Kondisi Perumahan Griya Telaga Permai
Griya Telaga Permai (GTP) merupakan salah satu perumahan di kota Depok. Perumahan ini secara administratif berada di wilayah Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Tapos, Depok, Jawa Barat, sedangkan secara geografis terletak pada 6o26’48,19” - 6o27’10,84” LS dan 106o51’21,78” - 106o51’41,4” BT.
Perumahan ini berbentuk rumah susun yang dikelola olah pihak swasta. Secara umum perumahan ini dilewati oleh sebuah saluran irigasi untuk mengairi sawah di sekitar perumahan. Ketinggian perumahan rata-rata yaitu ± 116 m dpl sedangkan luasnya yaitu 18,12 ha yang terdiri 10,1 ha sebelah barat saluran dan 8,02 ha di sebelah timur (Gambar 4). Perumahan ini memiliki 9 RT yang dihuni oleh 442 kepala keluarga. Perumahan ini memiliki beberapa fasilitas penunjang seperti rumah, sekolah, lapangan voli dan bulutangkis, aula, taman bermain, dan masjid. Bila dilihat dari sistem pembangunan saluran drainase untuk kawasan ini sudah terlihat cukup baik, di mana pengaturan saluran dan jaringannya ditempatkan pada hampir semua daerah pelayanan.
Beberapa permasalahan yang kerap terjadi dalam area kawasan tersebut adalah terlihatnya kondisi bebarapa saluran yang tidak baik dengan dipenuhi sampah dan endapan lumpur. Hal tersebut sering menyebabkan genangan air pada beberapa ruas jalan apabila terjadi hujan dengan intensitas tinggi yang berdurasi 1-2 jam. Kapasitas saluran yang tidak mampu menampung air, terhambatnya aliran air menuju outlet, hingga curah hujan yang terlalu deras dipastikan menjadi penyebab utama terjadinya genangan pada sebagian wilayah perumahan yang elevasinya lebih rendah dibandingkan dengan sekitarnya.
11 Analisis Limpasan Permukaan
Perumahan ini hampir mencapai 60 % terdiri dari permukaan yang tidak dapat melewatkan air ke dalam tanah (impervious) yakni berbentuk aspal pada area-area jalan dan permukaan yang dapat melewatkan air (previous) yang berada pada bagian halaman rumah dan jalan depan rumah. Kawasan perumahan ini terdiri dari 2 Daerah Tangkapan Air (DTA) yang terdiri dari 4 sub DTA pada DTA 1 dan 24 sub DTA pada DTA 2. Pembagian DTA dan sub DTA tersebut didasarkan dengan melihat pertimbangan elevasi dan aliran air pada saat terjadinya hujan. Secara lengkap pembagian DTA tersebut ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5 Pembagian Daerah Tangkapan Air (DTA) dan sub DTA.
Salah satu faktor yang menentukan besarnya debit limpasan menggunakan metode rasional ialah koefisien limpasan (C). Koefisien C ini bergantung pada tutupan lahan dari suatu DTA. Seperti ditunjukkan pada Gambar 5, Perumahan Griya Telaga Permai terdiri dari permukiman (rumah multiunit), taman, dan jalan beraspal. Untuk tutupan lahan berupa rumah multiunit, tutupan lahan berupa vegetasi (taman), dan jalan beraspal diambil nilai koefisien C masing-masing sebesar 0,6; 0,3; dan 0,8. Setelah itu, didapat koefisien C untuk masing-masing sub DTA (Tabel 5), sedangkan perhitungan koefisien C dapat dilihat pada Lampiran 4. Faktor lainnya yang mempengaruhi besarnya limpasan adalah panjang aliran utama (L), kemiringan dasar saluran (S), dan waktu konsentrasi (tc). Nilai waktu konsentrasi (tc) diperoleh dari persamaan (6) dan hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 5. Menurut TxDOT (2002), waktu konsentrasi akan didapat pada kisaran yang sama apabila panjang dan kemiringan saluran yang relatif sama di setiap lokasinya. Pada Lampiran 5 terlihat bahwa ada beberapa lokasi (sub DTA) mempunyai nilai tc yang sama.
