2012

Rasio Likuiditas % % %

1. Loan to Assets Ratio 80,99 86,00 86,02

2. Cash Ratio 163,41 289,66 91,78

3. Loan to Deposit Ratio (LDR) 124,70 144,89 165,34

4. Non Performing Loan (NPL) 0,29 0,13 0,27

Rasio Solvabilitas

1. Capital Ratio 14,11 10,70 9,42

2. Capital Adequacy Ratio (CAR) 12,62 11,12 9,42 Rasio Rentabilitas

1. Net Interest Margin (NIM) 17,00 17,29 16,10

2. Net Profit Margin (NPM) 23,75 23,24 20,24

3. Return on Equity (ROE) 15,35 16,34 15,22

4. Return on Assets (ROA) 5,49 5,11 4,03

Berdasarkan perhitungan rasio keuangan BPR milik Pemerintah Daerah, secara umum rasio likuiditas cenderung berfluktuatif dari tahun 2010, 2011 hingga 2012. Rasio pinjaman terhadap aktiva mengalami peningkatan dari tahun 2010 sebesar 80,99% dan 2011 sebesar 86%, sedangkan tahun 2012 tidak ada perubahan dari tahun 2011 sebesar 86,02%. Angka tersebut menunjukkan bahwa BPR milik Pemerintah Daerah dapat membiayai kreditnya dengan aset yang

25

dimiliki, karena aktiva dari tahun 2010, 2011 dan 2012 mengalami peningkatan sebesar Rp 199.818.248, Rp 243.593.991 dan Rp 290.316.688.

Rasio kas terhadap kewajiban lancar digunakan untuk mengukur kemampuan bank melunasi kewajiban yang harus segera dibayar. Pada tahun 2010 rasio kas sebesar 163,41% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 163,41 sedangkan pada tahun 2011 mengalami peningkatan menjadi 289,66% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 289,66 dan pada tahun 2012 mengalami penurunan dari tahun 2011 menjadi 91,78% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 91,78. Meskipun rasio kas terjadi peningkatan dan penurunan maka BPR milik Pemerintah Daerah tetap dapat membayar semua kewajiban yang harus segera dibayar dengan harta likuid yang dimiliki. Karena rasio kas yang rendah tidak menjadi masalah jika BPR milik Pemerintah Daerah dapat meminjam dalam waktu singkat.

Rasio pinjaman terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) pada BPR milik Pemerintah Daerah mengalami peningkatan dari tahun 2010, 2011 dan 2012 dari 124,7%, 144,9% menjadi 165,3%. Semakin tinggi rasio LDR dapat memberikan indikasi semakin rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit semakin besar pada tahun 2010 sebesar Rp 161.841.050, tahun 2011 sebesar Rp 209.484.294, dan pada tahun 2012 Rp 249.736.909. Karena rasio LDR digunakan untuk mengukur dana pihak ketiga yang disalurkan dalam bentuk kredit. Untuk rasio antar kredit yang disalurkan dengan dana yang dihimpun (loan to deposit ratio) kurang baik, karena pada tahun 2010 mencapai 124,70% tahun 2011 mencapai 144,89% dan pada tahun 2012 mencapai 165,34%. Menurut Bank Indonesia rasio ideal adalah antara 85% sampai dengan 105%, berarti rasio LDR BPR milik Pemerintah Daerah masih terlalu tinggi. Kondisi ini menunjukkan kemampuan BPR milik Pemerintah Daerah menyalurkan kredit sangat tinggi, sehingga dana yang menganggur pun menjadi sangat sedikit. Maka BPR harus dapat mengurangi pembiayaan kredit.

Rasio NPL dari tahun 2010 dan 2011 mengalami penurunan dari 0,29% menjadi 0,13%, sedangkan pada tahun 2012 mengalami peningkatan dari tahun 2011 menjadi 0,27%. Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPL) adalah sebesar 5%. Rasio NPL ini merupakan kredit bermasalah yang merupakan salah satu kunci untuk menilai kualitas kinerja bank. Ini artinya NPL merupakan indikasi adanya masalah dalam bank tersebut yang mana jika tidak segera mendapatkan solusi akan berdampak bahaya pada bank. Semakin tinggi NPL maka semakin menurun kinerja atau profitabilitas perbankan. NPL di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) milik Pemerintah Daerah masih dalam batas wajar karena di bawah 5%. Sehingga BPR milik Pemerintah Daerah memiliki kredit macet yang sangat rendah dibandingkan dengan aktiva produktivnya.

