• Tidak ada hasil yang ditemukan

6.1 Analisis Biaya dan Manfaat Pertambangan Batubara

Analisis biaya dan manfaat pada pertambangan batubara dihitung dari biaya yang dikeluarkan untuk pertambangan batubara, sedangkan untuk manfaat dihitung dari penerimaan yang didapatkan dari pertambangan batubara. Pada penelitian ini luas lahan yang akan dikonversi menjadi pertambangan batubara adalah seluas 257 ha. Perkiraan jumlah volume batubara yang terdapat pada lahan tersebut sebanyak 33 337 577 ton dengan kandungan 7000 Kcal/kg GAR. Harga batubara yang digunakan pada penelitian ini adalah harga batubara acuan bulan Januari tahun 2014 yaitu sebesar $ 83.94 (Direktorat Jendral Mineral dan Batubara, 2014) jika dikonversikan ke dalam nilai rupiah bulan Januari tahun 2014 yaitu sebesar Rp 12 226, sehingga didapatkan harga batubara 7000 Kcal/kg GAR adalah sebesar Rp 1 026 250 /ton.

Produksi batubara diperkirakan setiap tahunnya adalah sebesar 4 000 000 ton, sehingga jika dihitung dari jumlah volume batubara yang dapat dihasilkan pada lahan seluas 257 ha adalah sebanyak 33 337 577 ton. Maka dengan membagi total volume batubara dengan produksi batubara per tahun, dapat diketahui bahwa cadangan batubara dapat digunakan untuk lebih kurang delapan tahun kedepan. Namun produksi batubara setiap tahunnya tergantung pada permintaan konsumen, jika permintaan konsumen terhadap batubara 7000 Kcal/kg GAR menurun maka cadangan batubara dapat dimanfaatkan pada jangka waktu yang lebih lama atau malah sebaliknya.

6.1.1 Manfaat Pertambangan Batubara

Pertambangan batubara di daerah Tanjung Enim yang dikelola oleh PTBA merupakan pertambangan batubara yang berpengaruh bagi pemenuhan kebutuhan energi dunia, baik nasional maupun internasional. Menurut Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2013, produksi batubara nasional paling besar dimanfaatkan oleh PLN (Perusahaan Listrik Negara) untuk memenuhi kebutuhan energi listrik nasional. Dimana pada tahun 2014 pemanfaatan batubara oleh PLN adalah sebesar 60.08 persen dari total pemanfaatan batubara nasional. Maka dari itu batubara adalah sumber daya yang sangat penting bagi

keberlangsungan kegiatan manusia, karena sebagian besar kegiatan manusia membutukan energi listrik begitu pula dengan proses produksi industri seperti industri semen dan kertas.

Menurut Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia tahun 2013, pada tahun 2014 PTBA diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional sebesar 4 498 880 ton. Permintaan batubara untuk pemenuhan kebutuhan energi setiap tahunnya semakin meningkat, sejalan dengan peningkatan permintaan batubara maka produksi batubara pun setiap tahunnya mengalami pengingkatan. Peningkatan produksi batubara PTBA selama lima tahun pada periode tahun 2008 sampai tahun 2012 dapat dilihat pada Gambar 12.

Sumber: Laporan Tahunan PTBA (2012)

Gambar 12. Produksi Batu Bara PTBA Unit Tanjung Enim Tahun 2008-2012

Pada tahun 2008 PTBA memproduksi batubara Unit Pertambangan Tanjung Enim sebanyak 10 086 509 ton, hingga tahun 2012 produksi batubara meningkat menjadi 13 064 168 ton. Peningkatan produksi ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi dunia. Dimana penjualan batubara untuk keperluan domestik maupun ekspor semakin meningkat setiap tahunnya dan penjualan terbesar PTBA adalah untuk keperluan domestik yaitu PLTU yang berada di seluruh wilayah Indonesia dan industri pabrik. Peningkatan penjualan batubara PTBA pada periode tahun 2008 hingga tahun 2012 dapat dilihat pada Gambar 13 berikut ini. 0 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000 14000000 2008 2009 2010 2011 2012 Ju m lah P ro d u k si ( to n ) Tahun

Sumber: Laporan Tahunan PTBA (2012)

Gambar 13. Penjualan Batubara PTBA Unit Tanjung Enim Tahun 2008-2012

Penjualan batubara pada tahun 2008 sebanyak 12 797 922 ton, untuk keperluan domestik sebanyak 8 321 310 ton. Hingga pada tahun 2012 penjualan menjadi sebanyak 15 335 883 ton, untuk keperluan domestik sebanyak 8 435 302 ton. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sumber daya batubara masih sangat dibutuhkan di negeri ini. Sumber daya batubara masih menjadi salah satu pilihan bagi PLTU maupun industri untuk pembangkit tenaga listrik.

