• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penghitungan Jumlah dan Isolasi Bakteri Yang Dapat Dikultur

Analisis berbasis kultur dan berbasis molekuler dilakukan pada komunitas bakteri yang berasosiasi selama tahapan perkembangan udang putih, dari telur sampai post larva (PL). Analisis jumlah bakteri dan komposisinya dimulai dari spawning tank, tempat induk bertelur. Analisis pada air dimulai saat sebelum induk dimasukkan dalam tangki. Tiga jam setelah induk dimasukkan, sampel air diambil kembali untuk mengetahui pengaruh kotoran yang dilepaskan induk terhadap komunitas bakteri di air. Sesaat setelah telur dilepaskan (spawning), sampel telur dan air diambil. Selanjutnya 5 jam kemudian, saat telur dipanen untuk dipindahkan ke hatching tank, kembali dilakukan sampling telur dan air. Telur ditetaskan dalam hatching tank. Sampling berikutnya dilakukan saat nauplii dipanen untuk dipindahkan ke dalam rearing tank. Sampling untuk tahap zoea, mysis, dan PL dilakukan sesaat setelah seluruh larva dalam tangki memasuki tahapan-tahapan tersebut.

Jumlah total bakteri yang berasosiasi dengan larva udang putih yang dapat dikultur dengan medium SWC100% semakin meningkat seiring tahapan perkembangannya (Gambar 4.). Jumlah bakteri pada telur sesaat setelah spawning dan 5 jam kemudian relatif tetap. Jumlah bakteri meningkat setelah telur menetas menjadi nauplii dan terus meningkat sampai tahap PL, tetapi kenaikan jumlahnya tidak terlalu besar saat larva melewati tahap nauplii menjadi zoea. Saat memasuki tahapan mysis, jumlah bakteri kembali meningkat, demikian juga saat mencapai PL, dengan perbedaan jumlah yang tidak terlalu besar antara mysis dan PL.

Sementara itu, dalam air pemeliharaan larva, jumlah bakteri berfluktuasi karena sampel air diambil dari 3 tangki berbeda. Pada spawning tank, jumlah bakteri di air meningkat 3 jam setelah induk dimasukkan. Hal ini disebabkan adanya kotoran sisa pencernaan induk yang dibuang ke air dan menjadi sumber inokulan bagi komunitas bakteri di air. Pada air hatching tank, jumlah bakteri lebih banyak daripada air spawning

tank. Adanya zat-zat yang dilepaskan saat telur menetas menjadi substrat bagi proliferasi bakteri di air. Selain itu, nauplii juga melepaskan kotoran ke air yang dapat menjadi sumber inokulan. Pada rearing tank, jumlah bakteri relatif tetap dengan sedikit menurun seiring perkembangan larva. Kemungkinan hal ini disebabkan kualitas air yang berubah

menjadi tidak menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri, dengan adanya penumpukan sisa bahan organik dari pakan dan kotoran larva, juga sisa larva yang mati. Secara umum bakteri yang ditemukan berasosiasi dengan larva jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan yang ditemukan di air, karena pada larva terdapat lebih banyak zat nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri dibandingkan dengan di air.

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

W0 W3 E0 E5 Nauplii Zoea Mysis PL

Log CFU/g untuk

ud ang Log CF U/m l untuk air Udang Air

Gambar 4. Jumlah CFU (Colony Forming Unit) bakteri dari air dan udang selama tahapan perkembangan larva. W0 : Sebelum induk dimasukkan; W3 : 3 jam setelah induk dimasukkan; E0 : Telur sesaat setelah spawning; E5 : Telur 5 jam setelah spawning.