Menurut Wijaya (2014), perhitungan debit rancangan digunakan intensitas hujan sebagai bentuk besaran hujan yang terjadi di setiap jam yang dipengaruhi oleh lamanya curah hujan atau frekuensi kejadian hujan di daerah tersebut. Penentuan debit rancangan didasarkan asumsi bahwa hujan yang terjadi mempunya intensitas seragam dan merata di seluruh lahan DTA selama waktu terjadinya hujan (lama
12
hujan). Lama hujan yang terjadi dianalisis berdasarkan kejadian curah hujan (tebal hujan, TH) harian selama 10 tahun. Lama hujan (LH) dianalaisis berdasarkan persamaan hasil penelitian Darmadi (1990) untuk DAS Cisadane (Tabel 1) sebagai DAS terdekat dengan lokasi penelitian, yaitu TH = 3,979 (LH) + 6,700 dimana TH dalam mm dan LH dalam jam, sehingga didapat lama hujan yang berlangsung selama satu hari hujan adalah 3,85 jam. Intensitas hujan didapat yaitu dengan membandingkan curah hujan rencana harian dengan lama hujan dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5. Selanjutnya, luas Daerah Tangkapan Air (DTA) dan sub DTA diperoleh menggunakan perangkat lunak Arc GIS dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5. Setelah diperoleh nilai C, I, dan A, maka debit puncak pada masing-masing sub DTA dapat diketahui yaitupada Tabel 5.
Tabel 5 Debit puncak (Qp) masing-masing sub DTA DTA Sub DTA Luas Sub DTA
(ha) C Sub DTA
I (mm/jam) Qp (m3/detik) DTA 1 1A 0,56 0,61 58,90 0,056 1B 0,13 0,61 58,90 0,013 1C 0,44 0,30 58,90 0,022 1D 0,62 0,66 58,90 0,067 DTA 2 2A 1,02 0,47 58,90 0,078 2B 0,44 0,64 58,90 0,046 2C 0,74 0,63 58,90 0,077 2D 0,52 0,59 58,90 0,050 2E 0,24 0,61 58,90 0,024 2F 0,64 0,60 58,90 0,191 2G 0,15 0,66 58,90 0,016 2H 0,37 0,55 58,90 0,033 2I 0,15 0,68 58,90 0,017 2J 0,64 0,66 58,90 0,068 2K 0,18 0,65 58,90 0,019 2L 0,22 0,65 58,90 0,024 2M 0,11 0,64 58,90 0,011 2N 0,17 0,63 58,90 0,018 2O 0,22 0,63 58,90 0,022 2P 0,33 0,49 58,90 0,026 2Q 0,24 0,66 58,90 0,026 2R 0,08 0,64 58,90 0,008 2S 0,07 0,62 58,90 0,007 2T 0,08 0,59 58,90 0,008 2U 0,11 0,54 58,90 0,010 2V 0,46 0,44 58,90 0,033 2W 0,96 0,33 58,90 0,052 2X 0,24 0,62 58,90 0,024
13 Berdasarkan Tabel 5, nilai debit puncak tertinggi diperoleh pada sub DTA 2F yaitu sebesar 0,191 m3/det, sedangkan yang terendah pada sub DTA 2S sebesar 0,007 m3/det. Debit puncak tersebut bervariasi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah luas sub DTA.