Tetapi untuk memproduksi batubara memang dibutuhkan aturan dan strategi yang baik, agar sumber daya batubara dapat dimanfaatkan secara bijak untuk memenuhi kebutuhan manusia. Maka dari itu pada penelitian ini akan menganalisis biaya dan manfaat ekonomi wilayah kawasan hutan Bukit Munggu yang terdapat sumber daya batubara melimpah di dalamnya dan direncanakan akan dikonversi menjadi pertambangan batubara. Secara ekonomi, akan dianalisis apakah pada kawasan hutan ini akan lebih bermanfaat saat tetap menjadi kawasan hutan atau saat dikonversi menjadi pertambangan batubara. Untuk perhitungan manfaat pertambangan batubara yang dihasilkan, akan diestimasi dari jumlah penerimaan dari kegiatan pertambangan batubara. Seperti yang sudah dijelaskan pada metode penelitian bahwa penerimaan dari produksi batubara adalah cerminan dari manfaat yang dihasilkan dari pertambangan batubara. Penerimaan

0 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000 14000000 16000000 2008 2009 2010 2011 2012 P en ju ala n B atub ar a (to n ) Tahun Domestik Ekspor Jumlah Penjualan

pertambangan batubara adalah pemasukan (input) yang diperoleh dari kegiatan produksi batubara.

Pada lahan kawasan hutan Bukit Munggu yang akan dikonversi menjadi pertambangan batubara ini, jumlah manfaat yang dapat dihasilkan dari produksi adalah sebesar Rp 4 105 001 760 000 /tahun. Jumlah manfaat batubara didapatkan dari mengalikan jumlah volume batubara yang dapat dihasilkan dalam setahun dengan harga batubara sesuai dengan harga pasar, dimana volume batubara yang rata-rata diproduksi dalam setahun adalah sebanyak 4 000 0000 ton/tahun dengan harga batubara (7000 Kcal/kg GAR) adalah sebesar Rp 1 026 250 /ton. Berikut adalah perhitungan manfaat dari pertambangan batubara.

Manfaat Batubara = 4 000 000 ton/tahun x Rp 1 026 250 /ton = Rp 4 105 001 760 000 /tahun

6.1.2 Biaya Pertambangan Batubara

Untuk melakukan suatu kegiatan produksi dibutuhkan biaya, termasuk dalam pertambangan batubara. Biaya yang dikeluarkan untuk pertambangan batubara bukan jumlah yang sedikit, karena banyak komponen biaya yang diperlukan untuk kegiatan pertambangan batubara. Biaya yang dibutuhkan pada pertambangan batubara mulai dari biaya eksplorasi hingga reklamasi lahan pasca tambang batubara agar lahan tersebut dapat dimanfaatkan kembali.

Pada perhitungan biaya pertambangan batubara dalam penelitian ini daianalisis dari komponen biaya dengan metode full costing. Menurut Khasanah et al. (2011), full costing merupakan metode penentuan harga pokok produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi kedalaman harga pokok produksi. Harga pokok produksi yang dihitung melalui pendekatan full costing terdiri dari unsur harga pokok produksi (biaya bahan baku, biaya tenaga kerja langsung, biaya overhead variabel, dan biaya overhead tetap) ditambah dengan biaya non produksi (biaya pemasaran, biaya administrasi, dan umum). Uraian komponen biaya yang dibutuhkan untuk pertambangan batubara di lahan kawasan hutan Bukit Munggu dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini:

Tabel 7 Biaya Pertambangan Batubara

Uraian Biaya (Rp/satuan) Jumlah Biaya (Rp/tahun)

Biaya Produksi

1. Eksplorasi (ton) 1 500 6 000 000 000

2. Pompa (ton) 3 500 14 000 000 000

3. CHF Cost Tanjung Enim (ton) 21 000 84 000 000 000

4. Railway Cost (ton) 106 000 424 000 000 000

5. Port Cost (ton) 20 000 80 000 000 000

6. Surveyor, EMKL (ton) 875 3 500 000 000

7. Royalties dan iuran (ton) 5 500 22 000 000 000

8. Coorporate OH dan

Administration Cost (ton)

