• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi Beras Rumahtangga Perkembangan Konsumsi Beras Rumahtangga

Konsumsi beras rumahtangga tahun 2002 – 2007 mengalami penurunan, baik di perkotaan maupun di pedesaan (Tabel 6). Konsumsi beras rumahtangga perkotaan turun menjadi 93.3 Kg/kap/tahun pada tahun 2007 dari 99.1 Kg/kap/tahun pada tahun 2002, sedangkan konsumsi beras rumahtanga pedesaan turun menjadi 104.5 Kg/kap/tahun pada tahun 2007 dari 113.0 Kg/kap/tahun pada tahun 2002.

Tabel 6. Perkembangan konsumsi beras rumahtangga berdasarkan wilayah (g/kap/hari dan Kg/kap/tahun) tahun 2002 – 2007

WILAYAH g/Kapita/hari Kg/Kapita/Tahun

Laju (%) 2002 2005 2007 2002 2005 2007

Perkotaan 272.0 263.1 256.2 99.1 95.8 93.3 -1.2

Pedesaan 310.5 305.7 287.1 113.0 111.3 104.5 -1.8 Rata-rata 293.3 286.1 272.3 106.7 104.1 99.1 -1.6 Konsumsi beras rumahtangga terus mengalami penurunan sejak terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1998. Krisis ekonomi menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteran penduduk, khususnya masyarakat golongan bawah. Penurunan konsumsi beras rumahtangga tersebut terjadi karena daya beli masyarakat yang melemah.

Konsumsi beras rumahtangga tahun 2002 – 2007 mengalami penurunan dengan laju penurunan 1.6 persen pertahun. Pada periode tersebut situasi ekonomi dan politik sudah membaik, kesejahteraan penduduk juga telah meningkat. Peningkatan kesejahteraan tersebut ditandai dengan menurunnya persentase pengeluaran untuk pangan pada tahun 2002 – 2005 yaitu dari 58.5 persen menjadi 51.4 persen. Pada tahun 2005 – 2007 kesejahteraan masyarakat juga terus meningkat, namun berjalan lebih lambat, yaitu dari 51.4 persen menjadi 49.2 persen (BPS 2007a).

Keadaan kesejahteraan bukan lagi menjadi faktor yang menyebabkan menurunnya konsumsi beras karena daya beli masyarakat yang melemah seperti pada saat krisis ekonomi. Konsumsi beras perkapita menurun seiring dengan meningkatnya pendapatan, peningkatan pengetahuan tentang gizi seimbang, program diversifikasi pangan yang semakin meluas, dan tersedianya berbagai produk pangan substitusi beras (Erwidodo & Pribadi 2003).

Pada tahun 2002, konsumsi masyarakat semakin beralih ke tepung terigu dan produk turunannya. Nilai sosial yang tinggi, rasa yang disukai, dan

kepraktisan yang ditawarkan pada berbagai produk turunan tepung terigu sangat cocok dengan gaya hidup masyarakat kota. Hal tersebut nampaknya juga terjadi pada rumahtangga pedesaan. Konsumsi mie instan dan berbagai macam produk olahan tepung terigu saat ini semakin meningkat. Berbagai macam produk substitusi beras juga semakin terjangkau di pedesaan (Khomsan et al. 2003).

Konsumsi beras rumahtangga perkotaan berdasarkan data pada Tabel 6 lebih rendah dibandingkan konsumsi beras rumahtangga pedesaan, walaupun laju penurunan konsumsi beras pada rumahtanga pedesaan lebih besar.

Konsumsi beras rumahtangga perkotaan semakin menurun karena tersedianya berbagai produk alternatif substitusi beras baik dalam bentuk mentah maupun olahan. Rata-rata pendapatan yang lebih tinggi menyebabkan konsumsi masyarakat perkotaan lebih beraneka ragam, sehingga sebagian konsumsi beras disubstitusi oleh pangan yang lain. Pada rumahtangga pendapatan tinggi konsumsi pangannya semakin meningkat pada konsumsi pangan hewani, seperti daging, ikan, telur, dan susu.

Penurunan konsumsi beras rumahtangga terjadi pada konsumsi beras langsung (beras dan beras ketan) (Tabel 7). Konsumsi beras langsung merupakan konsumsi terbesar dalam konsumsi beras rumahtangga. Menurunnya jumlah konsumsi beras langsung dan meningkatnya konsumsi produk turunan/makanan olahan beras menunjukkan bahwa jumlah beras yang dimasak langsung di dalam rumah semakin berkurang dan konsumsi masyarakat semakin bergeser pada konsumsi makanan jadi atau makanan siap saji.

