• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Parameter Fisika dan Kimia Perairan

Parameter fisika dan kimia air yang diukur pada saat pengamatan meliputi suhu, kekeruhan (TSS), DO, pH, BOD, nitrat, dan fosfat. Dari masing-masing stasiun, yaitu stasiun I yang merupakan keramba jaring apung, stasiun II yaitu daerah peralihan, dan stasiun III sebagai stasiun kontrol. Hasil penelitian parameter fisika dan kimia perairan memiliki nilai bervariasi yang diperoleh dari hasil pengukuran yang terdapat pada Lampiran 2, tetapi tidak menunjukkan perbedaan yang terlalu jauh antara masing-masing stasiun. Parameter fisika dan kimia perairan Dusun Sualan Desa Sibaganding dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Parameter Fisika dan Kimia Perairan Danau Toba Dusun Sualan

Desa Sibaganding

Parameter Satuan Baku Mutu Air Kelas Stasiun

I II III IV I II III Fisika Suhu oC deviasi 3 deviasi 3 deviasi 3 deviasi 5 26,80 27,13 27,15 Kekeruhan (TSS) mg/L 50 50 400 400 3,67 2,69 1,31 Kimia DO mg/L ≥6 ≥4 ≥3 ≥0 6,12 6,76 7,48 pH - 6-9 6-9 6-9 5-9 7,07 7,14 7,09 BOD mg/L 2 3 6 12 1,31 1,12 0,70 Nitrat mg/L 10 10 20 20 1,86 1,31 0,77 Fosfat mg/L 0,2 0,2 1 5 0,24 0,17 0,15

27

Suhu

Suhu di perairan Dusun Sualan Desa Sibaganding tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Stasiun I memiliki suhu rata-rata 26,80 ºC, stasiun II memiliki suhu rat-rata 27,13 ºC, dan stasiun III memiliki suhu rata-rata 27,15 ºC. Grafik parameter suhu ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik Suhu

Kekeruhan (TSS)

Kekeruhan (TSS) di perairan Dusun Sualan Desa Sibaganding memiliki perbedaan yang sangat signifikan pada setiap stasiun. Stasiun I memiliki kekeruhan (TSS) rata-rata yaitu 3,67 mg/L, stasiun II memiliki kekeruhan (TSS) rata-rata yaitu 2,69 mg/L, dan Stasiun III memiliki kekeruhan (TSS) rata-rata yaitu 1,31. Grafik parameter Kekeruhan (TSS) ditampilkan pada Gambar 6.

Gambar 6. Grafik Kekeruhan (TSS) 25 25.5 26 26.5 27 27.5 I II III 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 I II III Stasiun Stasiun

28

Dissolved Oxygen (DO)

Kelarutan Oksigen (DO) pada perairan Dusun Sualan Desa Sibaganding memiliki kisaran DO rata-rata yang hampir sama pada setiap stasiun. Stasiun I memiliki DO rata-rata yaitu 6,12 mg/L, stasiun II memiliki DO rata-rata yaitu 6,76 mg/L, dan stasiun III memiliki DO rata-rata yaitu 7,48 mg/L. Grafik parameter kelarutan oksigen (DO) ditampilkan pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik Kelarutan Oksigen (DO)

pH

Pada perairan Dusun Sualan Desa Sibaganding diperoleh pH rata-rata tiap stasiun pada kisaran 7. Pada stasiun I memiliki pH rata-rata yaitu 7,07, stasiun II memiliki pH rata-rata yaitu 7,14, dan stasiun III memiliki pH rata-rata yaitu 7,09. Grafik parameter pH ditampilkan pada Gambar 8.

0 2 4 6 8 I II III Stasiun

29

Gambar 8. Grafik pH

Biochemichal Oksigen Demand (BOD)

Nilai BOD pada perairan Dusun Sualan Desa Sibaganding memiliki nilai BOD yang berbeda pada setiap stasiun. Stasiun I memiliki nilai BOD rata-rata yaitu 1,31 mg/L, stasiun II memiliki BOD rata-rata yaitu 1,12 mg/L, stasiun III memiliki nilai BOD yaitu 0,70 mg/L. Grafik BOD ditampilkan pada Gambar 9.

