• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini merupakan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar hilir kawasan DAS Deli yang meliputi 4 kecamatan yaitu kecamatan Medan Marelan, Medan Deli, Medan Maimun dan Medan Barat. Jumlah penduduk yang berada di Daerah Aliran Sungai Deli dalam beberapa tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 6 yaitu :

Tabel 6. Karakteristik Penduduk DAS Deli

Keterangan

Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2008

LK PR Jlh R.Tangga LK PR Jlh R.Tangga LK PR Jlh R.Tangga Kab. Karo 157107 159100 316207 170574 171981 342555 177637 183243 95211 Kab. Deli Serdang 795610 786603 344848 821352 812763 356794 569401 580995 388195 Kota Medan 1012040 1024145 422922 1027607 1039681 435218 1039707 1062398 472025 Jumlah(jiwa) 1964757 1969848 1083977 2019533 2024425 1134567 1786745 1826636 955431 Sumber : BPS (2009)

Berdasarkan data olahan BPS tahun 2009, dapat diketahui bahwa masyarakat hilir DAS Deli adalah 511.540 jiwa dan yang menjadi responden sebanyak 200 jiwa. Sedangkan untuk jumlah KK (kepala keluarga) dihilir adalah 19.220 KK. Karakteristik yang digunakan dalam penelitian ini adalah umur, pekerjaan, pendidikan, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga dan pengeluaran.

Umur

Dari hasil wawancara di lapangan diketahui bahwa umur yang paling banyak terdapat antara 30-50 tahun yaitu dengan persentase 75 %. Sedangkan untuk umur diatas 50 tahun sebesar 15 %. Untuk umur < 30 tahun dengan persentase 10 % (dapat dilihat pada Gambar 1). Pada dasarnya, umur produktif

seseorang berkisar antara 15-64 tahun, hal ini sesuai dengan ketentuan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) (2007) bahwa kelompok umur produktif berada pada umur 15-64 tahun, kelompok umur ini merupakan kelompok umur yang memiliki masa kerja yang masih aktif.

Sumber : Data Primer Olahan (2010)

Gambar 1. Komposisi Responden Berdasarkan Kelompok Umur

Berdasarkan pembagian kecamatan dapat diketahui penyebaran masing- masing kelompok umur (dapat dilihat pada Tabel 7). Untuk kelompok umur <30 tahun, sebanyak 3 orang yang terdapat di Medan Marelan sedangkan yang terbanyak terdapat di Medan Deli sebanyak 7 orang. Kelompok umur antara 30-50 tahun lebih banyak terdapat disetiap kecamatan dengan kisaran antara 30-43 orang. Sedangkan untuk kelompok umur >50 tahun paling banyak terdapat di kecamatan Medan Maimun sebanyak 45. Dari penjelasan tersebut akan dapat diketahui bahwa umur antara 30-50 tahun memiliki jumlah yang paling banyak. Pada umumnya kelompok umur tersebut mempunyai pengaruh terhadap kualitas pekerjaannya. Sebab pada umur antara 30-50 tahun keinginan dan semangat untuk bekerja masih sangat besar, juga didasari oleh rasa tanggungjawab terhadap kebutuhan hidupnya hal ini sesuai dengan ketentuan BAPPENAS (2007).

Berdasarkan hal tersebut maka akan dapat disimpulkan bahwa rata-rata responden berada pada usia yang produktif.

Tabel 7. Komposisi Responden Berdasarkan Kelompok Umur

No Kecamatan

Kelompok Umur

<30 tahun 30 - 50 tahun >50 tahun

1 Medan Marelan 3 38 14

2 Medan Barat 4 30 6

3 Medan Deli 7 43 4

4 Medan Maimun 6 40 45

Jumlah 20 151 69

Sumber : Data Primer (2010)

Pekerjaan

Karakteristik pekerjaan meliputi PNS (Pegawai Negeri Sipil), Swasta, Wiraswasta, Petani/nelayan dan lainnya. Jenis pekerjaan PNS sebesar 13 %, swasta 17 % sedangkan petani merupakan pekerjaan yang sangat sulit ditemukan karena lahan yang akan digunakan untuk bertani sudah sedikit oleh karena itu pekerjaan petani hanya terdapat sebesar 1 %. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa, sebagian besar responden merupakan masyarakat yang lebih banyak melakukan pekerjaan wiraswasta seperti toko, membuka warnet, warung, kedai kopi dan kedai nasi, dalam hal ini pekerjaan wiraswasta mencapai 43 %.