Penghitungan jumlah Vibrio dilakukan dengan medium selektif untuk kelompok ini, yaitu agar TCBS (Thiosulfate Citrate Bile Sucrose). Jumlah kelompok Vibrio yang berasosiasi dengan udang maupun air selama perkembangan larva ditunjukkan pada Gambar 5. Pada telur yang baru dilepaskan dari induk, tidak terdeteksi adanya Vibrio. Jumlah Vibrio meningkat 5 jam kemudian saat telur dipanen. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok Vibrio yang berasosiasi dengan telur berasal dari air tangki pemeliharaan. Jumlah Vibrio meningkat drastis setelah telur menetas menjadi nauplii, dan terus meningkat, mencapai puncaknya pada tahap PL. Menurut Liu et al. (1994), populasi bakteri pada larva berubah dari dominan gram positif menjadi dominan gram negatif, saat diintroduksi dengan nauplii Artemia sebagai pakan pertama untuk larva P. monodon stadia zoea III. Hal ini disebabkan karena saat pakan hidup berupa cyst

berupa gliserol ke air (Sorgeloos et al. 1986). Gliserol merupakan substrat organik yang dapat digunakan secara efisien oleh Vibrio spp. sehingga adanya senyawa ini akan menyebabkan proliferasi kelompok Vibrio dan selanjutnya nauplii Artemia dapat menjadi vektor bagi Vibrio spp. untuk masuk ke dalam saluran pencernaan hewan yang memakannya. Pada penelitian ini pemberian pakan Artemia baru dilakukan pada tahap mysis, kemungkinan ini menyebabkan jumlah Vibrio mencapai puncaknya pada PL. Akan tetapi peningkatan jumlah Vibrio secara drastis justru terjadi pada tahap nauplii, kemungkinan karena pecahnya telur diikuti dengan pelepasan cadangan makanan yang ada padanya, menyebabkan pertumbuhan kelompok ini secara drastis meningkat.

0 1 2 3 4 5 6 7 8

W0 W3 E0 E5 Nauplii Zoea Mysis PL

Log CFU/g untuk

ud ang Log CF U/m l untuk air Udang Air

Gambar 5. Jumlah CFU (Colony Forming Unit) untuk kelompok Vibrio dari air dan udang selama perkembangan larva. W0 : Sebelum induk dimasukkan; W3 : 3 jam setelah induk dimasukkan; E0 : Telur sesaat setelah spawning; E5 : Telur 5 jam setelah spawning.

Sementara itu, pada air pemeliharaan, jumlah Vibrio juga meningkat seiring waktu. Pada spawning tank, jumlah Vibrio meningkat cukup drastis setelah indukdimasukkan. Kemungkinan Vibrio berasal dari komunitas bakteri yang berasosiasi dengan induk yang dilepaskan ke air dengan perantaraan faeces. Pada akhirnya Vibrio yang berasal dari induk ini juga dapat ditransfer ke telur dengan perantaraan air. Pada rearing tank, jumlah

Vibrio meningkat cukup besar saat memasuki tahap mysis, di mana pada tahap ini mulai diberikan Artemia sebagai pakan, lalu sedikit menurun saat tahap PL.

Jenis-jenis isolat yang didapatkan dari larva pada berbagai tahapan perkembangan beserta komposisinya dapat dilihat pada Gambar 6. Total didapatkan 7 isolat berbeda dari keseluruhan tahap perkembangan larva udang putih. Keragaman isolat yang didapatkan terkecil pada tahapan PL. Sementara pada tahapan telur dan nauplii keragaman paling besar, hanya komposisi masing-masing isolat saja yang berbeda Hal ini sedikit berbeda dengan hasil yang didapatkan Vandenberghe et al. (1999), di mana keragaman mikrobiota utama yang berasosiasi dengan larva udang terjadi tertinggi pada tahap nauplii dan zoea.

0% 20% 40% 60% 80% 100%

E0 E5 Nauplii Zoea Mysis PL

LV7 LV6 LV5 LV4 LV3 LV2 LV1

Gambar 6. Komposisi isolat yang ditemukan pada tiap tahapan perkembangan larva. E0 : Telur sesaat setelah spawning; E5 : Telur 5 jam setelah spawning.