Tabel 7. Konsumsi beras langsung dan konsumsi produk turunan/makanan olahan beras (g/kap/hari dan Kg/kap/tahun)tahun 2002 - 2007

JENIS KONSUMSI g/Kapita/hari Kg/Kapita/Tahun Laju (%/tahun) 2002 2005 2007 2002 2005 2007

Konsumsi beras

langsung 275.9 264.4 248.6 100.4 96.3 90.5 -2.2 Konsumsi produk

turunan/makanan olahan beras

17.4 21.7 23.8 6.3 7.9 8.7 6.5

TOTAL 293.3 286.1 272.3 106.7 104.1 99.1 -1.6

Gejolak harga beras yang terjadi pada akhir tahun 2005 hingga sekarang dipercaya tidak menjadi faktor yang menyebabkan menurunnya konsumsi beras rumahtangga. Analisis Nuryanti (2005) menunjukkan bahwa konsumsi beras tidak elastis terhadap perubahan harga, sehingga konsumsi beras relatif tetap meskipun harga beras mengalami kenaikan. Hal tersebut terjadi karena beras adalah pangan pokok utama yang tidak bisa digantikan oleh pangan yang lain.

23

Penelitian Sari (2007) yang dilakukan di Cipinang, Jakarta Timur, menunjukkan hanya 8 persen rumahtangga yang mengurangi konsumsi beras akibat kenaikan harga. Kenaikan harga beras disiasati dengan mengkonsumsi beras yang kualitasnya lebih rendah dengan harga yang lebih murah, sehingga jumlah beras yang dikonsumsi tidak berubah. Pada rumahtangga kelas bawah, kenaikan harga beras menyebabkan perubahan pada pola pembelian.

Rumahtangga kelas bawah membeli beras setiap hari dengan jumlah pembelian yang lebih sedikit. Hal tersebut berkaitan dengan pendapatan yang tidak mencukupi dan pola pendapatan harian.

Produk turunan/makanan olahan beras yang terdapat dalam SUSENAS adalah tepung beras, bubur bayi kemasan, bihun, nasi campur, nasi goreng, nasi putih, dan lontong/ketupat sayur. Konsumsi beras dalam bentuk produk turunan/makanan olahan beras tersebut terus mengalami peningkatan, baik di perkotaan maupun pedesaan (Tabel 8). Laju peningkatan konsumsi produk turunan/makanan olahan beras tertinggi pada rumahtangga perkotaan adalah pada konsumsi bubur bayi kemasan diikuti konsumsi nasi putih dan nasi campur.

Sedangkan pada rumahtangga pedesaan laju peningkatan konsumsi tertinggi adalah pada bubur bayi kemasan diikuti nasi campur dan tepung beras.

Tabel 8. Konsumsi produk turunan/makanan olahan beras berdasarkan wilayah (g/kap/hari dan Kg/kap/tahun) tahun 2002 – 2007

JENIS MAKANAN Perkotaan Laju (%/tahun)

Pedesaan Laju (%/tahun)

2002 2005 2007 2002 2005 2007

Tepung beras 0.4 0.4 0.4 3.6 0.3 0.5 0.5 8.3

Konsumsi produk turunan beras tertinggi berasal dari konsumsi tepung beras, sedangkan konsumsi makanan olahan beras tertinggi berasal dari konsumsi nasi campur/rames. Konsumsi produk turunan/makanan olahan beras secara umum lebih tinggi pada rumahtangga perkotaan. Jumlah konsumsi tepung beras, nasi campur, dan nasi goreng terus meningkat dari tahun 2002 – 2007. Konsumsi lontong/ketupat sayur mengalami peningkatan dari tahun 2002 ke tahun 2005, namun mengalami penurunan pada tahun 2007. Sedangkan konsumsi nasi putih menurun dari tahun 2002 ke tahun 2005, dan mengalami peningkatan lagi dari tahun 2005 ke tahun 2007.