40 000 160 000 000 000

9. Lingkungan (ton) 5 200 20 800 000 000

Biaya Tambang

1. Tanah (bcm) 35 000 140 000 000 000

2. Batubara (7000 Kcal/kg GAR) (ton)

29 000 116 000 000 000

Total Biaya 1 070 300 000 000

Sumber: Satuan Kerja Perencanaan Jangka Panjang PTBA (2014)

Berdasarkan perhitungan, biaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan pertambangan batubara di lahan kawasan hutan Bukit Munggu dengan produksi sebanyak 4 000 000 ton/tahun adalah sebesar Rp 1.07 triliun/tahun. Komponen biaya dibagi menjadi dua yaitu biaya produksi dan biaya tambang. Biaya produksi yang dimaksud adalah biaya operasi pertambangan batubara, sedangkan biaya tambang adalah biaya penggalian tanah dan batubara beserta alat beratnya.

Pada komponen biaya produksi terdapat sembilan jenis biaya. Pertama, biaya eksplorasi digunakan untuk mengeksplorasi lahan yang akan ditambang, dilakukan sebelum melakukan kegiatan penambangan, agar diketahui apakah pada lahan tersebut terdapat batubara didalamnya dan layak untuk dilakukan penambangan. Biaya yang dibutuhkan untuk mengeksplorasi potensi lahan ini adalah sebesar Rp 6 milyar/tahun. Kedua, biaya pompa digunakan untuk memompa air dalam bukaan tambang yang masih terdapat kandungan asam ke dalam kolam, biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 14 milyar/tahun. Ketiga, biaya CHF (Coal Handling Facility) Tanjung Enim adalah biaya yang digunakan untuk fasilitas penunjang pertambangan batubara, seperti basecamp karyawan

penambang batubara, garasi alat berat, bengkel alat berat, dan lain-lain sebesar Rp 84 milyar/tahun. Keempat, biaya railway cost adalah biaya pengiriman batubara ke stockpile menggunakan kereta api sebesar Rp 424 milyar/tahun. Kelima, biaya port cost adalah biaya pelabuhan yang digunakan untuk pengiriman batubara kepada konsumen sebesar Rp 80 milyar/tahun. Keenam, surveyor, EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut) adalah biaya untuk menguji sertifikasi kandungan batubara dengan pihak ketiga (surveyor independent) kegiatan ini bisa dilakukan sebelum maupun setelah pengiriman batubara kepada konsumen. Biaya surveyor, EMKL yang dibutuhkan sebesar Rp 3.5 milyar/tahun. Ketujuh, royalties dan iuran adalah biaya yang dikeluarkan untuk pemerintah daerah dan pemerintah pusat, dari sisi pemerintahan biaya ini termasuk menjadi manfaat sedangkan untuk yang memproduksi batubara termasuk dalam komponen biaya. Biaya royalties dan iuran adalah sebesar Rp 22 milyar/tahun. Kedelapan, biaya coorporate OH (Over Head) dan administration cost adalah biaya untuk pengelolaan dan pelaksanaan administrasi kegiatan pertambangan batubara sebesar Rp 160 milyar/tahun. Kesembilan, biaya lingkungan adalah biaya yang digunakan untuk reklamasi (pemulihan kembali) lahan pasca tambang sebesar Rp 20.8 milyar/tahun.

Pada komponen biaya tambang terdapat dua jenis biaya. Pertama, biaya tanah adalah biaya yang digunakan untuk penggalian tanah dan penyewaan alat beratnya sebesar Rp 140 milyar/tahun. Kedua, biaya batubara (7000 Kcal/kg GAR) adalah biaya penggalian batubara dengan kandungan batubara yang ada pada lahan tersebut sebesar 7000 Kcal/kg GAR serta biaya penyewaan alat berat untuk penggalian batubara sebesar Rp 116 milyar/tahun.