Gambar 9. Grafik BOD

Nitrat (NO3-N)

Pada perairan Dusun Sualan Desa Sibaganding nilai nitrat pada masing-masing stasiun memiliki perbedaan yang signifikan. Stasiun I memiliki kandungan nitrat rata-rata yaitu 1,86 mg/L, stasiun II memiliki kandungan nitrat

7 7.05 7.1 7.15 I II III Stasiun 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 I II III Stasiun

30

rata-rata yaitu 1,31, dan stasiun III memiliki kandungan nitrat rata-rata yaitu 0,77. Grafik parameter nitrat ditampilkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Grafik Nitrat ((NO3-N)

Fosfat (PO4³¯ -P)

Kandungan fosfat pada setiap stasiun di Dusun Sualan Desa Sibaganding memiliki nilai kandungan fosfat yang merata. Stasiun I memiliki kandungan fosfat yaitu 0,24 mg/L, stasiun II memiliki kandungan fosfat yaitu 0,17 mg/L, dan stasiun III memiliki kandungan fosfat yaitu 0,15 mg/L. Grafik parameter fosfat ditampilkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Grafik Fosfat (PO4³¯ -P) 0 0.5 1 1.5 2 I II III Stasiun 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 I II III Stasiun

31

Status Mutu Air

Kualitas air yang ditentukan dari nilai parameter fisika dan kimia perairan dilakukan dengan menggunakan metode Storet untuk memperoleh total skor yang menunjukkan status mutu air. Pemberian skor setiap parameter per stasiun yang terdapat pada Lampiran 3 dikelompokkan sesuai peruntukan baku mutu air kelas I (bahan baku air minum dan peruntukan lain dengan syarat kualitas air yang sama), II (prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan pertanaman), III (pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan pertanaman), dan IV (pertanaman) dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 (Lampiran 7).

Pada stasiun I diperoleh skor -12 pada peruntukan Kelas I, skor -10 pada peruntukan Kelas II, dan skor 0 pada peruntukan Kelas III. Stasiun I memenuhi baku mutu air Kelas III sehingga stasiun I dikategorikan Kelas III (tercemar sedang). Pada stasiun II dan III, diperoleh skor 0 pada semua peruntukan maka air dapat digolongkan dalam Kelas I (tidak tercemar). Kualitas air berdasarkan parameter fisika dan kimia air dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Kualitas Fisika dan Kimia Perairan Dusun Sualan Desa Sibaganding

Kelas Stasiun I Stasiun II Stasiun III

Skor Kualitas Air Skor Kualitas Air Skor Kualitas Air I -12 Tercemar sedang 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu II -10 Tercemar ringan 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu III 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu IV 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu 0 Memenuhi baku mutu

32

Pembahasan Suhu

Hasil pengukuran suhu di Dusun Sualan Desa Sibaganding menunjukkan bahwa nilai rata-rata suhu air pada setiap stasiun yaitu 26,80 ºC pada stasiun I (KJA), 27,13 ºC pada stasiun II (Peralihan) dan 27,15 ºC pada stasiun III (Kontrol). Cuaca pada saat pengamatan cenderung kurang stabil. Kondisi cuaca stasiun III pada saat pengamatan cerah dan suhu udara cukup panas. Hal ini sesuai dengan literatur Maniagasi, dkk., (2013) suhu suatu perairan ditentukan oleh beberapa faktor antara lain ketinggian suatu daerah, curah hujan yang tinggi dan intensitas cahaya matahari yang menembus suatu perairan. Selain itu menurut Boyd dalam Maniagasi, dkk., (2013) bahwa variasi suhu suhu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu antara lain tingkat intensitas cahaya yang tiba di permukaan perairan, keadaan cuaca, awan dan proses pengadukan.

Hasil pengukuran suhu air selama penelitian memperlihatkan bahwa suhu air pada masing-masing stasiun penelitian tidak menunjukan variasi yang tinggi, yaitu berkisar antara 26,80 ºC - 27,15 ºC. Rata-rata suhu air tertinggi terdapat pada stasiun III (27,15 ºC) dan rata-rata suhu air terendah terdapat pada stasiun I (6,80ºC). Kondisi rata-rata nilai suhu air pada semua stasiun penelitian, baik stasiun yang terdapat aktifitas KJA maupun stasiun peralihan dan satsiun kontrol masih berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh organisme akuatik dan sesuai bagi organisma untuk dapat tumbuhan dan berkembang dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2003) yang menyatakan bahwa kisaran suhu yang optimum untuk pertumbuhan organisma pada perairan adalah berkisar 20 - 30 ºC.