Tepung beras adalah produk turunan beras yang memiliki nilai tambah yang cukup tinggi. Jenis tepung beras yang biasa ditemui di pasaran, yaitu tepung beras dan tepung beras ketan. Tepung beras menjadi bahan dalam pembuatan berbagai jenis makanan pada negara penghasil dan pengkonsumsi beras sebagai pangan pokok. Di Indonesia, tepung beras digunakan dalam pembuatan beberapa jenis makanan seperti makanan cemilan dan pelapis pada gorengan. Permintaan tetap pada tepung beras adalah untuk makanan bayi (Haryadi 2006).

Konsumsi tepung beras yang meningkat tiap tahun menunjukkan permintaan tepung beras yang semakin meningkat. Jumlah peningkatan permintaan tepung beras tentu semakin besar karena disamping jumlah konsumsi perkapita yang meningkat juga karena jumlah penduduk yang semakin banyak. Seiring dengan meningkatnya permintaan tersebut, permintaan beras untuk industri khususnya tepung beras juga terus mengalami peningkatan.

Nasi campur adalah nasi yang disajikan lengkap dengan sayur dan lauk-pauknya. Tabel 6 menunjukkan konsumsi nasi campur adalah yang paling tinggi dibanding konsumsi makanan olahan beras lainnya. Nasi campur merupakan makanan yang paling banyak dipilih untuk dikonsumsi menurut penelitian Situmorang (2005) pada pekerja yang melaju antara Bogor dan Jakarta.

Kepraktisan dan nilai gizi menjadi alasan pemilihan nasi campur tersebut. Nasi goreng menjadi pilihan berikutnya setelah roti.

Bihun biasa disebut juga mihun atau mie putih. Bihun dibuat dengan bahan utama beras pera yang dijadikan tepung terlebih dahulu. Beras pecah dan menir dapat digunakan untuk mengurangi biaya produksi. Produk bihun yang banyak beredar di Asia adalah bihun instan. Bihun instan dapat dikonsumsi sebagai makanan pokok atau pelengkap makanan lain (Haryadi 2006). Sebagai makanan pendamping atau pelengkap makanan lain, konsumsi bihun semakin meningkat dengan meningkatnya konsumsi olahan beras lain seperti ketoprak dan opor.

Bubur bayi kemasan merupakan salah satu makanan padat pertama yang dapat diberikan kepada bayi sebagai makanan pendamping ASI. Pada usia 6 bulan bayi sudah bisa diberi bubur bayi karena organ pencernaannya sudah mampu untuk mencerna makanan yang lebih padat (Nanny 2008). Laju peningkatan konsumsi yang tinggi menunjukkan bahwa permintaan ibu rumahtangga terhadap bubur bayi kemasan meningkat dengan cepat. Bubur bayi

25

kemasan menjadi salah satu pilihan utama para ibu untuk diberikan pada bayinya karena beberapa alasan. Penelitian Amanda (2005) menyebutkan alasan ibu rumahtangga memilih bubur bayi sebagai pendamping ASI secara berturut-turut adalah: 1) Faktor ibu bekerja. Keterbatasan waktu yang dimiliki oleh ibu rumahtangga yang bekerja menyebabkan ibu rumahtangga lebih memilih bubur bayi kemasan karena lebih praktis; 2) Faktor promosi. Pada saat sebuah perusahaan melakukan promosi pada produk barunya, banyak sampel gratis yang bisa diperoleh oleh para ibu; 3) Faktor orang lain. Pada waktu akan memilih makanan yang akan diberikan pada bayi, ibu rumahtangga lebih mendengarkan orang lain sebagai masukan. Dalam hal ini ibu rumahtangga lebih mendengarkan dan mengikuti anjuran dari bidan atau dokter; 4) Kandungan gizi. Semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran iburumahtangga terhadap pentingnya gizi menyebabkan para ibu lebih memilih produk yang dapat memenuhi kebutuhan gizi untuk pertumbuhan dan perkembangan anak; 5) Gaya hidup. Bubur bayi kemasan sangat sesuai dengan kebutuhan ibu rumahtangga yang semakin mementingkan kesehatan dan kepraktisan; 6) Tekstur. Tekstur bubur bayi yang lembut sangat cocok dan disukai oleh bayi.

Produk turunan atau makanan olahan beras merupakan hasil produksi dari industri formal maupun nonformal. Meningkatnya konsumsi produk turunan dan makanan olahan beras menjadi indikator terus berkembangnya industri olahan beras. Meningkatnya permintaan akibat meningkatnya konsumsi memberikan prospek yang cerah untuk terus mengembangkan usaha dibidang pengolahan tersebut.