Data curah hujan bulanan diperoleh dari pos hujan Pancoran Mas, Depok selama 10 tahun dari tahun 2004 – 2013 (Lampiran 3). Data tersebut diolah dengan beberapa metode distribusi (Normal, Log Normal, Log-Person III, dan Gumbel), dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Perbandingan syarat distribusi dan hasil perhitungan No Jenis Distribusi Syarat Hasil
Perhitungan Keterangan 1 Gumbel Cs ≤ 1,1396 0,1562 < 1,1396 memenuhi
Ck ≤ 5,4002 3,2088 < 5,4002 memenuhi
2 Log Normal Cs = 3 Cv + Cv2 0,1562 < 0,4542 tidak memenuhi
Cs = 0,4542
3 Log Person tipe III Cs ≈ 0 0,1562 > 0 tidak memenuhi
4 Normal Cs = 0 0,1562 ≠ 1 tidak memenuhi
Menurut Suripin (2004), ada empat parameter statistik yang berkaitan dengan analisis data, yaitu: rata-rata, standar deviasi (S), koefisien variasi (Cv), dan koefisien kemiringan (Cs). Dari Tabel 6 hasil perhitungan didapatkan standar deviasi sebesar 59,4922; koefisien variasi (Cv) 0,3768; koefisien kemiringan (Cs) 0,3837; dan koefisien kurtosis (Ck) 2,4481. Selanjutnya parameter tersebut dibandingkan dengan persyaratan yang ada di Tabel 6 untuk mendapatkan jenis distribusi yang cocok. Berdasarkan Tabel 6 hasil analisis dengan metode Gumbel yang memenuhi syarat. Selain dengan uji parameter statistik, diperlukan penguji parameter untuk menguji kecocokan distribusi frekuensi sampel data terhadap fungsi distribusi peluang yang diperkirakan dapat menggambarkan atau mewakili distribusi frekuensi tersebut. Pengujian kali ini menggunakan uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Hasil perhitungan uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov untuk distribusi Normal dan Gumbel
Tahun X M P P(x<) Ft P'(x) P'(x<) D 2004 249 1 0,09 0,91 1,43 0,11 0,89 0,02 2012 221 2 0,18 0,82 0,96 0,24 0,76 0,06 2013 221 3 0,27 0,73 0,96 0,24 0,76 0,04 2007 204 4 0,36 0,64 0,67 0,32 0,68 0,05 2011 180 5 0,46 0,55 0,27 0,43 0,57 0,03 2009 158 6 0,55 0,46 -0,11 0,53 0,47 0,02 2008 118 7 0,64 0,36 -0,78 0,71 0,29 0,08 2010 110 8 0,73 0,27 -0,92 0,75 0,25 0,02 2006 92 9 0,82 0,18 -1,22 0,83 0,17 0,01 2005 89 10 0,91 0,09 -1,27 0,85 0,16 0,06
14
Dalam perhitungan uji Smirnov-Kolmogorov diperoleh nilai Dmax. Berdasarkan Tabel 7, nilai Dmax yang didapat yaitu 0,08. Nilai Dmax tersebut selanjutnya dibandingkan dengan Do. Nilai kritis Do untuk uji Smirnov-Kolmogorov sebesar 0,41. Karena nilai Dmax lebih kecil dari pada Do, maka hasil tersebut memenuhi. Hasil rekapitulasi periode ulang curah hujan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Data curah hujan puncak selama periode ulang tertentu Periode Ulang Analisis Probabilitas Hujan Rencana (mm/hari)
(T tahun) Gumbel 2 156,21 5 226,78 10 273,51 25 332,55 50 376,35
Hujan harian maksimum (R24) yang dipakai sebagai acuan untuk perhitungan debit limpasan dengan metode rasional ialah curah hujan dengan periode ulang 5 tahun, yaitu sebesar 226,78 mm/hari (Tabel 8). Hal ini sesuai dengan standar desain saluran drainase yang berdasarkan pada Pedoman Drainase Perkotaan dan Standar Desain Teknis.
Pada Perumahan GTP dipasang dua sekat ukur di dua lokasi yang berbeda. Sekat ukur yang digunakan yaitu sekat ukur persegi empat karena bentuk saluran drainase yang ada berbentuk persegi. Lokasi inlet berada di dekat pos satpam wilayah RT 1, sedangkan outlet berada di ujung saluran di belakang perumahan. Dimensi saluran inlet adalah lebar dasar 40 cm dan tinggi saluran 50 cm, sedangkan dimensi saluran outlet adalah lebar dasar 146 cm dan tinggi saluran 86 cm. Dimensi sekat ukur yang digunakan pada saluran inlet dan outlet dapat dilihat pada Lampiran 6. Untuk mengetahui debit air saat hujan turun pada perumahan tersebut, maka dihitung selisih antara debit pada outlet dan inlet.