Rasio-rasio solvabilitas menunjukkan kondisi yang cukup sehat. Rasio CAR berdasarkan Surat Edaran Direksi BI No. 26/2.UD tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Modal Minimum adalah sebesar 8%. Pada tabel 8 CAR BPR milik Pemerintah di atas 8%, yaitu masing-masing pada tahun 2010 sebesar 12,62%, pada tahun 2011 sebesar 11,12% dan pada tahun 2012 menjadi sebesar 9,42%. Secara teori menurut Winton (1993) adanya ketentuan CAR tersebut mempunyai kaitan dengan keterbatasan tanggung jawab dan struktur kepemilikan

26

dalam suatu perusahaan. Dalam struktur kepemilikan sebagian harta perusahaan diperoleh dari dana pinjaman dari kreditur, sehingga perlu diimbangi dengan kemampuan pemilik modal menyediakan dana sendiri. BPR milik Pemerintah Daerah mempunyai total modal yang selalu meningkat dari tahun 2010, 2011 dan 2012 sebesar Rp 54,781.551, Rp 58.222.788, Rp 58.651.304.

Rasio rentabilitas pada BPR milik Pemerintah Daerah mengalami penurunan dan peningkatan setiap rasio. Pada rasio Net Interest Margin (NIM) mengalami peningkatan dari tahun 2010 ke 2011 dari 17% menjadi 17,29% dan mengalami penurunan di tahun 2012 dari 16,10% yang artinya pada tahun 2011 BPR milik Pemerintah Daerah mengalami peningkatan pendapatan dari bunga bersih dibandingkan dengan asetnya dari tahun 2010, sedangkan pada tahun 2012 BPR milik Pemerintah Daerah mengalami penurunan pendapatan dari bunga bersih dikarenakan adanya penambahan pada aktiva. Namun BPR milik Pemerintah Daerah menunjukkan kondisi yang bagus karena memilik pendapatan yang lebih besar dibandingkan dengan aktiva yang dimilikinya.

Rasio Net Profit Margin (NPM) mengalami penurunan dari tahun 2010 hingga 2012 dari 23,75%, 23,24% menjadi 20,24%. Hasil dari NPM yang semakin menurun dari tahun 2010 hingga tahun 2012 menunjukkan kinerja yang kurang baik karena dari tahun 2010 hingga 2012 terjadi peningkatan beban operasional dan non operasional.

Rasio Return On Equity (ROE) dari tahun 2010 dan 2011 mengalami peningkatan dari 15,35% menjadi 16,34%, sedangkan pada tahun 2012 mengalami penurunan dari tahun 2011 menjadi 15,22%. Pada tahun 2011 mengalami peningkatan sehingga laba bersih semakin meningkat. Sedangkan pada tahun 2012 mengalami penurunan laba bersih dari tahun 2011 dari Rp 9.514.410 menjadi Rp 8.928.515 pada tahun 2012.

Rasio Return on Assets (ROA) pada tahun 2010, 2011 dan 2012 mengalami penurunan dari 5,49%, 5,11% menjadi 4,03%, yang artinya dari tahun 2010, 2011 dan 2012 BPR milik Pemerintah Daerah mengalami penurunan keuntungan meskipun laba operasi tiap tahunnya meningkat dari tahun 2010 sebesar Rp 10.966.357, tahun 2011 sebesar Rp 12.445.753 dan tahun 2012 sebesar Rp 11.694.703. Data ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi dan efektifitas BPR milik Pemerintah Daerah dalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya lebih rendah.

Analisis Rasio Keuangan BPR Milik Swasta

Dari laporan keuangan BPR milik Swasta mengenai laporan rugi/laba BPR milik Swasta dapat dilihat pada lampiran 3 dan neraca BPR milik Swasta dapat dilihat pada lampiran 4 maka hasil dari perhitungan rasio keuangan seperti pada Tabel 9.