Isolat-isolat yang berasosiasi dengan telur atau larva kemudian diidentifikasi berdasarkan sekuens gen penyandi 16S rRNA (sekitar 1300 bp). Hasil identifikasi dapat dilihat pada Tabel 3. Isolat bakteri yang berasosiasi dengan larva udang putih berkerabat dekat dengan jenis-jenis yang umum ditemukan pada lingkungan air laut maupun berasosiasi dengan hewan invertebrata akuatik. Isolat LV4 memiliki kemiripan dengan

Pseudoalteromonas sp. 10Xb1, endoparasit pada Ciliata Collinia sp. yang berasal dari Teluk California. Isolat LV5 100% sama dengan Flavobacteriaceae bacterium P99-3, yang diisolasi dari laut di Jepang. Isolat LV7 berkerabat dekat dengan Alteromonas sp. DG1302, bakteri yang hidup berasosiasi dengan dinoflagelata Scrippsiella dan

merupakan bakteri laut pembentuk biofilm. Sedangkan isolat LV2 yang teridentifikasi sebagai Paracoccus zeaxanthinifaciens strain R-1506 merupakan bakteri yang dapat memproduksi zeaxanthin (Berry et al. 2003).

Tabel 3. Hasil identifikasi isolat yang berasosiasi dengan telur dan larva No.

Isolat

Hasil Identifikasi % Kesamaan No. Akses

LV6 Alteromonas sp. SPB-5 99% DQ412075

LV4 Pseudoalteromonas sp. 10Xb1 99% EU090137

LV5 Flavobacteriaceae bacterium P99-3 100% AB106141

LV1 Microbacterium sp. SMB18 99% DQ868683

LV7 Alteromonas sp. DG1302 99% DQ486510

LV3 Exiguobacterium sp. JL-42 100% AY745848.1

LV2 Paracoccus zeaxanthinifaciens strain R- 1506

100% AF461159

Isolat LV3 yang ditemukan pada seluruh tahapan perkembangan dan menjadi dominan pada komunitas bakteri PL memiliki kemiripan dengan Exiguobacterium sp. JL- 42 yang diisolasi dari cyst Artemia komersial. Bakteri ini dapat menjadi kandidat probiotik untuk kultur larva Artemia karena memiliki efek positif pada pertumbuhan dan perkembangan jika diberikan dalam campuran dengan Microbacterium sp. A (Orozco- Medina et al. 2002). Sementara isolat LV6 yang juga mendominasi seluruh tahapan perkembangan memiliki kedekatan dengan Alteromonas sp. SPB-5, isolat bakteri asal

submarine basalts Loihi Seamount yang dapat mengoksidasi Mn2+ (Templeton et al. 2005). Seluruh jenis yang ditemukan pada larva tersebut juga ditemukan pada air pemeliharaan. Kemungkinan bakteri yang hidup berasosiasi dengan larva berasal dari air pemeliharaannya. Pada larva udang yang merupakan filter feeder, terjadi aliran air yang terus-menerus memasuki saluran pencernaannya. Hal ini memperbesar kemungkinan jenis bakteri dalam air mempengaruhi komposisi mikrobiota yang mengkolonisasi saluran pencernaan.

Dari hasil tersebut terlihat bahwa bakteri dalam komunitas yang berasosiasi dengan larva udang putih ini pada tiap tahapan perkembangannya sebagian besar termasuk dalam kelompok Proteobacteria, khususnya -Proteobacteria. Pengecualian adalah pada tahap PL di mana Exiguobacterium yang termasuk dalam kelompok bakteri Firmicutes/Gram Positif jumlahnya paling banyak dalam komunitas, walaupun tidak terlalu dominan karena hampir seimbang dengan isolat LV6. Dua isolat bakteri, LV6 (Alteromonas sp. SPB-5) dan LV3 (Exiguobacterium sp.) ditemukan pada seluruh tahapan perkembangan larva. Secara keseluruhan, isolat yang didapatkan termasuk dalam tiga kelompok, yaitu Proteobacteria, Bacteroidetes, dan Firmicutes.

Dari hasil penelitian terdahulu, bakteri yang ditemukan pada organisme ini antara lain genus Vibrio, Staphylococcus, Brevibacterium, dan Micrococcus (Goodwin 2005). Moss et al. (2000) menemukan bahwa Vibrio, Aeromonas, dan Pseudomonas

mendominasi saluran cerna juvenileL. Vannamei. Akan tetapi, menurut Vandeberghe et al. (1999), Vibrio bukanlah kelompok yang dominan pada L. vannamei. Pada penelitian ini, pada kultur dengan medium SWC100% tidak didapatkan Vibrio. Akan tetapi, dengan medium TCBS yang selektif untuk kelompok Vibrio, didapatkan Vibrio dalam jumlah yang cukup besar terutama di tahap akhir perkembangan larva. Kemungkinan kelompok

Vibrio kalah dalam kompetisi dengan kelompok bakteri lain jika ditumbuhkan pada medium non selektif seperti SWC100%. Hal ini menunjukkan bahwa kultur dengan menggunakan medium atau kondisi yang berbeda dapat memberikan hasil yang berbeda pula. Oleh karena itu, teknik kultur tidak dapat menggambarkan suatu komunitas bakteri secara utuh seperti keadaan yang sebenarnya di alam.