Konsumsi beras rumahtangga diharapkan terus mengalami penurunan, sehingga ketergantungan terhadap beras dapat berkurang. Selain itu, berkurangnya konsumsi beras dapat mendukung tercapainya diversifikasi pangan pokok. Jumlah konsumsi beras yang ideal berdasarkan Pola Pangan Harapan (PPH) adalah 275 g/hari atau 100.4 Kg/tahun. Angka tersebut diperoleh dari kontribusi energi padi-padian berdasarkan PPH yaitu sebesar 1000 kkal.

Kontribusi energi dari padi-padian tersebut diasumsikan berasal dari beras.

Dengan demikian berdasarkan PPH konsumsi beras rumahtangga yang masih tinggi adalah konsumsi beras rumahtangga pada tahun 2002 dan 2005.

Konsumsi Beras di Luar Rumah

Konsumsi beras rumahtangga terus mengalami penurunan, namun jumlah konsumsi beras pada konsumsi di luar rumah semakin meningkat dengan laju peningkatan sebesar 6.3 persen pertahun. Konsumsi beras rumahtangga di luar rumah meningkat menjadi 8.1 Kg/kap/tahun pada tahun 2007 dari 6.0 Kg/kap/tahun pada tahun 2002.

Tabel 9. Konsumsi beras rumahtangga di luar rumah (g/kap/hari dan Kg/kap/tahun) tahun 2002 - 2007

JENIS KONSUMSI g/Kapita/hari Kg/Kapita/Tahun

Laju (%) 2002 2005 2007 2002 2005 2007

Di dalam rumah 276.8 265.7 250.1 100.7 96.7 91.0 -2.1 Di luar rumah 16.4 20.4 22.3 6.0 7.4 8.1 6.3

TOTAL 293.3 286.1 272.3 106.7 104.1 99.1 -1.6

Konsumsi beras di luar rumah yang terus meningkat menunjukkan perubahan permintaan beras yang semakin bergeser pada permintaan makanan jadi atau makanan siap saji. Perubahan gaya hidup, berkembangnya berbagai industri, baik formal maupun nonformal, serta meningkatnya partisipasi angkatan kerja wanita menjadi penyebab meningkatnya permintaan terhadap makanan jadi atau makanan siap saji (Martianto & Ariani 2004). Perubahan pola konsumsi dan gaya hidup tersebut nampaknya lebih berpengaruh terhadap menurunnya konsumsi beras rumahtangga secara umum.

Peningkatan konsumsi beras di luar rumah terjadi pada rumahtangga perkotaan dan pedesaan (Tabel 10). Konsumsi beras di luar rumah meningkat dengan laju peningkatan sebesar 3.5 persen pertahun pada rumahtangga perkotaan, sedangkan pada rumahtangga pedesaan meningkat dengan laju 10.2 persen pertahun. Meskipun peningkatan konsumsi beras di luar rumah pada rumahtangga pedesaan lebih tinggi daripada rumahtangga perkotaan, jumlah konsumsi beras di luar rumah pada rumahtangga perkotaan masih lebih tinggi daripada konsumsi beras di luar rumah pada rumahtangga pedesaan.

Tabel 10. Konsumsi beras rumahtangga di luar rumah berdasarkan wilayah (g/kap/hari dan Kg/kap/tahun) tahun 2002 – 2007

WILAYAH g/Kapita/hari Kg/Kapita/Tahun Laju

(%pertahun) 2002 2005 2007 2002 2005 2007

Perkotaan 25.4 28.6 30.2 9.3 10.4 11.0 3.5

Pedesaan 9.3 13.4 14.8 3.4 4.9 5.4 10.2

Rata-rata 16.4 20.4 22.3 6.0 7.4 8.1 6.3

Konsumsi beras di luar rumah yang lebih tinggi pada rumahtangga perkotaan berkaitan dengan ketersediaan pangan dan gaya hidup di perkotaan.

27

Alokasi waktu yang lebih banyak untuk aktivitas di luar rumah menyebabkan masyarakat perkotaan lebih banyak mengkonsumsi makanan jadi atau siap saji.