33

Kekeruhan (TSS)

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh nilai kekeruhan yang berbeda dari masing-masing stasiun. Nilai kekeruhan tertinggi terdapat pada stasiun I (keramba jaring apung) yaitu 3,67 mg/L dan nilai kekeruhan terendah terdapat pada stasiun III yaitu 1,31 mg/L. Tingginya nilai kekeruhan di stasiun I diduga disebabkan oleh adanya aktivitas keramba jaring apung. Aktivitas budidaya di keramba jaring apung seperti pemberian pakan ikan dengan kuantitas 2-3 kali sehari diperkirakan dapat menyebabkan terjadinya penumpukan sisa pakan pada substrat perairan sehingga dapat memicu terjadinya kekeruhan perairan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yazwar dkk., (2004), pemberian pakan dengan “sistem pompa” jika ukuran KJA semakin kecil, maka jumlah pakan yang terbuang dapat mencapai 30-50 %. Selain itu Menurut Mc.Donald et al.(1996); Boyd (1999) yang diacu oleh Ginting (2011) menyatakan bahwa dari sejumlah pakan buatan (pelet) yang diberikan kepada ikan budidaya pada keramba jaring apung, hanya 70 % yang berhasil dikonsumsi oleh ikan budidaya pada keramba, sedangkan 30 % lagi akan tertinggal dan terbuang sebagai sisa pakan yang tidak terkonsumsi oleh ikan budidaya. Selanjutnya, dari sejumlah pakan yang berhasil dikonsumsi oleh ikan budidaya, setelah dikonversikan didalam tubuh ikan, sebanyak 25 – 30 % akan diekskresikan kembali ke badan air sebagai sisa metabolisme yaitu dalam bentuk urine dan feses.

Dissolved Oxsigen (DO)

Nilai DO terendah terdapat di stasiun I yaitu 6,12 mg/l dan tertinggi terdapat di stasiun III yaitu 7,48 mg/l. Nilai DO yang rendah diduga berasal dari kegiatan perikanan budidaya pada keramba jaring apung yang melibatkan

34

pemberian pakan pelet pada ikan budidaya. Hal ini tentu berkaitan dengan metabolisme pada ikan yang membutuhkan konsumsi DO pada wilayah keramba.kelarutan oksigen pada perairan dipengaruhi oleh faktor suhu dimana kelarutan oksigen akan semakin tinggi apabila suhu perairan menurun, sebaliknya kelarutan oksigen akan menurun jika suhu perairan meningkat. Nilai kandungan oksigen terlarut pada setiap stasiun dapat diketahui dengan menghitung nilai kejenuhan oksigen masing-masing stasiun dengan rumus yaitu :

Kejenuhan (%) = Nilai konsentrasi oksigen yang dukur (u) Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya(t)

Dari rumus kejenuhan oksigen dapat diketahui nilai kejenuhan masing-masing stasiun yaitu stasiun I (keramba) memiliki nilai kejenuhan oksigen sebesar 20,41 %, stasiun II (peralihan) sebesar 22,53 %, dan stasiun III (kontrol) sebesar 24, 93 %. Dari nilai kejenuhan oksigen tersebut dapat dikatakan bahwa kondisi stasiun III (kontrol) lebih baik karena memiliki defisit oksigen yang lebih rendah dibandingkan stasiun lainnya. Hal ini juga berkaitan dengan pernyataan Beveridge (1987) yang diacu oleh Marganof (2007) bahwa laju konsumsi oksigen pada budidaya KJA dua kali lebih tinggi daripada laju konsumsi oksigen di perairan yang tidak terdapat KJA.

Selain itu menurut Ginting (2011) menyatakan bahwa adanya perbedaan nyata nilai DO antar stasiun penelitian menunjukan bahwa nilai DO mempunyai keterkaitan dengan adanya pengaruh dari pakan KJA pada ketiga stasiun penelitian, dimana pada stasiun I pemberian pakan menyebabkan peningkatan limbah organik. Selanjutnya, limbah organik KJA akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai dengan memanfaatkan oksigen yang

35

terlarut dalam air sehingga berakibat terhadap berkurangnya kandungan oksigen terlarut dalam air.