Analisis Komunitas Bakteri Dengan T-RFLP

T-RFLP digunakan untuk memonitor perubahan pada komunitas bakteri selama perkembangan larva udang putih. Untuk analisis ini digunakan gen penyandi 16S rRNA sebagai marker dengan alasan sifatnya yang ubikuitus untuk kelompok bakteri dan ketersediaan database untuk identifikasi. Total gen 16S rRNA dari komunitas diamplifikasi dengan primer 63F yang dilabel dengan 6-FAM dan primer 1387R yang tidak dilabel. Produk PCR yang terlabel pada ujung 5’ kemudian didigesti secara terpisah dengan 2 enzim restriksi, Sau3A1 dan RsaI. Selanjutnya hasil digesti ini dibaca pada

mesin sekuensing otomatis berbasis kapiler. Data sampel yang didapatkan berupa ukuran

Terminal Restriction Fragment (TRF) dalam satuan base pair (bp, pasang basa) dan tinggi/luas area puncak untuk masing-masing TRF dalam elektroforegram. Satu TRF dianggap sebagai satu filotipe, sementara luas area di bawah puncak menunjukkan kemelimpahan relatif dari TRF tersebut. Dari dua enzim restriksi yang digunakan, hasil digesti dengan enzim Sau3A1 menghasilkan resolusi yang lebih tinggi (menghasilkan jumlah TRF lebih banyak) dibandingkan RsaI. Oleh karena itu, untuk analisis keragaman digunakan data TRF Sau3A1. Akan tetapi untuk meminimalkan kemungkinan identitas masing-masing filotipe, data dari dua enzim tetap digunakan.

Sebelum proses digesti dengan enzim restriksi, produk PCR didigesti terlebih dahulu dengan menggunakan Mung Bean Nuclease. Egert dan Friedrich (2003) menemukan adanya fragmen restriksi non-terminal pada profil TRFLP dari komunitas mikroba yang kompleks yang disebut pseudo-TRF. Pseudo-TRF terbentuk oleh adanya DNA utas tunggal pada produk PCR. Pseudo-TRF ini tidak terdeteksi saat produk PCR didigesti terlebih dahulu dengan menggunakan Mung Bean Nuclease, yang spesifik bekerja pada DNA utas tunggal. Untuk meminimalkan terbentuknya pseudo-TRF ini, sangat dianjurkan untuk membatasi siklus PCR seminimal mungkin karena pembentukan

pseudo-TRF meningkat seiring dengan jumlah siklus PCR.

Tiap TRF dapat diidentifikasi dengan mencocokkan ukuran TRF dengan database. Keterbatasan T-RFLP adalah dalam identifikasi TRF karena pada teknik ini hanya sebagian kecil saja (ujung 5’ setelah dipotong dengan enzim restriksi) dari gen 16S rRNA yang dianalisis. Banyak genus bakteri yang memiliki ukuran TRF yang sama dengan menggunakan enzim restriksi tertentu, sehingga kemungkinan identitas dari TRF tersebut masih cukup banyak. Oleh karena itu teknik T-RFLP memiliki keterbatasan untuk menganalisis komunitas bakteri yang kompleks dengan kisaran bakteri yang memiliki ukuran TRF yang tidak beragam (Dunbar et al. 2001). Problem ini dapat diatasi dengan penggunaan lebih banyak enzim restriksi. Penggunaan 2 atau lebih enzim restriksi dapat mengurangi jumlah kemungkinan identitas dari masing-masing TRF. Pada penelitian ini, bahkan penggunaan 2 enzim masih menghasilkan kemungkinan identitas yang cukup banyak dan mencakup kisaran yang luas dari kelompok-kelompok yang cukup jauh kekerabatannya.