Konsumsi Beras Rumahtangga Berdasarkan Golongan Pengeluaran

Konsumsi beras rumahtangga secara umum semakin meningkat dengan meningkatnya pengeluaran. Namun pada pengeluaran Rp. 500 000 – Rp. 749 999 konsumsi beras rumahtangga mulai menurun dan cenderung tetap pada pengeluaran > Rp. 750 000 (Gambar 3). Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tingkat pengeluaran/pendapatan tertentu rumahtangga tidak lagi menambah jumlah konsumsi berasnya. Jumlah konsumsi beras cenderung tetap namun dengan kualitas yang lebih baik.

Pada rumahtangga pedesaan konsumsi beras rumahtangga juga semakin meningkat dengan meningkatnya pengeluran. Konsumsi beras mulai turun dn cenderung tetap pada pengeluaran Rp. 500 000 – Rp. 749 999. Pada rumahtangga perkotaan konsumsi beras rumahtangga meningkat dengan meningkatnya pendapatan namun cenderung tetap pada pengeluaran Rp. 200 000 ke atas.

Konsumsi beras rumahtangga tahun 2007 tertinggi adalah pada golongan pengeluaran Rp. 300 000 – Rp. 499 999, yaitu sebesar 104.54 Kg/kap/tahun.

Pada golongan pengeluaran tersebut konsumsi beras pada rumahtangga pedesaan sebesar 119.6 Kg/kap/tahun, sedangkan pada rumahtangga perkotaan sebesar 94.4 Kg/kap/tahun. Konsumsi beras rumahtangga terendah terdapat pada golongan pengeluaran < Rp. 100 000 yaitu sebesar 67.2 Kg/kap/tahun.

0.0

KOTA 76.9 85.3 90.1 93.3 94.4 95.2 94.6 95.9

DESA 66.0 90.0 98.2 112.8 119.6 116.6 112.8 110.0

KOTA +DESA 67.2 88.9 95.7 104.4 104.5 100.2 97.4 97.2

< 100 000 100 000

Gambar 3. Konsumsi beras rumahtangga berdasarkan wilayah dan golongan pengeluaran (Kg/kap/tahun) tahun 2007

Konsumsi beras rumahtangga pedesaan umumnya lebih besar daripada rumahtangga perkotaan pada semua golongan pengeluaran. Hanya pada golongan pengeluaran < Rp. 100 000 konsumsi beras rumahtangga pedesaan lebih rendah daripada perkotaan. Jumlah konsumsi beras yang tinggi berkaitan dengan kebutuhan energi yang tinggi, namun ketersediaan sumber energi pangan belum beragam, sehingga kebutuhan energi lebih banyak dicukupi dari konsumsi beras yang memiliki kandungan energi cukup tinggi dan mudah terjangkau. Konsumsi beras yang lebih rendah pada golongan pengeluaran < Rp.

100 000 pada rumahtangga pedesaan diduga karena sebagian kebutuhan energi dipenuhi dari makanan pokok selain beras seperti jagung, umbi-umbian, dan mie instan yang bisa diperoleh dari produksi sendiri dan harganya yang lebih terjangkau.

Rumahtangga dengan pengeluaran < Rp. 150 000 umumnya memiliki konsumsi beras yang lebih rendah dibanding rumahtangga dengan pengeluaran yang lebih besar. Berdasarkan garis kemiskinan BPS tahun 2007, yaitu Rp. 187 942,- untuk rumahtangga perkotaan dan Rp. 146 837,- pada rumahtangga pedesaan, rumahtangga dengan golongan pengeluaran < Rp. 150 000 tersebut termasuk rumahtangga miskin.

Berbeda dengan konsumsi beras rumahtangga secara umum, konsumsi beras di luar rumah semakin meningkat dengan meningkatnya pengeluaran baik pada rumahtangga perkotaan maupun pedesaan (Gambar 4). Konsumsi beras di luar rumah pada rumahtangga perkotaan lebih besar daripada rumahtangga pedesaan pada semua golongan pengeluaran.

0.0

Gambar 4. Konsumsi beras di luar rumah berdasarkan wilayah dan golongan pengeluaran (Kg/kap/tahun) tahun 2007

29

Konsumsi beras di luar rumah adalah konsumsi beras dalam bentuk makanan jadi atau makanan siap saji yang diperoleh dan dikonsumsi langsung di luar rumah, sehingga pola konsumsi beras di luar rumah sangat berkaitan dengan gaya hidup dan ketersediaan makanan di luar rumah. Konsumsi beras di luar rumah yang lebih tinggi pada rumahtangga perkotaan menunjukkan bahwa kecenderungan untuk mengkonsumsi makanan jadi atau makanan siap saji lebih besar pada rumahtangga perkotaan.