Selain karena adanya peroses dekomposisi bahan-bahan organik, penurunan konsentrasi DO air juga disebabkan karena keberadaan ikan-ikan budidaya pada Stasiun I (KJA) yang memanfaatkan oksigen dalam peroses pernafasannya, dimana oksigen tersebut diserap dari oksigen yang terlarut dalam air. Hal ini didukung oleh Beveridge (1987) yang diacu oleh Ginting (2011) menyatakan bahwa laju konsumsi oksigen pada daerah perairan yang terdapat budidaya KJA dua kali lebih tinggi dibanding laju konsumsi oksigen pada perairan yang tidak terdapat aktifitas KJA seperti pada stasiun II dan stasiun kontrol.

Dari hasil penelitian diperoleh nilai DO dari masing-masing stasiun penelitian yang menunjukkan bahwa kualitas perairan Danau Toba di Dusun Sualan Desa Sibaganding masih menunjukan kualitas perairan yang baik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Barus (2004) yang menyatakan bahwa nilai DO yang mengindikasikan kualitas air baik adalah pada kisaran 6-8 mg/L. Selanjutnya, bila mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001, maka perairan Danau Toba pada semua stasiun penelitian masih memenuhi kriteria baku mutu air untuk kelas I.

pH

Hasil yang diperoleh dari pengukuran pH air, dapat dijelaskan bahwa nilai pH air pada masing-masing stasiun penelitian tidak memperlihatkan variasi yang menyolok, dimana rata-rata pH atar stasiun berada pada kisaran 7,07 – 7,14. Rata-rata nilai pH air tertinggi ditemukan pada stasiun II sebesar 7,14, dan Rata-rata- Rata-rata

36

nilai pH terendah ditemukan pada stasiun I (KJA) sebesar 7,07. Perubahan nilai pH bisa disebabkan oleh masukan pakan pada perairan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ginting (2011) yaitu perubahan pH bisa dipengaruhi oleh adanya senyawa-senyawa yang masuk kedalam lingkungan perairan.

Secara umum nilai pH yang didapatkan dari semua stasiun penelitian, baik stasiun I (KJA), stasiun peralihan, maupun stasiun kontrol masih berada dibawah nilai ambang batas baku mutu air untuk kelas I (Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001), dan mampu mendukung kehidupan setiap biota perairan seperti yang dinyatakan dalam keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup KEP No.51/MNLH/I/2004, bahwa kisaran pH yang dapat menopang kehidupan organisme perairan adalah 6.50-8.50.

Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari 3 stasiun pengamatan, maka nilai BOD tertinggi berada pada stasiun I yaitu 1,31 mg/l. Sedangkan nilai BOD terendah berada pada stasiun III dengan nilai 0,70 mg/L. Pada stasiun II nilai BOD yaitu 1,12 mg/l. Tingginya BOD pada stasiun I mengindikasikan bahwa perairan yang mempunyai aktifitas KJA cenderung mengalami peningkatan kandungan senyawa organik yang diduga bersumber dari limbah aktifitas KJA. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ginting (2011) yang menyatakan bahwa menumpuknya senyawa organik di perairan akan berakibat terhadap semakin meningkatnya proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai, sehingga berakibat terhadap meningkatnya konsentrasi BOD pada badan perairan tersebut.

Peningkatan BOD merupakan dampak dari pemberian pakan yang berlebihan pada keramba jaring apung. Menurut Anggoro (1996) menumpuknya

37

bahan pencemar organik di perairan akan menyebabkan proses dekomposisi oleh organisme pengurai juga semakin meningkat, sehingga konsentrasi BOD juga meningkat. Oleh karena itu, adanya perbedaan nilai BODpada stasiun penelitian mengindikasikan perairan yang terdapat aktivitas KJA menghasilkan limbah yang berakibat terhadap semakin meningkatnya proses dekomposisi oleh organisme pengurai.

Nitrat (NO3-N)

Nilai rata-rata konsentrasi nitrat tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu 1,86 mg/l dan terendah pada stasiun III yaitu 0,70 mg/l. Nilai konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan diduga bahwa jumlah pakan yang diberikan pada budidaya ikan sistem KJA telah memberikan pengaruh terhadap terjadinya peningkatan konsentrasi nitrat di perairan. Penelitian Ginting (2011) input pakan pada kegiatan budidaya ikan KJA mempunyai kontribusi terhadap pengkayaan nitrat (NO3) dalam badan air dengan koefisien determinasi sebesar 86%.