Tidak semua TRF dapat diidentifikasi dengan pasti menggunakan database RDP. Kemungkinan ada juga TRF yang tidak memiliki kecocokan dengan database karena filotipe tersebut adalah jenis baru dan belum ada datanya dalam database. Sebagian besar data yang ada dalam database juga merupakan uncultured bacteria yang belum pasti identitasnya. Mengingat belum banyak penelitian mengenai komunitas bakteri yang berasosiasi dengan larva udang putih, mungkin sebagian besar jenis bakteri dalam komunitas merupakan spesies novel yang tidak ditemukan pada lingkungan lain dan belum ada datanya dalam database.

Profil T-RFLP komunitas bakteri sepanjang perkembangan larva menunjukkan kisaran ukuran TRF yang luas mulai dari 38 bp sampai 448 bp, mewakili banyaknya populasi bakteri berbeda yang ada dalam komunitas yang berasosiasi dengan telur dan larva udang putih. Komposisi komunitas bakteri berubah secara dinamis mengikuti tahapan perkembangan larva. Masing-masing komunitas yang berasosiasi dengan tahapan perkembangan tertentu dari larva memiliki keunikan tersendiri, kecuali antara tahap mysis dan post larva yang relatif hampir sama. Dinamika dari komunitas bakteri pada masing-masing tahapan perkembangan larva udang putih ditunjukkan pada Gambar 7. 0% 20% 40% 60% 80% 100% E0 E5 N Z M PL 38 70 73 76 80 82 83 96 104 130 136 137 142 146 148 150 153 154 157 158 162 182 193 203 204 206 207 213 219 224 225 226 228 230 231 234 235 238 243 245 247 249 251 252 254 257 259 260 262 270 272 276 293 294 304 305 309 337 342 344 382 396 448

Gambar 7. Komposisi TRF Sau3a1 selama tahapan perkembangan larva. E0 : Telur sesaat setelah spawning; E5 : Telur 5 jam setelah spawning; N : Nauplii; Z : Zoea; M : Mysis; PL : Post larva.

Pada telur yang baru saja dilepaskan oleh induknya (E0) dan 5 jam kemudian (E5), tidak terdapat perbedaan yang besar dalam komposisi komunitas bakteri. Komunitas berubah secara drastis pada tahap nauplii dan zoea, kemudian menjadi stabil saat larva mencapai tahap mysis dengan hanya sedikit perbedaan antara mysis dan PL. Komunitas bakteri pada tahap mysis dan PL didominasi oleh filotipe yang sama, tetapi filotipe dominan pada kedua komunitas tersebut berbeda dengan filotipe yang dominan pada tahap lainnya. Terdapat filotipe-filotipe yang dapat ditemukan pada beberapa komunitas bakteri yang berasosiasi dengan tahapan perkembangan larva yang berbeda, tetapi jumlah relatifnya berfluktuasi. Perbedaan pada komunitas bakteri yang berasosiasi dengan tahapan perkembangan larva yang berbeda ini menggambarkan bahwa pada larva udang putih pengaruh lingkungan terhadap komposisi komunitas bakteri cukup besar, terutama di tahap awal perkembangan larva.

Kemungkinan identitas filotipe yang paling dominan pada telur masuk dalam kelompok -Proteobacteria. Untuk nauplii, filotipe yang dominan merupakan kelompok Bacteroidetes. Filotipe dominan pada zoea termasuk dalam kelompok Cyanobacteria. Sementara untuk mysis dan post larvae yang dominan adalah kelompok -Proteobacteria. Seperti ditunjukkan dalam Tabel 4., walaupun filotipe yang dominan pada beberapa tahap bukan mewakili kelompok Proteobacteria, secara proporsi kelompok Proteobacteria mendominasi komunitas bakteri yang berasosiasi dengan larva udang putih, kecuali pada nauplii. Sedangkan dari segi keragamannya, filotipe yang mewakili kelompok ini paling banyak jenisnya di setiap tahapan. Komunitas bakteri yang berasosiasi dengan tahap perkembangan akhir larva lebih merata dari segi kelompok bakteri penyusunnya, walaupun kelompok Proteobacteria tetap yang paling dominan jumlahnya secara relatif.