27

Tabel 9 Perhitungan Rasio Keuangan BPR Milik Swasta

Rasio 2010 2011 2012

Rasio Likuiditas % % %

1. Loan to Assets Ratio 78,04 76,92 81,46

2. Cash Rati 343,65 806,24 1755,22

3. Loan to Deposit Ratio (LDR) 168,93 152,32 156,33

4. Non Performing Loan (NPL) 0,00 0,78 1,18

Rasio Solvabilitas

1. Capital Ratio 36,29 32,11 28,78

2. Capital Adequacy Ratio (CAR) 20,47 16,35 15,94 Rasio Rentabilitas

1. Net Interest Margin (NIM) 32,76 32,16 31,07

2. Net Profit Margin (NPM) 28,85 27,75 26,21

3. Return on Equity (ROE) 21,12 23,59 23,59

4. Return on Assets (ROA) 12,36 11,66 10,45

Berdasarkan perhitungan rasio keuangan BPR milik Swasta, secara umum rasio likuiditas mengalami penurunan dari tahun 2010 ke 2011 dan mengalami peningkatan dari tahun 2011 ke 2012. Rasio pinjaman terhadap aktiva mengalamai penurunan di tahun 2010 ke 2011 dari 78,04% menjadi 76,92%, sedangkan mengalami kenaikan di tahun 2012 menjadi 81,46%. Hal ini menunjukkan bahwa aktiva yang dimiliki BPR milik Swasta dapat membiayai kredit yang dimilikinya.

Pada rasio kas mengalami peningkatan dari tahun 2010 hingga 2012 dari 343,65% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 343,65, 806,24% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 806,24 menjadi 1755,22% yang artinya setiap Rp 1 hutang lancar dijamin dengan Rp 1755,22. BPR milik Swasta memiliki rasio kas tinggi di tahun 2011 dan 2012 lebih dari 50%, ini menunjukkan bahwa BPR milik Swasta dapat membayarkan utang-utangnya dengan dana kas yang tersedia tidak perlu menjual atau menagih utang lancar lainnya.

Rasio LDR BPR milik Swasta mengalami penurunan dari tahun 2010 ke 2011 dari 168,93% menjadi 152,32% sedangkan pada tahun 2012 mengalami peningkatan lagi menjadi 156,33%. Rasio LDR digunakan untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat. Besarnya loan to deposit ratio menurut Bank Indonesia maksimum adalah 105%, sedangkan BPR milik Swasta memiliki rasio LDR lebih dari 105% dar tahun 2010 hingga 2012. Hal ini menunjukkan bahwa total kredit yang diberikan terlalu besar dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri. Maka BPR milik swasta harus mengurangi dalam pembiayaan kreditnya agar dana yang menganggur dan disalurkan ke masyarakat dalam bentuk kredit seimbang.

Rasio NPL dari tahun 2010, 2011 dan 2012 mengalami kenaikan dari 0%, 0,78% menjadi 1,18%. Bank Indonesia (BI) melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPL) adalah sebesar 5%. Rasio NPL ini merupakan kredit bermasalah yang merupakan salah satu kunci untuk menilai kualitas kinerja bank. NPL merupakan indikasi adanya masalah dalam

28

bank tersebut yang jika tidak segera mendapatkan solusi maka akan berdampak bahaya pada bank. Semakin tinggi NPL maka semakin menurun kinerja atau profitabilitas perbankan. Di BPR milik Swasta masih dalam batas wajar karena di bawah 5%. Sehingga BPR milik Swasta memiliki kredit macet yang sangat rendah dibandingkan dengan aktiva produktifnya.

Sedangkan pada rasio solvabilitas kurang sehat karena dari tahun 2010, 2011 dan 2012 mengalami penurunan. Sedangkan pada Capital Ratio mengalami penurunan dari tahun 2010, 2011 dan 2012 dari 36,29%, 32,11% menjadi 28,78% yang artinya BPR Milik Swasta modal yang dimilikinya lebih dari 8% sesuai dengan Surat Edaran Direksi BI No. 26/2.UD tanggal 29 Mei 1993 tentang Kewajiban Modal Minimum adalah sebesar 8%. Karena Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dimiliki BPR milik Swasta setiap tahun semakin meningkat.