6.2 Analisis Nilai Penggunaan Kawasan Hutan

Nilai penggunaan kawasan hutan atau Total Economic Value (TEV) yang dikuantifikasi pada penelitian ini adalah nilai air yang digunakan oleh masyarakat Tanjung Enim, nilai karbon yang dapat dihasilkan kawasan hutan, nilai oksigen yang dapat dihasilkan dari pepohonan dalan kawasan hutan, dan nilai rumput yang digunakan peternak sapi. Nilai penggunaan kawasan hutan pada penelitian ini dikuantifikasi dengan menggunakan metode valuasi dan analisis nilai pasar (market value). Kuantifikasi nilai penggunaan sumberdaya dalam kawasan hutan

dilakukan untuk mengestimasi nilai ekonomi manfaat penggunaan kawasan hutan secara moneter, sehingga dapat dibandingkan dengan manfaat dan biaya ekonomi dari kegiatan pertambangan batubara. Tetapi dalam penelitian ini TEV menjadi bagian dari biaya, yaitu opportunity cost. Dimana pada kegiatan konversi kawasan hutan menjadi pertambangan batubara manfaat yang dihasilkan dari sumber daya yang ada dalam kawasan hutan akan hilang digantikan dengan manfaat yang dapat dihasilkan dari produksi batubara.

6.2.1 Nilai Air

Pada penelitin ini akan dihitung nilai air yang digunakan oleh masayarakat Tanjung Enim. Harga air yang digunakan adalah harga air dari PDAM Kabupaten Muara Enim adalah sebesar Rp 25 000 /m3, sedangkan penentuan jumlah penggunaan air rata-rata masyarakat menggunakan literatur dan penelitian yang pernah dilakukan, disebutkan penggunaan air rata-rata manusia per hari adalah 144 liter. Jumlah penduduk Kelurahan Tanjung Enim adalah sebanyak 13 946 orang. Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai air adalah sebesar Rp 18.27 milyar/tahun. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Nilai Air

Uraian Jumlah Nilai Total (Rp/tahun)

Penggunaan air (m3/tahun) 73 0993.5

Jumlah penduduk (jiwa) 13 946

Harga air (Rp/m3) 25 000

Nilai total air 18 274 838 400

Sumber: Data diolah (2014)

6.2.2 Nilai Karbon

Manfaat tidak langsung yang dihitung pada penelitian ini adalah nilai karbon. Manfaat nilai karbon yang dihasilkan kawasan hutan dianalisis menggunakan analisis market value (nilai pasar). Menurut penelitian Yusuf (2010) satu hektar hutan sekunder dapat menyimpan 95 ton karbon dan satu hektar hutan primer dapat menyimpan 263 ton karbon, dengan nilai karbon pada saat ini adalah sebesar $ 10 ($ 1 = Rp 12 226). Hutan primer adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu yang sesuai dengan

kematangannya, sedangkan hutan sekunder adalah hutan-hutan yang merupakan hasil regenerasi (pemulihan) setelah sebelumnya mengalami kerusakan ekologis.

Maka dari literatur diatas dapat ditentukan pada kawasan hutan Bukit Munggu ini hutan yang ada termasuk kedalam jenis hutan primer. Berdasarkan perhitungan didapatkan nilai serapan karbon di kawasan hutan Bukit Munggu adalah sebesar Rp 8.26 milyar/tahun, dapat dilihat pada tabel 9 berikut ini:

Tabel 9 Nilai Karbon

Uraian Jumlah Nilai Total (Rp/tahun)

Luas lahan (ha) 257

Jumlah karbon (ton) 67 591

Harga karbon (Rp/ton) 122 260

Nilai total karbon 8 263 675 660

Sumber: Data diolah (2014)

6.2.3 Nilai Oksigen

Pada penelitian ini oksigen merupakan manfaat tidak langsung yang dihasilkan kawasan hutan, dimana dalam kawasan hutan terdapat banyak tegakan pohon yang dapat menghasilkan oksigen yang sangat diperlukan bagi manusia. Menurut Pracoyo dan Pracoyo (2006) tanpa disadari manusia selalu membutuhkan oksigen agar dapat tetap bernafas. Oksigen adalah barang non ekonomis, karena untuk mendapatkannya kita tak perlu membayar. Oksigen memang bermanfaat, namun karena jumlahnya berlimpah, menjadi tidak punya nilai. Namun begitu tempat tinggal kita mengalami polusi udara dan kita harus pergi ke suatu tempat untuk mendapatkan udara yang bersih maka oksigen sudah menjadi barang ekonomi. Hal ini juga dikemukakan oleh Sugiarto, et al (2002) bahwa status suatu barang dapat berubah terkait dengan waktu dan tempat. Sebagai gambaran, pada umumnya oksigen adalah barang bebas, tapi bagi seseorang yang mengalami kekurangan oksigen, oksigen dapar berubah menjadi barang ekonomi. Maka dari itu dalam penelitian ini jika kegiatan konversi dilakukan, maka udara akan menjadi barang ekonomi. Sehingga manfaat dari udara atau oksigen yang dihasilkan dari pepohonan yang ada di kawasan hutan perlu dihitung dan akan menjadi opportunity cost pada kegiatan konversi kawasan hutan menjadi pertambangan batubara.