Tabel 9 Hasil analisis dan pengukuran debit saluran pada beberapa waktu kejadian hujan
Tanggal Lokasi tc CH Tch Tp h QSE QLE
(menit) (mm) (menit) (menit) (m) (m3/det) (m3/det) 18/06/2014
Outlet 34,26
10 65 31 0,14 0,1414 0,1402
19/06/2014 9 65 27 0,13 0,1260 0,1248
25/06/2014 8 75 33 0,11 0,0959 0,0947
tc: waktu konsentrasi, CH: curah hujan, Tch: lama hujan, Tp: waktu debit puncak, h: tinggi air di
atas ambang sekat ukur, QSE: debit saluran empiris, QLE: debit limpasan permukaan empiris.
Hasil pengukuran dengan sekat ukur persegi empat selama turun hujan didapat ketinggian air di atas ambang sekat (h) pada setiap menit, dan kemudian debit saluran empiris (QSE) dihitung dengan menggunakan persamaan (8). Pada saat tidak hujan, debit saluran outlet sebesar 0,0012 m3/det. Debit limpasan permukaan empiris (QLE) didapat dari selisih antara debit saluran empiris (QSE)dan debit awal
15 (Qo). Pada Tabel 9, didapat waktu konsentrasi (tc) air mengalir dari inlet ke outlet yaitu 34,26 menit. Tanggal 18 Juni 2014 didapat curah hujan sebesar 10 mm dengan lama hujan 65 menit. Debit puncak outlet pada menit ke-31, dan debit limpasan permukaan sebesar 0,1402 m3/det. Pada tanggal 19 Juni 2014 didapat curah hujan sebesar 9 mm dengan lama hujan 65 menit. Debit puncak outlet pada menit ke-27, dan debit limpasan permukaan sebesar 0,1248 m3/det, sedangkan pada tanggal 25 Juni 2014 didapat curah hujan sebesar 8 mm dengan lama hujan 75 menit. Debit puncak outlet diperoleh pada menit ke-33, dan debit limpasan permukaan sebesar 0,0947 m3/det.
(a) (b)
(c)
Gambar 6 Hidrograf pada saluran outlet perumahan GTP (a) tanggal 18 Juni 2014, (b) tanggal 19 Juni 2014, (c) tanggal 25 Juni 2014. Debit ( ), Curah hujan ( )
Gambar 6 merupakan salah satu contoh hidrograf saluran outlet pada setiap kejadian hujan. Pada kejadian hujan (a), terjadi hujan yang cukup deras tetapi dalam waktu singkat. Akibat hujan tersebut, permukaan air outlet naik. Berdasarkan hidrograf tersebut, curah hujan dan debit puncak perumahan paling tinggi. Naiknya muka air tersebut membutuhkan waktu untuk mencapai debit puncak. Air pasokan dari inlet juga membutuhkan waktu untuk mencapai titik outlet. Waktu inilah yang
16
dinamakan waktu konsentrasi (tc). Waktu konsentrasi (tc) dari inlet ke outlet yaitu 34,26 menit. Pada kejadian hujan (b), hujan deras dan singkat. curah hujan menurun dari kejadian hujan (a), sehingga debit puncak perumahan menurun. Pada kejadian hujan (c), hujan yang turun cenderung rata dan lama, yaitu selama 75 menit. Curah hujan paling kecil dari pada kejadian hujan (a) dan (b). Hal ini berakibat debit yang dihasilkan juga kecil. Menurut Kennedy dan Watt (1976) dalam Harto (1993), sifat hujan yang mempengaruhi bentuk hidrograf yaitu intensitas hujan, lama hujan, dan arah gerak hujan. Dari analisis di setiap kejadian hujan, menunjukan intensitas hujan yang tinggi mengakibatkan debit puncak yang tinggi, namun tidak semua terjadi dalam waktu naik yang pendek. Cepat lambatnya waktu naik debit puncak selain dipengaruhi oleh intensitas hujan, juga dipengaruhi pola hujan yang terjadi di wilayah penelitian serta panjang saluran utama.