Pada Capital Adequacy Ratio (CAR) dari tahun 2010, 2011 dan 2012 mengalami penurunan dari 20,47%, 16,35% menjadi 15,94% yang artinya BPR milik Swasta memiliki modal yang setiap tahunnya menurun tetapi aktiva yang dimiliki setiap tahun semakin meningkat dari tahun 2010, 2011 dan 2012 dari Rp 18.611.724.000, Rp 21.469.040.000 menjadi Rp 22.887.868.000. Maka BPR milik Swasta mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi dalam profitabilitas. Namun apabila beberapa tahun kedepan CAR semakin turun maka BPR dapat menjual aktiva yang dimilikinya untuk membiayai operasionalnya.

Rasio-rasio rentabilitas yang dinyatakan dengan rasio-rasio net profit margin, ROE dan ROA cenderung berfluktuasi dari tahun 2010-2012. Untuk Net Interest Margin (NIM) dari 32,76%, 32,16%, menjadi 31,07%, untuk Net Profit Margin (NPM) dari 28,85%, 27,75%, menjadi 26,21% dan untuk Return on Assets (ROA) dari 12,36%, 11,66%, menjadi 10,45%. Sedangkan untuk Return on Equity (ROE) mengalami peningkatan dari tahun 2011 ke 2011 dari 21,12% menjadi 23,59% dan 2012 tidak ada perubahan dari tahun 2011 yaitu 23,59%. Semua rasio rentabilitas adalah positif, laba bersih terhadap pendapatan operasi (NPM) cukup baik. Hal ini menunjukkan bahwa BPR milik Swasta cukup sehat sebagai lembaga keuangan, karena pendapatan bunga bersih yang selalu meningkat dari tahun 2010, 2011 dan 2012 sebesar Rp 6.097.396, Rp 6.445.256 dan Rp 6.891.273 yang artinya setiap tahun DPK yang diterima semakin meningkat.

Analisis Z-Score BPR Milik Pemerintah Daerah

Hasil perhitungan Z-Score untuk BPR milik Pemerintah dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Perhitungan Z-Score BPR Milik Pemerintah Daerah

X Keterangan 2010 2011 2012

X1 Working Capital to Total Assets 0,100 0,082 0,069 X2 Retained Earning to Total Assets 0,042 0,039 0,031 X3 Earning Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Assets 0,055 0,051 0,040 X4 Market Value of Equity to Book Value of Total Liabilities 0,311 0,270 0,227

29 6,56 X1 0,657 0.539 0,452 3,26 X2 0,137 0,127 0,100 6,72 X3 0,369 0,343 0,271 1,05 X4 0,327 0,284 0,238 Total 1.489 1,293 1.061

Hasil perhitungan Z-Score menunjukkan bahwa selama tiga tahun nilai Z sekitar angka 1,281 yang berarti kondisi BPR milik Pemerintah Daerah berada dalam keadaan perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan jika tidak melakukan perbaikan yang berarti dalam manajemen maupun struktur keuangan. Pada titik rawan ini kemungkinan muncul klasifikasi yang salah, karena pada kondisi ini banyak perusahaan dengan skor yang lebih tinggi telah bangkrut sedangkan perusahaan yang memiliki skor lebih rendah masih dapat bertahan (gray area).

Analisis Z-Score BPR Milik Swasta

Hasil perhitungan Z-Score untuk BPR milik Pemerintah dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Perhitungan Z-Score BPR Milik Swasta

X Keterangan 2010 2011 2012

X1 Working Capital to Total Assets 0,269 0,233 0,218 X2 Retained Earning to Total Assets 0,104 0,097 0,086 X3 Earning Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Assets 0,124 0,117 0105 X4 Market Value of Equity to Book Value of Total Liabilities 0,721 0,598 0,546

Z - Score 6,56 X1 1,762 1,528 1,433 3,26 X2 0,338 0,315 0,280 6,72 X3 0,831 0,784 0,702 1,05 X4 0,757 0,628 0,573 Total 3,688 3,255 2,988

Hasil perhitungan Z-Score dalam kurun waktu dari tahun 2010-2012 nilai Z di sekitar angka 3,310 yang artinya BPR milik Swasta merupakan Perusahaan yang tidak memiliki masalah dengan kondisi keuangan (non – bankrupt company).