Tabel 4. Perbandingan jumlah relatif (%) kelompok bakteri yang ditemukan pada tahapan perkembangan larva. Angka dalam kurung menunjukkan banyaknya filotipe yang mewakili kelompok tersebut.

Proteobacteria Firmicutes Bacteroidetes Cyanobacteria Chloroflexi

Nauplii 13 (7) 23 (4) 64 (3) - -

Zoea 58 (3) 1 (2) 1 (1) 40 (1) -

Mysis 49 (7) 24 (4) 26 (5) - -

PL 46 (7) 24 (3) 26 (5) - 1 (1)

Beberapa filotipe yang ditemukan pada telur juga bertahan dalam komunitas bakteri yang berasosiasi selama keseluruhan tahapan perkembangan larva. Terdapat 3 filotipe pada telur yang ditemukan pada seluruh tahapan perkembangan larva berikutnya, sementara 3 filotipe lainnya yang ada pada telur juga ditemukan pada minimal 2 tahapan perkembangan larva berikutnya. Selain itu, terdapat juga jenis filotipe yang tidak ditemukan pada telur tapi ditemukan pada minimal 3 tahap perkembangan larva berikutnya. Karena itu, filotipe-filotipe ini dapat dianggap sebagai simbion yang umum berasosiasi dengan larva udang putih (Tabel 5.).

Tabel 5. Filotipe yang berasosiasi dengan 3 atau lebih tahapan perkembangan larva udang putih. # : ditemukan pada seluruh tahapan; * : tidak ditemukan pada telur Ukuran TRF (bp) Grup 73# Firmicutes 193 α-Proteobacteria 204 α-Proteobacteria 228 -Proteobacteria 245# Bacteroidetes 252# Firmicutes 150* Bacteroidetes 157* Bacteroidetes 260* Bacteroidetes 270* Firmicutes

Tiga TRF yang secara konsisten ditemukan sejak awal perkembangan larva sampai mencapai PL mewakili bakteri yang termasuk dalam kelompok Bacteroidetes dan Firmicutes. Dua dari Ketiga filotipe ini, yaitu 73 bp dan 252 bp bukanlah filotipe yang dominan pada seluruh tahapan perkembangan larva. Filotipe 73 bp jumlahnya relatif sedikit pada awal perkembangan, berkisar antara 0,5-1% dari keseluruhan komunitas. Jumlah relatif filotipe ini kemudian meningkat pada mysis dan PL menjadi sekitar 10% dari keseluruhan komunitas. Filotipe ini setelah dicocokkan dengan database mewakili

bakteri gram positif yang tidak dapat dikultur, unculturedbacterium p-4162-6Wa5, yang berasal dari saluran pencernaan babi. Sementara itu, filotipe 252 bp jumlahnya juga meningkat di tahap akhir perkembangan, dari sekitar 2% di telur menjadi sekitar 6% pada PL. Dari hasil pencocokan dengan database, filotipe 252 bp kemungkinan merupakan jenis yang umum berasosiasi dengan manusia (pada kulit, vagina, dan kolon), kalkun, maupun rayap. Satu filotipe lain yang ditemukan pada seluruh tahapan, yaitu 245 bp, merupakan filotipe yang dominan pada tahap nauplii, dan jumlahnya juga relatif dominan pada tahap mysis sampai PL. Sedangkan pada tahap lainnya filotipe ini jumlahnya relatif kecil. Filotipe 245 bp ini mewakili antara lain bakteri yang berasosiasi dengan kecoa.

Tiga filotipe lainnya ditemukan pada telur dan minimal dua tahap perkembangan larva berikutnya, yaitu 193 bp, 204 bp, dan 228 bp, mewakili bakteri dari kelompok Proteobacteria. Sementara 4 filotipe yang ditemukan pada minimal 3 tahapan tapi tidak ditemukan pada telur termasuk dalam kelompok Bacteroidetes dan Firmicutes. Filotipe yang berasosiasi dengan telur dan bertahan sampai tahapan selanjutnya kemungkinan besar berasal dari induk atau air pada awal pemeliharaan. Sedangkan, filotipe yang tidak ditemukan pada telur kemungkinan berasal dari introduksi pakan atau kontak dengan lingkungan sekitar, termasuk manusia.