Hasil penelitian dari masing-masing stasiun diperoleh kandungan nitrat bila dibandingkan dengan standar baku mutu air PP. No 82 Tahun 2001 (kelas II) untuk kegiatan budidaya ikan air tawar, masih sangat jauh dari batas yang ditentukan yaitu 10 mg/L. Namun kontrol terhadap nitrat sangat diperlukan karena pada jumlah yang tinggi mendekati ambang batas bisa memberikan dampak negatif pada organisme. Hal ini sesuai dengan Managiasi (2013) kadar nitrat yang lebih dari 0.2 mg/L dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi perairan, dan selanjutnya dapat menyebabkan blooming sekaligus merupakan faktor pemicu bagi pesatnya pertumbuhan tumbuhan air seperti eceng gondok. Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan sumber nutrisi

38

utama bagi pertumbuhan fitoplankton dan tumbuhan air lainnya. Kadar nitrat yang lebih dari 5 mg/L menggambarkan telah terjadinya pencemaran.

Fosfat (PO4-P)

Nilai rata-rata konsentrasi fosfat tertinggi berada pada stasiun I yaitu 0,24 mg/l dan konsentrasi fosfat terendah berada pada stasiun III yaitu 0,15 mg/l. Nilai konsentrasi fosfat yang tinggi bersumber dari hasil dekomposisi sisa pakan maupun sisa metabolisme ikan pada KJA yang terbuang ke danau. Menurut Erlania dkk., (2010), masukan limbah budidaya yang cukup besar ke perairan yang berasal dari sisa pakan yang tidak termakan akibat cara pemberian pakan yang tidak tepat serta buangan metabolisme ikan yang dikeluarkan dalam bentuk ammonia, urin dan bahan buangan lainnya, akan mengakibatkan meningkatnya konsentrasi nitrogen dan fosfor (dalam bentuk fosfat) di perairan.

Menurut Ginting (2011) Tingginya nilai konsentrasi fosfat di perairan Danau Toba telah menerima masukan limbah yang bersumber dari aktifitas manusia di badan air maupun di sekitarnya, dimana pada saat ini aktifitas manusia yang dominan di perairan Danau Toba adalah kegiatan budidaya ikan dalam KJA.

Status Mutu Air

Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil pengukuran yaitu pada stasiun I diperoleh skor -12 pada kelas I yang artinya perairan dalam keadaan tercemar sedang dan pada kelas II diperoleh skor -10 yang artinya perairan dalam keadaan tercemar ringan. Namun pada stasiun I yaitu pada kelas III dan kelas IV memilki skor 0 yang berarti perairan masih dalam keadaan memenuhi baku mutu. Pada stasiun II dan stasiun III diperoleh skor 0 pada

39

masing-masing stasiun yang artinya perairan masih memenuhi baku mutu. Pemberian skor pada masing-masing stasiun dilakukan menggunakan metode storet untuk menentukan status mutu air yang umum digunakan sehingga dapat diketahui parameter-parameter yang telah memenuhi atau melampaui baku mutu air. Hal ini sesuai dengan KMNLH tahun 2003 yang menyatakan bahwa prinsip metode storet adalah membandingkan antara data kualitas air dengan baku mutu air yang disesuaikan dengan peruntukannya guna menentukan status mutu air.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Dusun Sualan Desa Sibaganding Kecamatan Girsang Sipangan Bolon diperoleh data bahwa pada stasiun I (keramba jaring apung) digolongkan dalam kelas III yang berarti perairain tersebut masih dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan pertanaman. Namun keberadaan aktivitas keramba jaring apung yang semakin banyak diperkirakan akan memberikan dampak buruk terhadap perairan Danau Toba. Kesadaran masyarakat yang masih belum rasional akan dampak buruk dari aktivitas keramba jaring apung menyebabkan semakin meningkatnya budidaya keramba dari tahun ke tahun. Selain itu belum adanya pengelolaan yang bersifat lestari terhadap perairan Danau Toba sehingga masyarakat yang tinggal di sekitar perairan Danau Toba dapat melalukan kegiatan budidaya secara bebas. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan dan pengawasan pemerintah daerah sangat yang lebih baik lagi agar dapat mengontrol pengaruh yang ditimbulkan aktivitas budidaya keramba jaring apung.

40

Dokumen terkait