Sumber : Data Primer Olahan (2010)

Kecamatan Medan Marelan memiliki masyarakat yang bekerja sebagai pegawai swasta dan yang lainnya seperti pedagang yaitu sebanyak 16 orang bekerja sebagai pegawai swasta dan 21 orang bekerja sebagai pedagang. Di kecamatan Medan Barat terdapat penduduk yang bekerja sebagai petani, sedangkan yang bekerja sebagai PNS sebanyak 8 orang. Untuk Medan Deli, hampir semua masyarakat bekerja sebagai wiraswasta. Sebanyak 37 orang yang bekerja sebagai wiraswasta. Sedangkan di kecamatan Medan Maimun sebanyak 16 orang masyarakatnya bekerja yang lainnya seperti penjahit, tukang pangkas dan tukang becak. Oleh sebab itu, dapat diketahui bahwa masyarakat lebih banyak bekerja sebagai wiraswasta dan lainnya seperti pedagang, penjahit, tukang pangkas dan tukang becak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ahmadi (2003) yang menyatakan bahwa masyarakat perkotaan memiliki pekerjaan yang beragam sebab pembangunan wilayah perkotaan menunjukan kegiatan ekonomi yang berkembang dengan pesat sesuai sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah tersebut.

Tabel 8. Komposisi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan

No Kecamatan

Jenis Pekerjaan

PNS/TNI/POLRI Swasta Wiraswasta Petani/Nelayan Lainnya

1 Medan Marelan 7 16 11 0 21

2 Medan Barat 8 2 18 1 11

3 Medan Deli 4 9 37 0 4

4 Medan Maimun 6 7 22 0 16

Jumlah 25 34 88 1 52

Sumber : Data Primer (2010)

Pendidikan

Tingkat pendidikan responden pada dasarnya sudah cukup baik, karena sebagian besar responden telah menjalani wajib belajar Sembilan tahun (dari SD

sampai SMA), berdasarkan UU No.12 tahun 1954 bahwa setiap anak usia 8-14 tahun terkena pendidikan wajib belajar. Hal ini juga sesuai dengan PP no. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan, yaitu pendidikan yang diperoleh masyarakat merupakan pendidikan yang formal karena memiliki jalur yang terstruktur dan berjenjang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Responden untuk tingkat pendidikan SMA (46 %) sudah menyebar disetiap kecamatan, hanya saja untuk tingkat pendidikan SD paling banyak terdapat di Kecamatam Medan Marelan yaitu 9,5 %.

Sumber : Data Primer Olahan (2010)

Gambar 3. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Komposisi responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan tabel tersebut masyarakat yang berpendidikan SD paling banyak terdapat di kecamatan Medan Marelan yaitu sebanyak 15 orang, sedangkan masyarakat kecamatan Medan Maimun berpendidikan paling rendah adalah SMP. Di kecamatan Medan Deli sebagian besar masyarakatnya berpendidikan sarjana yaitu sebanyak 28 orang, oleh sebab itu hampir semua masyarakat Medan Deli bekerja sebagai wiraswasta. Sedangkan hampir sebagian besar masyarakat disetiap kecamatan berpendidikan hingga ketingkat SMA yaitu sebanyak 88 orang. Berdasarkan hal itu maka dapat diketahui bahwa semua responden merupakan masyarakat yang berpendidikan, sebab hampir semua

masyarakat mengikuti kegiatan sekolah sehingga semua masyarakat sudah dapat membaca dan menulis.