Permintaan Antara Beras

Permintaan beras diyakini akan semakin meningkat pada sektor industri pengolah beras, baik formal maupun informal. Permintaan beras untuk berbagai industri pengolah beras tersebut belum dapat diketahui dengan pasti karena tidak ada data atau survei khusus tentang kebutuhan beras industri. Estimasi permintaan antara beras yang mencakup permintaan beras untuk industri, hotel, restoran, dan sejenisnya (Tabel 11) menunjukkan jumlah permintaan yang meningkat dari tahun 2002 ke tahun 2005. Pada tahun 2007 permintaan antara beras mengalami sedikit penurunan, namun jumlah permintaan antara beras pada tahun tersebut masih lebih tinggi daripada tahun 2002.

Tabel 11. Permintaan antara beras (ton) tahun 2002 – 2007 Tahun Konsumsi beras

2002 21,153,394 0.233 4,928,741

2005 21,100,845 0.239 5,043,102

2007 20,368,767 0.243 4,949,610

Keterangan: Jumlah penduduk tahun 2002 sebesar 210.67 juta jiwa, tahun 2005 sebesar 219.21 juta jiwa dan tahun 2007 sebesar 225.12 juta jiwa. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 1.34 persen (BPS 2005b).

Permintaan antara beras semakin meningkat dengan meningkatnya permintaan terhadap produk olahan industri. Pada industri makanan peningkatan permintaan beras sangat berkaitan dengan meningkatnya permintaan terhadap makanan jadi atau makanan siap saji disamping perkembangan industri itu sendiri karena berbagai kemajuan bidang teknologi. Pada industri makanan siap saji berkembangnya industri tersebut sangat didukung oleh teknologi modern mulai dari peralatan dapur, peralatan restoran, dan penggunaan komputer di kasir atau di kantor (Hardjoprakoso 2003 dalam GAPPMI 2003).

Industri makanan mengolah beras menjadi makanan dalam bentuk makanan setengah jadi seperti tepung beras dan bihun, makanan jadi, seperti roti, kue-kue, atau berbentuk minuman, seperti anggur dan jamu. Industri

pengolah beras juga bermacam-macam jenis atau kelompoknya, baik dalam skala usaha kecil, sedang, ataupun skala besar. Berikut ini jenis industri dan kebutuhan beras sebagai bahan baku industri berdasarkan survei BPS.

Tabel 12. Jenis, jumlah dan kebutuhan beras industri berbahan baku beras

KELOMPOK INDUSTRI 2002 2005

n Ton n Ton

Tepung dari padi-padian 36 1,819 38 40,866

Pati ubi kayu 154 494 140 12,794

Roti,kue kering dan sejenisnya 499 2,285 553 3,945 Makanan dari coklat dan kembang gula 91 849 89 2,072 Makaroni,mie,spagheti,bihun,soun 311 44,053 305 28,990

Kecap 83 21 84 21

Keripik dari kedelai 67 114 55 64

Berbagai macam kerupuk 533 491 582 417

Kue-kue basah 58 1,790 68 1,509

Anggur 10 60 12 11

TOTAL 1,842 51,975 1,926 90,689

Sumber: BPS 2002b dan 2005c

Data jenis industri dan kebutuhan bahan baku tersebut merupakan data untuk industri skala sedang dan besar. Data jumlah beras yang digunakan oleh industri diperoleh dari pengisian kuesioner yang diberikan BPS pada seluruh industri yang tercatat di BPS. Industri yang tercatat di BPS adalah industri yang ada diseluruh Indonesia yang diperoleh dari survei triwulan BPS. Jenis industri dikumpulkan menurut kelompoknya. Dalam kelompok industri tersebut, jumlah industri yang tercatat tiap tahunnya mengalami perubahan. Jumlah industri bisa bertambah karena ada industri baru atau industri lama yang berproduksi lagi, tetapi juga bisa berkurang karena industri tersebut tidak berproduksi lagi atau tidak tercatat dalam perhitungan (BPS 2005c).