Air limpasan merupakan bagian dari curah hujan yang terjadi di suatu lahan yang terdapat pada saluran permukaan. Besarnya debit limpasan ini kemudain dapat ditentukan besarnya nilai koefisien drainase. Koefisien drainase menggambarkan laju pengaliran rata-rata air lebih yang dipindahkan oleh sistem drainase lapang yang ada ke muka air yang lebih rendah (outlet) di setiap luasan lahan (ha) (Feyen 1980). Hasil analisis debit limpasan dan nilai koefisien drainase dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Hasil analisis limpasan permukaan dan koefisien drainase Tanggal C CH (mm) I (mm/jam) QLT (m3/det) qT (l/det.ha) QLE (m3/det) qE (l/det.ha) 18 Juni 2014 0,59 10 9,23 0,152 15,02 0,140 13,88 19 Juni 2014 9 8,31 0,137 13,52 0,125 12,35 25 Juni 2014 8 6,4 0,105 10,41 0,095 9,37
C: koefisien limpasan perumahan rata-rata, CH: curah hujan, I: Intensitas hujan, QLT: debit limpasan
permukaan (teoritis), qT: koefisien drainase (teoritis), QLE: debit limpasan permukaan (empiris), qE:
koefisien drainase (empiris).
Menurut Froehlich (2010), besarnya nilai debit limpasan sangat ditentukan oleh besarnya intensitas, durasi hujan yang terjadi di suatu wilayah selama waktu konsentrasi, luas daerah pengaliran dan koefisien limpasan. Berdasarkan Tabel 10, curah hujan didapat dari hasil pengukuran langsung menggunakan rain gauge, selanjutnya dihitung dan didapat intensitas hujan. Debit limpasan permukaan teoritis (QLT) didapat dari persamaan (7), sedangkan debit permukaan empiris (QLE) didapat dari sekat ukur yang terpasang di saluran. Semakin tinggi curah hujan, maka debit dan koefisien drainase yang dihasilkan akan semakin meningkat. Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilaksanakan di Perumahan Bogor Nirwana Recidence (BNR) ada keterkaitan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya (Wijaya 2014). Adanya keterkaitan karena pada penelitian sebelumnya dihasilkan nomogram untuk menentukan nilai koefisien drainase (Lampiran 11). Hasil yang diperoleh dari pengukuran langsung (empiris) pada Tabel 10 selanjutnya diplotkan ke dalam nomogram tersebut sebagai validasi dengan penelitian sebelumnya. Dengan memplotkan nilai C dan I pada nomogram, maka akan didapat nilai koefisien drainase. Berdasarkan nomogram, nilai koefisien drainase empiris pada Tabel 10 diperoleh hasil yang sama dengan nomogram tersebut.
17 Dalam pengukuran selama 3 hari, masih terdapat selisih antara hasil pengukuran dan hasil perhitungan debit, yaitu rata-rata sebesar 0,011 m3/det. Selisih yang terjadi dapat disebabkan karena faktor pengukuran terhadap Daerah Tangkapan Air (DTA) dan penerapan koefisien limpasan (C). Karakteristik DTA dari saluran utama merupakan kawasan dengan tata guna lahan yang homogen, yaitu berupa lahan tutupan aspal dan beton (jalan utama) dengan vegetasi yang sedikit. Perlu dilakukan validasi dengan melakukan pengukuran minimal enam kali ulangan.