Tabel 9. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Kecamatan Pendidikan SD SMP SMA Sarjana 1 Medan Marelan 15 11 22 7 2 Medan Barat 3 7 21 9 3 Medan Deli 1 5 21 28 4 Medan Maimun 0 9 24 18 Jumlah 19 32 88 62

Sumber : Data Primer (2010)

Pendapatan

Dari Gambar 4 dapat diketahui bahwa pendapatan responden paling banyak terdapat antara Rp 1.000.000 – Rp 3.000.000/bln sebesar 49 %. Responden yang memiliki pendapatan >Rp 5.000.000/bln merupakan responden yang berpendidikan sarjana yaitu sebesar 7 %. Sebanyak 30 % responden memiliki pendapatan antara Rp 3.000.000-Rp 5.000.000/bln.

Sumber : Data Primer Olahan (2010)

Gambar 4. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan

Masyarakat di Kecamatan Medan Marelan yang paling banyak memiliki pendapatan < Rp 1.000.000/bln yaitu sebanyak 17 orang, sedangkan responden yang berpenghasilan >Rp 5.000.000/bln paling banyak terdapat di Kecamatan

Medan Maimun dan Medan Marelan. Untuk responden yang berpenghasilan Rp 3.000.000 – Rp 5.000.000/bln telah banyak menyebar di setiap Kecamatan. Dari tabel dapat diketahui bahwa sebagian masyarakat berpendapatan antara Rp 1.000.000 hingga Rp 5.000.000/bln, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian masyarakat merupakan masyarakat yang hidup berkecukupan. Hal ini sesuai dengan ketetapan yang telah dibuat Ditjen Pengupahan dan Jamsostek (2010) yang menyatakan bahwa Upah Minimum Provinsi (UMP) di Sumatera Utara adalah Rp 965.000/bln. Upah tersebut merupakan pendapatan yang diterima oleh seseorang yang telah bekerja. Menurut BPS (2006) bahwa masyarakat yang telah mampu melakukan pengeluaran lebih dari Rp 175.324/kapita/bln merupakan masyarakat yang tergolong tidak miskin. Masyarakat yang menjadi responden pada umumnya bekerja sebagai pegawai swasta, swasta, PNS dan pedagang. Sedangkan masyarakar yang bekerja sebagai wiraswasta memiliki pendapatan >Rp 5.000.000/bln.

Tabel 10. Komposisi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan

No Kecamatan Pendapatan (Rp/bln) < Rp 1jt Rp 1jt-3jt Rp 3jt-5jt >Rp 5jt 1 Medan Marelan 17 23 9 6 2 Medan Barat 4 24 10 2 3 Medan Deli 5 21 27 1 4 Medan Maimun 1 30 14 6 Jumlah 27 98 60 15

Sumber : Data Primer (2010)

Pengeluaran

Jumlah pengeluaran setiap responden akan berbeda-beda, hal ini dikarenakan jumlah pendapatan dan jumlah tanggungan pada masing-masing responden berbeda. Dari hasil wawancara diketahui bahwa jumlah pengeluaran

responden yang paling banyak terdapat antara Rp 1.000.000 – Rp 3.000.000 yaitu sebesar 70 %. Sedangkan untuk jumlah pengeluaran >Rp 3.000.000 adalah sebesar 7 %.

Sumber : Data Primer Olahan (2010)

Gambar 6. Komposisi Responden Berdasarkan Pengeluaran

Di kecamatan Medan Maimun jumlah masyarakat yang memiliki pengeluaran >Rp 3.000.000/bln sebanyak 1 orang, sebab di kecamatan inilah banyak terdapat masyarakat yang memiliki pendapatan >Rp 5.000.000/bln. Untuk pengeluaran Rp 1.000.000 hingga Rp 3.000.000 terdapat hampir disetiap kecamatan, hal ini disebabkan karena masyarakat memiliki pendapatan antara Rp 3.000.000 hingga Rp 5.000.000/bln. Berdasarkan data yang telah diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang menjadi responden memiliki pengeluaran antara Rp 1.000.000-Rp 3.000.000. Pada umumnya, semakin besar pendapatan suatu keluarga maka pengeluaran yang dilakukannya juga akan semakin besar. Pengeluaran juga berpengaruh terhadap jumlah tanggungan keluarga, dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa jumlah tanggungan yang paling banyak antara 1-2 orang dalam suatu keluarga. Menurut BPS (2006) bahwa masyarakat yang telah mampu melakukan pengeluaran lebih dari Rp 175.324/kapita/bln merupakan masyarakat yang tergolong tidak miskin, tetapi

pengeluaran dalam bentuk komoditas pangan dan non pangan juga dapat dijadikan sebagai acuan.