Pendugaan jumlah pohon di kawasan hutan dilakukan dengan pendekatan luas dan jarak antar pohon. Jarak antar pohon sekitar 3 m dan luas lahan sebesar 257 ha, sehingga pendugaan jumlah pohon yang ada di kawasan hutan Bukit Munggu adalah sebanyak 23 130 000 pohon. Menurut Mahesi (2008), sebuah pohon dapat menghasilkan 1.2 kg oksigen per hari. Untuk mengkonversikan ke dalam satuan liter, maka terlebih dahulu harus diketahui massa jenis oksigen. Massa jenis oksigen adalah (0o C; 101.325 kPa) 1.429 g/liter dengan harga oksigen saat ini adalah sebesar Rp 25 000 per liter. Sehingga nilai oksigen yang dapat dihasilkan dari kawasan hutan Bukit Munggu adalah sebesar 176 752 triliun/tahun, untuk perhitungan nilai oksigen dapat dilihat pada tabel 10 berikut: Tabel 10 Nilai Oksigen

Uraian Jumlah Nilai Total (Rp/tahun)

Luas lahan (ha) 257

Jumlah pohon (pohon) 23 130 000

Harga oksigen (Rp/liter) 25 000

Massa jenis oksigen (g/liter) 1.429

Nilai total oksigen 176 752 694 191 742 000

Sumber: Data diolah (2014)

6.2.4 Nilai Rumput

Manfaat langsung yang dihitung pada penelitian ini adalah manfaat hutan dalam menghasilkan makanan untuk hewan ternak masyarakat Tanjung Enim. Hewan ternak yang dibebaskan untuk mencari makan di kawasan hutan ini adalah sapi. Peternak sapi yang mengembalakan sapinya pada kawasan hutan ini adalah berjumlah empat orang, dengan jumlah sapi yang dimiliki adalah sebanyak 54 ekor. Pada tabel 11 dapat dilihat jumlah peternak sapi yang menggembalakan sapinya di kawasan hutan yang akan dikonversi.

Tabel 11 Peternak Sapi di Kawasan Hutan

Nama Peternak Jumlah Sapi (ekor)

Peternak 1 17

Peternak 2 5

Peternak 3 9

Peternak 4 23

Total 54

Menurut Yulianto dan Saparinto (2010), seekor sapi membutuhkan pakan rumput segar sebanyak 45 kg per hari, sehingga dalam setahun dibutuhkan rumput sebanyak 16 380 kg untuk memenuhi kebutuhan makanan sapi. Sedangkan menurut harga pasar, harga rumput adalah sebesar Rp 400 /kg. Berdasarkan hasil perhitungan, didapatkan nilai total rumput adalah sebesar Rp 353 808 000 /tahun. Pada tabel 12 dapat dilihat hasil perhitungan nilai rumput yang dimanfaatkan oleh peternak sapi.

Tabel 12 Nilai Rumput

Uraian Jumlah Nilai Total (Rp/tahun)

Sapi (ekor) 54

Rumput (kg/tahun) 884 520

Harga rumput (Rp/kg) 400

Nilai total rumput 353 808 000

Sumber: Data diolah (2014)

6.2.6 Analisis Willingness To Pay (WTP)

Responden dalam penelitian ini berjumlah 40 orang, semua responden adalah masyarakat Tanjung Enim yang tinggal pada kawasan hutan. Karakteristik responden dalam penelitian ini sangat beragam sehingga diharapkan dapat mewakili seluruh masyarakat Tanjung Enim yang merasakan manfaat dan jasa lingkungan yang dihasilkan dari kawasan hutan.