Gambar 7 Kurva hubungan koefisien drainase dengan curah hujan. Teoritis ( ) dan Empiris ( )
Nilai koefisien drainase yang didapat merupakan nilai koefisien drainase yang terjadi setiap kejadian hujan pada luas lahannya. Hasil analisis koefisien drainase menunjukkan setiap perbedaan besarnya curah hujan, jenis penggunaan lahan melalui nilai koefisisen limpasan di setiap lokasi memberikan besarnya nilai koefisien drainase yang berbeda. Pada Gambar 7 menunjukan bahwa semakin besar curah hujan, maka nilai koefisien drainase semakin besar. Hal ini karena kolaborasi antara persamaan (7) dengan persamaan (12) bahwa curah hujan berbanding lurus dengan nilai koefisien drainase. Perbedaan kurva antara teoritis dengan empiris disebabkan adanya faktor pengukuran terhadap Daerah Tangkapan Air (DTA) dan penerapan koefisien limpasan (C) seperti yang dijelaskan sebelumnya.
Menurut oleh Feyen (1983), terbentuknya koefisien drainase merupakan akumulasi dari jumlah debit limpasan pada badan air dari setiap aliran drainase lapang sehingga setiap debit aliran yang dihasilkan dari setiap kejadian hujan akan berbanding lurus dengan besarnya nilai koefisien drainase. Grafik kolerasi linear berdasarkan perbedaan nilai debit seluruh kejadian hujan ditunjukan pada Gambar 8. 0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0 14,0 16,0 18,0 0 2 4 6 8 10 12 Ko ef is ien Dr ain ase (l/d et. h a) Curah Hujan (mm)
18
Gambar 8 Grafik hubungan keterkaitan debit empiris dan debit teoritis Analisis hubungan keterkaitan debit hasil pengukuran (empiris) dan debit perhitungan (teoritis) metode rasional dilakukan untuk melihat hubungan keterkaitan kejadian hujan terhadap setiap debit limpasan yang terjadi. Dari grafik diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0, 9998 yaitu tingkat akurasi dari nilai setiap parameter baik teoritis maupun empiris dalam perhitungan debit dapat diterima, yang menerangkan bahwa 99,98% keragaman debit puncak aliran hasil pengukuran dapat dijelaskan secara teoritis.
Tabel 11 Hasil analisis debit rancangan dan koefisien drainase
No Parameter Nilai
1 Luas lahan, A (ha) 10,10
2 Kemiringan saluran, S (%) 1,00
3 Koefisien limpasan, C 0,59
4 Curah hujan rencana, CH (mm) 226,78 5 Waktu konsentrasi, tc (jam) 0,76 6 Intensitas hujan, I (mm/jam) 58,90 7 Debit rancangan, Q (m3/det) 0,97 8 Koefisien drainase, q (l/det.ha) 95,85
Berdasarkan Tabel 11, luas perumahan GTP sebelah barat saluran 10,1 ha dengan kemiringan dasar saluran 1%. Curah hujan rencana diambil dari distribusi Gumbel sebesar 226,78 mm, dengan lama hujan 3,85 jam, sehingga didapatkan intensitas hujan sebesar 58,9 mm/jam. Analisis debit racangan secara keseluruhan didapat dari Persamaan metode rasional yaitu sebesar 0,97 m3/det. Dengan menggunakan rumus Feyen, secara teoritis koefisien drainase di perumahan tersebut yaitu 95,85 liter/det.ha.
Evaluasi Jaringan Drainase Perumahan GTP
Berdasarkan dari observasi lapang diketahui bahwa sistem drainase pada perumahan ini terdiri dari saluran pembawa dan saluran pembuang. Saluran tersebut terdiri dari beberapa jenis dimensi saluran yang berbeda dengan perbandingan lebar
y = 0,9753x - 0,008 R² = 0,9998 0,00 0,02 0,04 0,06 0,08 0,10 0,12 0,14 0,16 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 Deb it p en g u k u ran , Qo ( m 3/det)
19 dan kedalaman saluran. Saluran pembawa berfungsi untuk melayani buangan limpasan yang keluar langsung dari subcatchmet bangunan rumah, sementara saluran pembawa tersebut meneruskan aliran ke saluran pengumpul menjadi saluran pembuang lagsung bagi beberapa subcatchment. Setelah itu aliran diteruskan hingga menuju saluran pembuangan yang berada di bagian utara dari perumahan ini.