Tabel 12. Komposisi Responden Berdasarkan Pengeluaran

No Kecamatan Pengeluaran (Rp/bln) <Rp 1jt Rp 1jt -3jt >Rp 3jt 1 Medan Marelan 21 28 6 2 Medan Barat 9 26 5 3 Medan Deli 7 44 3 4 Medan Maimun 9 41 1 Jumlah 46 139 15

Sumber : Data Primer (2010)

Jumlah Tanggungan Keluarga

Masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah merupakan masyarakat yang telah berkeluarga, sehingga akan dapat diketahui berapa jumlah tanggungannya. Dari Gambar 5 dapat diketahui bahwa jumlah tanggungan yang terbanyak terdapat antara 1-2 org yaitu sebesar 48 %. Sedangkan jumlah tanggungan yang >5 org memiliki persentase yang sedikit yaitu 8 %. Untuk jumlah tanggungan 1- 2 org dan 3-5 org pada umumnya telah menyebar disetiap Kecamatan begitu juga dengan jumlah tanggungan >5 org.

Sumber : Data Primer Olahan (2010)

Gambar 5. Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah tanggungan masyarakat di Medan Marelan yang >5 orang adalah 7 orang sedangkan jumlah tanggungan antara 3-5 orang yang terbanyak juga

terdapat di kecamatan Medan Marelan yaitu 33 orang. Di kecamatan Medan Deli, jumlah tanggungan antara 1-2 orang sebanyak 30 orang. Tetapi sebagian besar masyarakat yang menjadi responden memiliki jumlah tanggungan antara 1-2 orang yaitu sebanyak 98 orang. Berdasarkan data tersebut maka dapat disimpulkan bahwa responden memiliki jumlah tanggungan yang ideal. Hal ini sesuai dengan UU No.10 Tahun 1992 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera. Pada umumnya jumlah tanggungan akan mempengaruhi pendapatan suatu keluarga. Dari Tabel 11 dapat diketahui bahwa jumlah tanggungan responden paling banyak terdapat antara 1-2 orang, oleh sebab itu masyarakat yang menjadi responden merupakan masyarakat yang hidup berkecukupan.

Tabel 11. Komposisi Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan Keluarga

No Kecamatan

Jumlah Tanggungan Keluarga 1-2 org 3-5 org >5 org

1 Medan Marelan 15 33 7

2 Medan Barat 27 10 3

3 Medan Deli 30 20 4

4 Medan Maimun 26 24 1

Jumlah 98 87 15

Sumber : Data Primer (2010)

Nilai Willingness To Pay (WTP) Terhadap Upaya Perbaikan Kondisi Hutan

Berdasarkan persentase WTP (Gambar 7), diketahui bahwa responden yang bersedia untuk membayar sebesar 71 % sedangkan yang tidak bersedia untuk membayar sebesar 29 %. Responden yang bersedia untuk membayar perbaikan kondisi hutan di hulu DAS Deli beranggapan bahwa memang sudah selayaknya masyarakat mengeluarkan uang untuk membantu menjaga kelestarian lingkungan.

Masyarakat menganggap bahwa uang yang dikeluarkan itu merupakan bentuk kerelaan (iuran) sehingga tidak ada batasan dalam membayarnya.

Gambar 7. Persentase Nilai WTP

Pada dasarnya tidak semua responden bersedia membayar kerusakan hutan di hulu DAS Deli, sebab ada yang beranggapan bahwa yang wajib membayar kerusakan kondisi hutan itu adalah pemerintah seperti Dinas Kehutanan, LSM yang terkait, Gubernur, Bupati, dll. Tetapi ada juga yang beranggapan bahwa perbaikan kondisi hutan dapat ditanggulangi dari nilai pajak yang ada. Responden yang tidak bersedia membayar Jasa Lingkungan dalam hal ini kurang dapat memahami bahwa sumberdaya alam sudah sangat langka dewasa ini.