Data pada Tabel 12 menunjukkan perkembangan kebutuhan beras sebagai bahan baku industri berdasarkan kelompok industri. Kebutuhan beras beberapa industri mengalami peningkatan seperti kelompok industri tepung dari padi-padian, pati ubi kayu, roti dan kue, dan makanan dari coklat. Beberapa industri yang berkurang kebutuhan berasnya adalah kelompok industri makaronie, mie, spaghetti dan bihun, industri keripik dari kedelai, berbagai macam kerupuk, kue-kue basah, dan anggur. Permintaan beras untuk industri tersebut berupa beras biasa giling, beras ketan putih, beras ketan hitam, beras ketan putih giling, beras ketan hitam giling, beras biasa pecah, menir, tepung beras, dan tepung ketan (Lampiran 3). Jenis beras tersebut disesuaikan dengan kebutuhan untuk pengolahan jenis makanan yang akan diproduksi.

31

Pertimbangan lainnya adalah disesuaikan dengan biaya produksi.

Perkembangan kebutuhan beras berbagai jenis industri tersebut secara jelas dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

1819

Tepung dari padi-padian Pati ubi kayu

Makaroni,mie,spagheti,bihu n,soun

Roti,kue kering dan sejenisnya

Makanan dari coklat dan kembang gula Kecap

Keripik dari kedelai Berbagai macam kerupuk Kue-kue basah

Gambar 5. Perkembangan kebutuhan beras beberapa industri berbahan baku beras (ton)

Peningkatan kebutuhan beras yang mencolok terjadi pada kelompok industri tepung dari padi-padian, umbi-umbian, dan sejenisnya, dan industri pati ubi kayu. Peningkatan kebutuhan beras bisa terjadi karena jumlah industri yang bertambah atau karena kebutuhan untuk produksi yang memang meningkat.

Permintaan tepung saat ini secara umum mengalami kenaikan. Hal ini berkaitan dengan meningkatnya permintaan berbagai jenis makanan jadi berbahan baku tepung seperti roti, kue kering dan sejenisnya. Banyak industri makanan jadi yang menggunakan tepung dalam bentuk tepung campuran. Mahalnya harga terigu menyebabkan para pengusaha makanan jadi menyiasati dengan menggunakan tepung substitusi.

Tepung beras memiliki sifat yang berbeda dengan jenis tepung lain. Sifat tersebut berkaitan dengan kandungan pati dan protein pada beras. Beras mengandung 80 persen pati dan 7 persen protein. Kandungan kimia pada berbagai jenis beras dan padi-padian lainnya menyebabkan perbedaan pada sifat fisikokimia pada tepung beras dan tepung dari padi-padian lainnya.

Perbandingan kandungan amilosa dan amilopektin menyebabkan perbedaan pada kekerasan dan kelekatan jenis beras. Perbedaan tersebut

menyebabkan perbedaan pada tekstur nasi dan berbagai olahan beras lainnya.

Beras ketan yang hanya mengandung 0 – 2 persen amilosa sering digunakan untuk membuat olahan manis dan olahan makanan yang bertekstur lunak dan liat. Beras berkadar amilosa rendah digunakan untuk membuat makanan bayi, sereal sarapan pagi, dan roti dengan pengembangan yang menggunakan ragi.

Beras dengan kandungan amilosa rendah di Filipina digunakan untuk membuat sop kalengan. Beras dengan kadar amilosa tinggi sangat cocok dan baik digunakan untuk membuat bihun (Haryadi 2006).

Kebutuhan beras berkurang pada industri makaroni, spaghetti, mie, bihun, dan soun. Berkurangnya kebutuhan beras pada kelompok industri tersebut diduga karena semakin meningkatnya penggunaan bahan baku lain untuk mensubstitusi beras. Potensi komoditas umbi-umbian dan padi-padian sebagai komoditas yang bisa mensubstitusi beras semakin banyak dikembangkan.

Berbagai produk roti dan kue yang menggunakan tepung ubi jalar dan tepung ubi kayu sebagai tepung substitusi semakin marak di pasaran. Penggunaan bahan substitusi beras selain dapat mengurangi ketergantungan terhadap beras juga dapat mengurangi biaya produksi tanpa mengurangi kualitas produk.

Industri yang menggunakan beras selain industri makanan seperti yang terdapat pada Tabel 12 adalah industri nonmakanan, seperti industri ransum

Industri yang menggunakan beras selain industri makanan seperti yang terdapat pada Tabel 12 adalah industri nonmakanan, seperti industri ransum

Dokumen terkait