Tabel 12 Perbandingan antara debit saluran dengan debit rancangan DTA Sub DTA B h S Qs (m3/det) Qp (m3/det) Qs - Qp (m3/det) DTA 1 1A 0,50 0,60 0,01 0,430 0,056 0,374 1B 0,40 0,50 0,02 0,282 0,013 0,269 1C 0,50 0,60 0,01 0,387 0,022 0,365 1D 0,55 0,60 0,01 0,429 0,067 0,362 DTA 2 2A 0,60 0,60 0,01 0,521 0,078 0,443 2B 0,60 0,50 0,01 0,369 0,046 0,323 2C 0,50 0,65 0,01 0,326 0,077 0,249 2D 0,45 0,55 0,01 0,229 0,050 0,179 2E 0,40 0,50 0,01 0,107 0,024 0,083 2F 0,40 0,50 0,01 0,137 0,191 - 0,054 2G 0,60 0,70 0,01 0,415 0,016 0,399 2H 0,60 0,55 0,01 0,313 0,033 0,280 2I 0,60 0,50 0,01 0,332 0,017 0,315 2J 0,70 0,60 0,01 0,422 0,068 0,354 2K 0,95 0,95 0,01 1,381 0,019 1,362 2L 0,50 0,65 0,01 0,339 0,024 0,315 2M 0,50 0,65 0,01 0,339 0,011 0,328 2N 0,50 0,65 0,01 0,339 0,018 0,322 2O 0,50 0,65 0,01 0,339 0,022 0,317 2P 0,90 0,70 0,01 0,898 0,026 0,872 2Q 0,40 0,60 0,01 0,205 0,026 0,179 2R 0,50 0,60 0,01 0,316 0,008 0,308 2S 0,40 0,60 0,01 0,229 0,007 0,222 2T 0,40 0,60 0,01 0,214 0,008 0,206 2U 0,40 0,60 0,01 0,235 0,010 0,225 2V 1,45 0,85 0,01 2,629 0,033 2,596 2W 0,60 0,50 0,01 0,379 0,052 0,327 2X 0,40 0,50 0,01 0,233 0,024 0,209
B: lebar dasar saluran, h: Ketinggian aliran, S: kemiringan dasar saluran, Qs: kapasitas debit saluran,
Qp: debit rancangan.
Perumahan ini memiliki jumlah saluran sebanyak 28 buah yang memiliki panjang bervariasi antara 40 - 280 meter tergantung dari panjang area wilayah yang dilayani. Seluruh saluran tersebut terbuat dari pasangan batu kali sehingga ditetapkan untuk saluran tersebut memiliki nilai kekasaran manning (n) sebesar
20
0,025 sesuai dengan peruntukannya dalam Rosmann (2004). Hasil penelusuran saluran serta pengukuran langsung, dimensi saluran dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12, dimensi saluran di Perumahan GTP bervariasi. Pengukuran langsung dengan menggunakan auto level dilakukan pada tanggal 30-31 Agustus 2014 dan digunakan untuk menghitung kemiringan dasar saluran (S) (Lampiran 5). Setelah diperoleh nilai B, h, dan kemiringan (S) dengan menggunakan persamaan (11), maka kapasitas saluran pada masing-masing sub DTA dapat diketahui. Selanjutnya kapasitas saluran dibandingkan dengan debit puncak. Tabel 12 menunjukkan bahwa selisih antara kapasitas debit di saluran dengan debit puncak ada yang bernilai negatif yaitu pada sub DTA 2F. Nilai negatif tersebut menunjukkan bahwa saluran tersebut meluap saat hujan turun dengan intensitas tinggi. Sub DTA 2F berlokasi di Blok A2-A3 (Gambar 9). Dari hasil analisis pada saluran sub DTA 2F, diketahui bahwa debit yang terjadi sebesar 0,191 m3/det, Sedangkan saluran yang ada (lebar 40 cm dan kedalaman 50 cm) hanya mampu menampung debit aliran sebesar 0,137 m3/det.