Berdasarkan data hasil wawancara terhadap responden di hilir DAS deli, maka akan dapat diketahui besarnya nilai WTP terhadap upaya perbaikan kondisi hutan. Dari data yang diperoleh, responden yang bersedia membayar lebih banyak dari pada responden yang tidak bersedia membayar. Responden yang bersedia untuk membayar terdiri dari 142 orang, sedangkan yang tidak bersedia membayar terdiri dari 58 orang.

Pada umumnya, masyarakat yang bersedia untuk membayar jasa lingkungan menginginkan anggaran tersendiri untuk membayar perbaikan kondisi hutan yaitu mulai dari Rp 1.000 hingga Rp 500.000/bln. Biaya tersebut rela mereka keluarkan untuk membantu memperbaiki kondisi hutan di hulu DAS Deli.

Apabila seluruh dana tersebut dihitung maka akan diperoleh rata-rata nilai kesediaan membayar jasa lingkungan sebesar Rp 14.415/bln/KK. Tetapi total dana yang berpotensi untuk dilakukan upaya perbaikan kondisi hutan di hulu DAS Deli adalah Rp 277.056.300/bln/KK. Total dana tersebut diperoleh berdasarkan hasil perhitungan yang dapat dilihat pada Lampiran 3. Apabila total dana tersebut dihitung dalam waktu satu tahun maka akan diperoleh nilai sebesar Rp 3.324.675.600/thn/KK. Berdasarkan hasil penelitian Tampubolon (2008) total dana tersebut masih tergolong sedikit, contoh total dana yang dikeluarkan oleh pengguna jasa lingkungan di daerah danau toba sebesar Rp 785.155.388.680,80/thn dengan rincian sebagai berikut : (1) PLTA memberikan dana sebesar Rp 144.445.540.744,80 (2) PDAM memberikan dana sebesar Rp 178.770.519.936,00 dan (3) Domestic manuciplity industry (hotel, restoran, rumah tangga non PDAM, lembaga publik) memberikan dana sebesar Rp 461.939.328.000,00.

Total dana tersebut tergolong sedikit sebab pada dasarnya dana tersebut diperoleh dari masyarakat, sehingga bukan merupakan dana yang utama untuk dilakukan upaya perbaikan kondisi hutan di hulu DAS Deli. Pada umumnya, yang paling banyak memanfaatkan jasa lingkungan adalah industri-industri yang mengambil bahan baku dari sumberdaya alam secara langsung. Seperti pemanfaatan air di DAS Deli yang dilakukan oleh PDAM, perhotelan, masyarakat, dll. Oleh sebab itu, industri-industri yang telah memanfaatkan jasa lingkungan harus lebih peduli terhadap kelestarian hutan khususnya di hulu DAS Deli. Tetapi berdasarkan pengamatan dilapangan pengguna jasa lingkungan kurang peduli terhadap hal tersebut.

Di DAS Deli terdapat tiga lembaga pemerintahan yaitu Dinas Kehutanan Kota Medan, Dinas Kehutanan Kabupaten Deli Serdang dan Dinas Kehutanan Kabupaten Karo. Dinas Kehutanan merupakan lembaga pemerintahan yang ikut berperan dalam melestarikan lingkungan. Tetapi program kerja yang dilakukan untuk jasa lingkungan belum dapat berjalan dengan baik. Hal ini disebabkan karena program jasa lingkungan baru saja dibentuk. Sebelumnya program jasa lingkungan digabungkan dengan Sub Dinas Rehabilitasi dan Perlindungan Hutan. Oleh sebab itu, Dinas Kehutanan masih terus melakukan upaya untuk menjalankan program jasa lingkungan. Berdasarkan Peraturan Daerah No.3 Tahun 2001 pasal 17, Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara, mempunyai Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) yaitu (1) menyelenggarakan sebagian kewenangan pemerintah provinsi dan tugas dekonsentrasi dibidang kehutanan, (2) menyiapkan bahan perumusan perencanaan/program dan kebijaksanaan teknis di bidang kehutanan, (3) Menyelenggarakan pembinaan, penatagunaan hutan, rehabilitasi dan perlindungan hutan, pengusahaan hutan dan tertib peredaran hasil hutan, (4) Melaksanakan tugas-tugas yang terkait dengan Kehutanan sesuai ketetapan Kepala Daerah. Dari Tupoksi tersebut, pelaksanaan jasa lingkungan dapat dilihat melalui kegiatan reabilitasi. Jasa lingkungan belum memiliki kebijakan khusus yang mengaturnya. Oleh sebab itu, Dinas Kehutanan masih terus mengajukan izin kepada Pemerintah Daerah (Perda) untuk membuat kebijakan jasa lingkungan.