Pada penelitian ini analisis nilai willingness to pay menggunakan pendekatan CVM (Contingen Valuation Method), untuk mengetahui nilai WTP responden terhadap existence value (nilai keberadaan), bequest value (nilai warisan), dan option value (nilai pilihan) kawasan hutan. Nilai WTP tersebut diperlukan untuk memvaluasi kawasan hutan menjadi nilai moneter sehingga dapat dibandingkan dengan analisis pendapatan pertambangan batubara.

6.2.6.1 Analisis WTP Existence Value

Analisis WTP existence value digunakan untuk mengetahui seberapa besar WTP yang ingin dibayarkan oleh responden bagi keberadaan kawasan hutan Bukit Munggu, dimana responden pada penelitian ini adalah masyarakat Tanjung Enim yang merasakan manfaat dari kawasan hutan Bukit Munggu. Hasil perhitungan rataan WTP dan total WTP existence value dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 WTP Existence Value Responden No WTP (Rp/KK/Tahun) Frekuensi (orang) Rataan WTP (Rp) Total WTP (Rp) 1 5 000 3 375 15 000 2 10 000 9 2 250 90 000 3 15 000 4 1 500 60 000 4 20 000 7 3 500 140 000 5 25 000 6 3 750 150 000 6 30 000 5 3 750 150 000 7 35 000 1 875 35 000 8 40 000 2 2 000 80 000 9 50 000 2 2 500 100 000 10 60 000 1 1 500 60 000 Total 40 22 000 880 000

Sumber: Data diolah (2014)

Hasil dari analisis WTP existence value menunjukkan nilai rataan WTP existence value responden adalah sebesar Rp 22 000. Rataan nilai WTP dihitung dari data distribusi WTP responden. Kemudian dilakukan pengelompokkan data dari nilai WTP terkecil sampai nilai WTP terbesar yang sedia dibayarkan oleh responden. Sedangkan untuk total nilai WTP existence value yang ingin dibayarkan responden adalah sebesar Rp 880 000. Adapun nilai keberadaan (existence value) didapatkan dari mengalikan nilai rataan dengan jumlah penduduk, dimana jumlah penduduk Kelurahan Tanjung Enim adalah sebanyak 13 465 orang. Maka didapatkan nilai keberadaan hutan adalah sebesar Rp 296 912 000 /tahun. Besaran nilai yang dihasilkan tersebut menggambarkan penilaian masyarakat Tanjung Enim terhadap manfaat dan jasa lingkungan yang diberikan atas keberadaan (exsistance value) hutan. Sedangkan hubungan antara jumlah WTP yang dibayarkan dengan jumlah responden yang bersedia membayar dapat digambarkan dengan kurva bid WTP, dimana semakin tinggi harga yang dibayarkan maka semakin semakin sedikit jumlah orang yang bersedia membayar. Kurva permintaan WTP existence value dapat dilihat pada lampiran 1.

Analisis fungsi WTP existence value digunakan untuk mengetahui faktor- faktor yang berpengaruh terdahap WTP responden. Analisis fungsi WTP dilakukan dengan menggunakan analisis regresi berganda dengan menduga lima variabel penjelas (independent variable) yaitu variabel usia, tingkat pendidikan, penghasilan, jumlah tanggungan, dan dengan variabel dummy jenis kelamin. Hasil analisis regresi nilai WTP responden dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Analisis Linier Berganda WTP Existence Value

Predictor Coef SE Coef T P VIF

Constant -4.559 1.741 -2.62 0.013 JK -0.0257 0.1141 -0.23 0.823 1.1 U 0.2164 0.2133 1.01 0.317 1.2 TP 0.8321 0.3044 2.73 0.010* 1.6 P 0.7830 0.1252 6.25 0.000* 1.5 JT -0.1872 0.1291 -1.45 0.156** 1.2 R-Square 73.3 % Adjusted R-Square 69.4 % Durbin Watson 2.3325 F-Statistik 18.71 0.000 Keterangan:

* : Signifikan pada taraf nyata (α = 0.05) ** : Signifikan pada taraf nyata(α = 0.2)