Beberapa filotipe merupakan filotipe yang unik untuk satu tahapan perkembangan larva (Tabel 6.). Telur memiliki jumlah filotipe unik yang terbanyak, yaitu 12 filotipe. Tahapan lainnya, yaitu Nauplii, zoea, mysis, dan PL masing-masing memiliki berturut- turut 4, 4, 2, dan 2 filotipe unik. Sementara itu, ada 6 filotipe yang hanya ditemukan pada mysis dan PL. Filotipe yang unik pada telur dan zoea, yaitu berturut-turut 230 bp dan 206 bp, merupakan filotipe paling dominan pada tahapan tersebut. Identifikasi TRF menunjukkan bahwa bakteri yang cenderung berasosiasi dengan telur dan awal perkembangan larva sebagian besar merupakan kelompok Proteobacteria, sedangkan kelompok bakteri yang lain mencirikan komunitas bakteri yang berasosiasi dengan tahapan yang lebih lanjut.

Tabel 6. Filotipe unik yang ditemukan pada tahapan perkembangan larva tertentu

Tahapan Ukuran TRF Kelompok

Telur 38 Firmicutes

76 α-Proteobacteria

83 Tidak ada kecocokan dengan database

96 Tidak ada kecocokan dengan database

130 α-Proteobacteria 153 α-Proteobacteria 154 -Proteobacteria 162 α-Proteobacteria 219 α-Proteobacteria 230 -Proteobacteria 243 -Proteobacteria 254 Firmicutes Nauplii 234 -Proteobacteria 235 -Proteobacteria 251 Firmicutes 344 Bacteroidetes

Zoea 104 Tidak ada kecocokan dengan database

206 Cyanobacteria

207 α-Proteobacteria

231 α-Proteobacteria

Mysis 80 Firmicutes

448 Tidak ada kecocokan dengan database

PL 293 Tidak ada kecocokan dengan database

294 Chloroflexi

Mysis/PL 70 Tidak ada kecocokan dengan database

136 α-Proteobacteria

137 Bacteroidetes

213 α-Proteobacteria

262 Bacteroidetes

Species richness (S) atau jumlah filotipe yang terdeteksi pada komunitas bakteri dari seluruh tahap perkembangan berkisar antara 8-19 dengan menggunakan enzim

Sau3A1 (Tabel 7.). Keragaman tertinggi (ditunjukkan oleh nilai indeks Shannon- Weiner/H’) dan juga evenness tertinggi ditemukan pada tahap PL, menunjukkan bahwa tahap terakhir perkembangan larva ini memiliki komunitas bakteri yang sangat beragam dengan distribusi filotipe yang merata. Ini berarti tidak ada filotipe yang relatif dominan pada tahap ini. Sebaliknya, berdasarkan luas peak area hasil T-RFLP, perkiraan jumlah total bakteri pada tahap ini justru paling rendah (Gambar 8.). Akan tetapi, komunitas bakteri pada tahap ini sangat mirip dengan tahap mysis. Selain komposisinya, tingkat keragaman dan distribusi filotipe pada komunitas bakteri yang berasosiasi dengan tahapan mysis juga mendekati komunitas pada tahapan post larva. Sementara itu, keragaman terendah teramati pada tahap zoea, Nilai evenness tahap ini juga rendah menunjukkan adanya beberapa filotipe yang sangat dominan. Berdasarkan luas peak area hasil T-RFLP, perkiraan jumlah total bakteri pada tahap ini adalah yang paling tinggi.

Tabel 7. Keragaman bakteri pada tiap tahap perkembangan larva Tahap Jumlah Filotipe / Richness Indeks Shannon- Weiner / H’ Evenness / E Ukuran TRF Sau3A1 Dominan (bp) Kelompok E0 19 2.21 0.75 230 -Proteobacteria E5 18 2.18 0.75 Nauplii 14 1.33 0.5 245 Bacteroidetes Zoea 8 1.19 0.57 206 Cyanobacteria Mysis 18 2.55 0.88 228 -Proteobacteria PL 18 2.58 0.89

Untuk meningkatkan kemampuan bertahan hidup larva yang tinggi,

Dokumen terkait