Apabila kebijakan mengenai jasa lingkungan sudah dikeluarkan oleh Perda maka Dinas Kehutanan akan dapat memberikan strategi-strategi yang dilakukan untuk dapat menerapkan pembayaran jasa lingkungan. Namun hal ini masih belum dapat dilakukan karena kebijakan jasa lingkungan belum dikeluarkan.

Dalam hal ini Dinas Kehutanan memiliki kendali untuk dapat memperhatikan kondisi lingkungan, oleh sebab itu sudah selayaknya Pemerintah Daerah dan instansi lain yang terkait juga ikut bekerjasama.

Salah satu contoh yang menerapkan pembayaran jasa lingkungan adalah PT Krakatau Tirta Industri (KTI), industri ini berada di daerah Banten. Industri ini memanfaatkan sumberdaya air yang terdapat di DAS Cidanau sebagai bahan baku dari industrinya. Oleh sebab itu, PT KTI telah memberikan dana kompensasi secara suka rela. Dana tersebut ditampung oleh suatu forum yaitu Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC), dana tersebut dikeluarkan oleh PT KTI selama 5 Tahun. Hingga saat ini pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau telah masuk pada periode kedua. Berdasarkan contoh tersebut, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara juga menginginkan pelaksanaan penerapan pembayaran jasa lingkungan di DAS Deli dapat berjalan juga seperti di DAS Cidanau.

Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, jika program pembayaran jasa lingkungan di DAS Deli dapat berjalan maka kompensasi yang akan diberikan untuk masyarakat di hulu DAS tidak hanya berupa uang tetapi juga dapat berupa sosialisasi terhadap masyarakat sekitar mengenai penilaian terhadap lingkungan. Dalam melakukan pendistribusian dana akan coba dilakukan seperti yang diterapkan di DAS Cidanau. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah hilir akan diberlakukan pembayaran yang sama dengan masyarakat hulu. Tetapi dalam hal ini, pembayaran bagi masyarakat hilir akan sedikit lebih tinggi dari pada pembayaran bagi masyarakat hulu. Berdasarkan pengamatan dilapangan,

pemanfaatan jasa lingkungan di daerah hulu lebih banyak dilakukan oleh industri. Oleh sebab itu, pembayaran bagi industri di hulu DAS Deli juga akan lebih tinggi.

Apabila penerapan jasa lingkungan di DAS Deli telah berjalan, maka belum perlu dibentuk suatu lembaga khusus yang menangani program pembayaran jasa lingkungan ini. Lembaga yang dapat menangani program pembayaran jasa lingkungan dapat ditujukan kepada BAPEDALDA ataupun kepada Biro Lingkungan Hidup. Ketidaktahuan masyarakat dan beberapa instansi pemerintahan mengenai pembayaran jasa lingkungan masih banyak, oleh sebab itu program ini akan dapat berjalan apabila dipegang oleh BAPEDALDA. Tetapi apabila dalam penerapannya sudah cukup baik maka dapat dibentuk suatu lembaga yang khusus akan mengelola pembayaran jasa lingkungan tersebut.

Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan

Kebijakan pengelolaan lingkungan yang terkait dengan jasa perlindungan fungsi DAS terdapat pada Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Berdasarkan kebijakan tersebut maka dapat dikembangkan skema pembayaran jasa lingkungan. Skema tersebut merupakan konsep dasar dari pembayaran jasa lingkungan.