Berdasarkan hasil regresi tersebut didapatkan nilai R2 sebesar 73.3 persen yang berarti keragaman nilai WTP responden dapat dijelaskan oleh variabel dalam model sebesar 73.3 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel diluar model. Nilai Fhit diperoleh sebesar 18.71 dengan nilai P sebesar 0.000

menunjukkan bahwa variabel penjelas dalam model bersama-sama berpengaruh

nyata terhadap nilai WTP responden pada taraf kepercayaan (α) 5 persen. Model

yang dihasilkan pada penelitian ini telah dilakukan uji asumsi klasik yaitu uji normalitas, multikolinieritas, dan heteroskedastisitas. Menurut hasil regresi, model sudah memenuhi parameter uji asumsi klasik (sumber lampiran 4). Model yang dihasilkan dari hasil regresi adalah sebagai berikut:

ln WTPK = -4.56– 0.026 JK + 0.216 U +0.832 TP + 0.783 P – 0.187 JT

Pada model tersebut diketahui variabel penjelas yang berpengaruh nyata pada WTP keberadaan masyarakat Tanjung Enim adalah variabel pendapatan, tingkat pendidikan, dan jumlah tanggungan. Variabel tingkat pendidikan mempunyai nilai P-value sebesar 0.010 menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan berpengaruh nyata terhadap WTP responden pada taraf kepercayaan

(α) 5 persen. Nilai koefisisen yang bertanda positif (+) dengan nilai 0.8321 berarti bahwa setiap kenaikan tingkat pendidikan responden selama 1 tahun maka nilai WTP yang diberikan akan meningkat sebesar 0.8321 persen. Hal ini disebabkan oleh responden yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki ilmu pengetahuan tentang lingkungan yang lebih tinggi, sehingga memiliki keinginan

membayar yang lebih tinggi. Keinginan membayar yang lebih tinggi juga dapat disebabkan karena sebagian besar responden yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, memiliki pendapatan yang lebih tinggi.

Variabel pendapatan memiliki nilai P-value sebesar 0.000 menunjukkan bahwa variabel pendapatan berpengaruh nyata terhadap WTP responden pada

taraf kepercayaan (α) 5 persen. Nilai koefisien yang bertanda positif (+) dengan nilai 0.7830 berarti bahwa setiap peningkatan pendapatan responden sebesar satu rupiah akan meningkatkan WTP sebesar 0.7830 persen. Responden yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi mempunyai keinginan membayar yang lebih tinggi, karena mereka mempunyai uang lebih untuk disisihkan bagi keperluan lain salah satunya menjaga kelestarian hutan.

Variabel jumlah tanggungan mempunyai P-value sebesar 0.156 menunjukkan bahwa variabel jumlah tanggungan berpengaruh nyata terhadap WTP responden pada taraf kepercayaan (α) 20 persen. Nilai koefisien yang bertanda negatif (-) dengan nilai 0.1872 berarti bahwa setiap peningkatan jumlah tanggungan responden sebanyak 1 orang maka nilai WTP yang diberikan akan menurun sebesar 0.1872 persen. Hal ini dikarenakan responden memiliki tanggung jawab dan prioritas lebih untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, dibandingkan dengan menyisihkan uangnya untuk kelestarian lingkungan.

Adapun variabel-variabel bebas yang diduga berpengaruh terhadap nilai WTP responden, namun setelah dilakukan analisis terhadap model ternyata tidak berpengaruh secara signifikan yaitu jenis kelamin dan usia.

6.2.6.2 Analisis WTP Bequest Value

Analisis WTP bequest value digunakan untuk mengetahui seberapa besar WTP yang ingin dibayarkan oleh responden bagi nilai warisan kawasan hutan Bukit Munggu, dimana responden pada penelitian ini adalah masyarakat Tanjung Enim yang merasakan manfaat dari kawsan hutan Bukit Munggu. Hasil perhitungan nilai rataan WTP dan total nilai WTP bequest value responden dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 WTP Bequest Value Responden No WTP (Rp/KK/Tahun) Frekuensi (Orang) Rataan WTP (Rp) Total WTP (Rp) 1 5 000 2 250 10 000 2 10 000 7 1 750 70 000 3 12 000 1 300 12 000 4 15 000 7 2 625 105 000 5 20 000 7 3 500 140 000 6 25 000 5 3 125 125 000 7 30 000 6 4 500 180 000 8 40 000 2 2 000 80 000 9 50 000 2 2 500 100 000 10 60 000 1 1 500 60 000 Total 40 22 050 882 000

Sumber: Data diolah (2014)

Berdasarkan perhitungan rataan WTP bequest value dari distribusi data responden didapatkan nilai rataan WTP bequest value responden adalah sebesar Rp 22 050. Sedangkan total nilai WTP bequest value yang ingin dibayarkan oleh

Dokumen terkait