Pembahasan

Dari hasil perhitungan analisis rasio keuangan maka rasio likuiditas, rasio solvabilitas dan rasio rentabilitas BPR milik Pemerintah Daerah dapat dibandingkan dengan BPR milik Swasta, untuk mengetahui seberapa besar risiko yang akan dialami oleh BPR milik Pemerintah Daerah dan BPR milik Swasta.

30

Perhitungan Z-Score juga dapat dibandingkan dengan BPR milik Swasta untuk mengetahui skor yang menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan.

Rasio Likuiditas

Dapat disimpulkan secara umum rasio-rasio likuiditas BPR milik Pemerintah Daerah relatif jauh lebih baik dibandingkan dengan BPR milik Swasta. Demikian pula dengan rasio antar kredit yang disalurkan dengan dana yang dihimpun dari pihak ke tiga melebihi dari standar rasio ideal yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia, yaitu antara 85% sampai dengan 105%. Non performing loan pada BPR milik Pemerintah Daerah masih lebih rendah dibandingkan BPR milik Swasta. Pada BPR milik Pemerintah Daerah sebesar 0,14% sedangkan BPR milik Swasta sebesar 0,40%. Dengan ini menunjukkan bahwa BPR milik Pemerintah Daerah yang sebagian besar portofolio kreditnya disalurkan untuk konsumtif lebih kecil risikonya dibandingkan dengan BPR milik Swasta yang sebagian besar portofolio kreditnya disalurkan untuk produktif. Rasio Solvabilitas

Rasio-rasio solvabilitas kedua BPR menunjukkan kondisi sehat. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio) kedua BPR di atas ketentuan minimum Bank Indonesia sebesar 8%. Jika rata-rata CAR pada BPR milik Pemerintah Daerah selama kurun waktu tahun 2010-2012 sebesar 14,39% sementara untuk BPR milik Swasta sebesar 25,84%. Dari angka tersebut dapat dilihat bahwa solvabilitas BPR milik Swasta relatif lebih baik jika dibandingkan dengan solvabilitas BPR milik Pemerintah Daerah.

Rasio Rentabilitas

Untuk semua rasio rentabilitas dari kedua BPR adalah positif. Laba bersih terhadap pendapatan operasi (Net Profit Margin/NPM) cukup baik, di mana pada BPR milik Pemerintah Daerah sebesar 20,24% dan pada BPR milik Swasta sebesar 26,21% pada tahun 2012. Keadaan ini menunjukkan bahwa kedua BPR mampu memperoleh laba yang wajar, walaupun NPM BPR milik Pemerintah Daerah relatif lebih rendah jika dibanding dengan BPR milik Swasta. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa BPR milik Swasta relatif lebih efisien dalam pengelolaan dananya.

Z-Score

Perbandingan tingkat rasio keuangan/bisnis menggunakan hasil analisis diskriminan (Z-Score), menunjukkan bahwa BPR milik Pemerintah Daerah memiliki nilai Z-Score sebesar 1,281 yaitu berada dalam posisi “gray area” yaitu perusahaan akan mengalami permasalahan keuangan dan jika tidak melakukan perbaikan yang berarti dalam manajemen maupun struktur keuangan maka akan menyebabkan kepailitan dalam jangka panjang, sementara untuk BPR milik Swasta memiliki nilai Z-Score sebesar 3,310 lebih besar dari 2,60 yang artinya perusahaan berada dalam kondisi tidak mengalami masalah dengan keuangan (non-bankrupt company).

31

Implikasi Manajerial

Implikasi manajerial yang dapat dimunculkan dalam penelitian adalah bagaimana menciptakan risiko keuangan yang kecil sehingga dapat meminimalkan kebangkrutan. Untuk itu diperlukan cara agar risiko keuangan perusahaan kecil meliputi:

1. Harus memperhatikan rasio-rasio keuangan dan dikelola dengan baik karena dapat berpengaruh pada laba dan kinerja BPR.

2. Dalam pemberian kredit kepada nasabah harus seimbang dengan dana pihak ketiga yang diterima agar dana yang menganggur tidak terlalu banyak atau sedikit, mengakibatkan LDR yang terlalu tinggi sehingga kemampuan likuiditas BPR semakin rendah.

3. BPR dalam memberi kebijakan kredit kepada nasabah harus berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Dokumen terkait