Gambar 9 Lokasi Blok A2-A3 yang selalu terjadi genangan ketika hujan dengan intensitas tinggi
Berdasarkan kondisi tersebut maka perlu dilakukan perbaikan saluran drainase untuk menghindari terjadinya limpasan. Perbaikan saluran drainase dengan memperbesar kapasitas saluran, bertujuan agar saluran tersebut mampu menampung debit aliran yang ada. Perbaikan saluran tersebut dapat dilakukan dengan cara antara lain melebarkan saluran, memperdalam saluran, dan atau kombinasi keduanya. Pemilihan tersebut dilakukan dengan melihat kondisi lapangan sebagai faktor utama, serta melihat volume galian yang harus dilakukan. Untuk perbaikan saluran diasumsikan lebar saluran sama dengan tinggi saluran (B = h). Kemudian dengan menggunakan persamaan (11) dapat diperoleh dimensi saluran yang baru yang sesuai dengan besarnya debit puncak (Tabel 13).
21 Tabel 13 Dimensi minimum saluran sesuai dengan debit puncak (Qp)
No Spesifikasi Saluran Perhitungan Satuan
1 Sub DTA 2F 2 B awal 0,4 m 3 h awal 0,5 m 4 Kekasaran Manning (n) 0,025 5 Qp 0,191 m3/det 6 9 x (Qp x n)3 9,79E-07 7 0,00024 8 (�� )8 0,501642 9 h minimum 0,5 m 10 B minimum 0,5 m
Setelah ada perbaikan pada saluran dengan penambahan lebar saluran 10 cm dan tinggi saluran 10 cm dan dilakukan simulasi ulang diketahui bahwa luapan tidak lagi terjadi (Tabel 14).
Tabel 14 Simulasi ulang saluran dengan dimensi baru No Spesifikasi Saluran Perhitungan Satuan
1 Sub DTA 2F - 2 B baru 0,5 m 3 h baru 0,5 m 4 Kekasaran Manning (n) 0,025 - 5 Freeboard 0,1 m 6 h baru + freeboard 0,6 m 7 Kemiringan saluran (S) 0,004 - 8 Qs baru 0,236 (m3/det) 9 Qp 0,191 (m3/det)
Berdasarkan Tabel 14, agar dapat menampung debit sebesar 0,191 m3/det saluran 2F harus berdimensi (B x h) minimal 50 cm x 50 cm. Tinggi jagaan sebesar 10 cm, sehingga dimensi yang direkomendasikan adalah 50 cm x 60 cm. Desain dimensi saluran baru dapat dilihat pada Lampiran 7. Dimensi saluran baru ini dapat menampung debit air sebesar 0,236 m3/det. Dari hasil simulasi ulang diketahui bahwa tidak lagi terjadi meluapnya saluran.
Peningkatan kapasitas saluran drainase dengan menambah lebar saluran menimbulkan konsekuensi pengurangan lebar halaman rumah dan jalan di sekitar saluran-saluran yang perlu diperbaiki. Menurut Ningsih (2013), Penambahan lebar saluran akan memperkecil ruang jalan, namun hal tersebut masih dapat diatasi dengan pembuatan saluran terbuka yang dilengkapi dengan penutup pada atas saluran sehingga bagian tersebut masih dapat digunakan sebagai ruang jalan. Selain itu, dalam penyelesaian permasalahan sistem drainase perlu dikembangkan konsep dasar pengembangan drainase yang berkelanjutan yang difokuskan pada
22
peningkatan daya guna air, meminimalkan kerugian, serta memperbaiki dan konservasi lingkungan. Prioritas utama dalam konsep tersebut ditujukan untuk mengelola limpasan permukaan dengan cara mengembangkan fasilitas untuk menahan air hujan seperti kolam penyimpanan atau lubang resapan.