Pembayaran jasa lingkungan pada dasarnya harus memiliki skema dasar dalam menjalankannya. Skema Pembayaran jasa lingkungan juga disebut dengan PES (Payment for Environmental Services). PES pada umumnya melibatkan penerima manfaat (services user) dan penyedia jasa (services provider) yang terbatas pada cakupan wilayah geografisnya. Dalam hal ini mekanisme pasar yang

dikembangkan ditujukan untuk pemberian kompensasi dari penerima manfaat kepada penyedia jasa. Kriteria skema PES yaitu meliput i:

1. Konteks 2. Pelaku

3. Pembayaran dan sistem pembayaran 4. Pelaksanaan

5. Monitoring dan evaluasi

Kegiatan yang sudah dilakukan terkait dengan pengembangan Skema PES di DAS Deli hanya dalam bentuk kerjasama masyarakat dengan PT Danone Aqua Indonesia. Dalam hal ini PT Danone Aqua memberikan dana tanggungjawab sosial (CSR) kepada pemerintah desa dan masyarakat di Kecamatan Brastagi dan Simpang Empat dalam bentuk mesin pencacah sampah, peralatan untuk pemilahan dan penampungan sampah, pengembangan pembibitan berbasis masyarakat. PDAM Tirtanadi juga melakukan kerjasama untuk mengembangkan distribusi air bersih kepada masyarakat. PDAM Tirtanadi selain mendistribusikan air juga melakukan pengelolaan limbah dengan menarik biaya pengelolaan limbah. Kegiatan-kegiatan tersebut bukan merupakan pelaksanaan pembayaran jasa lingkungan. Karena di dalam kegiatan tersebut hanya melibatkan penerima manfaat tanpa melibatkan penyedia jasaanya. Tetapi, kegiatan tersebut sudah mengarah kepada penerapan pembayaran jasa lingkungan.

Penerapan PES di DAS Deli belum berkembang, karena masih terbatas terhadap pengguna sumberdaya yang melakukan pembayaran perizinan, retribusi, pajak dan lainnya kepada pemerintah. Pemerintah provinsi dan kabupaten kemudian akan mengalokasikan anggaran tersebut untuk pembangunan dan

termasuk juga untuk lingkungan hidup. Pada dasarnya, pembayaran tersebut bukan merupakan pembayaran jasa lingkungan, karena penerapan pembayaran jasa lingkungan harus sesuai dengan kriteria skema PES. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pengembangan skema PES di DAS Deli belum diterapkan. Tetapi di luar daerah DAS Deli, sudah banyak pihak yang melakukannya seperti pihak-pihak dari lembaga pemerintahan dan non Pemerintah. Pembayaran yang telah dilakukan oleh PT Danone Aqua dan PDAM Tirtanadi merupakan PES konvensional, dalam hal ini PES konvensional belum efektif dalam pelaksanaannya. Menurut USAID (2007), PES konvensional memiliki kelemahan yaitu (1) rendahnya pengelolaan keuangan pemerintah dan pemerintah daerah terutama untuk dapat mengetahui hubungan antara pendapatan yang berasal dari pemanfaatan sumberdaya dengan belanja pemerintah dalam kelompok lingkungan hidup, (2) tidak adanya akunting pengelolaan lingkungan bagi perusahaan. Oleh sebab itu, kedua kondisi tersebut menyebabkan kesulitan dalam menilai kecukupan dana yang telah dibayarkan perusahaan (pengguna jasa) terhadap lingkungan, melalui biaya perizinan, retribusi, pajak dan lainnya.

Hubungan Karakteristik Responden Terhadap Willingness To Pay (WTP)

Hubungan karakteristik responden terhadap WTP dapat diketahui berdasarkan analisis regresi linier berganda. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai R-square sebesar 0,204 sama dengan 20,4 %. Tingkat signifikansi dari variabel bebas (X) terhadap variabel (Y) dapat dilihat dari angka probabilitas (nilai signifikansi). Jika nilai signifikansi masing-masing variabel (> 0,05 atau 5 %) maka variabel tersebut tidak signifikan pengaruhnya. Demikian sebaliknya,

jika nilai signifikansi masing-masing variabel (< 0,05 atau 5 %) maka variabel tersebut dinyatakan signifikan atau nyata pengaruhnya. Variabel X yang memiliki nilai < 0,05 adalah pengeluaran yaitu sebesar 0,008. Hal ini berarti bahwa

Dokumen terkait